Share

Bab 4

Author: Musim Semi Sanai
Melihat seluruh ruangan berantakan, ekspresi Nash langsung berubah. Tatapannya suram dan penuh amarah saat dia membentak Quinn, "Quinn, kamu ini sebenarnya ngapain sih! Nggak ada habis-habisnya ya!"

"Kita sudah sepakat bakal simpan semua barang ini sebagai kenangan seumur hidup. Kenapa kamu malah menghancurkannya?"

Quinn menunduk, suaranya pelan. "Kalau sebuah hubungan sudah rusak, menyimpan semua ini hanya akan menambah kesedihan. Lebih baik dihancurkan saja."

Dia terisak sejenak sebelum melanjutkan, "Kita cerai saja."

"Quinn, dalam dua hari ini kamu sudah bilang cerai berapa kali? Aku langsung pulang karena baca pesanmu! Bisa nggak kamu berhenti buat keributan?"

"Sudah kubilang, aku sama Sachi cuma main-main. Kenapa kamu picik banget sih? Masa nggak bisa terima dia?"

Quinn menggeleng. "Yang nggak bisa terima itu dia."

Wajah Nash memucat. Dia menarik Quinn dari lantai dengan kasar, suaranya dingin seperti es. "Lagi pula, sekarang kamu sudah nggak punya keluarga. Setelah pisah sama aku, kamu bisa apa?"

Perkataannya seperti pisau, menyayat hati Quinn berulang kali. Dulu setelah orang tuanya meninggal karena kecelakaan, semua kerabat berubah menjadi serigala dan harimau. Saat itu, Nash yang melindunginya.

Sejak saat itu, Quinn menjadikan Nash satu-satunya keluarga, seperti pelampung di tengah lautan yang harus digenggam erat.

Namun, sekarang dia sudah mati. Ancaman seperti itu tak lagi berarti apa-apa.

Hanya saja, dia tidak menyangka bahwa Nash akan mengatakan hal seperti itu. Benar kata pepatah, orang yang paling dekat yang paling tahu bagaimana cara melukai.

"Kenapa ...." Air mata Quinn mengalir.

Nash termangu sejenak, baru sadar perkataannya barusan terlalu kejam. Dia buru-buru memeluk Quinn, membujuk dengan lembut, "Quinn, maaf. Aku nggak seharusnya bicara begitu."

Quinn mendorongnya, kesedihan di matanya hampir tumpah. "Kenapa kamu tiba-tiba berhenti mencintaiku?"

Nash kembali memeluknya, mencium air mata di wajahnya. "Kamu bicara apa sih? Aku tentu masih mencintaimu!"

"Kalau begitu, kita cerai." Suara itu lirih, tetapi terasa seperti duri yang menusuk. Nash tidak bisa menahan diri lagi.

Dia menahan Quinn di dinding dan membentak keras, "Quinn! Kenapa kamu ngotot banget mau cerai?"

"Karena aku sudah mati. Keinginanku sebelum benar-benar pergi adalah bercerai denganmu. Aku nggak mau punya hubungan apa pun lagi sama kamu. Malam itu setelah aku pergi, aku ditarik penjahat ke gang ...."

Quinn mulai menceritakan apa yang terjadi malam itu. Namun, saat sampai pada bagian bahwa rohnya diizinkan kembali selama tujuh hari, Nash kembali menghardik.

"Quinn, kamu ini sudah 27 tahun! Bukan anak kecil lagi! Aku juga bukan orang bodoh! Jangan ngomong hal-hal konyol lagi, bisa nggak?"

"Kalau kamu benaran nggak bisa terima Sachi, ya sudah, ke luar negeri dulu buat tenangin diri!" Setelah mengucapkan itu, Nash langsung berbalik dan berjalan pergi.

"Jadi, kamu lebih rela aku pergi ke luar negeri daripada memutuskan hubunganmu sama dia?"

Langkah kaki Nash terhenti. Namun, dia tak menoleh. Suaranya dingin saat menyahut, "Terserah kamu mau mikir apa! Setelah bosan, aku pasti balik ke keluargaku!"

Quinn terduduk lemas di lantai, menggeleng dengan hampa. Dia tahu dia tidak akan sempat melihat hari itu datang.

Sejak hari itu, Quinn dan Nash memasuki masa perang dingin. Quinn merasa gelisah karena waktu yang tersisa hanya lima hari.

Dia mengirim pesan ke Nash. Setelah menunggu lama, Nash akhirnya membalas.

[ Aku nggak pulang dulu beberapa hari ini. Kamu tenangin diri dulu. Kalau sudah tenang, baru kita bicara lagi. ]

Quinn menatap pesan dingin itu, tangannya bergetar hebat. Dia menenangkan diri secara paksa, lalu langsung berkemudi ke Grup Peak. Namun, sesampainya di sana, dia langsung dihentikan.

"Aku mau ketemu Nash."

Resepsionis cantik yang baru bekerja itu menjawab dengan sopan, "Maaf, Bu. Saat ini jam istirahat, Pak Nash nggak menerima tamu. Kalau Ibu sudah buat janji, mohon ditunjukkan."

"Aku istrinya."

Resepsionis itu terkejut sejenak, lalu menggeleng. "Kak Sachi sudah memberi arahan, siapa pun nggak boleh mengganggunya dan Pak Nash, termasuk Ibu."

Quinn tertawa getir. Sudah lama dia tidak ke perusahaan. Rupanya kekuasaan sudah berganti.

"Kak Quinn!" Tepat saat itu, Sachi mendekat. Dia memakai gaun berwarna cerah dengan tas keluaran terbaru di tangannya, tampak muda dan cantik.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 27

    Quinn terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Tunanganku diperkenalkan oleh teman ibuku. Latar belakang kami setara dan kami akan segera menikah."Nash mengepalkan tangan, masih belum menyerah. "Dari caramu bicara, sepertinya kalian nggak punya dasar perasaan yang kuat?"Quinn tersenyum. "Punya atau nggak, apa bedanya? Kalaupun ada, mungkin hasilnya tetap sama."Nash tak sanggup berkata apa pun lagi. Dia terdiam lama, lalu memaksakan senyum sambil berkata lirih, "Kalau begitu, semoga kamu bahagia.""Kamu juga." Quinn tersenyum sopan sekaligus asing, lalu berbalik dan pergi meninggalkan kafe.Nash menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Air mata pun menetes dari matanya. Jadi, hubungan mereka benar-benar sudah berakhir.Dalam perjalanan pulang dengan mobil, Quinn melihat sosok yang familier sekaligus asing.Seorang wanita dengan wajah letih dan pakaian yang sudah pudar warnanya sedang bertengkar hebat dengan pedagang kaki lima. Di sampingnya, dua anak kecil menangis tanpa henti.Itu adala

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 26

    Quinn tidak lagi memedulikannya dan naik mobil bersama kedua orang tuanya. Sang kepala pelayan yang menyaksikan semuanya hanya bisa menghela napas dan berkata, "Tuan Nash, lebih baik pulang saja. Jangan menyiksa tubuh sendiri."Namun, Nash tidak mendengar apa pun. Tubuhnya yang membeku terus gemetar. Dia bergumam lirih, "Aku sangat menyesal .... Kenapa semuanya jadi seperti ini ...."Suara mesin mobil segera menariknya kembali ke kenyataan. Matanya membelalak saat dia buru-buru berlari mengejar. "Quinn, jangan pergi!"Namun, tubuhnya yang lemah tidak mampu lagi menahan beban itu. Baru mengambil beberapa langkah, Nash ambruk ke tanah dan muntah darah sebelum akhirnya pingsan.Dari dalam mobil, Quinn secara refleks menoleh ke belakang dan tepat melihat Nash jatuh dengan lemas di salju.Tubuh kurusnya terlihat sangat menyedihkan di tengah putihnya salju, tetapi itu semua bukan lagi urusannya.Quinn menenangkan diri dan memejamkan matanya.Kehidupan di Yunan sangat tenang. Setelah masuk se

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 25

    Brak! Pintu kelas terbuka dengan keras, Nash menerobos masuk. Dia langsung menarik gantungan jimat dari tas Quinn dan melemparkannya ke lantai!Quinn segera mendorongnya. "Kamu belum selesai juga? Apa hubungannya urusanku denganmu?"Setelah berkata begitu, dia memungut gantungan itu dari lantai dan meminta maaf kepada Vin.Mata Nash memerah. "Sekarang kamu mau terima dia ya? Kamu sengaja bikin aku sesakit ini? Kenapa sih nggak bisa kasih aku satu kesempatan?"Quinn memutar bola matanya. "Pergi periksa ke rumah sakit jiwa sana!"Tubuh Nash bergetar karena marah. Dia menoleh dan memelototi Vin. "Asal kamu tahu ya, dia itu milikku! Jangan pernah mimpi bisa mendapat Quinn!"Vin mengernyit. "Nash, Quinn itu bukan barang. Dia manusia. Nggak ada yang namanya milik. Kalau kamu benar-benar suka dia, kamu harus hormati dia."Nash pun membentak, "Apa hakmu ajari aku? Jangan pikir aku nggak tahu niat busukmu. Jauh-jauh dari Quinn!"Tepat saat itu, bel pelajaran berbunyi. Guru masuk ke kelas dan la

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 24

    Tanpa ragu, Quinn langsung menunjuk ke arah Sachi. "Ayah, Ibu, semua boleh dibantu, kecuali dia."Ayah dan Ibu Quinn langsung mengangguk. "Oke."Sachi awalnya mengira bahwa nilai akademisnya yang cemerlang akan membuatnya terpilih untuk mendapatkan bantuan. Tak disangka, hanya dengan satu kalimat dari Quinn, harapannya pupus. Dia langsung menangis tersedu."Tolong ... aku benar-benar butuh kesempatan ini! Aku suka belajar, aku nggak mau putus sekolah!"Quinn bisa melihat bahwa Sachi tidak bereinkarnasi seperti dirinya. Dengan ekspresi datar, dia berkata, "Kalau begitu, cari bantuan ke orang lain. Aku kasih saran, cari saja Nash, putra Keluarga Suwandi. Mungkin kalau kamu minta tolong ke dia, dia bakal bantu."Sachi langsung berlutut di tempat. "Kumohon ... kalian kaya raya. Pasti sanggup kalau tambah aku lagi."Quinn tak ingin melihatnya lagi, jadi segera memerintahkan pengawal, "Bawa dia ke rumah sakit. Suruh dia temui Nash!"Bukankah Nash menyukai Sachi? Ya sudah. Di kehidupan ini, d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 23

    "Putra keluarga orang kaya itu sampai-sampai lompat ke danau demi Quinn! Sampai jidatnya berdarah segala, benar-benar cinta mati ya!""Umur baru belasan, mana ngerti cinta. Anak-anak paling gampang bertindak nekat, nanti kalau sudah dewasa pasti nyesal!""Menurutku Quinn itu hatinya keras banget! Sudah begini pun tetap nggak tersentuh!""Mungkin dia nggak suka orang yang menyiksa diri sendiri. Sekarang si Nash malah pingsan dan demam tinggi."Quinn baru saja kembali ke kamar rawat saat mendengar beberapa perawat sedang membicarakan kejadian malam ini.Dia pura-pura tak mendengar. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, dia langsung beristirahat.Di sisi lain, Nash terus demam tinggi. Tubuhnya seperti terjebak di antara sadar dan tidak.Menjelang tengah malam, Nash mulai berhalusinasi. Dia melihat Quinn dari kehidupan sebelumnya, berdiri sambil menatapnya dengan mata merah.Pakaian Quinn tampak compang-camping, di dadanya tertancap sebilah belati berkilat dingin. Setetes demi setetes d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 22

    Saat ini sudah memasuki akhir musim gugur. Cuaca mulai dingin dan suhu malam hari tak berbeda dengan musim dingin. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu pun tak bisa menahan diri untuk berbisik-bisik."Anak laki-laki itu masih sakit. Tega banget!""Jangan asal ngomong, kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka"Seperti yang dikatakan para penonton, Nash memang masih sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, dia mulai mengalami demam ringan dan sekarang tubuhnya sangat tidak nyaman.Angin dingin bertiup, membuatnya batuk beberapa kali. Wajahnya pun tampak semakin pucat. "Quinn, kamu serius sama omonganmu tadi?"Quinn menjawab dengan dingin, "Terserah kamu mau percaya atau nggak."Nash mengepalkan tangannya dan memaksakan senyuman. "Karena kamu sudah ngomong begitu, aku bakal loncat!"Usai berkata begitu, dia langsung berlari menuju danau buatan!"Gawat! Dia benaran mau nyebur ke danau!""Cepat tarik dia! Bisa mati kalau nekat!"Orang-orang yang melihat sontak p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status