Share

Bab 3

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2024-12-06 10:24:34

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Semuanya terasa seperti sebuah ledakan yang menghancurkan kedamaian yang pernah ada. Keheningan yang menggantung di udara seolah menyesakkan dada, dan aku bisa merasakan detak jantungku yang semakin keras. Aku menatap Ayah, mencoba memastikan apakah aku benar-benar mendengarnya dengan benar. "Pernikahan?" ulangku pelan, hampir tak percaya.

"Ya, pernikahan," jawab Ayah, suaranya tegas meski ada kesedihan yang samar di baliknya. "Dengan orang yang bersedia memberi kita bantuan. Orang yang akan menyelamatkan perusahaan kita."

Suaraku hampir hilang, otakku seakan dipenuhi kabut, berpacu dengan cepat mencoba memproses semuanya. Aku merasa seperti berada di dalam mimpi buruk yang tak bisa kudinami. "Siapa orang itu, Ayah?" tanyaku, suara serak, seolah ada sesuatu yang tak beres dalam semuanya ini.

Ayah menatapku lama, seakan mencari kata-kata yang tepat, sebelum akhirnya menjawab dengan perlahan. "Dia putra keluarga Wiratama, cucu dari Arnold Wiratama. Seorang pebisnis besar yang sudah lama berhubungan dengan keluarga kita. Dia sudah setuju membantu, tapi syaratnya... seperti yang ayah katakan."

Aku merasa dunia seakan berhenti berputar. Semuanya menjadi hening. Orang-orang di meja makan tampak terdiam, sementara detak jantungku berdentum keras, seakan menggema di seluruh tubuhku. Bagaimana aku bisa memilih antara pernikahan dan menyelamatkan keluarga? Bagaimana bisa ini jadi pilihan satu-satunya? Dan bagaimana dengan aku dan Andrew?

Aku mencoba untuk menenangkan diriku, mencari kekuatan dalam kebingunganku. Aku mengangkat wajahku, mencoba menyusun kata-kata yang lebih tegas, berharap bisa mencari jalan lain. "Bagaimana jika kita mencoba pendekatan lain, Ayah?" kataku, lebih yakin meskipun suara yang keluar masih bergetar.

Aku memandang satu per satu orang di meja itu. Laeticia, Mira, dan Aurora tampak terperangah, seperti tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Paman Dante dan Paman Nicholas hanya duduk diam, wajah mereka sulit dibaca, namun ketegangan di udara begitu terasa. Semua orang menunggu reaksiku, seperti menunggu jawaban dari pertanyaan besar yang tidak punya solusi.

"Pendekatan seperti apa maksudmu? Ini benar-benar akan bangkrut, Savannah!" suara Paman Nicholas terdengar tajam, memecah keheningan yang menyesakkan.

Aku menghela napas, menatap Paman Nicholas dengan mata yang menantang. "Kita harus coba sesuatu yang lebih dari sekadar menyerah begitu saja," jawabku dengan tegas. "Ini bukan hanya soal menyelamatkan perusahaan, ini juga tentang pilihan hidupku."

Ayah menatapku dengan tatapan yang sulit aku pahami. "Ini satu-satunya jalan, kamu juga pasti tidak ingin kan semua ini terjadi?" suaranya terdengar tegas, tapi ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan, seperti ada sesuatu yang memaksanya berada di posisi ini.

Aku merasa amarahku mulai meluap, tak bisa menahan semuanya. "Ini juga karena hobi Ayah yang kawin cerai, hobi Paman yang suka judi dan foya-foya, jadi nggak ada yang becus! Semua ini bisa terjadi karena kalian yang nggak bisa mengurus keluarga ini dengan baik!" Aku berteriak, menggebrak meja, marah dengan kenyataan yang terungkap begitu saja. Kata-kataku terasa seperti peluru yang meluncur, menembus segala kebohongan dan ketidakadilan yang telah lama terpendam.

Suasana semakin panas. Aku bisa merasakan mataku mulai berair, namun aku berusaha untuk menahan diri. "Tentang pernikahan? Aku tidak setuju!" aku melanjutkan, suara semakin meninggi. "Lagi pula, pria itu tunangan Moana sejak kecil, kan? Jadi ini nggak akan pernah terjadi!" Aku tertawa miring, mencoba menahan tangis yang hampir meledak. Mataku beralih ke sepupuku, mereka menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Mereka tahu ini adalah perjuangan yang lebih besar daripada sekadar pernikahan yang direncanakan.

Dengan langkah cepat, aku bangkit dari kursi. Aku tidak peduli dengan tatapan mereka. Aku tidak bisa terus terjebak dalam permainan mereka yang kotor ini. Dengan keputusan yang sudah diambil oleh Ayah, aku tahu hidupku tidak akan sama lagi. Aku tidak akan menjadi pion dalam permainan mereka. Aku harus mencari jalan keluar sendiri, meskipun itu berarti harus menentang mereka.

Tentang Moana... sejak semalam dan hari ini, aku belum melihat gadis itu. Aku tidak tahu di mana dia berada, atau apa yang sedang dipikirkannya. Pertunangan mereka sudah direncanakan sejak lama, bahkan sejak kakek masih ada. Keluarga Wiratama dan keluarga Kesuma sudah menjalin hubungan sejak lama. Namun, semakin aku dewasa, semakin aku tak tahu kelanjutan hubungan mereka. Semua ini terasa begitu membingungkan dan kacau. Moana adalah anak dari Paman Dante, dan aku tidak mengerti bagaimana bisa semuanya berubah jadi seburuk ini. Rasanya seperti hidupku dipenuhi dengan intrik yang tak pernah aku inginkan.

Aku berjalan cepat menuju kamar, menekan ponselku dengan tangan yang sedikit gemetar. Aku perlu berbicara dengan seseorang, mencari ketenangan dalam kekacauan ini. Aku menelepon Eleanor. "Tolong jemput aku," kataku, suara masih terengah-engah. "Aku butuh udara segar untuk menghilangkan semua pemikiran yang menyesakkan ini." Aku menutup mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Apalagi besok pagi, Andrew akan datang. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu lagi apa yang benar. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak bisa terus terjebak dalam rencana mereka. Aku harus menemukan cara untuk menyelamatkan diriku sendiri.

“Savannah, ada apa?” suara Eleanor terdengar ketika aku memasuki, mobilnya. Aku menarik napas panjang, berusaha meredakan perasaan yang hampir meledak. “Eleanor. Ayahku baru saja memberi tahu aku tentang pernikahan yang harus aku jalani. Itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan keluarga yang terancam bangkrut.”

Eleanor mengerem dengan mendadak.

“Pernikahan?” kata-katanya terdengar lebih terkejut daripada yang kuharapkan. “Siapa yang akan kamu nikahi?”

“Pria itu adalah Cucu dari Keluarga Wiratama. Aku berkata pelan, mencoba meresapi kata-kata itu sendiri. Aku menghela napas lelah.

“Cucu?!” suara Eleanor memecah keheningan, dan aku bisa mendengar betapa terkejutnya dia. “Tunggu, tunggu, siapa dia? Kenapa dia?” Suaranya semakin keras, seperti dia baru saja menemukan potongan teka-teki yang sangat besar.

Aku menutup mata, merasakan beban di dadaku semakin berat. "Aku tidak. begitu tahu siapa dia." Aku bisa merasakan napasku mulai terengah-engah, dan aku berusaha menenangkan diri.

"Keluarga mereka sudah setuju untuk membantu keluarga kami, tapi dengan syarat. Pernikahan ini menjadi satu-satunya jalan keluar."

Eleanor terdiam, mungkin berusaha mencerna semuanya. Aku bisa merasakan udara semakin berat,

aku mengacak-acak rambutku, frustrasi.

" Dan yang paling menyebalkan dia itu pria yang dijodohkan dengan Moana, " Eleanor menoleh kearah ku. Gadis itu terdiam, lalu mengurut tengkuknya.

" Dari rumor yang beredar pria itu berusia sangat matang, dia berusia 35 tahun. Hanya saja wajahnya aku juga tidak tahu, pria itu sangat sukses Savannah, wajar kalau hanya dia yang bersedia membantu keluargamu. Hanya saja syarat menikahimu, itu hanya dia yang tahu alasannya. " Ucapan Eleanor malah membuat kepalaku semakin pusing. Apa yang harus aku lakukan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 58

    Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 57

    Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 56

    Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 55

    Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status