Share

Bab 6

Author: Musim Semi Sanai
Suara itu tidak keras, tetapi cukup untuk membuat seluruh lobi menjadi sunyi senyap. Banyak orang kembali mengintip dengan rasa penasaran untuk menyaksikan drama ini.

Tatapan demi tatapan tertuju ke arah Quinn yang menggenggam erat surat perjanjian cerai. Meskipun begitu, sorot matanya justru semakin tegas.

Ekspresi Nash sontak membeku. Dia mengepalkan tangannya, menahan emosi sambil bertanya, "Quinn, kamu yakin mau seperti ini?"

Quinn menyeka air matanya dan menatapnya langsung. "Mau berapa kali pun kamu tanya, jawabanku nggak akan pernah berubah. Kamu hanya perlu tanda tangan, lalu kita bisa saling melepaskan."

Nash tidak menjawab. Matanya menatap wajah Quinn lekat-lekat. Aura sedingin es itu sungguh menyesakkan napas.

Melihat itu, Sachi merasa bersemangat. Dia segera ikut memperkeruh suasana. Tangan mungilnya yang lembut menggenggam kerah baju Nash, ekspresinya tampak menyedihkan.

"Kak Nash, turunin aku saja .... Semua salahku. Tolong jangan bertengkar sama Kak Quinn ya!"

Tangisannya seperti cambuk yang mencabik saraf Quinn. Quinn hanya tertawa sinis. "Pak Nash, tandatangani saja. Gadis kecilmu sangat membutuhkanmu."

Panggilan "Pak Nash" benar-benar memicu kemarahan Nash. Wajahnya memucat, lalu dia tertawa. "Oke! Quinn, kamu benaran ingin cerai, 'kan? Jangan nyesal nanti!"

Quinn memejamkan mata, suaranya tegas. "Aku nggak akan nyesal!"

"Oke! Kalau begitu, kita cerai!" Nash segera menurunkan Sachi, lalu merebut surat itu dari tangan Quinn dengan kasar. Kepalan tangannya sampai berbunyi karena terlalu kuat.

Suara dinginnya bagaikan pisau yang mengiris tulang dan daging Quinn. Air matanya hampir jatuh lagi. Namun, dia tetap memaksakan diri untuk bertahan, lalu tersenyum ke arah resepsionis. "Boleh pinjam pulpen? Terima kasih."

"Eh ... iya!" Resepsionis hendak menyerahkan pulpen, tetapi saat melihat mata Nash yang merah menyala dan menakutkan, dia langsung menarik tangannya kembali.

Dengan suara bergetar, dia berkata, "Maaf ... aku nggak punya pulpen."

Quinn hendak memutar langkah untuk mengambil sendiri, tetapi tiba-tiba terdengar bunyi barang jatuh. Sebuah pulpen jatuh dari tas Sachi.

"Ah! Maaf! Aku nggak sengaja!" kata Sachi dengan wajah panik, meskipun tak berusaha sedikit pun untuk memungut pulpen itu.

Quinn langsung mengambil pulpen itu dan menyodorkannya kepada Nash. Suaranya dingin. "Silakan ditandatangani."

Tatapan semua orang kini terpusat pada Nash. Mereka bisa melihat dengan jelas bahwa Nash sebenarnya tidak ingin bercerai. Semua yang dikatakannya tadi hanya karena emosi sesaat. Akan tetapi, dia tidak bisa menarik kata-katanya kembali.

Nash menatap pulpen itu. Ekspresinya tiba-tiba berubah bengis. Dia merampas pulpen itu dan melemparkannya ke tempat sampah, lalu berbalik memarahi Sachi, "Siapa yang suruh kamu bawa pulpen?"

Mata Sachi langsung memerah. "Katamu hari ini ada pertemuan penting, jadi aku bawa buat jaga-jaga."

Hati Nash langsung luluh. Dia menarik napas panjang, lalu kembali menatap Quinn. Dengan wajah suram, dia merobek surat perjanjian cerai itu menjadi serpihan.

"Kalau mau cerai, boleh. Tapi, isi surat ini bermasalah. Aku akan minta pengacara buatkan yang benar. Nanti aku kabari."

Quinn tahu itu hanya alasan. Dia menggeleng dan berkata, "Kalau begitu, panggil saja pengacaranya sekarang. Aku nggak minta sepeser pun dari hartamu. Aku akan keluar tanpa membawa apa pun. Aku cuma ingin memutus semua hubungan ini secepat mungkin!"

Nash mencengkeram bahu Quinn dengan erat, memaksanya mendekat. Kini, matanya benar-benar merah. "Quinn, kamu sadar nggak dengan apa yang kamu katakan? Kalau kamu pergi dariku, gimana kamu bisa hidup? Kamu sudah pikirin semua itu?"

Air mata membasahi bulu mata panjangnya. Kesedihan di mata Quinn begitu dalam seperti samudra.

Dengan suara pelan yang hanya mereka berdua bisa dengar, dia menimpali, "Sudah kubilang, aku ini sudah mati. Sekarang waktuku hanya tersisa lima hari lagi."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 27

    Quinn terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Tunanganku diperkenalkan oleh teman ibuku. Latar belakang kami setara dan kami akan segera menikah."Nash mengepalkan tangan, masih belum menyerah. "Dari caramu bicara, sepertinya kalian nggak punya dasar perasaan yang kuat?"Quinn tersenyum. "Punya atau nggak, apa bedanya? Kalaupun ada, mungkin hasilnya tetap sama."Nash tak sanggup berkata apa pun lagi. Dia terdiam lama, lalu memaksakan senyum sambil berkata lirih, "Kalau begitu, semoga kamu bahagia.""Kamu juga." Quinn tersenyum sopan sekaligus asing, lalu berbalik dan pergi meninggalkan kafe.Nash menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Air mata pun menetes dari matanya. Jadi, hubungan mereka benar-benar sudah berakhir.Dalam perjalanan pulang dengan mobil, Quinn melihat sosok yang familier sekaligus asing.Seorang wanita dengan wajah letih dan pakaian yang sudah pudar warnanya sedang bertengkar hebat dengan pedagang kaki lima. Di sampingnya, dua anak kecil menangis tanpa henti.Itu adala

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 26

    Quinn tidak lagi memedulikannya dan naik mobil bersama kedua orang tuanya. Sang kepala pelayan yang menyaksikan semuanya hanya bisa menghela napas dan berkata, "Tuan Nash, lebih baik pulang saja. Jangan menyiksa tubuh sendiri."Namun, Nash tidak mendengar apa pun. Tubuhnya yang membeku terus gemetar. Dia bergumam lirih, "Aku sangat menyesal .... Kenapa semuanya jadi seperti ini ...."Suara mesin mobil segera menariknya kembali ke kenyataan. Matanya membelalak saat dia buru-buru berlari mengejar. "Quinn, jangan pergi!"Namun, tubuhnya yang lemah tidak mampu lagi menahan beban itu. Baru mengambil beberapa langkah, Nash ambruk ke tanah dan muntah darah sebelum akhirnya pingsan.Dari dalam mobil, Quinn secara refleks menoleh ke belakang dan tepat melihat Nash jatuh dengan lemas di salju.Tubuh kurusnya terlihat sangat menyedihkan di tengah putihnya salju, tetapi itu semua bukan lagi urusannya.Quinn menenangkan diri dan memejamkan matanya.Kehidupan di Yunan sangat tenang. Setelah masuk se

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 25

    Brak! Pintu kelas terbuka dengan keras, Nash menerobos masuk. Dia langsung menarik gantungan jimat dari tas Quinn dan melemparkannya ke lantai!Quinn segera mendorongnya. "Kamu belum selesai juga? Apa hubungannya urusanku denganmu?"Setelah berkata begitu, dia memungut gantungan itu dari lantai dan meminta maaf kepada Vin.Mata Nash memerah. "Sekarang kamu mau terima dia ya? Kamu sengaja bikin aku sesakit ini? Kenapa sih nggak bisa kasih aku satu kesempatan?"Quinn memutar bola matanya. "Pergi periksa ke rumah sakit jiwa sana!"Tubuh Nash bergetar karena marah. Dia menoleh dan memelototi Vin. "Asal kamu tahu ya, dia itu milikku! Jangan pernah mimpi bisa mendapat Quinn!"Vin mengernyit. "Nash, Quinn itu bukan barang. Dia manusia. Nggak ada yang namanya milik. Kalau kamu benar-benar suka dia, kamu harus hormati dia."Nash pun membentak, "Apa hakmu ajari aku? Jangan pikir aku nggak tahu niat busukmu. Jauh-jauh dari Quinn!"Tepat saat itu, bel pelajaran berbunyi. Guru masuk ke kelas dan la

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 24

    Tanpa ragu, Quinn langsung menunjuk ke arah Sachi. "Ayah, Ibu, semua boleh dibantu, kecuali dia."Ayah dan Ibu Quinn langsung mengangguk. "Oke."Sachi awalnya mengira bahwa nilai akademisnya yang cemerlang akan membuatnya terpilih untuk mendapatkan bantuan. Tak disangka, hanya dengan satu kalimat dari Quinn, harapannya pupus. Dia langsung menangis tersedu."Tolong ... aku benar-benar butuh kesempatan ini! Aku suka belajar, aku nggak mau putus sekolah!"Quinn bisa melihat bahwa Sachi tidak bereinkarnasi seperti dirinya. Dengan ekspresi datar, dia berkata, "Kalau begitu, cari bantuan ke orang lain. Aku kasih saran, cari saja Nash, putra Keluarga Suwandi. Mungkin kalau kamu minta tolong ke dia, dia bakal bantu."Sachi langsung berlutut di tempat. "Kumohon ... kalian kaya raya. Pasti sanggup kalau tambah aku lagi."Quinn tak ingin melihatnya lagi, jadi segera memerintahkan pengawal, "Bawa dia ke rumah sakit. Suruh dia temui Nash!"Bukankah Nash menyukai Sachi? Ya sudah. Di kehidupan ini, d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 23

    "Putra keluarga orang kaya itu sampai-sampai lompat ke danau demi Quinn! Sampai jidatnya berdarah segala, benar-benar cinta mati ya!""Umur baru belasan, mana ngerti cinta. Anak-anak paling gampang bertindak nekat, nanti kalau sudah dewasa pasti nyesal!""Menurutku Quinn itu hatinya keras banget! Sudah begini pun tetap nggak tersentuh!""Mungkin dia nggak suka orang yang menyiksa diri sendiri. Sekarang si Nash malah pingsan dan demam tinggi."Quinn baru saja kembali ke kamar rawat saat mendengar beberapa perawat sedang membicarakan kejadian malam ini.Dia pura-pura tak mendengar. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, dia langsung beristirahat.Di sisi lain, Nash terus demam tinggi. Tubuhnya seperti terjebak di antara sadar dan tidak.Menjelang tengah malam, Nash mulai berhalusinasi. Dia melihat Quinn dari kehidupan sebelumnya, berdiri sambil menatapnya dengan mata merah.Pakaian Quinn tampak compang-camping, di dadanya tertancap sebilah belati berkilat dingin. Setetes demi setetes d

  • Tujuh Hari Pembalasan Dendam Sang Istri   Bab 22

    Saat ini sudah memasuki akhir musim gugur. Cuaca mulai dingin dan suhu malam hari tak berbeda dengan musim dingin. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu pun tak bisa menahan diri untuk berbisik-bisik."Anak laki-laki itu masih sakit. Tega banget!""Jangan asal ngomong, kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka"Seperti yang dikatakan para penonton, Nash memang masih sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, dia mulai mengalami demam ringan dan sekarang tubuhnya sangat tidak nyaman.Angin dingin bertiup, membuatnya batuk beberapa kali. Wajahnya pun tampak semakin pucat. "Quinn, kamu serius sama omonganmu tadi?"Quinn menjawab dengan dingin, "Terserah kamu mau percaya atau nggak."Nash mengepalkan tangannya dan memaksakan senyuman. "Karena kamu sudah ngomong begitu, aku bakal loncat!"Usai berkata begitu, dia langsung berlari menuju danau buatan!"Gawat! Dia benaran mau nyebur ke danau!""Cepat tarik dia! Bisa mati kalau nekat!"Orang-orang yang melihat sontak p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status