Share

Bab 2

Penulis: pachirawidi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-06 10:24:17

Keesokan harinya, setelah selesai menata barang-barangku di kamar, aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Perasaanku masih sedikit kacau, namun aku tahu aku harus menghadapi apa yang ada di depan. Dengan langkah lambat, aku keluar menuju ruang keluarga. Begitu memasuki ruangan, suasana pagi itu terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menggantung di udara—sebuah ketidakpastian yang semakin memberatkan langkahku.

Ayah duduk di ujung meja makan, tampak lebih diam dari biasanya, menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan gelisah, mungkin, atau entah apa. Paman Dante dan Paman Nicholas duduk di sisi lainnya, pandangan mereka terarah padaku, seakan sedang menimbang sesuatu yang penting. Di ujung meja, Mira, Laeticia, dan Aurora juga memperhatikanku, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang ingin mereka lontarkan, namun semuanya terdiam.

"Baiklah, ayo kita mulai makan," ujar Paman Dante, suaranya tenang namun terdengar seperti upaya untuk meredakan ketegangan yang ada di ruang itu.

Namun, sebelum siapa pun sempat mengangkat sendok atau garpu, Paman Nicholas memotong dengan nada yang serius. "Tidak. Kita akan membahas masalah keluarga kita dulu. Itu tujuan kita berkumpul pagi ini."

Aku menatap mereka datar, berusaha menahan diri agar tidak melontarkan komentar sinis. Diskusi keluarga semacam ini sudah terlalu sering aku hadapipenuh pembicaraan yang berputar-putar tanpa ujung dan jarang memberi manfaat bagi diriku. Sejak kecil, aku sudah terbiasa menjadi korban dari pertemuan-pertemuan seperti ini, merasa terpinggirkan dalam keputusan-keputusan yang tidak pernah aku mengerti. Tapi kali ini... entah kenapa aku merasa ada yang berbeda. Mungkin masalah kali ini lebih besar? Atau justru mereka punya sesuatu yang disembunyikan dariku?

Ayah akhirnya membuka suara setelah beberapa detik hening yang terasa begitu lama. "Keluarga kita, keluarga Kesuma, sedang berada di ambang kebangkrutan."

Ruang makan mendadak sunyi, dan detik jarum jam seolah terdengar lebih keras. Wajah mereka semua menatap serius, dan aku bisa merasakan ketegangan yang semakin mengental di udara.

"Penggelapan dana yang dilakukan Arthur, ditambah kegagalan beberapa proyek besar akibat salah perhitungan biaya dan keterlambatan penyelesaian, terus menggerus keuangan perusahaan. Banyak klien yang kehilangan kepercayaan, sementara denda akibat keterlambatan membengkak di luar kendali. Kita hampir pailit," ujar Ayah dengan suara tenang, namun tatapannya yang tajam memberi kesan betapa seriusnya masalah ini.

Aku tidak terkejut mendengarnya. Setelah kepergian Kakek, arah perusahaan memang sudah seperti kapal tanpa nahkoda. Para putranya lebih sibuk dengan ambisi dan ego masing-masing, tanpa ada yang benar-benar tahu bagaimana cara mengelola warisan besar yang telah ditinggalkan.

Namun, ada satu hal yang membuatku merasa aneh. Kenapa mereka menatapku seperti itu? Seolah aku punya solusi atau jawaban untuk semua masalah ini. Apa yang sebenarnya mereka rencanakan? Apakah aku harus ikut terlibat dalam kekacauan ini, atau ada hal lain yang lebih besar yang sedang mereka sembunyikan?

Aku duduk diam, mencoba mencerna semua yang baru saja disampaikan, sementara pikiranku mulai berputar, mencoba menebak apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku. Kepala terasa sedikit pusing akibat jet lag, namun ketegangan di meja makan pagi ini sedikit mengurangi rasa sakit itu.

"Itu urusan pribadi para pemimpin keluarga kita, sebaiknya tidak perlu dibahas di meja makan," kataku dengan nada dingin dan datar, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku juga setuju, apalagi Kak Savannah baru saja pulang, Ayah," Laeticia, adik tiriku, ikut bersuara. Aku meliriknya, agak terkejut. Tumben sekali dia sependapat denganku. Apa yang membuatnya tiba-tiba berpihak pada hal ini?

Aku hanya bisa menatapnya sejenak, merasa semakin curiga dengan apa yang sedang terjadi di balik semua pertemuan ini. Mungkin ada lebih dari yang terlihat.

"Bukan seperti itu," ujar Ayah, suaranya terdengar lelah, namun ada keteguhan di baliknya. "Kali ini, aku dan Paman Dante serta Paman Nicholas sudah berusaha keras. Kami mencari pinjaman dari donatur, klien, bahkan kerabat kita. Tapi, tidak ada yang mau membantu lagi. Semua menjauh."

Aku hanya mengamati mereka semua, merasa sedikit jengah dengan pembicaraan yang berputar-putar ini. Ayah terlihat tersenyum getir, senyum yang jauh dari kebahagiaan. Sementara Laeticia, Mira, dan Aurora terlihat semakin pucat, seolah benar-benar terpukul dengan berita itu. Mereka jelas lebih terlibat dalam situasi ini daripada aku. Aku hanya diam, menahan diri untuk tidak melontarkan komentar pedas. Aku tahu, hidupku mungkin tidak akan mudah, tapi aku bisa mencari jalan keluar dengan keterampilan yang aku punya. Mungkin perjuangan lebih berat, tapi setidaknya aku tak tergantung pada sesuatu yang tak bisa aku ubah.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Paman Dante, nada suaranya penuh keraguan. "Apakah ada jalan keluar?"

Ayah menatap kami semua, seolah mencoba mencari kekuatan di tengah keputusasaan. "Kalian juga tahu, perusahaan warisan Kakek adalah satu-satunya yang menjadi tombak ekonomi keluarga kita. Tanpanya, kita tidak akan bisa hidup seperti ini. Inilah alasan mengapa kalian semua bisa hidup enak dan bersenang-senang selama ini," kata Ayah, suara lebih keras dan penuh penekanan.

Aku mulai memainkan kuku jari tangan, malas dengan pembicaraan yang terasa berulang-ulang. Aku tidak butuh penjelasan lebih lanjut. Semua orang di sini tampaknya terlalu sibuk meratapi keadaan, sementara aku sudah berpikir untuk mencari cara lain.

"Ayah, tidak ada yang bisa kita lakukan lagi, kan?" kataku, suara datar, sedikit kecewa. "Jika itu yang kalian maksud, mengapa kita masih membahas ini di meja makan?"

Ayah diam sejenak, seolah mencerna kata-kataku. Lalu, matanya yang tajam menatapku, seperti ingin mengatakan sesuatu yang berat.

"Tidak sepenuhnya seperti itu. Ada satu cara," Ayah menelan ludah menatapku lalu mulai berbicara lagi, kali ini suaranya terdengar lebih hati-hati. "Ada satu orang yang bersedia membantu kita. Tapi..." Ayah berhenti, menarik napas panjang, "Ada syarat yang harus kita penuhi." Sepertinya orang itu mengajukan syarat yang sangat serius, karena kalau tidak. Ayah tidak akan berbelit-belit sejak tadi.

Aku langsung menatapnya, dengan tatapan aneh. "Syarat apa, Ayah?" tanyaku, sedikit curiga. Anggota keluarga yang lain juga sontak melirik pada ayah.

Ayah mengalihkan pandangannya ke meja, tampak ragu sejenak. "Syaratnya adalah..." Ia menatapku, dan untuk pertama kalinya, tatapannya terasa begitu berat, "Pernikahan." Ayah bersuara pelan.

Semua mata langsung tertuju padaku. Laeticia, Mira, dan Aurora terlihat kebingungan, sementara Paman Dante dan Paman Nicholas terdiam, seolah tidak tahu bagaimana harus merespon. Aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruang makan ini.

"Pernikahan?" suaraku hampir tercekat, tidak percaya dengan apa yang baru saja Ayah katakan. "Pernikahan siapa?"

Ayah menatapku dengan tatapan yang penuh makna. "Pernikahanmu, Savannah." Aku terkejut, tentu saja. Bagaimana bisa ada syarat yang seperti itu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 58

    Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 57

    Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 56

    Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 55

    Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status