âPinggirkan mobilmu, Henry,â ucap Julia dengan pelan.Henry menoleh ke arah Julia dengan raut wajah cemas. âKenapa kita harus menepi. Aku harus membawamu cepat ke rumah sakit.ââTidak-tidak, jika Henry membawaku ke rumah sakit, semua pasti ketahuan,â pikir JuliaJulia menggelengkan kepala cepat. âTidak perlu, Henry. Kita beli obat saja di apotek terdekat. Tidak perlu ke rumah sakit. Aku cukup membeli obat biasa yang aku pakai.âHenry mengerutkan keningnya, menunjukkan rasa khawatir. âTapi, Julia, kau terlihat sangat tidak nyaman. Apakah kau yakin hanya cukup dengan obat yang biasa kau beli? Sebaiknya kita memeriksakan kondisimu ke Dokter.âJulia menatap Henry dengan tatapan meyakinkan. âHenry, aku tahu bagaimana kondisi tubuhku. Ini hanya gejala gerd yang kambuh. Aku hanya perlu obat yang biasa aku pakai untuk meredakan asam lambungku. Lagipula, aku bisa mengatasinya dengan obat yang biasa aku gunakan.âJulia takut akan kebenaran yang terungkap. Dia terus membujuk Henry dengan alasan
Wassaic Station. Eva masuk ke dalam kereta, duduk sembari menunggu jam pemberangkatan 20 menit lagi. Dia duduk dengan tenang. 30 menit berlalu, Ryan dan Samuel akhirnya tiba di Wassaic. Keduanya terburu-buru mencari pemberangkatan menuju Grand Central Terminal, stasiun utama dan ikonik di New York City. Itu adalah terminal utama untuk kereta Metro-Nort Railroad yang menghubungkan Manhattan dengan wilayah utara lainnya. Sialnya, kereta tujuan Grand Central sudah meninggalkan stasiun 10 menit yang lalu. Satu-satunya rute yang tersedia menuju Harlem. Itupun mereka harus melakukan transit menuju Poughkeepsie Station lebih dulu sebelum tiba di Herlem. âAsisten Ryan, sepertinya kita sedang tidak beruntung hari ini,â ucap Samuel dengan terengah-engah karena berlari. Ryan menghela napasnya pasrah. Samuel kembali melanjutkan, memberikan saran pada Ryan. âAsisten Ryan, mungkin Anda bisa mencoba untuk menghubungi Henry untuk menjemput Eva di terminal.â Dengan cepat Ryan merogoh ponselny
Mobil Henry terparkir rapi di depan rumah megah memiliki halaman luas dan nyaman. Mereka tiba di sana saat awan gelap. Eva dan Henry sedari tadi menjawab tanpa ada yang bicara. Keduanya saling cuek. Henry menghela napas lalu berkata dengan nada dingin, âPapa sudah tahu kalau kau pergi melarikan diri. Jadi sebisa mungkin kau memberikan alasannya. Jangan berharap aku membantumu untuk berbicara. Kau tanggung sendiri resiko dari tindakanmuâ Eva mengepalkan tangannya. Situasi ini bukanlah pertama kalinya untuknya. Namun hatinya tetap merasakan sakit dengan ucapan Henry. Eva menoleh ke arah Henry dengan memutar ulang. âKalau kamu berpikir aku meminta bantuanmu, kamu salah, Henry! Aku sudah biasa berada dalam situasi seperti ini sendiri tanpa bantuanmu. Jadi tidak perlu kau membantuku.â Henry melebarkan kedua matanya, tidak menyangka jika Eva akan mengeluarkan kata-kata seperti itu. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak dengan kata-kata Eva seolah-olah dia tidak dibutuhkan. Eva
Samuel menutup pintu mobilnya, duduk di kursi pengemudi. Ia memandang gedung apartemen yang ada di sebelah mobilnya. âApa dia bersama Henry.âSamuel merogoh ponsel dalam saku jasnya, ia menekan layar ponselnya yang tertera nama Eva. Nomor ponsel itu masih di luar jangkauan.Samuel menghela napasnya panjang. âSemoga benar jika Henry menjemputnya di terminal. Aku akan kembali besok, memastikan bagaimana keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.âSamuel menyalakan mobil, melajukan mobilnya di tengah hiruk pikuk kota yang tidak pernah tidur.Baru saja dia datang ke gedung apartemen yang ditempati oleh Eva. Namun apartemen kamar unit yang Eva tempati tampak kosong.Terpaksa ia harus kembali dan memastikan keesokan harinya.Sementara di sisi lain, Eva berdiri di depan pintu kamar, tatapannya tertuju pada Henry yang bersiap merebahkan diri di atas tempat tidur.Ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, sebuah campuran antara ketikpercayaan dan kenyataan yang membanjiri pikirann
Eva meremas tangannya, ia kembali menundukkan kepala dengan perasaan bersalah yang mendalam. Eva berkata dengan pelan, âItu karena aku. Maafkan aku, Sam.â Samuel menggelengkan kepala dan menjawab lembut, âTidak, Eva, berhenti untuk terus-menerus meminta maaf. Kami masih menyelidiki semuanya memastikan kebenarannya. Meskipun Henry memiliki sikap yang egois, tapi aku rasa dia tidak akan melakukan hal itu.â Mata Eva mulai berkaca-kaca, hatinya terasa berat. Samuel adalah orang baik. Seharusnya dia membalas dengan kebaikan pula, bukan dengan memberinya masalah seperti ini. âCoba katakan padaku, memang apa yang sudah kau lakukan? Kenapa kau harus merasa jika itu adalah salahmu?â Samuel bertanya denga nada rendah. Eva menarik napas dalam dan mencoba menenangkan diri. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh. Di dalam hatinya rasa perasaan campur aduk menyelimuti, rasa cemas sebab situasi yang rumit dan rasa bersalah yang menghimpit kerena melibatkan Samuel dalam masalah rum
Eva menghela napas, menatap langit-langit kamar dengan frustasi. Dia menyadari proses perceraian yang lambat memperburuk situasinya, dan dia harus mencari solusi.âNyonya bisa menghubungi Tuan Henry atau menemuinya langsung. Saya akan mengirimkan pemberitahuan resmi lagi agar Tuan Henry segera menandatangani.â Suara James menunjukkan rasa tanggung jawab dan upaya mencari solusi.Eva mengangguk meski tidak terlihat oleh James, berusaha untuk tetap tenang. âBaik, Tuan James. Terima kasih atas bantuannya.âKetika percakapan berakhir, dia menutup teleponnya dan duduk diam sejenak.Dia menatap telepon dengan pikiran melayang, meskipun ada harapan, kekhawatiran akan hasil dan kelanjutan proses pereraiannya membebaninya.Di sisi lain, Harrison Realty Partners, dengan senyum cerah dan langkah penuh percaya diri Julia memasuki ruangan Henry.âHalo, Henry, aku sudah menyiapkan dokumen rapat minggu ini. Ini berisi agenda rapat, catatan rapat sebelumnya, dan beberapa catatan penting dari departem
Jonathan membalas jabatan tangan dan tersenyum lebar penuh rasa terima kasih. âTerima kasih banyak, Mr. Henry. Semoga pernikahan kalian selalu diberkati.âEva terpaksan menahan senyum dan menampilkan wajah bahagia di depan Jonathan. Dia merasa seperti artis papan atas yang memainkan perannya dengan sempurna meskipun hatinya bergejolak.Dia merasakan beratnya perasaan yang harus disembunyikan di balik senyuman yang dipaksakan. Setiap doa tentang kebahagiaan mereka bagaikan cambuk yang mengingatkan ketidakpastian yang dia alami dalam rumah tangga.Tangan Henry terulur mendarat di pinggang Eva. Dia memberika kode dengan gerakan kepala kepada Eva untuk memberikan ucapan selamat pada Jonathan.Eva tersenyum lembut. âSelamat ulang tahun pernikahan, Tuan. Semoga kebagaiaan dan keberuntungan berlimpah selalu menyertai Anda dan sekeluarga.âJonathan membalas senyuman Eva dengan penuh rasa syukur.Dia memandang Eva lalu mengalihkan matanya ke arah Henry. âKau benar-benar memiliki Istri yang can
Eva melangkah perlahan menuju kursi di sudut ruangan dengan membawa hidangan lezat di tangannya, sepotong cheesecake lembut dan dasar kue yang renyah.Eva menghela napas lega, ketenangan sudut itu menawarkan kelegaan dari kebisingan hiruk pikuk acara tersebut. Di tengah kemewahan pesta, dia menikmati momen pribadi dengan mencicipi setiap gigitan cheesecake sambil membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa tenang yang jarang ia temui di tengah keramaian.Sementara Henry berbincang-bincang dengan para kolega bisnis yang hadir di sana. Kesempatan yang baik untuk para pebisnis menjalin hubungan dengan pebisnis lainnya. Dia membiarkan Eva dalam kesendirian duduk di sudut tanpa berniat menemani.Namun di tengah Eva menikmati cheesecake-nya, seorang pria berjas tampak menghampiri dan duduk di meja yang sama dengannya. Pria itu terlihat muda, tetapi memiliki wibawa.âBoleh saya bergabung?â tanyanya dengan suara lembut.Eva mendongakkan kepala melihat siapa yang datang. Dia kira jika duduk di
Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. âApa yang sedang kau lakukan?â âYang kulakukan âĶ?â Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep
Eva membalas dengan tatapan bingung. âKenapa? Apa kau perlu sesuatu?âHenry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. âAku ambilkan makan malam untukmu.â Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. âKenapa kau buru-buru sekali?â Suaranya pelan dan sedikit serak. âAku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.â Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. âJangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.â Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. âMemangnya kenapa jika mereka melihat?â jawabnya dengan acuh tak acuh. âMereka tahu kalau kau Istriku.â Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped
âAyolah âĶ tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,â ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!âRacun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?â Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. âAku hanya bicara sesuai fakta.â Eva membantah cepat, âTapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.â âCoba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.â Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!âAku rasa, racun itu
Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. âPapa mau ke mana? Ada kabar apa?âGerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. âPapa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.ââKepala Koki?â Mata Sophia terbelalak lebar. âPapa pergi dulu, ya.ââMama ikut!â Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. âSaya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.â Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, âSimpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.â Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
âItu âĶ.â Dengan sekuat tenaga, Henry mengangkat kepala, mendekat, lalu menempelkan bibirnya di atas bibir Eva, memberikan ciuman yang lembut tanpa terburu-buru atau memaksa. Dia memberikan jeda satu detik. Namun, detik berikutnya dia sedikit menekan kepala Eva.Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin dalam. Eva yang mencoba mengimbangi irama Henry itu kini dibuat kuwalahan. Tangannya bergerak, mencengkeram baju yang dikenakan oleh Henry. Suasana di antara mereka semakin memanas, bukan sekedar hasrat, tetapi seperti pengakuan diam-diam tentang rindu yang tertahan, luka yang perlahan sembuh dalam pelukan. Ruangan itu hanya berisi helaan napas yang mulai tak beraturan, dan ciuman itu masih terus berlanjut, menghapus batas logika di antara keduanya. Henry melupakan kondisinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, menciptakan momen bersama istrinya. Dia menginginkan lebih. Ciuman itu bergerak perlahan ke leher Eva. Namun, tidak lama ciumannya terhenti karena Eva menarik
âKenapa kau menempatkan Istrimu seperti seorang Penjahat yang tidak memiliki hati?â Eva melayangkan protesnya cepat. Henry terkekeh pelan, sedikit terhibur. Entah kenapa hati istrinya begitu sensitif sekarang. âMemeluk Istriku sendiri membuatku harus memohon. Aku heran, dunia apa yang sebenarnya kita jalani saat ini?â Henry menjawab dengan sindiran khasnya. âKau benar-benar membiarkan Suamimu memohon?â Dia tak mau menghentikannya.Eva masih berpikir. Saat ini mereka di rumah sakit, bagaimana jika seseorang melihatnya? Pasti sangat memalukan. Henry memandang wajahnya dengan tatapan sayu. Dia tahu apa yang ada di pikiran istrinya. Dia mendengus. Sementara Eva menggigit bibir bawahnya, apakah dia harus menuruti permintaan Henry? Bagaimana jika ada yang tiba-tiba masuk? Henry masih menatapnya dengan raut sedikit cemberut, menunggu bagaimana reaksi Eva. âSudahlah. Sebaiknya aku kembali tidur,â katanya dengan sedikit tidak suka dan pasrah. Henry mengembalikan posisi kepalanya menja
Sophia juga merasakan kelegaan, karena akhirnya ada perkembangan keadaan Henry. Dia ikut menyimak setiap penjelasan yang dokter katakan. Dan ketika dokter keluar dari ruangan, dia berpesan pada Eva. âSekarang sebaiknya kau istirahat dulu, kau sudah berjaga sampai hampir pagi.â Yang Eva rasakan saat ini adalah mengantuk, tetapi dia menggelengkan kepala. âAku takut jika nanti Henry membutuhkan sesuatu. Sebaiknya kau lanjut istirahat.â Sophia mendengus. Ternyata Eva memiliki sikap sedikit keras. Dia hanya tidak ingin wanita itu juga tumbang. Dia kembali mengingatkan dengan nada sabarnya, âPerhatikan juga kondisimu, Eva. Bagaimana kalau nanti Henry terbangun tapi justru kau yang jatuh sakit?âEva terdiam, merenungi perkataan Sophia. Yang dikatakan wanita itu memang benar. Matanya beralih ke arah Henry. Dia pun tersenyum ke arah Sophia, lalu mengangguk. âBaiklah. Aku akan tidur sebentar saja.â Sophia mengangguk tidak mempermasalahkan. âTidurlah sekarang. Aku keluar sebentar memberit
Suara pintu terbuka. Eva dan lainnya menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruangan. âBagaimana kondisi Suami saya sekarang, Dok?â Eva berharap akan ada kabar baik. Dengan suara tenang, Dokter itu menjelaskan, âKami masih harus menunggu hasil laboratorium, Nyonya. Tapi, saya rasa, kondisinya sudah mulai membaik setelah mendapatkan penanganan pertama.â Akhirnya, Eva bisa bernapas sedikit lega sekarang. Setidaknya ada perkembangan dari kondisi Henry saat ini. Tuan Lawson menyahut, âBisakah kalian mengeluarkan hasil itu dalam waktu singkat?âDokter itu mengangguk pelan. âAkan kami usahakan, Tuan.ââBisakah saya masuk ke dalam sekarang?â Rasa tidak sabar menggebu di dalam hatinya.âSilakan, Nyonya,â Setelah mendapat persetujuan, Eva masuk ke dalam ruangan. Dia bisa melihat pria yang biasanya sombong dan arogan itu masih terbaring lemah di sana. Wajah yang sebelumnya pucat, kini terlihat mulai kembali normal. Sementara Tuan Lawson dan Sophia masih berada di luar bersama de