Share

4. Mantan Istri vs Mantan Satu Malam

Jenar masih memikirkan ucapan Wulan dan merasa ingin menjauh dari bosnya itu. Namun, di sinilah dia-- berada di ruangan yang sama dengan Julian karena ide proposal yang dia ajukan. 

"Ada ide tambahan untuk proposal kamu?" tanya Julian, "Idenya perlu disempurnakan."

Jenar tidak memberi jawaban. Dia memilih menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan Julian.

Julian mengerti kesalahan di Los Angeles membuat Jenar begitu canggung padanya. Gadis itu sudah menghindari dirinya selama satu minggu. Dia mengabaikan panggilan suara dan pesan dari Julian. Ditambah lagi, keberadaan mantan istrinya--Luce Wileen di sudut ruangan.

"Kalau tidak ada, aku kembalikan proposalmu." Julian mendorong tumpukan kertas ke arah Jenar. "Temui aku lagi jika sudah menyempurnakan isi proposalmu." Dia menambahkan lagi. "Di dalam sana aku sudah memberikan beberapa catatan penting untuk membantu," pungkasnya.

Jenar mengangguk sekali. "Baik, Pak." Suaranya sangat lirih. "Terima kasih." 

"Kirimkan proposalnya lagi padaku jika kamu memang benar-benar menginginkan ide inovasimu diciptakan. Kamu akan mendapatkan bonus dari itu dan kenaikan pangkat jika memenuhi syarat."

"Baik, Pak." Dia membungkukkan badannya. "Kalau begitu saya pergi dulu." Dia berpamitan kemudian.

"Jenar!" Julian memanggilnya tegas. Berbeda sekali dengan kenangan mereka malam itu. Julian jauh lebih lembut dan pengertian.

"Aku tidak memaksamu jadi santai saja. Tim inovasi dan pengembangan sedang ada project bukan? Kamu bisa fokus dengan project itu dan jika ada waktu luang baru kamu teruskan proposalnya." Julian menukas lagi. Tersenyum pada Jenar. Pria itu berusaha untuk menarik pandangan mata Jenar agar mau menatapnya, tetapi selalu saja gagal.

Jenar membalas senyum itu. "Terima kasih, Pak Julian. Kalau begitu saya langsung pergi saja. Sekali lagi terima kasih."

Dia mengangguk dan membiarkan Jenar pergi. 

"Jenar?"

Sialnya dia kembali ditahan. Bukan Julian, itu adalah Luce Wileen. Siapa sangka kalau ternyata dia mendengarkan semua pembicaraan Jenar dan mantan suaminya.

"I--iya, Nyonya Luce?" sahutnya sedikit ragu. Jenar menatap ke arah Luce. 

Ternyata benar, Luce Wileen mencerminkan sosok wanita karier patut untuk disanjung dan dibanggakan oleh siapa saja. Anehnya, Julian malah menceraikannya. Padahal, jika mencari kesempurnaan—entah itu secara fisik ataupun tidak—maka Nyonya Luce Wileen adalah jawabannya.

"Itu namamu bukan?" tanyanya seraya tersenyum dengan akrab.

"Benar sekali, Nyonya Luce," jawab Jenar.

"Aku membaca halaman pembahasan." Luce memulai kalimatnya. "Ini tentang proposal yang kamu buat."

Jenar lega. Ternyata itu yang ingin dia bahas, bukan tentang Julian dan skandal mereka di Los Angeles.

"Aku menyukai idemu dan aku yakin Julian juga berpikir hal yang sama." Dia memandang Julian dan tersenyum nyaman. Sedangkan Julian hanya manggut-manggut.

"Aku mengenalnya dengan baik jadi aku tahu koreksi apa yang mungkin ada di dalam kepalanya sekarang," imbuhnya.

Mereka ini sedang memamerkan kebersamaan dan keserasian atau bagaimana—batin Jenar.

Awalnya Jenar tidak peduli dengan mereka berdua, tetapi setelah Julian mengambil keperawanannya Jenar mulai punya dasar alasan yang kuat untuk mulai peduli. 

"Mungkin kamu bisa menambahkan sedikit di beberapa bagian inovasi produknya. Berikan kesan tambahan dan poin utama mengapa kita harus menerima proposalmu," ucapnya. Mengoreksi Jenar.

Jenar mengangguk. "Terima kasih, Nyonya Luce."

"Oh! Satu lagi!" Dia menjeda lagi. "Beri nama produkmu dengan nama yang lebih unik lagi, penilaian konsumen adalah yang terbaik dan yang terpenting."

Jenar hanya bisa mengangguk.

Setelah bertemu langsung, Jenar jadi tahu meskipun wajah Luce menyeramkan—dengan make up tebal itu dan polesan bibir merah merona —tetapi, dari suara dan caranya berbicara, Jenar menyimpulkan kalau Luce Wileen adalah yang terbaik.

"Kamu boleh pergi kalau sudah mengerti. Kalau ada yang ingin ditanyakan kamu bisa hubungi aku. Kita bisa melakukan pertemuan di luar kantor dan aku akan membimbingmu."

Gadis itu melirik ke arah Julian. Mengabaikannya lagi kemudian. "Terima kasih, Nyonya."

"Aku juga dengar bahwa ini adalah pengalaman pertamamu bekerja dan ini adalah proposal pertama yang kamu ajukan langsung pada bosmu. Jadi, wajar saja kalau masih banyak kesalahan di dalamnya. Aku akan dengan senang hati untuk—"

"Jenar sedang sibuk sekarang, jadi biarkan dia pergi." Julian memotong.

Syukurlah—batin Jenar. Dia juga ingin segera pergi dari sini.

"Begitukah?" Luce menoleh pada Jenar. "Kamu boleh pergi kalau begitu."

Jenar merekahkan senyum lagi. Membungkuk dan berterimakasih lalu pergi dari ruangan itu.

"Kenapa ikut campur?" Julian memulai setelah Jenar keluar. "Katanya kamu akan pergi setelah menyelesaikan pekerjaanmu di sini. Kamu bilang itu sudah satu jam yang lalu."

Luce tersenyum. "Lalu? Aku harus membayar sewa karena duduk di sini lebih dari satu jam?" tukasnya tertawa ringan. "Lagian tidak ada salahnya kalau aku berkunjung ke perusahaan yang dulu kita rintis bersama. Sebagian adalah punyaku." Dia mengulas kembali.

"Luce!" Julian nampak sedikit kesal. "Sebentar lagi adalah jam makan siang, jadi pergilah sebelum lorong dipenuhi karyawan yang berlalu-lalang untuk pergi ke kantin dan menikmati waktu istirahat mereka."

Luce mengangkat kedua bahunya. "Memangnya kenapa kalau lorongnya ramai?" tanyanya. Berwajah polos tanpa dosa. "Aku tinggal menyapa mereka jika mereka menyapaku. Lagian aku dulunya juga bos mereka."

"Kita sudah bercerai. Setidaknya jika kamu ingin datang kabari dulu, jangan membuatku seperti pria bodoh yang tidak bisa menjawab pertanyaan dari karyawanku saat mereka bilang bahwa kamu datang mencariku."

Luce mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu jadi sensitif begini? Aku tau aku salah dengan datang tiba-tiba. Aku sudah meminta maaf." Dia tidak benar-benar mengaku bersalah. 

"Pergilah sekarang. Aku mohon, Luce. Aku tidak nyaman denganmu." Julian menggerutu di tempatnya.  "Kita bercerai dengan suasana yang kurang baik satu tahun yang lalu."

"Untuk itu aku berusaha memperbaiki hubungan kita." Dia menyahut. "Setelah bercerai, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan anak-anak," ucapnya mengeluh. "Jadi aku datang untuk mampir dan melihat anak-anak." 

Julian berdecak kesal. Frustasi mengusap wajahnya. 

"Salah jika aku datang  untuk menjenguk anak dan mantan suamiku?" tanyanya sambil menutup laptop. "Aku penjahat dalam perceraian kita?"

"Luce, aku tidak mau bertengkar denganmu sekarang."  Julian mengembuskan nafas kasar. "Semuanya sudah berlalu dan kita bangkit dengan cara kita masing-masing." 

Pandangan mata Julian nanar pada Luce. "Kamu  janji dan aku janji kalau perceraian kita tidak akan mempengaruhi dan mengubah apapun, kecuali hanya bagaimana kita berhubungan."

Luce terkekeh dan melipat tangannya. "Kamu yang menceraikan diriku," katanya pada Julian. "Katanya aku tidak sempurna menjadi istri dan ibu."

"Kita sepakat untuk bercerai!" Julian bersikeras. "Kita terus berbeda pendapat seperti sekarang, lalu apa lagi?" tanyanya seraya menaikkan kedua sisi bahunya. "Apa lagi yang bisa dipertahankan dari hubungan aneh seperti itu?" 

Kalau sudah membahas masa lalu, dia kalah.

"Luce, jujur saja ... aku sudah mencintai orang lain." Julian tiba-tiba saja mengaku. Membuat Luce terkejut. "Aku akan mengenalkan dia pada anak-anak nanti."

"Julian?" Luce memandangnya serius. "Kamu sedang berbohong hanya karena ingin mengusirku kan?"

Julian menggelengkan kepalanya. "Aku juga akan segera mengenalkannya padamu, Luce. Tunggu saja."

... Next ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status