Setelah beberapa hari Talita memutuskan untuk menyendiri. Tinggal bersama Vani adalah pilihan satu-satunya saat ini.
"Gue jalan kerja dulu ya, Ta. Lo sudah nggak sedih lagi, kan?" tanya Vani serata menatap sahabat ini menutup bungkus nasi uduknya dengan wajah sendu. "Entahlah." "Sekarang lo tahu kalau Reynald yang membuat rencana jahat ini. Apalagi tujuannya selain agar secara perlahan bagian saham dan andil emosional Ayahmu di perusahaan itu berangsur hilang. Lo kan cuma minta cerai, tapi masih nggak mau lepasin prosentase saham itu. Iya, kan?" Vani menggiring Talita untuk menyetujui opininya. "Jadi dengan maksud rasa malu itu, lo akan dengan sukarela melepaskan." "Bagaimana lo punya pikiran seperti itu?" "Aduh, Ta. Kadar iblis di jiwa lo cuma berapa persen, sih? Heran gue. Habis baik banget. Kan ternyata benar kalau selama setahunan ini, perusahaan itu labanya sedang naik, dan otomatis kepemilikanmu juga." "Jadi menurutmu gue harus pastikan keputusan itu?" "Yups. Exactly. No debat." Talita gamang. Ada suatu hal yang dia simpan rapat sampai saat ini, bahkan Vani tidak tahu. Hanya dirinya dan Reynald yang tahu. Panggilan kemudian masuk dari ponsel Talita, baru kemudian dia ikut bersiap untuk melakukan pertemuan dengan Reynald bersama di dampingi oleh Mario. *** "Senang sekali bekerjasama denganmu. Aku pastikan suamimu dan juga Celine tidak memandang kita berdua sebagai orang-orang lemah dan terlalu bergantung pada cinta mereka." Mario mengawali obrolan dalam mobil dengan tatapan memicing. Mario adalah mantan kekasih Celine sebelum kembali pada Reynald. Disaat keluarga Reynald alami masalah dalam perjalanan bisnisnya, Celine secara tiba-tiba memutus hubungan. Tak berselang lama kemudian menerima pernyataan cinta Mario, sehingga menjadi salah satu alasan Reynald akhirnya bersedia menerima perjodohan antar Ayah dengan Talita. "Ingat apa yang sudah kita bicarakan kemarin. Kamu harus jalankan skenario dengan baik. Teruslah bersikap dingin, agar Reynald tidak bisa mendiktemu lagi. Waktumu hanya 10 menit, lalu aku akan mengajakmu keluar dari sini. Oke." Talita mengangguk setuju. Selama perjalanan hanya bersikap diam. Semua ini di luar dugaannya, terutama harus hadapi kenyataan kalau Reynald bukanlah suami baik seperti harapannya. Kedua telapak tangan Talita serasa dingin seperti suasana aura cafe milik Mario ini. Memang belum waktunya buka, namun secara khusus tersedia satu meja dengan dua kursi yang sengaja disiapkan untuk keduanya. "Hai," sapa Talita kaku tanpa sedikitpun berani menatap Reynald meski bukan sepenuhnya menunduk. "Langsung saja pada pokoknya." Reynald merespon lebih dingin. Walaupun dia juga membawa serta Celine, tapi tatapannya menunjukkan rasa tak suka dengan keberadaan Mario. "Ini surat permintaanku bercerai. Lalu soal ... itu ... Biarkan aku pada keputusan awalku. Aku akan tetap ada di perusahaan walaupun hanya sebagai minoritas." "Bukan itu yang kuharapkan dari pertemuan ini!" Reynald utarakan dengan geregetan dan kedua tangan terkepal di atas meja. "Kamu tahu itu, kan?!" Talita semakin tertunduk dalam. Bagaimanapun juga Reynald adalah cinta tulusnya. Begitu sulit perlihatkan kebencian, meskipun pria di hadapannya ini sudah tancapkan rasa sakit hati dan kekecewaan di hatinya. "Lupakan soal rencana pembicaraan kita yang nggak pernah akan bisa terwujud. Aku tetap pada pendirianku. Kita tetap bercerai, dan biarkan namaku tetap di perusahaan itu, walaupun itu cuma penghias semata." "Kamu itu sudah ... " Reynald melirik pada Mario dengan memicing, sekaligus tak berniat melanjutkan ucapannya. "Arrggh. Sudahlah. Terserah!" Reynald berdiri, lalu berbalik dan beralih pada Celine. "Kita pergi," pintanya dengan raut dingin dan kedua tangan di masukkan dalam kantong celana bahannya. "Reynald Christopher. Kamu nggak bawa dokumenku," harap Talita menatap bingung antara tumpukan kertas di atas meja dan Reynald yang sudah berjalan mendekat ke arah pintu keluar. "Persetan!" Talita sontak memegang dadanya dengan bibir ternganga. Sejahat-jahatnya seorang Reynald, baru kali ini kata seperti itu meluncur untuknya. Mario segera mengambil langkah cepat mendekati Talita. Memegang kedua pundaknya sambil menenangkan. "Sudahlah Talita. Jangan menangis. Justru saat ini kamu harus bersyukur. Kamu semakin dibukakan mata kalau pria itu memang berengsek." Tapi sulit bagi Talita untuk tegar. Perilaku dan ucapan Reynald barusan sudah terlanjur menyakitinya. "Ayo aku antar ke rumah lama orang tuamu. Masalah perceraianmu biar pengacaraku yang urus. Kami sudah beri waktu maksimal 3 bulan untuk Reynald berikan balasan. Secara hukum beracara itu sudah lama." Talita setengah mendengarkan. Pandangannya sulit lepas dari pasangan sedang berjalan mesra menuju mobil yang dulunya adalah bagian dari kisah pernikahannya dengan Reynald. "Kenapa, Rey? Harusnya nggak berakhir seperti ini." Gumaman Talita ini di dengar Mario. "Tanamkan dalam pikiranmu terus Talita. Reynald pengen kamu serahkan semua hakmu itu baru dia akan melepaskanmu. Otaknya sudah jahat, jadi nggak akan mau kasih kamu sisa sepeserpun." "Dan kau." Talita mendongak ke arah pria tampan bertubuh tinggi atletis disampingnya. "Apa kamu puas sudah menunjukkan secara terang-terangan pada Celine?" "Belum sepenuhnya, sih. Jujur saja, Celine sering chat aku isinya merendahkan kita berdua seperti orang-orang terbuang dan rendah, karena Reynald lebih sukses sekarang. Dan kamu tahu, aku sungguh menikmati itu. " "Apa maksudmu?" tak habis pikirnya Talita dengan kerutan di dahinya. Mario bukannya menjawab, tapi tersenyum. "Banyak rencana di otakku ini Talita, dan kamulah bagian terbesar di dalamnya. Oh ya, aku mau ke belakang lihat stok barang. Kamu tunggu disini dulu ya." Talita mengangguk. Memutuskan duduk di kursinya tadi. Berandai waktu kembali pada 10 menit yang lalu. Talita berharap bisa mengobrol lebih lama dengan Reynald, sekaligus memberanikan diri menatap wajah suaminya itu yang mungkin saja jadi terakhir kalinya. Sedangkan di ruang lain, Mario ternyata berbicara dengan Vani melalui telepon. "Semua berjalan sesuai rencana, Van. Mereka berdua sudah seperti seharusnya." ** Setelah mobil Mario tak tampak lagi di depan gerbang rumah yang sudah lama tidak dia datangi, Talita masuk setelah seorang penjaga kepercayaannya membukakan gerbang. "Non. Orang itu datang lagi." Talita terkejut bersamaan mengikuti arah tatapan Ana. "Siapa, Mbak?" tanyanya kemudian, ikut menatap lekat pada pria setengah baya yang sudah beberapa langkah tak jauh darinya. "Talita Aryadna Dharmawan?" sapanya bersamaan uluran tangan perkenalan. "I i iya. Siapa ya?" balas Talita kikuk. "Saya Wira." Pria berpostur tinggi dan bermata eksotik itu memberikan sebuah kartu nama pada Talita. "Saya adalah Vice President Tanjung corp." "Apa keperluan Anda datang kemari, Pak?" Talita bergetar. Siapa yang tak mengetahui nama kerajaan bisnis keluarga Tanjung yang merupakan salah satu orang terkaya ini. "Pasti anda tahu di pemberitaan kalau Pak Arsyad Tanjung telah meninggal dunia. Saya datang ke sini untuk mengajak Anda mengikuti pertemuan keluarga guna pembacaan surat wasiat beliau. Anda adalah cucu dari putri bungsu bernama Talina Tanjung yang sudah lama tidak saling bertemu. Dan itu nama mendiang ibu kandung Anda, bukan?"Setelah beberapa jam. "Aku senang kamu jadi tegas seperti ini." Mario melingkarkan kedua tangannya pada pinggul ramping Talita dari arah belakangnya. "Kamu jadi ke rumah sakit?" pertanyaan ini bersamaan dengan tarikan untuk memutar tubuh Talita agar menghadap padanya. Mario sangat tak menyukai bila melihat Talita melamun seperti tal menyadari akan keberadaannya. "Iya. Sudah di buatkan janji sama sekretarisnya Pak Wira. Bagaimana denganmu? Apa kamu jadi ke tempat temenmu?" Talita teringat pembicaraan mereka berdua selama perjalanan menuju kantor Tanjunh, corp tadi. "Iya jadi." Mario berganti duduk di tempat presdir utama yang baru saja di siapkan untuk Talita. "Cuma obrolan temu kangen aja. Setelah aku antar kamu ke rumah sakit, aku tinggal sebentar ya. Nanti kalau kamu selesai ketemu dokter, baru jemput kamu. Kita harus segera balik ke New York, selesaikan ujian musim panas kita lalu balik ke sini. Tidak baik terlalu andalkan Pak Wira. Kamu dan aku sekarang punya tanggung jawab
"Celine cerita kalau dia itu cowok mokondo. Sukanya numpang sama cewek-cewek yang dia dekati, tapi tujuannya buat naikin pasaran dia. Orang kayak begini kok dipercaya jalanin proyek besar. Pasti merugikan!" Pernyataan pedas Veronica ini langsung mendapatkan pertentangan Mario. "Terus bagaimana dengan anak anda?" tatapan sinisnya tertuju pada Reynald. "Seenaknya mencampakkan istrinya, tapi setelah tahu siapa dan latar belakang keluarga Talita, sekarang dia mau deketin Talita lagi. Anda nggak tahu gimana kelakuan anak anda tiap kali ke Amerika. Dia seperti penguntit amatiran buat cari perhatian Talita. Tanya sendiri saja sama dia!" tuduhan Mario tidak kalah keras. "Hentikan! Tolong jangan kekanakan!" dengan keberanian demi suasana kondusif, Talita menengahi. "Tolong segera tanda tangani. Kamu nggak mau situasi ini jadi semakin nggak terkendali, kan?" kali ini Talita tertuju pada Reynald. Permintaan sekaligus harapan suaminya itu akan berpikiran sama dengannya. "Baiklah. Akan aku
Beberapa hari telah berlalu, Talita berusaha menutup segala kemungkinan adanya komunikasi dengan Reynald. Menata lagi rencana yang sudah di pikirkan jauh-jauh hari, sampai berganti minggu kemudian baru di realisasikan. "Kamu sudah siap?'" tanya Mario. Ada rasa penasaran setelah memperhatikan Talita lebih cepat dari biasanya. "Kamu bawa kopernya satu doang?" Agak terheran ketika tempat pakaian dan keperluan pribadi yang di bawa Talita itu justru terpilih berukuran kecil, sedangkan rencana perjalanan mereka ke Jakarta adalah dua minggu lamanya. "Iya begitulah. Aku punya segalanya sekarang, dan sudah di siapkan Pak Wira di Jakarta." Walaupun mengungkapkan tanpa gerak angkuh, tapi cukup menggambarkan bagaimana Talita tengah menikmati perubahan besar dari hidupnya sekarang. "Oh, begitu." Mario mendekat, lalu menarik pinggang ramping Talita. "Jadi sekarang kamu benar-benar telah berubah jadi wanita miliarder?" kemudian Mario lebih merapatkan pelukannya, sehingga Talita sampai mendonga
"Aku sudah belajar mencintainya, seperti halnya kamu mulai buka hati lagi untuk Celine." Reynald angguk-anggukkan kepala. "Lalu bagaimana dengan kesehatanmu sendiri? Kamu masih rajin kontrol setelah program fisioterapi?" "Aku akan jawab pertanyaanmu itu, tapi berjanjilah dulu kamu bakal menjawab juga. Dokter Willy pengen kamu sendiri yang cerita padaku." Reynald menghela napas panjang, lalu berikan jawaban cepat. "Tapi kamu juga janji mau temani aku ke rumah sakit rekomendasi dokter Willy, kan?" "Emang kamu sakit apa? Serius, kah?" Reynald mengangguk, tanpa berikan kalimat jawaban. Tak pernah di lihat Reynald begitu rapuh seperti ini. "Dimana Celine? Bukannya dia juga butuh kamu disana? Bagaimana dengan anaknya? Perutnya sudah besar, pasti nggak lama lagi melahirkan." Reynald diam tak menjawab, hanya berikan senyuman tipis. "Apa kanker?" tebak Talita tak menyerah, tapi di tanggapi Reynald dengan gelengan. "Jantung?" lanjutnya, tapi juga mendapatkan jawaban berupa tanda
"Dr.Willy?" Talita peras otak untuk mengingat-ingat. Selama ini memang jarang di libatkan dalam segala hal oleh Reynald, Talitapun lebih cenderung memaksa diri untuk jadi introvert. "Iya, Nyonya. Kita orang yang gantikan Profesor Winoto." "Ah iya. Anda yang datang ke rumah sewaktu Reynald sakit malam-malam itu?" "Iya, benar. Tapi waktu itu anda di minta Nyonya Veronica balik ke kamar. Sepertinya anda juga kurang sehat, ya?" "Oh ya, sekarang saya ingat bener. Mungkin karena sekarang anda pake kacamata sama sedikit brewokan, jadi saya baru ngeh." "Iya, tak apa Nyonya. Saya senang anda temani Pak Reynald disini, karena itu yang memang dia butuhkan sekarang." "Sa sa saya menemani Reynald? Maksud anda bagaimana ya, dok?" Talita jelas terlihat bingung, membuat Willy lebih heran lagi. "Anda mau ke apartemen sewaan Pak Reynald di atas, kan? Saya kira nanti suami anda itu bakal segera kasih tahu anda. Saya sendiri nggak bisa lama-lama. Rujukan sudah bisa di lakukan kapanpun dia
Jejak kenangan membaur di pikiran. Tatapan dan senyuman Reynald mendadak menghiasi lensa bening mata Talita. "Merayumu? Itu cuma agar kamu senang atau pembuktian perasaan cinta?" Kepercayaan diri Talita pada kenaikan levelnya. "What?" Mario ungkapkan keheranan. "Tunggu. Apa ini Talita yang aku sudah kenal?" tanyanya. Bukan pada sesungguhnya, tapi kiasan akan sebuah perubahan besar pada Talita. "Maaf. Aku cuma pengen tahu jawabanmu." Mario tarik tangannya dari atas sandaran sofa, lalu menghela napas agar lebih terlihat rileks. "Ck. Sudahi saja. Kesini saja, dan kita bicarakan hal lain saja." Mengalah adalah akhir dari usaha Mario. Talita tersenyum, lalu mendekati sofa. Di raih tangan Mario, untuk di lingkarkan pada pundaknya. Talita beringsut memeluk Mario dengan menyandarkan kepala di dadanya. "Aku selalu pengen lakuin ini. Please, jangan di protes." Dibelai lembut rambut Talita yang sudah berantakan. Tali-tali rambut anak menyembul keluar dari ikatan yang sudah mulai long