Share

3. Kantor Pasangan Satu Malam

"Jenar!" Seseorang memanggilnya saat dirinya baru saja masuk ke bangunan Lian DeFood yang cukup ramai oleh para pekerja.

Hal itu membuat Jenar menoleh pada sumber suara. 

"Ah ... dia lagi!" Jenar bergumam pada dirinya sendiri.

"Akhirnya kamu masuk juga!" Dia menepuk pundak Jenar. Baginya, mereka adalah rekan kerja yang akrab, tetapi tidak untuk Jenar. Jenar tidak suka bergaul dengan orang yang suka nyablak kalau berbicara seperti Wulan.

Wulan berjalan mengekori Jenar kemudian. Dia adalah biangnya gosip di tengah anak-anak magang dan karyawan baru. Jenar selalu saja terseret arus yang dia gosipkan.

"Memangnya kenapa kalau aku nggak masuk?" Jenar melanjutkan langkah kakinya. 

"Pak Julian bilang kalau kamu demam karena udara dingin di Los Angeles. Katanya juga kamu flu berat dan alergi. Jadi mengambil cuti sampai hari Kamis kemarin." Dia mendesah panjang. Menatap Jenar yang diam. Jenar adalah tipe pendiam, jauh berbeda darinya. Wulan adalah tipikal yang akan mengatakan apapun yang ada di dalam kepalanya.

"Nyatanya kamu baru masuk Senin ini," imbuhnya lagi.

Jenar mengabaikan. Masuk ke dalam lift yang kebetulan langsung terbuka saat mereka datang.

"Kamu sudah sembuh?" tanyanya. Ternyata dia mengikuti Jenar untuk pergi ke lantai dua. Tempat ruang kerja Jenar berada.

Jenar berdeham dan mengangguk. Menatap pantulan bayangan wajahnya. Dia akan tertangkap basah kalau berbohong dengan wajah yang tidak pucat sama sekali.

"Setidaknya bicaralah satu atau dua patah kata. Jangan diam saja." Wulan menyenggol bahunya. "Kalau kamu diam saja aku jadi takut."

Jenar berbohong dan Julian membantunya. Kesalahan mereka saat berada di Los Angeles tentu saja belum selesai. Masih ada embel-embel 'kemungkinan hamil' sebab Jenar tidak ingat 'bermalam' seperti apa yang sudah terjadi. Cutinya adalah 'kompensasi' dari kesalahan Julian satu minggu yang lalu. 

"Ada pekerjaan yang terbengkalai?" tanya Jenar. "Kalau ada masukan dalam daftar, aku akan mencoba untuk menyelesaikannya satu persatu."

"Cih!" Wulan memandang tak suka. "Kamu itu datang dari cuti karena sakit, bukannya bertanya kabar atau apa ... malah langsung membahas tentang pekerjaan." Dia manyun. "Kamu itu benar-benar perempuan yang ambisius!"

"Aku dapat pesan dari mentor katanya ada anak magang baru yang bergabung tiga hari lalu. Katanya kamu nggak mau mengurusnya, jadi dia memintaku untuk bertemu dengan anak barunya."

Wulan kembali menatap ke arah Jenar. "Kita sendiri saja sibuk dengan urusan kita. Banyak inovasi produk yang harus kita buat sebelum akhir tahun. Lalu sekarang kamu mau mengambil job itu?"

Dia melipat tangannya. Mulai menggurui Jenar. "Kita bahkan nggak dapat gaji tambahan meskipun membantu dia. Jadi serahkan saja dia pada senior yang lain."

Jenar diam menunggu pintu lift yang akhirnya terbuka. Jenar melangkah keluar lebih dulu. "Aku akan tetap mengambilnya," ucap Jenar tak acuh. "Larangan darimu adalah perintah untuk aku lakukan."

Dia pergi meninggalkan Wulan.

"Jenar!" Wulan mendekatinya lagi. Menatap sepasang mata teduh Jenar. "Kamu masih menyimpan rasa sama Pak Julian?"

Tiba-tiba saja pertanyaan itu dilontarkan padanya. Membuat Jenar benar-benar diam membisu karena terkejut.

"Kamu tuh dari tadi diem aja. Jawab!" Wulan mendesak.

"Sejak kapan aku menyukai Pak Julian?"  Dia mengelak. "Aku bahkan tidak pernah mengatakan itu padamu atau menyinggungnya, jadi kenapa kamu tiba-tiba bertanya itu padaku?"

Wulan mengangguk. Menghela nafas. "Aku membaca catatan yang kamu tinggalkan di laci meja, sepertinya kamu tidak sengaja meninggalkannya."

Jenar mengerutkan keningnya.

"Kamu menulis daftar pria yang ingin kamu nikahi." Wulan berjalan di sisi Jenar.

"Aku membaca semua itu dari atas sampai bawah. Ternyata seorang Jenar punya kriteria yang begitu panjang," tutur Wulan. Terkekeh-kekeh ringan kemudian.

"Setelah membaca semuanya dan mencoba untuk mencocokkannya dengan visual dunia nyata ... aku terkejut!"

"Memangnya aku menuliskan nama Pak Julian di sana?" Jenar menyahut. Cukup kesal sekarang.

"Tunjukkan padaku jika aku menuliskan nama Pak Julian di sana." Jenar menodonkan telapak tangannya.

"Gak bisa?" tanyanya saat Wulan diam saja. "Berhenti menyimpulkan sesuatu dengan terburu-buru!" Jenar marah dan mempercepat langkahnya. 

Dia berhenti tak jauh dari posisi Wulan berada. "Awas aja kalau yang ini sampai jadi bahan gosip kamu."

Jenar mengacungkan jari telunjuknya menunjuk wajah Wulan. "Aku gak segan-segan menjambak rambut kamu!" Jenar memberi penekanan di bagian akhir kalimatnya.  

Jenar meninggalkan Wulan pergi. Tak lama kemudian dia sampai di ruangannya. Jenar membuka pintu kaca. Seseorang menyambutnya datang dengan pandangan mata dan lambaian tangan, sebagian dari mereka mengabaikannya sebab sepertinya ada gosip yang lebih menyenangkan dan menarik ketimbang kedatangannya yang sudah satu minggu cuti tanpa kabar.

"Ada apa?" tanya Jenar mendekati salah satu temannya.

Matanya menatap ke arah meja yang dipenuhi orang-orang yang saling berbisik satu sama lain sembari menatap ke dalam layar tablet mereka.

"Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku ketinggalan informasi lagi," ucap Jenar padanya. Tertawa santai. 

"Kamu baru datang dari lantai bawah bukan?" Dia menyahut. "Seharusnya kamu juga bertemu dengan dia," ucapnya.

Jenar diam dalam ketidakmengertian. Dia menunggu lawan bicaranya kembali menjelaskan untuk menjawab teka-teki di dalam hatinya setelah melihat suasana di dalam ruangan yang tidak seperti biasanya.

"Ada tamu istimewa," katanya lagi. 

Jenar duduk di sisinya. "Seistimewa apa? Sampai-sampai tidak ada yang fokus bekerja padahal sebentar lagi mentor pasti datang, memastikan apa progres mereka hari ini."

"Nyonya Luce datang. Dia membuat gempar seisi bangunan saat melihatnya turun dari Lamborghini mewah setelah hampir satu tahun lebih menghilang tanpa kabar."

Jenar diam. Nama Luce Wileen membuat nyalinya untuk bersaing langsung hilang. Sekarang bagaimana bisa dia berpikir untuk menggantikan posisi wanita itu?

"Kenapa wajahmu begitu?" tanyanya. Dia menjadi saksi perubahan ekspresi wajah Jenar.

Jenar menggelengkan kepalanya. Tersenyum tipis. "Aku akan kembali bekerja."

"Oh ya, Jenar!" Panggilannya membuat Jenar kembali menoleh. "Satu minggu lalu kamu dan Pak Julian pergi ke Los Angeles untuk urusan bisnis dengan beberapa karyawan lainnya juga."

Jenar mengangguk. "Lalu?" Gadis itu mengerutkan keningnya. "Ada yang salah?"

"Kamu tidak bertemu dengannya?" tanyanya.

"Dengan siapa?" Jenar memandang heran. 

"Nyonya Luce Wileen ada di Los Angeles juga. Semua orang kantor menggosipkan itu."

Jenar diam. Tak mengerti.

"Tentang mungkin saja Pak Julian rujuk dengan mantan istrinya setelah mereka bertemu di sana," pungkasnya. "Kamu tidak bertemu?"

Jenar merasakan kobaran api di dalam hatinya.  "Entahlah. Aku juga tidak tau," jawab Jenar seadanya.

... Next  ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jen Jeje
jenar diem-diem galak juga ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status