Sesampai di lokasi syuting yang tadi ia tinggalkan, seluruh kru sudah bergeser pindah lokasi sejauh dua ratus meter untuk mendapatkan pemandangan yang berbeda dengan adegan sebelumnya.
Adegan kali ini adalah adegan antara Theodore dan Cicilia, sahabat Almira yang dalam film ini dikisahkan tinggal di Paris. Tampaknya adegan itu baru saja usai.
“Kiara, dari mana kamu? Kenapa teleponku nggak kamu angkat?” tanya Livia tanpa basa-basi begitu ia melihat sosok Kiara.
Kiara enggan menjawab, tetapi ia tidak tega jika harus bersikap ketus kepada Livia.
“Kita bicara nanti, aku mau bicara dengan Alaric dulu,” sahut Kiara lalu melanjutkan langkahnya menuju Alaric.
Alaric seolah bisa merasakan kehadiran Kiara kembali. Ia menoleh, lalu sengaja memandangi Kiara dari ujung kepala hingga kaki.
“Kamu terlambat. Syuting hari ini sudah selesai,” ucap Alaric tanpa menunggu Kiara berkata-kata lebih dulu.
“Aku kembali bukan untuk syuting,” sahut Kiara
Selamat baca ya. Terima kasih. Salam, Arumi
“Cowok itu nyebelin banget! Kaku! Sok pintar! Sok tahu! Dan segala sok yang lainnya! Keras kepala! Nggak bisa menerima masukan sedikit pun. Baru sekali menang festival film indie tingkat Eropa saja sombongnya sudah selangit!” gerutu Kiara setelah sampai di kamarnya. Ia melemparkan begitu saja tasnya ke atas meja, lalu mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya agar keras. Baru saja kemarin ia siap menerima kenyataan dia memang salah dan mengakui kebenaran Alaric, tetapi segala rencananya itu buyar. Ia berubah pikiran. Ia tidak sudi meminta maaf pada Alaric. Lelaki itu tidak berubah juga, tetap saja bersikap ketus dan meremehkannya. Padahal kemarin Aalric sempat menunjukkan kepeduliannya pada Kiara. “Jangan-jangan dia punya kepribadian ganda!” Kiara mendengus kesal. Ia merasa dipermainkan Alaric. Lelaki itu terkadang tampak perhatian dan peduli, kemudian dalam waktu singkat berubah menjadi keras dan dingin. Syuting hari ini kembali membuatnya
Ia membalikkan tubuhnya, menghadapi pemuda Monte Carlo yang asyik berbaring sembari berjemur. Kiara baru menyadari, ternyata biaya sewa yacht ini tidak termasuk biaya pelayanan istimewa dari pemilik yacht ini. “Monsieur!” panggilnya dengan suara agak keras. Pemuda itu segera menegakkan tubuhnya. “Yes,Mademoiselle?” “Tolong antarkan saya kembali ke dermaga.” Pemuda Monte Carlo itu menegakkan telinganya, seolah tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan. “Kembali ke dermaga? Tapi kita baru saja sampai di sini,” ucapnya heran. “Ada yang harus kulakukan di darat. Tenang saja, aku tidak akan meminta kembali uang yang sudah kubayarkan.” Pemuda Monte Carlo itu hanya mengangkat bahu. Baginya, selama ia tetap dibayar penuh, tak masalah bila ia diminta membawa kembali gadis ini ke dermaga. Kiara mengembuskan napas lega saat yacht ini berbalik kembali ke dermaga. Lalu mendadak
Kiara kembali ke sini, ke tempat di mana ia pernah ditinggalkan Bertrand. Sebuah kafe yang tidak terlalu besar tapi cukup nyaman. Dinding kafe ini hampir seluruhnya dipenuhi foto orang-orang berbagai rupa, tua-muda, laki-perempuan, yang pernah berkunjung ke kafe ini. Mereka dipotret dalam keadaan alamiah sedang duduk santai di kafe ini menikmati pesanan masing-masing. Kiara ingat, setahun lalu Bertrand mengajaknya memilih tempat di bagian belakang kafe ini yang berupa teras terbuka dengan pemandangan pantai dan laut di bawahnya. Di atas pintu masuk, terpasang sebuah papan bertuliskan ‘The Portrait’, itulah nama kafe ini. Kiara melangkah masuk tanpa ragu, segera saja kenangan masa lalunya bersama Bertrand menyeruak seolah menyambut kehadirannya di kafe ini. "Bonjour, Mademoiselle." Seorang pramusaji kafe yang berdiri di depan pintu menyambutnya ramah disertai senyum, lalu menanyakan Kiara memilih tempat yang mana. Awalnya, Ki
Setelah puas memperhatikan foto-foto lain di dinding kafe, Kiara berjalan perlahan menuju sebuah meja bundar dengan dua kursi tak jauh dari dinding tempat fotonya terpajang. Ia mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi, lalu menghela napas panjang, melihat lagi foto dirinya di dinding kafe itu. Ia tersenyum. Bertrand masih ingat padanya. Pemuda Perancis itu menghibahkan foto Kiara yang dipitretnya setahun lalu tentunya agar Kiara selalu terkenang. Tiap ia berkunjung ke tempat ini, ada Kiara yang tersenyum manis dengan mata berbinar dalam sebingkai foto di salah satu dinding kafe. Tak lama pramusaji yang membantunya bertemu MonsieurPierre Talbout datang membawakan secangkir cappuccino gratis untuk Kiara. Tak mengira, ia masih mendapat tambahan seiris pie caramel untuk menemaninya menikmati cappuccino hangat itu. “Merci, Monsieur,” ucap Kiara seraya tersenyum penuh rasa terima kasih. Pemuda itu balas tersenyum. Tampaknya
Mulanya syuting hari ini berjalan lancar. Ketika kamera merekam adegan Kiara sendiri berjalan, berbincang dengan beberapa orang. Begitu juga saat adegan berikutnya saat Alaric mengarahkan Oliver yang berada di lokasi kedua, beberapa meter dari lokasi sebelumnya. Namun syuting mulai tersendat ketika adegan sudah sampai pada kedua pemeran utama saling bertemu, saling mendekat, saling bersentuhan. Perjanjian yang kemarin diikrarkan Kiara dan Alaric seolah menguap begitu saja. Keduanya tidak menepati janji. Alaric memerintahkan Kiara take ulang berkali-kali, sedangkan Kiara masih keras kepala membantah dengan tegas tiap kali disalahkan Alaric. “Aku salah apa lagi?” tanya Kiara menahan geram setelah dia mengulangi adegannya untuk yang keempat belas kali dan masih saja dianggap salah oleh Alaric. Ini retake adegan di depan Istana Monaco. Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Untunglah Alaric berhasil mengambil adegan saat tokoh utama film ini,
Malamnya, Alaric menemui Erghan, yang menjadi perwakilan dari semua produser yang membiayai pembuatan film “Theodore dan Almira”. Ia dipersilakan masuk ke kamar hotel Erghan. Mereka menngobrol di balkon sambil menikmati pemandangan Monte Carlo di malam hari. "Ada apa, Ric? Katanya syuting hari ini terhambat lagi ya?" sambut Erghan, sambil menuang minuman soda ke gelasnya. Dia duduk di kursi balkon. Meletakkan botol minuman ke meja di ampingnya. Alaric mengedikkan bahu. Dia ikut duduk di kursi di sebelah meja. Ikut menuang minumannya ke gelas. "Kamu pasti sudah tahu siapa yang membuat syuting hari ini nggak berjalan lancar," sahut Alaric. Erghan tersenyum setelah meneguk minumannya. "Ketahuilah. Dia hanya bermasalah denganmu. Aneh sekali. Film sebelumnya dia juga bekerja sama dengan production house tempatku bekerja. Tapi semua berjalan lancar. Syuting selalu mulus. Sikapnya juga baik-baik saja. Aku heran, kenapa ketika kamu yang mengar
Alaric ingat dengan tepat, kapan ia pertama kali menyukai Kiara. Gadis itu memang cantik, ia akui. Tapi bukan karena itu ia menyukai Kiara. Ia sudah sering melihat gadis cantik. Jurusan kuliah yang ia ambil dan pekerjaannya sekarang ini telah mempertemukannya dengan banyak gadis cantik dari beragam etnik dan beragam kebangsaan. Tetapi Kiara telah menyita seluruh rasa dan perhatiannya. Rasa sukanya pada Kiara ini bukan rasa suka yang muncul pada pandangan pertama. Terlalu sering melihat wajah cantik, membuatnya kesulitan merasakan keistimewaan seorang gadis cantik pada pertemuan pertama. Ia ingat Kiara, walau pertemuan pertama mereka terjadi setahun lalu. Cara gadis itu tersenyum menjadi pengingatnya. Beda dengan senyum yang biasa ia lihat. Mungkin bagi sebagian orang ini terdengar berlebihan, tapi kenyataannya memang begitu. Suatu senyum khas seseorang, bagai sidik jari yang berbeda di setiap orang. Sudah banyak senyum yang ia lihat, tetapi ia masih ingat dengan cara
Baru dua hari syuting tanpa arahan Alaric, Kiara menyadari, Alaric memang lebih ahli dalam mengarahkan dan sudah sangat paham sudut-sudut pengambilan gambar terbaik di Kota Monte Carlo ini. “Cut!” Teriakan keras itu mengejutkan Respati yang masih asyik mengamati adegan syuting yang sedang ia arahkan di tiga monitor sekaligus. Harga dirinya seolah bagai dihempaskan sekeras-kerasnya. Hari ini ia bertugas menggantikan Alaric sebagai sutradara. Teriakan itu adalah kata kekuasaannya. Hanya dia yang boleh meneriakkan kata itu. Tetapi ini kedua kalinya ia mendengar kata itu diteriakkan dengan sangat keras oleh artis yang seharusnya menuruti arahannya. “Ada apalagi, Kiara? Pleasedong, kamu nggak berhak teriak ‘cut!’. Itu kan wewenangku,” cetus Respati menahan kesal. Gadis semampai itu memandangi Respati tanpa ragu, bibirnya yang terlihat lembut dan berkilau, kali ini mengerucut tanpa ia sadari. “Aku nggak puas sama ade