LOGINSuara laki-laki itu samar, berat, dan santai. “Santai, Bil. Tenang. Dia satpam, kan? Katamu dia lembur juga. Paling juga kecapean, langsung tidur di pos. Dia ga bakal pulang. Udah, diem aja. Enak, kan?”
Suara Nabila menyahut tumpul di sela tawa pendek. “Ssst… Robby, jangan sebut dia. Nanti mood-ku hilang.”
Robby.
Nama yang tidak asing di telinga Mada.
Mada memutar telapak tangan, kemudian mengepalkannya kuat-kuat. Ingin sekali dia langsung menendang pintu kamar mandi, tapi dia masih ingin tahu, apakah cinta Nabila tulus atau tidak. Ia ingin tahu bagaimana sifat asli Nabila selama ini, apalagi Mada sudah menyiapkan cincin tunangan.
Percakapan itu semakin membuat hati Mada memanas.
“Gimana berkas pengajuan kerjamu?” tanya Robby. “Kalau kamu ikut aku, aku bisa taruh namamu di Marketing bagian event nasional. Komisi mengalir, bonus melimpah."
"Aku masih belum tau. Mada pasti marah kalau aku kerja marketing, apalagi sampai harus nginep sama laki-laki."
"Ayolah, Nabila, kamu mau sampai kapan hidup kayak gini?" Robby semakin menghasut Nabila. "Hidupmu lebih enak sama aku. Uang ada, kamu juga enak, punyaku perkasa dan tahan lama. Dari pada sama Mada yang cuma satpam itu, mau makan apa kamu? Dikasih makan pentungan satpam?”
“Aku masih coba percaya sama Mada,” gumam Nabila, suaranya berselendik. “Tapi aku bingung, besok kan ada pesta di rumahku, malam. Dia bilang mau datang sama kasih kejutan.”
Robby tertawa, pendek dan meremehkan. “Ikut pesta? Kasih kejutan? Mau bawa oleh-oleh apa ke keluargamu? Paling-paling beli pakaian murah kayak pakaian satpamnya itu."
"Rob, tolong," kata Nabila, dia sebenarnya tidak suka dengan pria yang merendahkan orang lain, tapi dia tidak bisa berbuat banyak karena selama ini Robby membelikannya barang-barang merah. "Ada benarnya ucapanmu."
"Lagian, ngapain juga dia ke rumah kamu. Mau pakai apa? Pakai seragam satpam? Seragam dua ratus ribuannya itu?"
Nabila ikut terkikik. “Dia itu baik. Cuma… ya kamu tahu. Hidup di kota besar pasti butuh biaya juga. Mustahil lah aku sama orang miskin kayak dia.”
Mada merasa dihianati. Selama bekerja menjadi satpam, dia tidak pernah menikmati hasil pekerjaannya sepeserpun. Itu semua untuk menyenangkan hati Nabila. Saat masuk shift pagi, Mada tidak langsung pulang sorenya. Dia ikut kerja sambilan di bar malam demi mencari tambahan biaya untuk sewa apartemen.
Hati Mada benar-benar mencintai Nabila, tapi dia tidak menyangka, Nabila bertindak sejauh ini.
Mada kembali teringat Fasya waktu pertama kali bertemu Nabila.
Fasya memuji kecantikan Nabila dan berkata kalau Nabila adalah orang baik, hanya saja belum menemukan jati dirinya. Fasya minta Mada menjaga Nabila dan berharap mereka bisa bersatu.
Kata-kata Fasya kembali terngiang di telinga Mada, apalagi dia juga sudah menyiapkan cincin tunangan yang dibelinya dari hasil kerja di cafe.
“Tunggu,” bisik Nabila tiba-tiba, “tadi aku denger suara.”
Mada mundur satu langkah ke arah lorong gelap.
Sunyi.
Beberapa detik kemudian, kembali bisik-bisik.
“Berapa lama kau tahan dengannya?” suara Robby beralih menggoda. “Hm?”
“Cukup lama, sampai aku jijik sendiri,” jawab Nabila enteng. “Ayo, ah, aku belum keluar ini!”
Kaca buram berembun semakin pekat.
Mada memutuskan saatnya cukup.
Ia menyalakan lampu ruang tamu.
Robby dan Nabila panik. Mereka segera menyelesaikan permainan saat Robby hampir di puncak. Handuk putih diambil dan dililitkan ke tubuh Nabila, sedangkan Robby memakai celana pendeknya. Suara di kamar mandi tidak terdengar lagi.
Mada yang terlanjut kesal, sudah bersiap menunjukkan pada Robby kalau dia bukan satpam rendahan. Dia berjalan menuju meja makan, menarik satu kursi, dan menaruhnya tepat di depan pintu kamar mandi. Dia kemudian duduk sambil menunggu pintu dibuka.
Karena tidak tahan, Mada mengetuk pintu.
Tok!
Tok!
Tok!
Pintu kamar mandi terbuka, kepala Robby menyumbul lebih dulu. “Oh. Ada tamu,” kata Robby tanpa malu. “Atau, tuan rumah?”
Nabila yang tubuhnya terbungkus handuk, mengintip dari belakang. Wajahnya kaget sepersekian detik, lalu dengan cepat dingin. “Loh, Mada, katanya kamu lembur. Kamu kok udah pulang cepet?” suaranya datar.
Mada tidak menjawab. Ia hanya menggeser pandangannya dari Robby ke Nabila, kemudian menatap Robby kembali. “Selesai bermain-main denganku?”
Robby menyeringai, enteng. “Sopan juga ya cara nanyanya. Apa maksudmu?”
Nabila melengos, gelisah, kemudian mengangkat dagu. “Kau itu, harusnya minta maaf karena asal masuk. Minimal ketuk pintu atau apa, jangan asal nyelonong!”
“Ketuk pintu? Ini rumahku, Goblok! Biar kuajarkan bagaimana cara mengetuk pintu yang benar ke tamu yang ga tahu diri!!!”
Mada berdiri, mengambil kuda-kuda, kemudian melakukan gerakan memutar hingga tumitnya bersentuhan dengan pintu kamar mandi. Dengan satu tendangan, pintu itu meluncur cepat ke belakang, menabrak tepat di dahi Robby.'
Nabila bergegas menolong Robby.
Karena gengsi dipermalukan pria yang barusan dia hina, Robby cepat berdiri dan coba menyembunyikan rasa sakitnya. Dia mengepalkan tangan, kemudian bergerak maju memukul Mada.
Buk!
Buk!
Dua pukulan Robby ditangkis Mada dengan mudahnya.
Sampai sekarang pun Mada masih heran kenapa dia memiliki reflek yang sangat bagus. Tubuhnya yang ideal dan perut sixpacknya, entah dari mana.
Kenangan yang dia ingat hanya dia terbangun di rumah sakit saat menjalankan tugas.
Tidak ada yang tahu asal-usul Mada yang sebenarnya, sampai akhirnya kakek Nabila yang juga merupakan sahabat karib Fasya, ingin menjodohkan mereka.
Nabila tidak mau ambil resiko. Perjodohan ini harus dia terima meski dia sebenarnya jijik selalu berdekatan dengan Mada. Jika tidak, kakeknya tidak akan memberinya warisan.
Namun, kakek Nabila mulai sakit-sakitan ketika mengetahui kabar Fasya meninggal tragis. Penyakit jantungnya sering kumat. Selang lima bulan setelah kematian Fasya, kakek Nabila pun menyusul. Kini, Nabila bebas dari syarat warisan kakeknya.
"Oh, ternyata pukulanmu nggak kuat-kuat amat. Percuma ngegym, sok jagoan, ternyata lemah!" Mada memancing emosi Robby dan benar, pria itu terpancing.
Robby keluar dari kamar mandi dan mengajak Mada bertarung tangan kosong. Mada pun setuju.
Awalnya, Robby terus menghujani Mada dengan pukulan, tapi entah kenapa Mada terus berhasil menghindari pukulan itu. Dia sendiri tidak sadar memiliki reflek yang begitu bagus.
“Sialan kau, dasar satpam rendahan!” Robby naik pitam karena pukulannya terus. Dia maju, mencengkeram kerah baju Mada hingga terdengar suara nyaring.
Krekk!
Kancing atas kemeja Mada putus.
Meski ditarik sekeras itu, Mada masih diam, tubuhnya seperti batu yang sangat keras, tidak bisa digeser oleh tekanan apapun.
Seragam satpam kusam itu terbuka di bagian dada hingga sisi punggung. Dari sini, misteri kemudian terungkap.
Ada tato di punggung Mada.
"Sialan! A-apa itu?" Robby mundur beberapa langkah. Nafasnya terengah engah saat melihat tato di punggung Mada.
“Mada, barusan aku dapat mandat dari Jenderal Zhang Ze. Kamu diuruh mencairkan beberapa ratus dollar di ATM yang aku berikan kapan hari lalu. Pergilah ke Bank Platina di pusat ibukota. Setelah itu, carilah villa mewah yang kelak jadi tempat tinggalmu.”Baru saja ingin menutup mata, ponselnya berdering, dan Sofia segera memberi perintah.“Hmm, aku masih ngantuk. Apa nggak bisa diundur sampai nanti siang atau sore?” Mada menguap setelah semalaman tidak tidur.“Jenderal Zhang Ze ingin kamu segera pergi. Aku sarankan, villa Phoenix yang letaknya ada di perkomplekan mewah Heaven Garden.”“Ah, sialan! Oke. Aku pergi sekarang.”Dengan kantung mata bengkak dan pakaian kusut milik Boris yang belum diseterika, Mada pergi, tanpa membangunkan Boris yang masih mendengkur pulas.Sofia mengirim titik koordinat lokasi Bank Platina.“Aneh, kenapa hanya ada satu Bank Platina di ibukota? Harusnya, ada minimal tiga atau empat bank. Kenapa pula Jenderal Zhang Ze memberi perintah dadakan seperti ini!?”Sel
“Benar. Barusan, aku dapat info dari markas pusat. Kamu pasti tahu, kan, dia bukan laki-laki biasa. Dia mantan pembunuh bayaran terkenal. Aku takut kalian berdua terluka, atau bahkan terbunuh karena laki-laki itu.”Boris dan Mada saling tukar pandang. “Tenang, Sofia, kami tidak semudah itu mati. Percaya pada kami. Kami akan membereskan orang ini, seberapapun mengerikannya dia.”Kekhawatiran Sofia ternyata tidak terjawab.Louis, yang rencana awalnya datang ke Cliff Inna untuk memburu Mada, tiba-tiba menghilang tanpa jejak.Padahal, lima menit sebelumnya, Mada mendapat kabar jika Louis dalam perjalanan menuju perbatasan mengendarai jeep dengan kaca anti peluru.Pun hingga pagi menyongsong, Mada tak kunjung menutup mata. Sementara Boris, dia sudah terlelap sebelum matahari terbit tadi. Mungkin pria itu capek setelah pertempuran tengah malam tadi.Merenung menatap latar pergudangan tua, Mada masih kepikiran, bagaimana nasib Kristal setelah rencana pembunuhan itu gagal.Serigala Merah past
Sekarang, sisa satu perampok yang menggunakan topi baseball hitam. Dia memberondongkan senjata, menembak acak orang-orang sipil di sana.Mada menunggu kesemptan hingga perampok itu teralihkan perhatiannya oleh Boris, dan tidak menatapnya lagi.Julukan Zero tidak main-main. Kecepatan dan keakuratan serangan yang dimiliki Mada dalam menotok leher perampok itu, sangat cepat. Bagai ular, tepat di nadi meridian tengahnya.Perampok itu tumbang sebelum sempat membabi-buta lebih lama lagi. Urat nadinya mati sementara. Jangankan membalas pukulan Mada, untuk berteriak saja, dia tidak mampu.“Sssttt...”“Jangan berisik!”Mada menoleh ke seluruh pelanggan, memberi kode menggunakan gerakan bibir sembari menautkan telunjuknya. Mereka mengangguk paham. Tidak satu pun membuat kegaduhan sampai Mada selesai.Kecerdikan Mada didukung oleh prediksi akurat Boris, dia sudah menghitung estimasi waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan perhatian, sampai Mada berhasil mengalahkan perampok satunya.Usai menenan
Mada terkenal dengan julukan Zero.Di Leviathan Army, ada kode tertentu yang diberikan sesuai kekuatan dan kepiawaian anggota dalam menjalankan misi. Makin kecil angkanya, makin tinggi pula pangkatnya.Zero sendiri merupakan julukan yang hanya diberikan pada militer-militer terkuat di zamannya.Di antara semua pasukan khusus Leviathan Army, hanya Mada yang menunjukkan kemajuan signifikan sejak dia bergabung.Hanya butuh waktu empat tahun dia menguasai semua ilmu beladiri, senjata, juga obat-obatan yang harusnya ditempuh dalam waktu minimal 15 tahun.Dalam empat tahun itu juga, Mada berhasil menyelesaikan misi-misi sulit, yang bahkan menurut anggota Leviathan Army lainnya, mustahil untuk diselesaikan.Salah satunya adalah, memberantas organisasi hitam yang merugikan dunia bernama Red Lotus, seorang diri, tanpa bantuan petinggi Leviathan Army yang lain.Dan, sekarang, para petinggi Red Lotus berkumpul, membentuk afiliasi baru bersama mafia-mafia kejam dunia, lalu menamai diri mereka seb
“Berhasil atau tidak, kita belum tahu, sampai kita mencoba rencana ini! Tapi, ada satu hal yang perlu kamu ingat. Aku tidak bawa identitas apapun. Kemungkinan besar, aku diusir petugas keamanan. Jadi, keluar lah sebelum aku diusir!”Bertepatan juga, Nabila ingin membahas perceraian itu dengan Mada.Sesuai kata pepatah, tanpa perlu menebar umpan, jika timing mu sesuai, ikan pasti menyambar. Hal itu yang dialami Mada kala tatapan tajamnya direspon Nabila.Menggandeng mesra tangan Robby, Nabila mendekati posisi duduk Mada, lalu mengata-ngatainya. Tapi, kali ini, Nabila tidak terlalu ngotot.Sekali lagi, mereka membuat keributan dan memancing atensi tamu undangan. Semua perhatian terpusat.Sofia menggunakan kesempatan ini untuk mencari dua anggota Serigala Merah lain yang menyamar. Dan, benar kata Mada, ada empat anggota yang bertugas masuk hotel.“Sial! Begitu ingatannya pulih, akurasi pengamatannya jauh lebih hebat dari tiga tahun lalu!?” Sofia menggeleng, masih tidak percaya dengan apa
“Diancam putus kontrak? Ti-tidak mungkin!”Gleg!Nabila meneguk ludah.Majalah Beautyness adalah satu-satunya majalah kecantikan terkemuka yang digunakan Nabila meraih follower serta popularitas. Tanpa majalah itu, dia hanya gadis biasa, tak punya pengikut, ataupun fans sejati.Meski cantik, perilaku arrogan dan lidahnya yang tajam, seringkali membuat netizen enggan untuk mengikuti segala postingan aktivitasnya.“Maafkan aku, Ris, bukan maksudku mengacau-”“Sekali lagi aku melihatmu mengacau, aku tidak segan memutus kontrakmu, juga seluruh aset-asetmu di salon kecantikan Beautyness. Camkan itu!”Nada dingin Risa membuat Nabila mati kutu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Amarah yang tertahan, dia luapkan dengan sorotan tajam ke arah Mada.Seolah gadis itu berkata, “lihat aja, Mada, kamu pasti terima akibatnya!?”Pesta berlanjut seperti biasa. Kali ini, Tuan Bram meminta orang-orang berkumpul di aula hotel yang disulap menjadi restoran prasmanan bNabilag lima.Malam ini terlihat sangat m







