Pada hari itu mereka langsung menyiapkan sesajen, dan keesokan harinya Leni pergi di danau petik wangi. Dia menjanjikan tubuh dan darah Ratih untuk memuliakan danau ini. Segera di bacanya mantra dan nyanyian merdu penuh unsur mistis bersama dengan Arni.Suara seruling yang hanya memiliki empat lubang itu terdengar menyayat hawa dingin di pinggir danau. Leni terlihat juga sedang menguraikan rambutnya dan tiada henti fokus untuk mencari keberadaan Ratih.Sekelebat banyangan Ratih yang tengah bercumbu dengan Deva membuat Leni tertawa dan yakin kalau Ratih masih bisa di hajar dengan ilmu hitamnya.“Habis kau! Kena kau Ratih! Kena kau, ahahahaha!” suara tawa Leni kembali menggema.Sedangkan Arni hanya meringkuk bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari wajah sahabatnya itu. Kaki tangannya gemetar ketakutan, suara gemertak giginya sendiri sesekali dia dengar. Ini adalah pertama kalinya untuk Arni.Di sisi lain Deva dan Ratih semakin panas dengan cumbuan mereka, kepala Ratih mulai teringa
“Aku … menginginkanmu,” ucapan Deva saat pertama kali meminta haknya sebagai suami terus terngiang diingatan Ratih.Tak kuasa menahan senyum, Ratih yang memutuskan untuk menyiapkan sarapan sesekali tersenyum dan merasakan pipinya memanas. Apalagi, saat ia mengingat dirinya melenguh di bawa kukungan Deva yang tampak gagah.Sisa ciuman panas semalam, masih terasa nyata dan tersisa pagi itu. “Oh Tuhan, Ratih … kau gila,” kekehnya pada diri sendiri.Walau masih terasa perih, tapi karena Deva melakukannya berkali-kali, membuat Ratih akhirnya bisa merasakan nikmatnya saat bercinta. Wajahnya penuh binar, sambil menyusun roti bakar dan juga jus jeruk di meja makan.“Ratih!” panggil Deva dari dalam kamar, membuat Ratih seketika kalang kabut.Ia sangat malu harus bertemu dengan Deva pagi ini, tapi mau tidak mau Ratih berjalan dan menghampiri suaminya. “Kamu, memanggilku?” sahut Ratih.“Kenapa kamu pergi, hem? Sini, berbaringlah di sini.” Deva kembali membuka selimut dan menepuk sisi ranjangnya
Kepulangan Ratih dan Atmadeva menjadi kebahagiaan tersendiri bagi orang tua dan mertuanya. Malam itu, setelah membiarkan Ratih dan Deva beristirahat sejenak, kurang lebih pukul tujuh malam Lusi dan Darman datang berkunjung ke rumah Deva.Sementara Abizar, Deva dan Darman sedang berbincang serius di balkon atas, Ratih dan Lusi mempersiapkan lauk hidangan untuk makan malam keluarga bersama. Lusi mengulum senyum melihat rona bahagia di wajah Ratih.“Bunda kira kalian akan satu minggu atau dua minggu menghabiskan waktu untuk bulan madu. Nggak taunya cuman tiga hari, lalu apa saja yang sudah kalian lakukan?” tanya Lusi sambil menggoda anaknya.“Kamu tidak sedang berbulan madu, Bunda. Awalnya memang ada rencana seperti itu, tapi masalah terlalu banyak. Jadi, kami memutuskan untuk membereskan satu per satu masalah yang ada di depan mata dulu baru memikirkan hal lainnya.” Ratih sengaja berdiplomasi.Ia terlalu menceritakan apa saja yang sudah mereka lakukan bersama. “Ia, tepat saat kalian ber
“Apa yang ingin kamu pastikan?” tanya Deva teringat dengan tujuan Ratih menghadiri sidang pertama ini.“Jika, orang yang aku duga itu ada di persidangan nanti. Maka dia pasti ada hubungannya dengan penukaran getah karet dari Perkebunan Ayah ke perusahaan Papa,” ucap Ratih yakin.Atmadeva kembali mendekat serta menatap dalam Ratih. “Apa, ingatan akan masa depan itu kembali lagi?” tanya Deva.“Iya, kilatan ingatan itu kembali menggangguku semalam,” akuh Ratih.“Apa yang kamu lihat? Duduklah di sini, aku harus memastikan apa yang kamu lihat sebelum kita pergi,” firasat Deva mendadak tidak enak.“Jadi begini, aku mengingat kejadian saat kepalaku dipukul. Malam itu, tubuhku dilempar ke belakang truck yang memuat gumpalan karet kotor. Walau saat itu aku dalam keadaan tidak baik-baik saja tapi aku mendengar suara yang akan kuingat seumur hidupku,” ucap Ratih sambil menyeka air matanya.Ingatan akan tragedy itu kembali memancing emosi dalam dirinya. Atmadeva langsung memeluk Ratih yang mulai
Sepanjang perjalanan Ratih terus berusaha untuk menyusun ingatannya, tanpa terasa sebutir kristal bening menetes begitu saja saat mereka mereka melewati jalanan kebun sawit milik.“Hei, kamu kenapa?” Deva langsung meminggirkan mobil di sebelah kiri jalan.Buru-buru Ratih mengambil tissue dan menyeka air matanya, sambil terus menundukkan wajahnya. Ia terlalu sungkan untuk menunjukkan kesedihannya di depan Deva.Tak tahan melihat istrinya terisak, Deva lantas membuka sabuk pengamannya dan memeluk Ratih dengan posesif. “Aku tau, kamu sedang ketakutan,” bisik Deva.Semakin bergetar bahu Ratih mendengar suara Deva yang berusah menenangkan dirinya. “Sungguh aku sangat takut melihat mereka semua. Mereka yang berada di balik kematian seluruh keluargaku, melihat Ibu Leni saja, seluruh tubuhku langsung lemah. Tolong aku, Deva …,” lirih Ratih tanpa sadar melingkarkan tangan di tubuh suaminya.“Selama aku hidup, tidak akan ku biarkan siapa pun menyakitimu dan juga kedua orangtuamu, Ratih. Percaya
“Yang aku takutkan, justru bapaknya Rangga berada di perusahaan ini atau di Perkebunan ayahmu dengan nama yang berbeda. Apa kamu juga mencurigai kalau Rangga mengetahui aksi penukaran bahan baku ini?” tanya Deva. Bukannya menjawab, Ratih malah terdiam. Pikirannya malayang kemana-mana, jika apa yang dikatakan oleh Atmadeva benar dan ternyata Rangga memang terlibat dengan penukaran karet ini maka selama ini, selama bertahun-tahun ini mereka sudah menargetkan keluarganya untuk dijadikan sebuah ‘proyek’. Sungguh, Ratih tidak habis pikir. Tenggorokannya seketika langsung kering, bahkan untuk menelan ludah pun sudah susah sampai harus membuatnya berdeham dan mencari segelas air putih. Untunglah di sudut ruangan itu ada dispenser yang berdiri dengan gagah sebagai penyelamat dahaga. Ia lalu mengambill gelos kosong dan mengisi airnya hingga penuh, haus membuatnya meneguk seperti manusia di padang pasir yang kehabisan pesediaan air minum selama berhari-hari. “Ada apa denganmu,” tanya Deva se
“Aku sayang sama kamu,” bisik Atmadeva sambil menjeda ciumannya dan membiarkan Ratih mengambil nafas sejenak.Lalu ia kembali merangkul Ratih dan membiarkan Ratih bersandar di dada bidangnya dalam diam. Keduanya sama-sama terdiam dan membiarkan suasana lengang begitu saja. Ratih memejamkan matanya sambil mendengar debaran jantung Deva yang turut membuat darahnya berdesir.“Apa, kamu mau pulang sekarang?” tanya Deva seolah ingin melakukan sesuatu yang menjadi candu baginya.“Iya,” jawab Ratih singkat.Sungguh hebat sepasang pengantin baru ini, walau dalam hitungan bulan mereka menikah tapi dengan mendengar intonasi nada bicara saja, keduanya bisa sama-sama tau makna tersirat yang terkandung di dalamnya.Keduanya lantas segera bertolak dengan membawa dokumen yang akan mereka baca lagi setelah menyelesaikan ‘urusan’ penting mereka di rumah.Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Lala, keduanya langsung masuk ke dalam mobil. Walau mobil ini berjalan dengan kecepatan yang normal tapi seb
“Entah sejak kapan, tapi aku yakin kalau apa yang ku rasakan saat ini bukanlah sebuah kekaguman atau kebutuhanku sebagai seorang pria normal. Jika saja hatiku boleh berbicara saat ini secara langsung, aku yakin dia akan memanggil namamu seperti ini, Ratih … aku jatuh cinta kepadamu,” ungkap Deva.Ratih berusaha mencari celah kebohongan dalam tiap kalimat yang terucap di sorot pandangan Deva. Percuma, ia tidak menemukan apa-apa, Deva berbicara sangat yakin walau nafasnya tersengal tapi tidak ada keraguan dalam dirinya sedikit pun saat menyatakan cintanya.“Bagaimana mungkin?” Ratih juga tidak semudah itu percaya.Walau tidak bisa dipungkiri pengakuan Deva menciptakan sebuah desiran yang tak dapat dijabarkan dengan rangkaian. Ratih menduga kalau Deva pasti akan bungkam, seperti dirinya yang juga akan bungkam jika ada yang bertanya seperti dua kata pertanyaannya tersebut.“Cinta itu datang begitu saja, dia bukan jailangkung yang harus di undang dengan berbagai ritual. Cinta datang tanpa