#94Angga kini sudah berada di kantor polisi. Setelah sebelumnya dirinya pergi ke rumah untuk mencari bukti dan kini ia sudah mendapatkannya. Siap untuk membuat orang-orang yang telah berbuat keji pada Tasya dibui. Ia pun berniat untuk ikut serta dalam proses penangkapan para cecunguk itu."Laporan Pak Angga sudah dibuat, jadi kita tunggu surat penangkapan itu turun dan kami akan segera bertindak," ucap salah satu pihak berwajib yang menangani laporan atas dugaan kekerasan seksual pada Tasya."Baik, Pak. Tolong, saya mohon agar secepatnya menindaklanjuti laporan saya dengan bukti-bukti yang sudah saya sertakan." Angga membalas ucapan petugas itu dengan suara setengah memohon. Ia sangat berharap banyak pada petugas berwajib yang akan menangani kasus Tasya ini."Ya, Pak. Percayakan semuanya pada kami," sahut petugas itu mantap dan yakin. Sesuai tugasnya yang mengayomi masyarakat, petugas itu pun terus meyakinkan Angga kalau semuanya akan ditangani dengan baik."Kira-kira berapa lama wak
#95"Memangnya dia mengatakan apa saja sama kamu, Re?" tanya Mona lagi mengulang tanyanya untuk mendapatkan jawaban. Ia tampak penasaran dengan apa yang kakak Angga bicarakan dengan Rere. Meskipun, Mona belum mengenal dan bertemu dengan Angga, tapi tetap rasa penasaran tetap mengganggu pikirannya."Banyak hal yang dia katakan, Mona. Dan aku benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat Tasya ikut melalui ini, aku lah yang mengenalkan Tasya sama Roy dan kawan-kawannya." Rere menundukkan kepalanya. Ia tampak merenungkan setiap kesalahannya pada Tasya."Dia nyalahin kamu ya?" tebak Mona menduga-duga. Sebab melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Rere sehingga membuatnya berpikir lebih.Rere menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak kok. Nggak ada satu pun dari kata-kata Bang Angga yang menyalahkanku atau kamu. Lebih baik kita pulang dulu ke kosan ya. Nanti aku ceritakan semuanya." Rere tak mau langsung menjawab pertanyaan Mona dengan gamblang mengenai apa saja yang dikatakan Angga tadi."B
#96Tasya tampak mengerjapkan kedua bola matanya. Ia mengingat kembali hal terakhir yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri. Bu Intan yang melihat putrinya sudah siuman itu pun, segera bangkit dari sofa dan menghampirinya."Bu," lirih Tasya memanggil Bu Intan hampir tak bersuara."Iya, Sya. Ibu di sini." Bu Intan menyahut dengan suara lembut. Emosinya sudah sirna saat ini. Sudah tak menggebu lagi seperti tadi.Mungkin Bu Intan sadar dan berpikir kalau emosinya hanya akan membuat keadaan menjadi semakin runyam. Ia pun berusaha agar tidak emosi lagi, dan menekan egonya.Tasya memang salah, tapi bukan berarti dirinya harus dihakimi terus-terusan. Itulah yang Bu Intan tanamkan dalam hatinya. Ia berusaha legowo untuk menerima semua musibah yang menimpa keluarganya itu. Apalagi sekarang ini Angga sedang berusaha menangkap pelaku kejahatan yang menyebabkan Tasya begini.Hal itu sudah cukup membuat Bu Intan merasa lega. Karena sebentar lagi pelaku kejahatan itu akan ditindak sesuai dengan
#97Bu Intan segera menggelengkan kepalanya. Ia mengusir pikiran liarnya yang menduga-duga kalau Arvin menyukai Tasya. Padahal itu belum tentu terjadi. Apalagi saat Arvin tau kalau Tasya sudah tidak suci lagi, bahkan terancam tidak dapat mempunyai anak. Mungkin kisahnya akan lain.'Ya ampun. Kenapa aku malah mikirin hal yang aneh-aneh,' gumamnya kemudian. Bu Intan segera menepis angan-angan anehnya itu. Ia tak habis pikir bisa-bisanya berpikir demikian, sedangkan kondisi Tasya begitu.Arvin tampak canggung di hadapan Tasya. Pun sama dengan Tasya, keduanya merasa canggung satu sama lain. Sehingga seolah kehilangan topik untuk dibicarakan.Bu Intan segera menyadari hal itu, dan menarik kesimpulan kalau kehadiran dirinya lah yang membuat mereka tak leluasa untuk mengobrol dengan bebas. 'Sepertinya, aku harus keluar dari sini. Biar mereka bebas untuk mengobrol,' kata Bu Intan kemudian. Lantas, ia pun segera melakukan aksinya.Bu Intan bangkit lalu mendekati ranjang Tasya."Ibu mau ke mana
#98Setelah menyelesaikan urusannya di kantor polisi. Angga pun memutuskan untuk pulang ke rumah dulu. Ia pun sempat mengirimkan pesan singkat pada Bu Intan untuk memberitahukan kalau dirinya tidak akan kembali ke rumah sakit, mungkin besok.Angga teringat kejadian sebelum dirinya pergi ke kantor polisi. Pengakuan mencengangkan dari Aluna membuatnya emosi."Aku hamil." Dua kata itu terus terngiang dalam benak Angga dan itu membuatnya frustrasi.Mengetahui jika dirinya mandul dan ternyata Jelita bukanlah darah dagingnya adalah pukulan terberat bagi hidup Angga. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sekarang, Aluna kembali mengatakan kalau dirinya sedang hamil.'Aku telah salah mengenal Aluna selama ini. Kupikir aku telah mengenalnya dengan sangat baik, ternyata begitu banyak yang ia sembunyikan. Kali ini aku nggak akan biarkan dia membohongiku lagi.' Angga membatin dalam hatinya. Ia bertekad untuk segera menyelesaikan masalahnya dengan Aluna secepat mungkin.Angga terpikir untuk menalak
#99Usai pergumulan mereka berakhir. Angga melenguh panjang saat puncak kenikmatan berhasil diraihnya. Rasa penat yang sejak tadi menderanya sedikit terobati. Keduanya masih berdiam di balik selimut dan larut dengan pikiran masing-masing.Syahna meneteskan air matanya dan terisak karena telah melakukan hal yang tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya. Angga menyadari tangisan Syahna lantas menoleh ke arah si gadis, yang baru saja menyerahkan kesuciannya pada Angga. Sedikit merasa bersalah, tapi Angga juga menikmatinya sehingga ia harap tidak ada kekecewaan dalam diri Syahna."Kenapa kamu menangis, Syahna?" tanya Angga seraya mem**belai pucuk kepala Syahna dengan lembut dan mesra. Ia merasa tak tega telah membuat Syahna menangis dan sepintas rasa bersalah pun mengganggu benaknya.Syahna bergeming, tak mau membuka suara. Hanya air matanya lah yang berbicara saat ini. Dan Angga pun berusaha sebisanya untuk membuat Syahna mau meredakan tangisnya. Apa pun caranya, ia akan membuat perasaa
'Akhirnya selesai juga,' gumam Laras dalam hatinya. Ia memandang bangga hasil karyanya merangkai bunga-bunga segar untuk dipajang di ruang tamu.Wanita itu meraih ponselnya dari balik saku apron bermotif bunga babybreath yang masih dikenakannya. Mengambil beberapa potret bunga itu dari berbagai sudut. Ada kebanggaan dan kesenangan tersendiri di hati Laras saat melakukan kegiatan menyenangkan itu. Hanya cara itulah yang dapat membantunya mengusir rasa sepi karena belum dikaruniai buah hati meski sudah lima tahun menikah dengan suaminya.Terdengar pintu di depan rumahnya diketuk dari luar. Laras yang mendengarnya segera menyudahi aktivitasnya memandangi rangkaian bunga di dalam vas yang terbuat dari kaca itu. Ia beranjak menuju ke pintu untuk membukakan pintu."Laras! Buka pintunya!" Terdengar sebuah suara yang sangat Laras kenal dari arah luar. Ia sudah dapat menebak jika suara itu adalah ibu mertuanya.Pintu pun terbuka, dan benar saja dugaannya. Bu Intan, ibu mertuanya sudah berdiri
#2 Calon Adik Madu"Jangan-jangan kamu memang nggak mau hamil dan punya anak, Ras. Mengingat profesimu yang seorang biduan itu!" ketus Bu Intan mendelik tajam ke arah menantunya, Laras.Laras hanya menghembuskan napasnya perlahan. Mencoba lebih bersabar dengan umpatan dan makian yang dilontarkan ibu mertuanya. Mereka sudah kembali pulang ke rumah. Tapi, Bu Intan masih saja mengomeli Laras dengan berbagai macam kata-kata yang tak enak didengar."Pokoknya ibu nggak mau tahu, kamu harus bisa cepat hamil, Laras!" oceh Bu Intan tanpa henti. Mengabaikan perasaan Laras yang pasti akan terluka dengan ucapannya itu. Keduanya kini sudah sampai di depan rumah.Angga memang sengaja membangun rumahnya agar berdampingan dengan rumah ibunya. Sebagai anak sulung dia merasa bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adiknya. Apalagi Tasya yang beranjak dewasa, gadis itu harus mendapat perhatian lebih agar tidak terjerumus pergaula