Share

Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!
Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!
Penulis: Solana

Bab 1. Kehilangan Buah Hati

Penulis: Solana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-10 00:03:27

Primrose duduk di ruang tamu seorang diri. 

Kesunyian yang melingkupi rumah besar itu terasa membekukan. Tidak ada lagi suara tawa atau celotehan ringan sang putri yang biasanya membuat rumah itu terasa hangat. 

Ditatapnya nanar bingkai foto mendiang Daisy yang cemberut saat pertama kali masuk TK.

Kala itu, suaminya tak hadir, sehingga Primrose terpaksa berbohong dan mengatakan pada putrinya jika sang ayah harus menyelamatkan banyak nyawa di perusahaannya.

“Mama, Papa tidak suka Daisy, ya?” tanya Daisy saat itu. Wajahnya tampak sedih, bahkan hampir menangis. Semua murid didampingi oleh ayah dan ibu mereka, kecuali Daisy. 

Sepasang matanya yang polos menatap seorang anak seumuran dirinya yang digendong dan tertawa bersama sang ayah.

Hati Primrose mencelos mendengar pertanyaan itu. 

“Bukan begitu, Sayang. Papa hanya sedang sibuk. Daisy tahu kan, Papa bekerja keras untuk kita?” 

“Jadi kapan Papa tidak sibuk, Mama? Daisy mau main sama Papa.”

Senyum getir terbit di wajah Primrose. “Sabar ya, Nak. Nanti Papa pasti ajak Daisy bermain kalau sudah tidak sibuk di kantor,” katanya sambil mengusap puncak kepala anaknya dengan lembut.

“Sungguh?” Mata gadis cilik itu berbinar penuh harapan.

Sekali lagi, Primrose memaksakan senyum dan melontarkan janji palsu yang tak akan pernah terwujud.

“Daisy… maafin Mama….” 

Tangis Primrose akhirnya pecah. Dadanya terasa sesak mengingat putrinya selalu percaya pada kebohongannya tentang Aiden.

Bahwa ayahnya itu sayang padanya. Bahwa ayahnya peduli padanya. Hanya saja, ia tak bisa selalu hadir di sisi Daisy karena kesibukannya.

Primrose tertawa getir. Sungguh, dosanya terlalu besar. 

Ia menatap tangan kurusnya yang gemetar, tangan yang digenggam Daisy di detik-detik terakhirnya. 

Beberapa hari yang lalu, putrinya mengalami kecelakaan di depan sekolah tepat saat Primrose hendak menjemputnya. Namun, setelah dibawa ke rumah sakit, nyawa Daisy tidak terselamatkan. Kondisinya sudah sangat rentan karena penyakit jantung bawaan yang diderita putrinya sejak lahir, dan kecelakaan itu menimbulkan cedera yang fatal.

Primrose ingat, dalam kondisi kritis sekalipun, gadis kecil itu masih sempat memikirkan ayahnya.

“Mama… Papa masih sibuk, ya?” 

“Mama… Daisy mau peluk Papa… sekali aja….”

“Mama… bilang pada Papa kalau Daisy sayang Papa dan Mama….”

Primrose tergugu sambil memukul dadanya yang terasa sesak hingga napasnya tersendat. 

Bahkan sampai kematiannya, ia masih berbohong tentang Aiden pada putrinya.

Primrose tidak tega menyakiti anaknya dengan kenyataan pahit bahwa Aiden tidak hadir karena memilih bersama anak dari cinta pertamanya.

Keluarga Aiden? Jangan tanyakan! Mertua dan iparnya sama sekali tidak peduli dan malah menyuruh Primrose sadar diri.

Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka. Primrose menegakkan kepala dan mengusap air matanya, sedikit berharap, meski ia tahu itu hanya harapan kosong. 

Aiden datang untuk menenangkannya? Mustahil. 

Yang datang hanya Celine Fillmore, dengan senyum lebar dan langkah penuh percaya diri.

“Prims, kau baik-baik saja?” 

Celine berbicara dengan nada yang terdengar lebih seperti ejekan daripada perhatian. Ia mengenakan gaun yang membalut tubuhnya dengan sempurna.

Celine tahu persis bagaimana cara mempertahankan statusnya di mata keluarga Aiden, dan kini, ia tampil lebih percaya diri.

“Di mana Aiden?” Primrose bertanya dengan suara serak, mencoba tetap tenang meski getaran dalam suaranya tak bisa disembunyikan.

Celine terkikik kecil, duduk di seberang Primrose dengan sikap yang begitu santai, seolah ia tengah berada di rumah sendiri.

“Oh, Prims Sayang, rupanya kau menunggu Aiden?” 

Primrose mengabaikan keramahan palsu itu. 

“Aiden sedang di rumah,” katanya. “Maksudku, rumah kami,” Celine menekankan kata terakhir dengan sengaja. 

“Dia lebih memilih menemani aku dan anak kami. Maafkan aku, aku tahu ini pasti berat untukmu. Tapi, aku rasa Aiden memang harus fokus pada keluarga kecil kami sekarang.”

Primrose merasa seolah ada pisau yang ditancapkan ke dalam hatinya.

“Jadi, itu yang kau harapkan? Aiden memilihmu dan meninggalkan aku begitu saja?” Primrose berdiri, menatap Celine dengan tatapan tajam yang penuh amarah. “Kau merasa ini adalah kemenanganmu?”

Celine hanya tersenyum, seolah kemenangan yang dimaksud tidak lebih dari sekadar permainan.

“Aku tidak perlu menjelaskan apapun padamu, Prims. Sejak awal, Aiden hanya mencintaiku, dan sekarang dia memilih aku. Kau hanya seorang penghalang. Tidak lebih.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Celine semakin mengeratkan rasa sakit di dada. Primrose berusaha mengatur napas, menahan desakan air mata yang ingin kembali keluar. 

Tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Tidak di depan Celine. Tidak di depan orang-orang yang sudah menganggapnya sebagai orang tak berguna.

“Aku bukan penghalang. Aku adalah istri sahnya, Celine.” Primrose berkata dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya hampir hancur.

Celine kembali tertawa, mengedikkan bahunya dengan santai. “Istri sah? Lihatlah dirimu, Prims,” katanya sambil mengarahkan pandangan pada penampilan Primrose yang jauh dari kata layak.

“Aiden sudah membuat pilihan. Dan kau tidak termasuk di dalamnya. Sekali pun tidak pernah.”

Primrose merasa marah, sangat marah. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar ingin menghancurkan semuanya.

Namun, ia bahkan tidak mampu membalas ucapan wanita di hadapannya itu. 

Celine berdiri dan menghampiri Primrose dengan langkah gemulai. 

“Kalau kau berencana melakukan sesuatu,” katanya sambil mengusap rambut Primrose dengan lembut. “Sebaiknya simpan tenagamu. Kau tak perlu repot-repot. Kita berdua tahu siapa pemenangnya sejak awal.”

**

Malam itu, Aiden akhirnya kembali setelah seminggu menghilang tanpa kabar. 

Primrose sedang duduk di tepi ranjang saat pria itu masuk ke dalam kamar. Ia seolah tidak melihat Primrose, ia hanya melewatinya begitu saja, dan berjalan menuju lemari pakaian mereka. 

Seperti tidak ada yang berubah. Seperti tidak ada tragedi yang baru saja menimpa keluarga mereka. Seperti tidak ada kehilangan besar yang terjadi.

“Aku cuma mau ambil beberapa pakaian,” kata Aiden dengan suara datar. “Aku akan pergi ke rumah Celine setelah ini.”

Primrose merasa darahnya mendidih mendengar nama Celine disebut. Itulah wanita yang selama ini merebut perhatian suaminya, wanita yang membuatnya merasa terbuang dan tidak dihargai. 

“Jadi, kau kembali hanya untuk itu?” Primrose berkata dengan suara bergetar, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Hanya untuk mengambil pakaianmu dan pergi ke rumah Celine—oh, rumah kalian?”

Aiden berhenti sejenak, menoleh ke arah Primrose dengan ekspresi bingung. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya.

Primrose bangkit dari tempat duduknya, tangannya gemetar karena marah. “Masalah? Apa kau tidak tahu apa yang terjadi, Aiden?!” suaranya semakin tinggi, hampir tak terkendali. “Daisy sudah meninggal! Anakmu! Anakku!”

Aiden membeku, seolah tidak percaya dengan apa yang didengar. “Apa maksudmu, Prims?” tanyanya, tampak terkejut.

Primrose nyaris tak bisa menahan air matanya. “Dia meninggal karena kecelakaan, Aiden! Tapi kau... kau tidak ada! Kau bahkan tidak datang ke pemakamannya! Kau hanya sibuk dengan Celine!” suaranya pecah, amarahnya begitu meledak hingga mengguncang seluruh tubuhnya.

Aiden tampak kehilangan kata-kata. Dia menelan ludah susah payah.

Daisy … meninggal?

Dua kata itu terdengar begitu jauh, begitu asing.

Namun, Aiden hanya berdiri diam. Ekspresinya begitu sulit dibaca. Sepasang matanya tampak penuh perhitungan, seolah tengah mencerna informasi yang baru saja ia dengar.  

“Apa kau tahu apa yang dikatakan Daisy di saat terakhirnya?” Suara Primrose terdengar parau. “Meski kau tidak pernah menganggapnya ada, dia bilang dia sayang padamu. Dia ingin sekali saja bisa memelukmu. Tapi kau ….”

Aiden masih bergeming.

“Apakah... apakah kau tidak merasa kehilangan sama sekali, Aiden?” Primrose bertanya dengan suara penuh isak, matanya menatap nanar ke arah suaminya. “Anakmu, anak kita … dia sudah tiada. Apa kau tidak merasa apa-apa? Apa kau tidak merasa sedikit pun kesedihan karena dia meninggal—”

“Dia… bukan anakku.”[]

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 32. Ikut Aiden

    Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Primrose tenggelam dalam lamunan. Mendengar Aiden pergi ke pameran pernikahan bersama Celine membuat hati wanita itu seolah teriris. Padahal itu bukan sesuatu yang baru. Sejak awal, Aiden selalu menempatkan Celine dan Kenzie sebagai prioritas utama. Sangat berbanding terbalik dengan Primrose dan Daisy. Tapi tetap saja, hal itu ternyata masih menyakiti perasaan Primrose.Dulu, dengannya, bahkan tidak ada pembicaraan mengenai rencana pernikahan. Aiden tidak pernah bertanya pendapatnya mengenai pernikahan mereka. Semuanya dilakukan serba tiba-tiba dan seadanya. Akan tetapi, dengan Celine, semuanya seperti direncanakan dengan matang. Aiden bahkan mengajak Celine untuk pergi melihat pameran di tengah kesibukannya.“Sudahlah … apa yang kuharapkan? Tidak ada gunanya memikirkan mereka,” gumamnya sedih.Wanita cantik itu lantas turun dari taksi begitu sudah sampai di pelataran gedung. Dengan sedikit repot, ia memeluk bahan-bahan yang dibelinya dan na

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 31. Bertemu di Pameran Pernikahan

    Primrose keluar dari ruang rapat dengan wajah tegang. Keputusan perusahaan untuk tetap bekerja sama dengan Kings Hotel membuat perasaannya campur aduk. Primrose tahu, itu adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Bagaimanapun, mereka sudah terlanjur kesal dengan pihak hotel yang terkesan mempermainkan mereka. Hanya saja, itu adalah tempat yang paling cocok dengan konsep yang sudah disusun. Ditambah lagi, semua persiapan sudah hampir rampung.“Hah … menyebalkan sekali!” gerutu Wendy di sebelahnya. “Kita jadi harus bolak-balik merapikan venue gara-gara pihak hotel yang labil!”Primrose tersenyum kecut. “Paling tidak, itu masih lebih baik daripada pindah tempat,” katanya.Wendy mengerucutkan bibir. “Tapi bagaimana dengan Hartington Hotel? Bukankah itu hotel milik kenalanmu yang kapan hari kita tidak sengaja bertemu?”“Dari mana kau tahu?” tanya Primrose balik.“Gosip menyebar dengan cepat di tempat ini, kau tahu?”Primrose tersenyum miris. “Benar juga,” katanya. “Kurasa Hartington ba

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 30. Peringatan dari Aiden

    Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 29. Menjauh dari Istriku!

    “Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 28. Sudah Berani Terang-terangan

    “Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 27. Bantuan Tidak Terduga

    Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 26. Pembawa Sial

    Selama beberapa detik, Primrose tidak berani membuka matanya. Ia diam di posisi yang sama hingga tubuhnya yang kebas mulai gemetar. Napas Aiden masih terasa begitu dekat, namun tidak ada yang terjadi. Aiden tidak melakukan apapun selain diam menikmati ketakutan yang menjalari wanita di bawah kungkungannya itu. Primrose dapat merasakan udara di sekitarnya yang tadinya menyempit mulai mengembang. Hangat yang menguar dari tubuh Aiden seolah menguap, digantikan kelegaan hingga ia bisa menarik napas dalam-dalam.Ia membuka mata dan melihat Aiden sudah menarik diri. Pria itu berdiri selangkah di depannya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak angkuh dan puas melihat Primrose yang menciut seperti anak anjing yang ketakutan. “Kalau kau mengaku bersalah dan memohon padaku, aku akan mempertimbangkan ulang pembatalan kerjasama itu,” kata Aiden memberi penawaran yang lebih terdengar seperti ancaman. Primrose menggertakkan gigi, tangannya mengepal seolah berusaha menguatkan diri

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 25. Di Gang Sempit

    Primrose mengepalkan tangan dengan kuat. Intonasi arogan pria itu membuat darahnya seolah membara oleh amarah. Ia tahu dengan pasti, Aiden melakukan ini dengan sengaja. “Tidak bisakah kau membiarkanku pergi, Aiden?” tanya Primrose dengan suara yang ia jaga setenang mungkin, meski sebenarnya ia ingin meledak dan menumpahkan kekesalannya pada pria itu. Aiden berjalan lebih dekat. Seringai keji dari bibirnya masih belum lenyap. “Kalau kau memang berniat pergi, kenapa tak pergi lebih jauh?” sindirnya. “Apa kau sengaja agar aku masih bisa menemukanmu?”Buku-buku jemari Primrose tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan. “Aku tidak pergi untuk dicari, Aiden,” tekannya dengan nada tegas. “Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal lagi!”Aiden terkekeh, tampak tidak terpancing oleh kemarahan wanita di hadapannya itu. Ia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Setelah memiliki seseorang yang berpihak padamu, kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu?”Primrose tertegun mendeng

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 24. Kau Suka Kejutan Dariku?

    “Dibatalkan? Apa maksudmu?!” Suara Madam Sophie menggelegar hingga terdengar sampai ke ruangan staf. Suasana di kantor pagi itu begitu menegangkan setelah Camille & Co. mendapatkan kabar bahwa pihak Kings Hotel membatalkan kerjasama secara sepihak dan mendadak tanpa pembicaraan apapun sebelumnya. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?! Acara akan diadakan dua minggu lagi! Orang gila mana yang tiba-tiba membatalkan kerjasama begitu saja?!” Setelah rentetan kalimat penuh kemurkaan itu, pintu ruangan kepala divisi desain menjeblak terbuka. Madam Sophie keluar dari ruangannya dan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dadanya naik turun dan kemarahan menguasai wajahnya hingga tampak memerah. “Aku akan bertemu dengan direktur. Kalian tetap bekerja seperti biasa,” kata wanita paruh baya itu dengan nada tegas. “Damian, ikut aku!” Ketua tim satu itu dengan gegas mengikuti langkah Madam Sophie meninggalkan ruangan. Keheningan yang pekat memerangkap ruangan divisi desain. Tak ada

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status