Share

Bab 5

Author: Musim Semi Sanai
"Nash di mana?" tanya Quinn, menahan amarahnya sekuat tenaga.

Sachi langsung terkekeh-kekeh. "Kak Quinn 'kan istrinya. Masa tanya ke aku suami sendiri ke mana? Atau jangan-jangan sekarang Kak Nash sudah nggak mau meladenimu?"

Suaranya tak keras, tetapi kata-katanya penuh provokasi. Ini cukup untuk menarik perhatian banyak orang di sekitarnya.

Beberapa karyawan lama mengenali Quinn, ekspresi mereka pun beraneka ragam saat melihatnya. Karena selama ini, Nash dikenal sebagai pria setia yang mencintai istrinya sepenuh hati. Kini, malah muncul adegan selingkuhan menantang istri sah di tempat kerja.

Beberapa orang juga tahu bahwa Sachi dulunya adalah murid kurang mampu yang pernah dibantu oleh Quinn, sehingga ekspresi mereka menjadi semakin rumit.

"Kak Quinn, kalau kamu memang nggak tahu Kak Nash lagi ngapain, aku kasih tahu deh. Dia lagi istirahat siang. Tadi sebenarnya aku temani dia, tapi karena temanku ajak jalan-jalan, aku turun duluan."

Sambil berbicara, Sachi seolah-olah tak sengaja menyentuh kalung di lehernya. Mata Quinn sontak menangkap bekas cupang di sekitar leher Sachi yang terlihat dari kerah bajunya.

"Kalau nggak ada urusan penting, mending pulang saja. Kak Nash sekarang nggak mau ketemu kamu. Kalau suatu hari dia kangen, nanti aku pasti kasih tahu."

Tatapan orang-orang di sekitar menusuk seperti jarum yang menancap ke tubuh Quinn. Amarah dalam hatinya pun langsung meledak. Dia tak tahan lagi. Plak! Satu tamparan keras mendarat di wajah Sachi!

Suasana langsung hening sejenak, lalu riuh. Sachi tertegun, kepala miring ke samping. Dia menatap lantai tanpa bisa bereaksi.

Saat sadar kembali, dari sudut matanya dia melihat sesosok bayangan. Seketika, dia jatuh terduduk dan menangis keras. "Kak Quinn! Semua salahku! Tolong jangan marah lagi ke Kak Nash ya?"

Quinn terkejut dengan reaksi itu. Ketika dia hendak menyuruh Sachi berhenti berpura-pura, sebuah sosok yang tinggi besar tiba-tiba menerobos kerumunan!

"Sachi!" Itu adalah Nash!

"Nash, aku ...." Quinn hendak berbicara, tetapi Nash mendorongnya.

"Quinn! Bisa nggak kamu berhenti bikin masalah? Ini kantor! Di rumah belum cukup? Mau semua orang tahu kamu sudah gila?"

Quinn terhuyung dan jatuh ke lantai. Dia mengerang pelan, wajahnya langsung pucat pasi karena kesakitan.

Namun, Nash bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Dia langsung berlari ke sisi Sachi, mengangkat wajahnya dengan hati-hati. "Sakit nggak?"

Sachi menangis tersedu-sedu. "Sakit ... tiup dong ...."

Nash langsung meniup lembut wajahnya, suaranya lembut. "Sudah kubilang, jauhi dia."

Sachi meringkuk di pelukannya, menggeleng. "Jangan salahin Kak Quinn, ya. Semua ini salahku, aku yang buat dia marah."

Nash menggendong dan melirik tajam ke arah kerumunan. "Ngapain melamun di sini? Balik kerja sana!" tegurnya.

Orang-orang langsung bubar.

Tatapan Nash lantas beralih ke arah Quinn yang masih terduduk di lantai. Pandangannya dingin dan tajam. Quinn belum pernah melihat Nash memandangnya seperti itu.

Quinn menatap balik, rasanya seperti terjun ke dalam kolam es. Dia tak menyangka bahwa suatu hari Nash akan memandangnya dengan tatapan sedingin es. Semua kelembutan masa lalu kini terasa seperti lelucon.

Setelah beberapa saat, Nash menghampirinya, menariknya berdiri dengan kasar. Tidak ada sedikit pun kelembutan. "Ke kantorku. Kita bicara di dalam!"

Quinn nyaris terkilir, tubuhnya limbung. Dia berusaha melepaskan tangan Nash. "Bicara di sini saja!"

Nash berujar dengan dingin, "Quinn, kesabaranku ada batasnya! Kelakuanmu yang sekarang buat aku kecewa berat. Kamu kayak perempuan murahan!"

"Perempuan murahan?" Tubuh Quinn gemetar. Dia tertawa mencela, tetapi tawa itu segera berubah menjadi tangisan. "Aku nggak nyangka kamu bisa ngomong begitu."

"Jadi, kamu juga sadar ini memalukan? Waktu kamu lakuin hal yang memalukan itu, kamu pernah mikir soal ini?"

"Cukup!" Nash berteriak, "Sebenarnya kamu mau apa biar masalah ini selesai?"

Quinn mengeluarkan surat perjanjian cerai dari tasnya. "Cerai!"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 27

    Quinn terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Tunanganku diperkenalkan oleh teman ibuku. Latar belakang kami setara dan kami akan segera menikah."Nash mengepalkan tangan, masih belum menyerah. "Dari caramu bicara, sepertinya kalian nggak punya dasar perasaan yang kuat?"Quinn tersenyum. "Punya atau nggak, apa bedanya? Kalaupun ada, mungkin hasilnya tetap sama."Nash tak sanggup berkata apa pun lagi. Dia terdiam lama, lalu memaksakan senyum sambil berkata lirih, "Kalau begitu, semoga kamu bahagia.""Kamu juga." Quinn tersenyum sopan sekaligus asing, lalu berbalik dan pergi meninggalkan kafe.Nash menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Air mata pun menetes dari matanya. Jadi, hubungan mereka benar-benar sudah berakhir.Dalam perjalanan pulang dengan mobil, Quinn melihat sosok yang familier sekaligus asing.Seorang wanita dengan wajah letih dan pakaian yang sudah pudar warnanya sedang bertengkar hebat dengan pedagang kaki lima. Di sampingnya, dua anak kecil menangis tanpa henti.Itu adala

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 26

    Quinn tidak lagi memedulikannya dan naik mobil bersama kedua orang tuanya. Sang kepala pelayan yang menyaksikan semuanya hanya bisa menghela napas dan berkata, "Tuan Nash, lebih baik pulang saja. Jangan menyiksa tubuh sendiri."Namun, Nash tidak mendengar apa pun. Tubuhnya yang membeku terus gemetar. Dia bergumam lirih, "Aku sangat menyesal .... Kenapa semuanya jadi seperti ini ...."Suara mesin mobil segera menariknya kembali ke kenyataan. Matanya membelalak saat dia buru-buru berlari mengejar. "Quinn, jangan pergi!"Namun, tubuhnya yang lemah tidak mampu lagi menahan beban itu. Baru mengambil beberapa langkah, Nash ambruk ke tanah dan muntah darah sebelum akhirnya pingsan.Dari dalam mobil, Quinn secara refleks menoleh ke belakang dan tepat melihat Nash jatuh dengan lemas di salju.Tubuh kurusnya terlihat sangat menyedihkan di tengah putihnya salju, tetapi itu semua bukan lagi urusannya.Quinn menenangkan diri dan memejamkan matanya.Kehidupan di Yunan sangat tenang. Setelah masuk se

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 25

    Brak! Pintu kelas terbuka dengan keras, Nash menerobos masuk. Dia langsung menarik gantungan jimat dari tas Quinn dan melemparkannya ke lantai!Quinn segera mendorongnya. "Kamu belum selesai juga? Apa hubungannya urusanku denganmu?"Setelah berkata begitu, dia memungut gantungan itu dari lantai dan meminta maaf kepada Vin.Mata Nash memerah. "Sekarang kamu mau terima dia ya? Kamu sengaja bikin aku sesakit ini? Kenapa sih nggak bisa kasih aku satu kesempatan?"Quinn memutar bola matanya. "Pergi periksa ke rumah sakit jiwa sana!"Tubuh Nash bergetar karena marah. Dia menoleh dan memelototi Vin. "Asal kamu tahu ya, dia itu milikku! Jangan pernah mimpi bisa mendapat Quinn!"Vin mengernyit. "Nash, Quinn itu bukan barang. Dia manusia. Nggak ada yang namanya milik. Kalau kamu benar-benar suka dia, kamu harus hormati dia."Nash pun membentak, "Apa hakmu ajari aku? Jangan pikir aku nggak tahu niat busukmu. Jauh-jauh dari Quinn!"Tepat saat itu, bel pelajaran berbunyi. Guru masuk ke kelas dan la

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 24

    Tanpa ragu, Quinn langsung menunjuk ke arah Sachi. "Ayah, Ibu, semua boleh dibantu, kecuali dia."Ayah dan Ibu Quinn langsung mengangguk. "Oke."Sachi awalnya mengira bahwa nilai akademisnya yang cemerlang akan membuatnya terpilih untuk mendapatkan bantuan. Tak disangka, hanya dengan satu kalimat dari Quinn, harapannya pupus. Dia langsung menangis tersedu."Tolong ... aku benar-benar butuh kesempatan ini! Aku suka belajar, aku nggak mau putus sekolah!"Quinn bisa melihat bahwa Sachi tidak bereinkarnasi seperti dirinya. Dengan ekspresi datar, dia berkata, "Kalau begitu, cari bantuan ke orang lain. Aku kasih saran, cari saja Nash, putra Keluarga Suwandi. Mungkin kalau kamu minta tolong ke dia, dia bakal bantu."Sachi langsung berlutut di tempat. "Kumohon ... kalian kaya raya. Pasti sanggup kalau tambah aku lagi."Quinn tak ingin melihatnya lagi, jadi segera memerintahkan pengawal, "Bawa dia ke rumah sakit. Suruh dia temui Nash!"Bukankah Nash menyukai Sachi? Ya sudah. Di kehidupan ini, d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 23

    "Putra keluarga orang kaya itu sampai-sampai lompat ke danau demi Quinn! Sampai jidatnya berdarah segala, benar-benar cinta mati ya!""Umur baru belasan, mana ngerti cinta. Anak-anak paling gampang bertindak nekat, nanti kalau sudah dewasa pasti nyesal!""Menurutku Quinn itu hatinya keras banget! Sudah begini pun tetap nggak tersentuh!""Mungkin dia nggak suka orang yang menyiksa diri sendiri. Sekarang si Nash malah pingsan dan demam tinggi."Quinn baru saja kembali ke kamar rawat saat mendengar beberapa perawat sedang membicarakan kejadian malam ini.Dia pura-pura tak mendengar. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, dia langsung beristirahat.Di sisi lain, Nash terus demam tinggi. Tubuhnya seperti terjebak di antara sadar dan tidak.Menjelang tengah malam, Nash mulai berhalusinasi. Dia melihat Quinn dari kehidupan sebelumnya, berdiri sambil menatapnya dengan mata merah.Pakaian Quinn tampak compang-camping, di dadanya tertancap sebilah belati berkilat dingin. Setetes demi setetes d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 22

    Saat ini sudah memasuki akhir musim gugur. Cuaca mulai dingin dan suhu malam hari tak berbeda dengan musim dingin. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu pun tak bisa menahan diri untuk berbisik-bisik."Anak laki-laki itu masih sakit. Tega banget!""Jangan asal ngomong, kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka"Seperti yang dikatakan para penonton, Nash memang masih sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, dia mulai mengalami demam ringan dan sekarang tubuhnya sangat tidak nyaman.Angin dingin bertiup, membuatnya batuk beberapa kali. Wajahnya pun tampak semakin pucat. "Quinn, kamu serius sama omonganmu tadi?"Quinn menjawab dengan dingin, "Terserah kamu mau percaya atau nggak."Nash mengepalkan tangannya dan memaksakan senyuman. "Karena kamu sudah ngomong begitu, aku bakal loncat!"Usai berkata begitu, dia langsung berlari menuju danau buatan!"Gawat! Dia benaran mau nyebur ke danau!""Cepat tarik dia! Bisa mati kalau nekat!"Orang-orang yang melihat sontak p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status