Baik Talita maupun Reynald berganti tujuan ke arah single sofa tempat Veronica duduk berada.
"Mama? Kenapa?!" kepanikan Reynald, segera memposisikan ibunya tidur dalam pelukannya. "Kita ke dokter sekarang!" putusnya melihat keadaan Veronica yang terlihat sulit bernapas, tapi justru mendapatkan pencegahan. "Nggak usah, Rey. Bawa Mama ke kamar saja. Kita juga perlu bicara berdua." Veronica menurunkan kaki, lalu meminta putranya ini untuk memapahnya secara perlahan. "Aku bikinin teh anget ya, Ma." Talita masih menaruh rasa peduli, namun mendapatkan tanggapan sebaliknya. "Nggak usah!" sahut Veronica sewot. "Harusnya kamu itu bikin surat laporan. Nyadar nggak, sih?! Kalau hari ini kamu sudah buat dua orang bisa saja mati. Aduhh, Tuhan toloongg. Dosa apa aku pada-Mu sampai kirim menantu bisanya buat sial teruss!" Veronica merutuki diri seolah-olah tengah mendapatkan hukuman dan hanya berakhir pada penyesalan. "Sudahlah, Ma. Kita bicara saja di dalam." Reynald lalu beralih pada Talita. "Kita lanjutkan lagi besok," permintaan dingin Reynald dan di ikuti anggukan patuh istrinya tersebut. Talita berjalan kembali ke kamarnya masih dalam kepala tertunduk, menahan tangis lagi. "Tuhan. Aku tak sanggup lagi," curhatan perih Talita meringkuk dalam dekapan sendiri. "Kalau memang sudah nggak cinta lagi, kenapa kamu masih mau aku jadi istrimu, Rey!" pilunya Talita. Tak terhitung sudah air mata keluar, namun hanya satu kata Reynald yang terus teringat dalam pikirannya. Jawaban penolakannya untuk berpisah, membuat Talita dalam dilema hati. Tangisnya terjeda setelah menyadari ada panggilan dari ponselnya. "Iya, Van?" sahutan Talita ketika nomor sahabatnyalah jadi pengisi layar ponselnya. "Gue sudah di depan rumah lo. Cepet turun. Lo harus ikut gue. Ini penting!" "Penting apa maksud lo?" "Gue sudah baca semua chat curhatan lo, dan gue nggak mau kamu sedih terus. Ini ada acara penting buat lo." "Apa itu, Van?" "Ada hubungannya sama pernikahan lo, Ta." "Apa maksudmu?" "Sudah deh. Cepet dandan dan turun. Gue bisa jamuran nih nungguin lo disini!" Amarah Vani akhirnya luluhkan Talita. "Iya iya. Gue turun, tapi harus ijin Rey dulu ya." "Nggak usah ijin segala. Percaya deh. Sudah lebih dari 6 bulanan ini lo tersakiti terus, jadi lo berhak lakukan sedikit pemberontakan. Persetan label istri solehah. Lo juga perlu bahagia, girl!" Seperti biasa, Vani selalu berhasil meyakinkan Talita. Dalam hitungan tak sampai 5 menit, ia sudah berada di depan mobil pacar Vani bernama Dedi dan langsung masuk ke dalam dengan tergesa. "Emang lo mau ajak gue kemana?" tanya Talita seketika setelah menutup pintu mobil. "Ada orang yang pengen Dedi kenalin ke lo," jawab Vani setelah miringkan posisi duduknya menghadap ke belakang. "Siapa?" "Nanti juga tahu. Ini acara undangan dari teman Dedi satu gym, terus nggak sengaja kenal sama tuh orang." "Terus apa hubungannya sama masalah pernikahan gue?" Vani dan Dedi hanya saling bertatapan bersambut senyuman. Memberi jawaban mengambang sampai mereka tiba di sebuah club malam yang sudah di isi Clubbers beserta hiruk-pikuknya. "Asal kamu tahu, Ta. Dedi pernah lihat suami lo sama dedemit sok cantik itu di sini berduaan sampai malam. Waktu lo cerita Reynald lagi ke luar kota itu." Vani mengawali penjelasan seraya menggandeng erat lengan Talita. "Apa mereka lanjut menginap di hotel atau semacamnya, gitu?" Wajah Talita mulai pucat pasi dengan dugaan terburuknya ini. "Kalau itu biar Dedi yang cerita. Dia sampe bela-belain buntutin. Kamu memang benar. Selama ini sepertinya Reynald bohong kalau selama dia tidak menyentuhmu itu sebenarnya sudah tidur sama Celine, mantan laknatnya itu." Talita secara tak sadar menerima begitu saja tiap gelas berisi minuman yang sebenarnya berasa tak familiar di lidahnya, tapi entah kenapa sedikit membuatnya lebih baik ketika badannya terasa lebih ringan, pikirannya melayang tanpa beban, hingga akhirnya perlahan-lahan kedua matanya terpejam seiring hilangnya segala pembuat berat kesadaran otaknya ini. *** Setelah beberapa saat. "Talita Aryadna Dharmawan!" Panggilan menghentak ini sontak membuat Talita memaksakan diri membuka kedua matanya. Bukan hanya kini kepalanya terasa sangat berat, tapi suara yang memanggilnya itu sangatlah dia kenal. "Lihatlah dirimu. Semurah inikah dirimu sebenarnya?" Bukan suatu pertanyaan tapi lebih pada hinaan dari seorang Reynald. Talita terbelalak kaget sekaligus bingung ketika baru menyadari tatapan jijik Reynald padanya itu karena tubuhnya tengah polos dan hanya terbungkus selimut putih dari kasur dalam sebuah ruangan tidur hotel. "Aku tunggu di rumah dan kita bicara soal kesepakatan itu. Aku kira sudah yakin dengan keputusanku!" "Rey, tunggu!" hibah Talita sembari berusaha memakai pakaiannya dengan cepat. "Kamu nggak bisa ambil keputusan sepihak. Aku juga punyak hak atas kesepakatan itu dan kita bisa segera bercerai!" Baru saja akan meraih bagian celana panjangnya, ujung sepatu jadi penahan sehingga Talita terpaksa mendongak. "Jangan temui kakakku lagi!" ucap Vanessa lebih pada sebuah ancaman. "Kalau kamu masih keras kepala kembali ke rumah, akan aku sebar fotomu ini ke semua medsosku biar kamu malu!" Vanessa menunjukkan layar ponselnya yang berisi deretan foto Talita bersama seorang pria. "Aku nggak kenal cowok itu dan nggak lakuin semua itu. Aku berani bersumpah!" "Dasar nggak tahu malu. Sudah jelas-jelas begini masih berani bersumpah. Untung saja Kak Rey sama Kak Celine nggak sama orang-orang kayak kalian berdua. Cih, jijik bener aku lihatnya!" Vanessa menarik kakinya dari atas celana Talita lalu beranjak pergi. Baru setelah pintu tertutup itulah, seorang pria yang sama dengan foto dalam ponsel Vanessa tengah berdiri dengan raut serius menyapa. "Hai, Talita." "Siapa kamu?! Kenapa kamu bisa kesini? Dan kita ... Apa kita berdua ... Semalam apa kita berdua ..." Talita sampai tak sanggup teruskan ucapannya. "Tenang ... Take it easy, girl. Ini." Pria muda nan tampan itu kemudian mengambil sisa pakaian Talita, lalu memberikannya. "Namaku Mario. Ceritanya panjang, tapi untuk sementara aku akan keluar sampai kamu selesai berpakaian. Oke." Setelah berpakaian lengkap, Talita segera membuka pintu untuk memberi ruang bagi Mario masuk ke dalam. "Cepat jelaskan padaku ada apa sebenarnya? Karena aku harus temui suamiku. Siapa sebenarnya kamu? Apa yang sudah kita lakukan semalam? Bagaimana dengan Vani, temanku? Apa dia juga ada di balik semua kejadian ini? Cepat katakan!" Emosi Talita memuncak, ketika pikirannya ini sudah kacau-balau tak bisa berpikir jernih lagi. "Sebelumnya maafkan aku. Keberadaanku di sini adalah skenario untuk membantumu, sekaligus menjadikan kita berdua sebagai partner." "Apa maksudmu? Aku nggak ngerti. Mending sekarang aku pulang dan bicara dengan suamiku, karena aku cuma percaya sama dia!" "Talita!" Mario meraih tangan Talita, lalu memegang kedua lengannya dengan kuat. "Lepasin! Aku sudah bilang nggak akan mau percaya sama kamu. Aku akan laporkan kalau kamu jahat, karena aku benar-benar nggak merasa semalam bercinta sama kamu atau siapapun. Ingat ya. Aku punya suami, jadi aku tahu bedanya. Ini cuma jebakan jadul. Bikin muak!" "Bukan aku yang jahat, tapi suamimulah yang kejam. Suamimu jugalah orang di belakang semua ini!" "Apa?!!"Selama di perjalanan, Talita memilih menghibur diri dengan melihat lalu-lalang kendaraan dari kaca jendela mobil. Sebisa mungkin menghindari berinteraksi dengan Reynald. "Bagaimana hubunganmu dengan Mario?" Bersamaan dengan pertanyaan Reynald ini, Talita mendapati keluarga kecil mengendarai motor dan terlihat harmonis. Meskipun sudah terbilang lewat dari sore hari, tapi pemandangan sang anak sedang memakan jajanan dari balik kantong palstik putih, sontak membuat Talita tersentuh. Bukan hal muluk-muluk, tapi itu dulu salah satu impian Talita ketika akan di nikahi Reynald. Sejak rasa sakit kekecewaan itu nyata ada, seolah hanya label pesimis tanamkan kini. "Oh, apa? Mario?" Talita memang sempat tak terlalu fokus. Tanpa dia sadari, Reynald sempat memperhatikan dan sempatkan mengikuti keluarga kecil itu berlalu. "Iya. Apa kamu serius sama dia? Mencintai dia?" Talita menggigit bibir bawahnya. Usia belum mencapai 25 tahun, tapi sudah di hadapkan keadaan dan keputusan berat, ten
"Reynald. Apa kamu sudah tahu?" Talita membalas dengan pertanyaan. Tubuhnya sendiri tak bereaksi, hanya berdiri diam membeku. Setelah Reynald menjauh, Talita mendongak dengan gerak mata ke kanan kiri berusaha membaca ekspresi Reynald. "Tahu apa? Banyak hal terjadi, dan jangan menuntutku seperti tahu segalanya," protes Reynald. "Soal aku." "Kamu? Apamu?" Reynald tersenyum. "Aku tidak bodoh, Talita. Walaupun banyak serangan ke kamu, tapi aku nggak sepenuhnya percaya. Dan kamu juga ... Kamu jangan coba-coba membuat drama seolah-olah kamu benar-benar melakukannya. Aku lebih mengenalmu daripada orang lain." "A aku ... Maksudku aku dan keluargaku?" "Keluargamu? Ada apa dengan keluargamu? Kalau ini aku tidak tahu. Ku kirain soal masalah kita." "Oh, begitu." Talita mundur lebih jauh ke belakang. Mendadak jadi tak ingin meneruskan. Lebih memilih menilai kejujuran Reynald tanpa harus lakukan kontak fisik dengannya. "Ya sudah lha. Lupakan saja," ucapnya kemudian, berharap memang du
Ruangan dalam kantor milik Ruhut itu kembali hening. Jawaban tak di sangka-sangka keluar dari bibir Reynald. Ekspresi balasan berbeda-beda terjadi kemudian. Talita turunkan pandangan, menelaah semua. Rangkaian kejadian beberapa hari di New York waktu itu jadi isi pikirannya, sedangkan Celine dan Ruhut sontak ternganga tak percaya. Suara detik jam untuk beberapa lamanya sirna oleh pekikan Celine. Sikap percaya dirinya berangsur pudar tertutupi tatapan sayu berisi cairan bening itu tertuju pada Reynald. "Sayang. Kamu ngomonga apa?!" Celine ungkapkan protes. "Wanita ini nggak buat kamu ngerubah pikiran, kan? Bukan karena soal saham perusahaan, kan? Percayalah, Sayang ... Aku bisa beli semua milik dia yang prosentasenya cuma kecil itu!" ucapnya berlanjut sambil menunjuk-nunjuk sinis pada Talita. "Bukan soal itu, Celine. Ada alasan yang nggak bisa aku ungkapkan semua. Aku mohon jangan paksa aku cerita detailnya, tapi pada intinya ini menyangkut konsistensi pemikiranku. Maaf." "Apa
"Reynald!" "Kamu sudah mengenalku, Talita. Sekali aku memutuskan sesuatu, berarti itu akan konsisten sampai kapanpu!" Reynald tidak kalah kerasnya. Pintu ruangan di ketuk, bahkan sebelum Talita ataupun Ruhut baru saja akan memberikan tanggapan. Nama Ruhut di sebut oleh seorang wanita dari balik pintu. "Masuk," ucap Ruhut lantang. Ada kesal ketika sudah terlibat lebih dalam di sebuah percakapan penting, tapi kemudian terganggu oleh panggilan. Pintu terbuka, dan salah seorang asisten pribadi Ruhut menjulurkan kepala. "Maaf, Pak. Ada tamu," ujarnya. "Akukan sudah bilang nggak mau di ganggu!" tandas Ruhut tegas. Watak aslinya memanglah keras, tapi dalam segi keprofesionalitasan, dia adalah seorang pengacara yang dapat di andalkan. "Maaf, Pak. Tamunya maksa. Bilangnya istri Pak Reynald." Ruhut sontak beralih pada Reynald. Kebingungan baru untuknya. "Istri Pak Reynald?" pertanyaan lebih tertuju pada Reynald. "Dia ... Tidak ada hubungannya dengan pertemuan ini, jadi ..." "
"Ehem ..." Reynald berdehem, menandai keberadaannya. Talita menoleh, sedikit terkejut. Reynald berpenampilam berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu. Potongan rambut baru dan sengaja di beri pomade, sehingga terlihat klimis. "Selamat sore," sapa Reynald. Tarikan bibir tipis searah dengan tatapan tertuju lurus pada Talita. "So sore," balas Talita gugup. Tatapan sendu Reynald sangat berbeda dengan dulu saat mereka masih bersama. Semakin gugup saat Reynald berikan tangan untuk awali jalinan berkabar. "Bagaimana kabarmu?" "Aku baik-ba ..." "Kamu kelihatan pucat?" sela Reynald dalam rangkaian pertanyaan. Tangannya tak juga melepas, seperti sebuah genggaman. "Kamu pasti sakit?" pertanyaan kedua dengan ekspresi murung. "Oh, mungkin karena kecapean saja. Nggak apa-apa, kok." Talita memaksa melepaskan tangan. Walaupun iringan lembut ketika menariknya, tapi jelas tersirat perasaan tak nyaman. "Silahkan duduk. Jujur saja, saya tadi nggak mengenali Nyonya Talita. Sepertinya
"Sayang? Kamu ngagetin aja!" Celine menghambur memeluk Reynald, serasa sempat berpisah dalam waktu lama dan baru bertemu kembali. "Kita pergi dari sini sekarang." Reynald lepaskan ikatan tangan Celine dengan lembut, lalu berbalik sebagai komando untuk segera lakukan apa yang baru di ucapkan. "Tapi, Sayang. Kita sudah sejauh ini. Sekalian saja buat Talita malu. Mama Vero dan Vanessa baru saja chat aku. Mereka sudah lihat video uploadtan di medsosku, dan ..." "Hentikan, Celine. Hapus video-video itu!" perintah Reynald dingin. Langkahnya bahkan lebih cepat, namun juga tidak menggandeng Celine sebagai bantuan bagi wanita hamil seperti biasanya. "Tapi kenapa, Sayang? Talita pantas dapat perlakuan seperti itu, dan kamu berhak mempermalukannya di depan orang banyak, kok." Celine lingkarkan satu tangan pada lengan Reynald dengan manja. Tampak beberapa orang yang lewat sempat memperhatikan Reynald. Mereka memastikan bahwa pria di samping depannya adalah pebisnis muda yang sedang naik d
Di lain tempat. "Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa ya, Van." Ucapan Talita setelah selesai berdandan. Secara singkat, malam itu juga dia persiapkan diri untuk pertemuan dengan Wira. Dress sifon lengan panjang dengan panjang di atas lutut, membuat Talita semakin cantik. Warna pastel mencerminkan pribadi Talita yang kalem dan bersahaja. "Lagian, semua itu belum tentu bener," lanjutnya. "Kalau memang bener gimana?" Vani beringsut lebih mendekati Talita. Kepalanya miring, mencari celah tatapan Talita. "Lu ternyata kaya raya, Ta!" pekik Vani histeris sendiri. "Tapi kenapa selama ini mama gue nggak cerita?" Keraguan yang selalu jadi pengusik pikiran Talita untuk percaya pada Wira. "Nah itu dia. Gue juga kepikiran sampe situ." Vani terus mengikuti Talita yang sedang lakukan persiapan akhir. Sepatu sandal bertali warna nude jadi pilihan Talita kali ini. "Pokoknya lu harus tanyain semua ke Pak Wira soal asal-usul masa lalu dan keluarga ibu lu. Menurut gue juga patut di curigai. Sela
Di tempat lain, Reynald berdiri di balik kursi kerja melihat ke arah luar. Pikirannya sedang berkutat pada obrolannya dengan Celine yang tak lama berselang. "Aku yakin, Talita dan Mario sedang siapin rencana jahat sama kamu, Sayang," ucap Celine, tak lama setelah masuk ke ruangan kerja Reynald. Dress floral hitam putih yang di kenakan masih belum sepenuhnya mampu menutupi perutnya yang terlihat membuncit. "Tuduhan sama dari dulu." Celine cemberut. Jawaban santai Reynald tak sesuai harapannya. "Kan emang kenyataannya begitu!" Celine mulai meradang. Beberapa hari, di rasanya sikap Reynald berubah. "Sayang. Aku dengar desas-desus. Boleh aku tanya ke kamunya langsung?" "Desas-desus darimana?" Reynald merasa perlu mempertanyakan tentang seberapa valid Celine mendapatkan informasi. "Ada deh, itu pastinya sumber terpercaya." "Tapi aku meragukannya." Celine lebih mendekati Reynald. Perubahan Reynald yang semula hanya dugaan, namun sekarang telah jadi nyata. "Berarti kamu meragu
"Masa, sih?!" Vani tak setuju. "Kayaknya adem ayem aja." Vani berdiri, lantas menarik pegangan koper Talita. "Sudah yuk. Kita pulang," ajaknya. Rasa enggan itu tidak lagi jadi bias, sebab Vani menunjukkannya dengan jelas. Apapun pembahasan soal Reynald, Vani akan berubah murung. Talitapun akhirnya memutuskan untuk tak membahasnya. Sejak perlakuan menyakitkan Reynald padanya, sahabatnya ini seolah membuat suaminya itu sebagai antagonis pada setiap topik pembicaraan. "Iya iya. Antar aku pulang." Talita memutuskan menurut. Tekukan wajah Vani, berasa tak enak di lihat juga. Saat beberapa langkah keluar dari pintu lobby bandara, keduanya di kejutkan dengan kedatangan seorang pria berpakaian setelan safari mendekat. "Nyonya Talita. Mobil jemputan anda di sini." Pria itu memberi anggukan hormat, lalu menunjuk pada mobil tipe sedan mewah warna hitam di parkiran khusus. Talita dan Vani saling bertatapan. Raut kebingungan memunculkan pertanyaan baru dari Vani. "Maaf, bapak siapa ya?