Share

Bab 3: Penjara Nafsu

Waktu menunjukkan pukul enam sore. Pak Guruh terjaga sesaat dalam lelap tidurnya setelah ia merasakan sekelilingnya bergetar pelan, kelopak matanya terangkat seketika.

Getaran itu mampu ia rasakan akibat suara azan yang menggema di mana-mana dari segala penjuru walaupun pendengarannya tidak berfungsi. Nampaknya Tuhan masih menyayanginya.

Suasana hari menjelang petang mampu merasuk ke dalam relung jiwanya, sepi dan misterius, seolah hal itu memang sudah biasa terjadi, perasaan itu membuat hatinya campur aduk. Namun, kini ada hal aneh dan baru kali ini dirasakannya.

Pengelihatannya gelap seolah tak ada cahaya apa pun yang bisa ditangkap matanya, jikalau memang mati lampu, harusnya ia masih bisa melihat cahaya dari luar kamar tidurnya. Tapi hal itu tidak terjadi, pandangannya benar-benar gelap.

Lisannya berusaha memanggil-manggil sang anak, Sakti. Tapi tentu saja hal itu tak bisa ia lakukan karena kemampuannya untuk bicara pun sudah hilang.

Air mata perlahan menetes dari sudut mata Pak Guruh, ia menangis, dengan panik berusaha meraba-raba sekelilingnya, ia tak mampu merasakan apa pun.

Tangannya berkali-kali menyeka kelopak matanya, namun tak ada perubahan apa pun. Semuanya hitam.

Dalam kegelapan itu Pak Guruh merasa sangat tersiksa, ketakutan yang dahsyat menjalar dalam tubuhnya dan mengacaukan pikirannya. Mulai terbayangkan masa-masa buruk yang akan terjadi di kemudian hari jikalau keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus. Kenangannya mulai berkelebat tak menentu di balik kelopak matanya itu.

Perlahan, pengelihatan Pak Guruh pun sirna.

Sementara itu, Sakti sedang dalam perjalanan pulang sehabis bercinta dengan Rosa. Ia pergi begitu saja setelah merasa jika hasratnya sudah terpenuhi, meninggalkan Rosa yang sedang tidur pulas di kamarnya sendirian dalam keadaan tak berbusana.

Dalam perjalanan pulang itu, Sakti membeli beberapa makanan untuk makan malam. Waktunya tidak cukup jika harus meladeni setiap permintaan ayahnya. Ia hanya menuruti beberapa keinginan ayahnya yang paling pokok. Hari ini, waktunya habis untuk mengencani Rosa.

Dalam benaknya, Sakti berpikir bahwa hari-harinya pasti akan sangat berwarna jika bisa melakukan 'hal itu' setiap hari. Membendung birahinya membuat pikiran Sakti terbelenggu, tapi ia tidak berminat untuk menikahi perempuan rusak seperti Rosa.

Walaupun jauh dalam hatinya, ada kemungkinan Sakti memang mencintai Rosa, karena tiap kali ia habis bercinta dengannya, mood Sakti membaik dengan sangat drastis, sensasi ini tidak pernah ia rasakan dengan perempuan manapun.

Terlebih lagi untuk hari ini, mood-nya benar-benar serasa didongkrak melebihi ekspektasinya, perasaan bahagia itu seperti memang datang akibat dirinya bercinta dengan Rosa, beban pikirannya mengenai sang ayah seketika mereda akibat belaian Rosa yang penuh gairah itu.

Saat memikirkannya, Sakti sempat berpikir untuk kembali menuju kediaman Rosa. Hanya saja, jarak menuju rumahnya sudah lebih dekat daripada kediaman Rosa.

Sakti segera mempercepat laju motornya, memantapkan hatinya untuk kembali ke rumah. Toh perempuan seperti Rosa pasti akan selalu ada waktu untuk meladeninya kapan pun saat ia mau.

Akhirnya, Sakti sudah sampai di rumah.

Saat memasuki kamar ayahnya, Sakti terkejut karena melihat ayahnya dalam posisi tidur yang tidak lazim, lebih lagi ayahnya itu seperti habis terjatuh dari ranjang tidurnya.

Sakti segera menghampiri ayahnya itu, membopongnya dengan sigap, membaringkannya di atas ranjang dan menghamparkan selimut di atas tubuh sang ayah.

Keadaan ayahnya itu membuat Sakti kebingungan, pandangannya tertuju pada mata Pak Guruh yang terbelalak melotot tapi seperti tidak menyadari kehadirannya.

"Pah!!" Sakti berteriak seraya mengayunkan tangannya di depan mata Pak Guruh, dan benar saja, tidak ada reaksi apa pun. Tatapannya kosong.

Ayahnya bagaikan seonggok gedebong pisang, diam terpaku tanpa adanya reaksi.

Hal itu membuat Sakti panik, ia mengguncang tubuh ayahnya itu sambil memanggil-manggil ayahnya, "Pah!! Papah!!"

Perlahan namun pasti, isak tangis mulai terdengar, tapi itu adalah suara tangisan Sakti yang sedang putus asa. Terbersit niatnya untuk memanggil Abah Karsa yang sepertinya lebih tahu masalah ini.

Saat hendak melangkah untuk pergi ke rumah Abah Karsa, kaki Sakti terantuk sesuatu. Sebuah buku tertendang pelan hingga menarik perhatiannya.

Sakti mengambil buku itu dan mulai membuka-buka tiap halaman yang terkandung di dalamnya. Itu adalah tulisan ayahnya sendiri mengenai masa lalunya.

Beberapa halaman awal ia baca dengan seksama, benaknya terbawa menuju imajinasi yang digambarkan oleh tulisan ayahnya tersebut. Seraya pikirannya melayang hanyut dalam kisah ayahnya yang terkandung dalam buku itu, Sakti memandang tubuh ayahnya yang terbaring di atas kasur dengan tatapan penuh rasa penasaran.

Tak percaya jika ayahnya dulu sebobrok ini.

Di rumah Rosa, seorang wanita berusia pertengahan dua puluhan memasuki kamar Rosa dengan brutal. Ia menendang pintu kamar, membuat keributan, hingga menggugah Rosa yang sedang lelap tertidur.

"Dasar perempuan murahan!" Hardik perempuan brutal itu.

Rosa langsung terkesiap, terbangun disertai rasa kaget. Ia beberapa kali mengusap muka untuk memberikan pengelihatan lebih jelas akan siapa yang datang mengganggu.

Belum sempat Rosa mengumpulkan konsentrasinya, perempuan brutal itu melempar-lemparkan pakaian Rosa ke arah wajah sambil membentak.

"G*blok! Dibilangin masih gak ngerti juga, hah!" Hardikan perempuan brutal itu semakin menjadi.

Rosa menanggapinya dengan santai, "Ah, kamu lagi, kamu lagi."

"Harus gimana lagi sih biar ngerti kalo kamu gak boleh ng*we!! Yang terancam bukan cuma kamu entar!" Teriak perempuan brutal itu sambil terus saja melempar-lempar pakaian Rosa yang tercecer, setelah pakaian itu sudah habis ia lempar semua, kini sepatu hak tinggi miliknya yang dilemparkan.

Sepatu itu berhasil mengenai muka Rosa, ia memekik kesakitan, "Aw!"

"Bilang aja kalo iri!" Lanjut Rosa lagi.

Kemarahan perempuan brutal itu kembali tersulut, ia berjalan dengan buru-buru mendekat ke arah Rosa yang masih berada di atas kasurnya sambil berusaha sembunyi di balik selimut.

Tanpa keraguan apa pun, perempuan galak itu mengangkat ranjang tidur Rosa dan membalikkannya dengan kasar. Seketika itu juga Rosa ikut jatuh ke samping dan tertimpa ranjang miliknya sendiri.

Rosa memekik kesakitan, "Aduh!"

Masih belum puas, perempuan itu melompat ke atas ranjang yang sudah dalam posisi terbalik, ia menginjak-nginjak kasur yang menimpa Rosa.

"Rasain, nih!!" Teriak perempuan itu dengan sekuat tenaga menginjak-nginjak kasur tersebut, berharap Rosa kapok.

Terdengar suara Rosa mengerang, memohon ampun agar perempuan gila itu berhenti menyiksanya. Namun suara Rosa teredam oleh tebalnya busa kasur yang menekannya.

Tak lama kemudian, Rosa mulai jengah dengan perilaku perempuan gila tersebut. Ia segera berusaha untuk bangkit memberikan perlawanan.

Rosa berhasil menembus kasur busanya, tenaganya itu mampu merobek kasurnya hingga ia terbebas. Bahkan kayu dipan yang menghalangi kasur tersebut berhasil dipatahkan dengan mudahnya.

Kemudian, Rosa segera menjambak rambut perempuan brutal yang menyiksanya itu, lalu membantingkan tubuh mereka berdua ke lantai. Busa kasur yang tersobek berhamburan ke segala arah.

Mereka berdua sama-sama memekik histeris.

"Aduh!" Jerit perempuan brutal itu kesakitan, ia pun segera menjambak rambut Rosa dan mengguncang-guncangnya tanpa ampun, sambil menendang-nendangakan kakinya sembarangan seraya bergelimpangan di lantai.

Tendangan itu beberapa kali mengenai perut Rosa, segera saja dibalas kembali dengan tendangan pula.

Tapi perempuan itu lebih gesit, ia menggulingkan badannya sambil menghempaskan tubuh Rosa ke belakang, Rosa terbanting, kepalanya membentur tembok.

"Aw! ..." Rosa memekik kesakitan, sambil memegang kepalanya, ia kembali meledek perempuan gila itu. "... Bilang aja kamu iri karena gak bisa bebas nge*e, kan!"

"B*ngsat! Harusnya kamu bisa jaga kehormatan, kita ini dewi! Harusnya kita jadi jodoh keturunan para raja terdahulu!!" Teriak perempuan itu, kini sudah tak ada lagi nada kemarahan di setiap ucapannya.

"Cih! Kelamaan! Mending sama Sakti aja, enak punya dia lebih gede." Rosa kembali menyerocos tak menentu, membuat perempuan brutal itu kembali emosi.

Dengan disertai kemarahan, perempuan itu berjalan ke arah Rosa, suara kakinya terdengar ganas siap menerkam Rosa yang sudah terpojok.

"Gara-gara kelakuan kamu, lihat tuh aura dewi punyamu berkurang!" Perempuan itu dengan cepat menampar pipi kanan Rosa sekuat tenaga.

"Gak peduli sama yang kayak gitu lagi! Aw!" Rosa berusaha bertahan terhadap tamparan yang mendarat di wajahnya.

Tamparan lain segera menyusul, terdengar suara antara tangan perempuan itu dan pipi Rosa.

"Plaak!" Kali ini tamparan itu berhasil membuat Rosa tak sadarkan diri. Perkelahian telah berakhir.

"Hufft!" Perempuan itu menghela napas lega setelah berhasil membuat Rosa pingsan.

Tak lama, beberapa perempuan lain datang memasuki kamar Rosa yang berantakan itu. Salah satu di antara mereka bergumam, "Loh, katanya janji gak maen kasar lagi."

Perempuan brutal yang membuat Rosa pingsan hanya tersenyum kecut mendengar hal itu. Sambil menyerahkan ponsel milik Rosa, perempuan itu berkata, "Lihat, Kak! Orang ini nih biang keroknya!"

Terlihatlah foto Sakti di layar ponsel itu. Bahaya kini mengintainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status