"Jenar!" Seseorang memanggilnya saat dirinya baru saja masuk ke bangunan Lian DeFood yang cukup ramai oleh para pekerja.
Hal itu membuat Jenar menoleh pada sumber suara.
"Ah ... dia lagi!" Jenar bergumam pada dirinya sendiri.
"Akhirnya kamu masuk juga!" Dia menepuk pundak Jenar. Baginya, mereka adalah rekan kerja yang akrab, tetapi tidak untuk Jenar. Jenar tidak suka bergaul dengan orang yang suka nyablak kalau berbicara seperti Wulan.
Wulan berjalan mengekori Jenar kemudian. Dia adalah biangnya gosip di tengah anak-anak magang dan karyawan baru. Jenar selalu saja terseret arus yang dia gosipkan.
"Memangnya kenapa kalau aku nggak masuk?" Jenar melanjutkan langkah kakinya.
"Pak Julian bilang kalau kamu demam karena udara dingin di Los Angeles. Katanya juga kamu flu berat dan alergi. Jadi mengambil cuti sampai hari Kamis kemarin." Dia mendesah panjang. Menatap Jenar yang diam. Jenar adalah tipe pendiam, jauh berbeda darinya. Wulan adalah tipikal yang akan mengatakan apapun yang ada di dalam kepalanya.
"Nyatanya kamu baru masuk Senin ini," imbuhnya lagi.
Jenar mengabaikan. Masuk ke dalam lift yang kebetulan langsung terbuka saat mereka datang.
"Kamu sudah sembuh?" tanyanya. Ternyata dia mengikuti Jenar untuk pergi ke lantai dua. Tempat ruang kerja Jenar berada.
Jenar berdeham dan mengangguk. Menatap pantulan bayangan wajahnya. Dia akan tertangkap basah kalau berbohong dengan wajah yang tidak pucat sama sekali.
"Setidaknya bicaralah satu atau dua patah kata. Jangan diam saja." Wulan menyenggol bahunya. "Kalau kamu diam saja aku jadi takut."
Jenar berbohong dan Julian membantunya. Kesalahan mereka saat berada di Los Angeles tentu saja belum selesai. Masih ada embel-embel 'kemungkinan hamil' sebab Jenar tidak ingat 'bermalam' seperti apa yang sudah terjadi. Cutinya adalah 'kompensasi' dari kesalahan Julian satu minggu yang lalu.
"Ada pekerjaan yang terbengkalai?" tanya Jenar. "Kalau ada masukan dalam daftar, aku akan mencoba untuk menyelesaikannya satu persatu."
"Cih!" Wulan memandang tak suka. "Kamu itu datang dari cuti karena sakit, bukannya bertanya kabar atau apa ... malah langsung membahas tentang pekerjaan." Dia manyun. "Kamu itu benar-benar perempuan yang ambisius!"
"Aku dapat pesan dari mentor katanya ada anak magang baru yang bergabung tiga hari lalu. Katanya kamu nggak mau mengurusnya, jadi dia memintaku untuk bertemu dengan anak barunya."
Wulan kembali menatap ke arah Jenar. "Kita sendiri saja sibuk dengan urusan kita. Banyak inovasi produk yang harus kita buat sebelum akhir tahun. Lalu sekarang kamu mau mengambil job itu?"
Dia melipat tangannya. Mulai menggurui Jenar. "Kita bahkan nggak dapat gaji tambahan meskipun membantu dia. Jadi serahkan saja dia pada senior yang lain."
Jenar diam menunggu pintu lift yang akhirnya terbuka. Jenar melangkah keluar lebih dulu. "Aku akan tetap mengambilnya," ucap Jenar tak acuh. "Larangan darimu adalah perintah untuk aku lakukan."
Dia pergi meninggalkan Wulan.
"Jenar!" Wulan mendekatinya lagi. Menatap sepasang mata teduh Jenar. "Kamu masih menyimpan rasa sama Pak Julian?"
Tiba-tiba saja pertanyaan itu dilontarkan padanya. Membuat Jenar benar-benar diam membisu karena terkejut.
"Kamu tuh dari tadi diem aja. Jawab!" Wulan mendesak.
"Sejak kapan aku menyukai Pak Julian?" Dia mengelak. "Aku bahkan tidak pernah mengatakan itu padamu atau menyinggungnya, jadi kenapa kamu tiba-tiba bertanya itu padaku?"
Wulan mengangguk. Menghela nafas. "Aku membaca catatan yang kamu tinggalkan di laci meja, sepertinya kamu tidak sengaja meninggalkannya."
Jenar mengerutkan keningnya.
"Kamu menulis daftar pria yang ingin kamu nikahi." Wulan berjalan di sisi Jenar.
"Aku membaca semua itu dari atas sampai bawah. Ternyata seorang Jenar punya kriteria yang begitu panjang," tutur Wulan. Terkekeh-kekeh ringan kemudian.
"Setelah membaca semuanya dan mencoba untuk mencocokkannya dengan visual dunia nyata ... aku terkejut!"
"Memangnya aku menuliskan nama Pak Julian di sana?" Jenar menyahut. Cukup kesal sekarang.
"Tunjukkan padaku jika aku menuliskan nama Pak Julian di sana." Jenar menodonkan telapak tangannya.
"Gak bisa?" tanyanya saat Wulan diam saja. "Berhenti menyimpulkan sesuatu dengan terburu-buru!" Jenar marah dan mempercepat langkahnya.
Dia berhenti tak jauh dari posisi Wulan berada. "Awas aja kalau yang ini sampai jadi bahan gosip kamu."
Jenar mengacungkan jari telunjuknya menunjuk wajah Wulan. "Aku gak segan-segan menjambak rambut kamu!" Jenar memberi penekanan di bagian akhir kalimatnya.
Jenar meninggalkan Wulan pergi. Tak lama kemudian dia sampai di ruangannya. Jenar membuka pintu kaca. Seseorang menyambutnya datang dengan pandangan mata dan lambaian tangan, sebagian dari mereka mengabaikannya sebab sepertinya ada gosip yang lebih menyenangkan dan menarik ketimbang kedatangannya yang sudah satu minggu cuti tanpa kabar.
"Ada apa?" tanya Jenar mendekati salah satu temannya.
Matanya menatap ke arah meja yang dipenuhi orang-orang yang saling berbisik satu sama lain sembari menatap ke dalam layar tablet mereka.
"Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Aku ketinggalan informasi lagi," ucap Jenar padanya. Tertawa santai.
"Kamu baru datang dari lantai bawah bukan?" Dia menyahut. "Seharusnya kamu juga bertemu dengan dia," ucapnya.
Jenar diam dalam ketidakmengertian. Dia menunggu lawan bicaranya kembali menjelaskan untuk menjawab teka-teki di dalam hatinya setelah melihat suasana di dalam ruangan yang tidak seperti biasanya.
"Ada tamu istimewa," katanya lagi.
Jenar duduk di sisinya. "Seistimewa apa? Sampai-sampai tidak ada yang fokus bekerja padahal sebentar lagi mentor pasti datang, memastikan apa progres mereka hari ini."
"Nyonya Luce datang. Dia membuat gempar seisi bangunan saat melihatnya turun dari Lamborghini mewah setelah hampir satu tahun lebih menghilang tanpa kabar."
Jenar diam. Nama Luce Wileen membuat nyalinya untuk bersaing langsung hilang. Sekarang bagaimana bisa dia berpikir untuk menggantikan posisi wanita itu?
"Kenapa wajahmu begitu?" tanyanya. Dia menjadi saksi perubahan ekspresi wajah Jenar.
Jenar menggelengkan kepalanya. Tersenyum tipis. "Aku akan kembali bekerja."
"Oh ya, Jenar!" Panggilannya membuat Jenar kembali menoleh. "Satu minggu lalu kamu dan Pak Julian pergi ke Los Angeles untuk urusan bisnis dengan beberapa karyawan lainnya juga."
Jenar mengangguk. "Lalu?" Gadis itu mengerutkan keningnya. "Ada yang salah?"
"Kamu tidak bertemu dengannya?" tanyanya.
"Dengan siapa?" Jenar memandang heran.
"Nyonya Luce Wileen ada di Los Angeles juga. Semua orang kantor menggosipkan itu."
Jenar diam. Tak mengerti.
"Tentang mungkin saja Pak Julian rujuk dengan mantan istrinya setelah mereka bertemu di sana," pungkasnya. "Kamu tidak bertemu?"
Jenar merasakan kobaran api di dalam hatinya. "Entahlah. Aku juga tidak tau," jawab Jenar seadanya.
... Next ...
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s