Suara dentuman menyita fokus Julio. Pemuda itu lekas datang ke sumber suara. Dia menemukan Jenar yang terkapar di sisi pintu masuk, keadaannya begitu kacau dengan wajahnya yang sembab dan hidungnya yang memerah."Jenar?"Julio berusaha berjongkok dan mendekatinya. "Kamu nggak apa-apa?" Jenar tidak menjawab. Dia hanya mendongak dan tersenyum pada Julio.Julio terperangah melihat penampilan Jenar malam ini. Dia menghilang sejak sore tadi, sekarang pulang dalam keadaan begini. Aroma alkohol menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Kamu mabuk rupanya." Julio langsung menyimpulkan begitu aroma yang tak asing untuknya datang menyela, mengalahkan parfum wangi semerbak milik Jenar biasanya.Julio menghela nafas. "Kalau sampai Papa tahu kamu pulang hampir tengah malam dalam keadaan mabuk, kamu bisa dimarahi habis-habisan!" gerutunya. "Aku antar ke kamarmu," ucap Julio. Dia menarik tubuh Jenar agar bangun dari tempatnya.Sayangnya alkohol mempengaruhi kemarasan Jenar. Perempuan itu malah tertawa d
Jenar menghela nafasnya. Dia tahu kalau mengeluh dalam bentuk apapun tidak akan pernah mengubah semua keadaan yang sudah berjalan. Meskipun begitu, Jenar masih ingin mengeluh sejadi-jadinya."Aku hanya penasaran, apa yang dilakukan papamu di sana?" Jenar berandai-andai. Berhalusinasi, seakan semuanya ada di depan pandangan matanya. "Aku selalu bertanya-tanya, kenapa akhirnya dia melakukan itu?" Jenar memandang Julio yang ada di sisinya. "Jika dia memang tidak mencintaiku dari awal, seharusnya dia menyetuju ketika aku menolak pernikahannya."Jenar tersenyum kecut. "Aku tidak pernah memaksa dia untuk bertanggung jawab.""Faktanya memang aku tidak pernah hamil anaknya." Jenar menutup kalimat.Julio ikut menghela nafas panjang. Seakan dia punya rasa sakit tersendiri di sini, Julio bisa merasakan apa yang Jenar rasakan."Kamu berniat untuk meninggalkannya?" Julio malah memancing Jenar untuk berpikir semakin buruk. "Secara tidak langsung kamu mengetahui perselingkuhannya."Jenar menoleh pa
Dering alarm ponsel membuat Julio kembali pada kesadarannya. Sepasang mata elang itu terbuka, lensanya berusaha menerima cahaya lampu dari langit-langit ruang kamar. "Argh—" Julio mengerang ringan. Dia merasakan nyeri luar biasa di kepalanya, lehernya sedikit sakit sebab posisi bantal yang salah. Julio jelas kebingungan saat mendapati dia bangun dalam keadaan telanjang. Yang membuat dia bingung, bukan apa yang dia lakukan semalam. Julio mengingat semua yang dia lakukan. Julio segera bangun, memakai kembali pakaiannya sebelum hari semakin siang. "Aku harus menemui Jenar." Julio bergumam pada dirinya sendiri. "Kenapa dia tidak membangunkanku?" Julio memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin di depannya. Jelas-jelas keadaannya kacau. Dia tak ingin menghabiskan waktunya di sini tetap tujuannya adalah menemui Jenar...."Maaf karena tidak memberi kabar sejak kemarin." Julian menatap punggung istrinya. "Aku tidak bisa men
"Tentang apa yang kita lakukan semalam. Aku yakin kamu mengingat semuanya, bukan?" tanya Julio penuh harapan.Tentu, Jenar tidak bisa langsung menjawabnya. Dia bergeming cukup lama di tempatnya.Julio melangkah lagi. Sekarang jauh lebih dekat dengan Jenar. "Meskipun kamu dalam keadaan mabuk berat, aku yakin ada sedikit ingatan di dalam kepalamu."Setelah berhasil menenangkan dirinya dalam diam, Jenar mencoba untuk melengkungkan senyum. Dia menggelengkan kepalanya dengan keyakinan yang terus bertambah. "Emangnya apa yang sudah kita lakukan kemarin?" Jenar tertawa kecil dengan kalimatnya sendiri. "Aku tidak yakin kita melakukan sesuatu yang—""Hanya aku yang terbangun dalam keadaan telanjang di atas ranjang?" Julio memotong argumen Jenar. "Jadi semalaman aku hanya tidur seorang diri?"Julio kembali melangkah, tentu saja dia memangkas jarak agar suaranya tidak perlu ditinggikan. "Lalu semalam aku hanya berhalusinasi?"Jena
"Aku berangkat kerja dulu. Kamu bisa beristirahat." Julian mengusap pundak Jenar dengan lembut. "Kamu melakukan banyak hal pagi ini."Jenar tersenyum tipis. Kepalanya mengangguk tak yakin. "Itu sudah kewajibanku, Mas Julian.""Kamu benar. Kamu banyak berusaha dan aku menghargainya." Julian mencium puncak kepala Jenar. "Aku beruntung menikah denganmu."Kalimat itu tidak bisa menjadi penenang untuk Jenar setelah dia tahu apa yang terjadi di belakangnya. Benar memang tidak mengkonfirmasi bahwa itu termasuk tindak perselingkuhan di belakangnya. Bukannya Jenar tidak mau melakukan itu, tetapi dia takut untuk melakukannya. Dia belum bisa menerima kemungkinan buruk yang mungkin terjadi padanya. "Kamu hati-hati di jalan. Jangan terlalu banyak memaksakan diri untuk bekerja," ucap Jenar dengan lembut. "Kamu tidak boleh sakit. Nanti Jean jadi sedih."Julian tertawa kecil. "Kamu ini ....""Kalau begitu aku pergi dulu. Ada urusan di kantor yang harus aku lakukan sebelum jam kerja dimulai," imbuh
Jasmine tersenyum seringai ketika melihat Jenar tampak gelisah di depannya. Tanpa dia memberikan penyerangan, Jenar sudah merasa terintimidasi."Katakan saja apa yang kalian lakukan." Jasmine bersedekap di depannya. "Aku rasa pertanyaanku sederhana, kamu tidak perlu menjelaskan detail jika memang kamu tidak melakukan sesuatu yang salah."Jenar memalingkan wajahnya. Sekuat tenaga dia berusaha menyembunyikan kecemasan yang tiba-tiba datang, nyatanya dia tidak bisa membohongi gadis cerdik seperti Jasmine."Kenapa diam saja?" Jasmine mengubah nada bicaranya. "Aku melihat kalian masuk ke kamar tamu, tetapi aku tidak melihat kalian keluar setelah itu.""Awalnya aku berpikir mungkin saja kak Julio keluar setelah memastikan kamu tidur di sana," ucap Jasmine. Dia mulai mengintimidasi posisi Jenar.Jasmine tertawa kecil tiba-tiba. "Anehnya aku melihat kamu keluar dari kamar itu besok paginya, tapi aku tidak melihat Kak Julio di kamarnya."Jenar hanya bisa diam ketika Jasmine mengutarakan isi ke
"Luce?" Julian sedikit terkejut ketika melihat mantan istrinya berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. "Kenapa kemari?" tanyanya. Luce tak memberi jawaban, dia tersenyum lalu memeluk Julian. Julian tak punya pilihan lain selain membalas Luce, akan aneh jika memarahinya dan menyuruh Luce pergi begitu saja. Kenyatannya Julian berhutang banyak pada mantan istrinya ini.Luce melepas pelukan. "Aku ada kabar baik untuk kamu, Julian," ucap Luce penuh perhatian. Dari caranya tersenyum, Julian menebak itu adalah kabar baik tentang kunjung mereka kemarin malam. "Tentang Mr. Pratt?" tanya Julian menelisik. Harapannya begitu besar pada pria berkebangsaan Amerika-Indonesia itu. Luce manggut-manggut. "Aku rasa kita harus membicarakan ini di luar kantor. Aku akan cari tempat yang nyaman, Julian."Julian terdiam sesaat. Dia punya banyak pertimbangan di sini. Lelaki itu terlalu jauh melangkah bersama Luce. Sejenak melupakan kenyataan tentang Luce dan dirinya yang tidak seharusnya bermalam bersama
Julian membisu. Dia bahkan tidak berani memandang perempuan yang jauh lebih muda darinya yaitu. Sarah menangkap basah dirinya, meskipun Julian tidak yakin dia sedang berselingkuh."Aku tidak akan mengadukannya pada Jenar." Sarah membuat pembicaraan. "Itu pemikiranku sebelumnya."Alis Julian pun terangkat, melihat bagaimana Sarah mempermainkan pendiriannya."Tapi setelah mendengar kalimat dari wanita itu, aku jadi berpikir ulang untuk mengatakannya," imbuh Sarah. Senyumnya menghina keresahan Julian.Julian mengerti persahabatan mereka jauh lebih penting dari apapun. Dia tersenyum tipis pada Sarah. "Biarkan aku yang bilang sendiri padanya."Sarah yang awalnya diam tiba-tiba tertawa. Baginya, kalimat Julian menggelitik perutnya. "Aku harap kamu mengerti apa maksudnya." Julian berusaha berbicara dengan lembut. "Ini masalah rumah tanggaku. Dia sudah menjadi istriku sekarang, bukan lagi teman dekatmu."Sarah menganggukkan kepalanya. "Pak Julian berpikir kalau dia sudah menikah itu artinya