Share

Pencuri Tetap Pencuri

#7

Angga tercengang saat melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Sepersekian detik kemudian tubuh mereka saling merapat. Tamu tak diundang itu segera meraih tubuh kaku Angga dalam pelukannya.

"Hm, kangen deh, Sayang. Kenapa sih nggak ada kabar hari ini?" tanya gadis itu dengan nada sensual tepat menggelitik telinga Angga.

Lelaki itu sama sekali tidak berniat membalas pelukan tiba-tiba itu. Tubuhnya membeku dan lidahnya seakan tercekat.

"Sayang, kenapa bengong sih. Nggak suka ya lihat aku?" tanya Aluna dengan nada suara manja pada Angga.

Ya, tamu itu adalah Aluna. Entah apa yang membuat gadis itu nekat datang ke rumah Angga. Padahal, lelaki itu tak pernah memintanya untuk datang apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Dia dan Laras sedang dalam proses perceraian.

Apa jadinya jika ada tetangga yang julid melihatnya membawa perempuan lain sebelum putusan cerai terjadi. Orang-orang pasti tidak akan percaya ucapannya lagi. Dan mereka akan lebih percaya pada fakta jika Laras tidak pernah selingkuh.

"Kamu kenapa kemari?" Lelaki itu bertanya dingin seraya melerai pelukan Aluna. Gadis itu mendengus kesal dengan sikap Angga yang menurutnya sangat menyebalkan.

Angga bahkan menunjukkan raut wajah tak suka melihat Aluna berada di sini. Tak lain karena saat ini, Ia sedang tak ingin diganggu termasuk oleh Aluna, juga tak mau kehadiran Aluna membuat imagenya jadi buruk.

"Emang nggak boleh, ya? Aku 'kan kangen, kamu juga nggak ada kabar seharian sih," gerutu Aluna memainkan bibirnya.

Angga bergeming dan tak berniat menyuruh Aluna masuk.

"Aku nggak disuruh masuk nih?" sindirnya lantas Aluna langsung nyelonong masuk ke dalam rumah Angga setelah mengatakan itu. Gadis itu benar-benar berani.

Angga hanya menghela napasnya pasrah dengan sikap Aluna yang terkadang sesuka hatinya itu.

Tanpa dipersilakan duduk, Aluna langsung mendaratkan pantatnya di atas sofa. Bunga-bunga di vas itu semua layu karena tidak ada merawatnya.

"Kenapa sih nggak dibuang aja bunga-bunga sialan ini! Ganggu pemandangan aja!" pekik Aluna dengan raut wajah tak suka menatap bunga-bunga cantik yang kini tampak tak sedap dipandang. Dia sangat yakin jika itu adalah hasil karya Laras.

Angga memang pernah cerita padanya jika Laras memang menyukai merangkai bunga-bunga untuk dipajang di ruang tamu rumah mereka. Angga memaklumi hal itu sebagai upaya Laras demi mengusir rasa sepinya menjalani hari-hari tanpa hadirnya buah hati.

Lelaki itu menghela napasnya lalu mengembuskannya dengan keras. "Kalau kamu mau, buang aja bunga itu!" seru Angga kemudian.

Aluna mengerucutkan bibirnya. Ia merasa kesal dengan jawaban Angga yang malah memintanya untuk membuang bunga itu.

"Hm, maaf sayang, tapi aku nggak mau, jijik tau, itu 'kan kotor," sahutnya manja, berdalih agar Angga tak harus memintanya membuang sampah itu.

"Kenapa harus jijik, bukankah nanti juga rumah ini akan kamu tempati kalau kita sudah menikah?" sungut Angga tak mau kalah.

"Iya, sih. Tapi … yaudah deh, aku yang buang sampah ini," ucapnya mengalah.

Aluna merasa menang dan bahagia saat Angga mengatakan jika rumah ini akan menjadi miliknya sebentar lagi. Jadi, dengan mengabaikan rasa jijik dia pun meraih vas itu dan membawanya ke belakang. Membuang bunga layu itu ke tempat sampah.

Setelah membersihkan tangannya di wastafel, Aluna menghampiri Angga yang masih duduk di sofa dengan wajah yang tampak frustasi.

"Aku dengar kamu sudah menggugat cerai biduan gatel itu. Apa benar itu, Mas?" tanya Aluna langsung dengan wajah berbinar. Ia mendapat kabar itu dari Tasya.

Perempuan itu mengambil posisi duduk di samping Angga. Lalu, merebahkan kepalanya di bahu Angga. Lelaki itu tampak sedang memijat pelan pelipisnya yang terasa pening.

"Namanya, Laras. Dan lagi dari mana kamu tahu soal itu?" balas dan tanya balik Angga pads Aluna yang tengah menggelayut manja di bahunya.

Ia tak suka jika ada yang menyebut Laras dengan sebutan lain dan terkesan merendahkan. Seperti yang Aluna ucapkan tadi. Hal itu membuat hati Angga tak sengaja ikut tergores oleh luka.

"Nggak penting aku tahu dari mana, Mas. Jadi benar, 'kan kalau kamu udah gugat cerai dia, Mas?" tanya Aluna lagi memastikan kabar yang disampaikan Tasya.

Ia begitu sumringah saat tahu jika hari ini Angga telah menggugat Laras ke pengadilan agama. Setidaknya itulah yang dirinya inginkan. Menjadi satu-satunya rau di rumah ini. Ah, padahal jadi istri kedua pun sebenarnya tak masalah baginya. Akan tetapi, Laras malah memilih mundur dan meminta bercerai

“Ya, kamu benar, aku sudah menggugat cerai Laras. Mungkin sebentar lagi surat untuk sidang pertama kami akan datang,” sahut Angga lirih dan tak bersemangat.

“Bagus dong, Sayang. Kenapa kamu harus kelihatan bersedih gitu?” protes Aluna. Gadis itu kini mengubah posisinya. Dia memilih duduk di pangkuan Angga.

“Masih ada aku yang akan jadi pendamping hidupmu, Mas. Dan lagi, aku bisa memberikan apa yang kamu inginkan sejak dulu. Laras mana bisa memberinya untukmu, ‘kan?” Aluna berkata sambil jari lentiknya terus bergerilya di rahang tegas milik Angga.

Lelaki itu memang yang paling tampan dari beberapa lelaki yang pernah mengencaninya dulu. Sungguh sebuah keberuntungan bagi Aluna dapat menjerat Angga masuk ke perangkap cintanya.

“Ya, aku tahu itu,” sahut Angga mulai terganggu dengan aktivitas Aluna. Sentuhan demi sentuhan Aluna sanggup membangkitkan naluri kelelakiannya.

Sentuhan Aluna selalu berhasil membuatnya candu. Hingga keduanya berakhir saling memagut dengan posisi Aluna masih berada di pangkuan Angga.

Sementara itu, Laras yang menyaksikan adegan mesra itu sempat memalingkan wajahnya sejenak. Dia berniat mengambil sisa barangnya yang masih berada di rumah ini.

Setelah berhasil menenangkan debaran jantungnya, Laras pun berdehem untuk mengalihkan perhatian mereka.

Sontak kedua sejoli itu saling melepaskan pagutannya dengan cepat. Angga membulatkan matanya tak menyangka jika Laras akan melihat secara langsung adegan mesranya dengan Aluna.

Sementara Aluna sempat gelagapan saat ciuman mereka tiba-tiba terlepas dan menyadari kehadiran Laras yang berdiri di depan ambang pintu tak jauh dari sofa tempat mereka saling berpagutan.

“Laras ….” Angga tercekat saat tatapan mata Laras begitu tajam. “Maaf, aku bisa jelaskan.”

Laras menggeleng cepat sambil mengangkat tangannya ke udara seraya mengisyaratkan pada Angga untuk tak mengatakan maupun menjelaskan apa pun padanya.

“Nggak perlu, Mas. Aku hanya datang kemari untuk mengambil sisa barangku di kamar,” sergah Laras. Raut wajahnya begitu tenang. Tidak ada sorot amarah maupun kecemburuan dari telaga matanya.

Laras tegar. Ia sudah melatih dirinya untuk tegar dan tetap menegakkan bahunya terutama di hadapan Angga dan keluarganya. Ia tak akan terlihat lemah dan menyedihkan.

“Ya, masuklah. Silakan ambil apa saja yang tertinggal,” ucap Angga dengan nada melunak.

Sorot kerinduan terhadap wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya itu sangat kentara terlihat jelas di matanya. Ingin rasanya ia meraih tubuh Laras dan memeluknya dari belakang seperti yang sering ia lakukan jika Laras sedang merajuk.

Kini, Angga hanya dapat memandangi punggung Laras yang menghilang di balik pintu kamarnya.

“Kenapa Mas harus biarin dia masuk sih,” sungut Aluna memprotes Angga yang terkesan tidak tegas pada Laras.

“Memang kenapa? Di rumah ini juga masih ada haknya sebagai istri yang pernah mendampingiku selama lima tahun,” jelas Angga menanggapi protes Aluna. Wajah jelitanya seketika berubah muram.

“Kalau dia mengambil sesuatu yang berharga gimana coba?” tuduh Aluna. Ia masih berharap jika Angga akan mendengarkan keluhannya.

“Nggak mungkin, Lun, Laras bukan orang yang seperti itu. Aku sangat mengenalnya.” Angga menolak tegas tuduhan Aluna.

“Tapi, sikap manusia dapat berubah hanya sekian detik, Mas!” kecamnya lagi.

“Sudahlah, jangan menuduhnya yang macam-macam, Lun,” ujar Angga tegas.

Aluna merasa kalah. Ia memutar bola matanya malas.

‘Sial! Sepertinya Angga masih cinta sama biduan gatel itu. Ini nggak bisa dibiarkan! Dia harus menjadi milikku.’ Aluna menggeram dalam hatinya sambil terus menampakkan wajah masam karena Angga justru selalu membela Laras.

Tak lama kemudian, Laras keluar dari pintu kamarnya dengan membawa satu totebag berisi barang-barangnya yang tertinggal.

Saat Laras melewati kedua sejoli yang masih terpaku melihatnya itu. Laras menghentikan langkahnya lalu menatap mereka secara bergantian. Tatapan Laras sangat sulit diartikan oleh Angga sekalipun.

“Apa kamu tahu kalau kalung yang kubeli dengan jerih payahku hilang, Mas?” tanya Laras cepat. Matanya menatap tajam kedua orang itu.

“Aku nggak tahu dan nggak pernah mengusik barang-barangmu,” sahut Angga bingung karena memang dia tak tahu jika kalung itu tidak berada di tempatnya.

“Oh, begitu. Mungkin ada tikus kecil yang mengambilnya,” ucap Laras lagi dengan kalimat penuh penekanan.

“M—maksud kamu apa, Laras? Rumah ini kemalingan, gitu?” Angga bertanya panik.

Laras tampak menarik sudut bibirnya. Senyumnya serupa seringaian tajam. Bahkan Angga pun belum pernah melihat ekspresi wajah Laras seperti saat ini.

“Tanyakan saja pada gundikmu, Mas!” seru Laras kemudian.

Aluna yang sejak tadi menunduk dan tak berhenti berkeringat dingin pun mendongak. Laras menatapnya dengan tatapan mengejek.

“Kamu menuduhku mencuri, hah!” teriak Aluna tak terima.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status