Home / Rumah Tangga / Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung / 4. Mantan Istri vs Mantan Satu Malam

Share

4. Mantan Istri vs Mantan Satu Malam

Author: Lefkilavanta
last update Last Updated: 2022-08-12 08:41:31

Jenar masih memikirkan ucapan Wulan dan merasa ingin menjauh dari bosnya itu. Namun, di sinilah dia-- berada di ruangan yang sama dengan Julian karena ide proposal yang dia ajukan. 

"Ada ide tambahan untuk proposal kamu?" tanya Julian, "Idenya perlu disempurnakan."

Jenar tidak memberi jawaban. Dia memilih menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan Julian.

Julian mengerti kesalahan di Los Angeles membuat Jenar begitu canggung padanya. Gadis itu sudah menghindari dirinya selama satu minggu. Dia mengabaikan panggilan suara dan pesan dari Julian. Ditambah lagi, keberadaan mantan istrinya--Luce Wileen di sudut ruangan.

"Kalau tidak ada, aku kembalikan proposalmu." Julian mendorong tumpukan kertas ke arah Jenar. "Temui aku lagi jika sudah menyempurnakan isi proposalmu." Dia menambahkan lagi. "Di dalam sana aku sudah memberikan beberapa catatan penting untuk membantu," pungkasnya.

Jenar mengangguk sekali. "Baik, Pak." Suaranya sangat lirih. "Terima kasih." 

"Kirimkan proposalnya lagi padaku jika kamu memang benar-benar menginginkan ide inovasimu diciptakan. Kamu akan mendapatkan bonus dari itu dan kenaikan pangkat jika memenuhi syarat."

"Baik, Pak." Dia membungkukkan badannya. "Kalau begitu saya pergi dulu." Dia berpamitan kemudian.

"Jenar!" Julian memanggilnya tegas. Berbeda sekali dengan kenangan mereka malam itu. Julian jauh lebih lembut dan pengertian.

"Aku tidak memaksamu jadi santai saja. Tim inovasi dan pengembangan sedang ada project bukan? Kamu bisa fokus dengan project itu dan jika ada waktu luang baru kamu teruskan proposalnya." Julian menukas lagi. Tersenyum pada Jenar. Pria itu berusaha untuk menarik pandangan mata Jenar agar mau menatapnya, tetapi selalu saja gagal.

Jenar membalas senyum itu. "Terima kasih, Pak Julian. Kalau begitu saya langsung pergi saja. Sekali lagi terima kasih."

Dia mengangguk dan membiarkan Jenar pergi. 

"Jenar?"

Sialnya dia kembali ditahan. Bukan Julian, itu adalah Luce Wileen. Siapa sangka kalau ternyata dia mendengarkan semua pembicaraan Jenar dan mantan suaminya.

"I--iya, Nyonya Luce?" sahutnya sedikit ragu. Jenar menatap ke arah Luce. 

Ternyata benar, Luce Wileen mencerminkan sosok wanita karier patut untuk disanjung dan dibanggakan oleh siapa saja. Anehnya, Julian malah menceraikannya. Padahal, jika mencari kesempurnaan—entah itu secara fisik ataupun tidak—maka Nyonya Luce Wileen adalah jawabannya.

"Itu namamu bukan?" tanyanya seraya tersenyum dengan akrab.

"Benar sekali, Nyonya Luce," jawab Jenar.

"Aku membaca halaman pembahasan." Luce memulai kalimatnya. "Ini tentang proposal yang kamu buat."

Jenar lega. Ternyata itu yang ingin dia bahas, bukan tentang Julian dan skandal mereka di Los Angeles.

"Aku menyukai idemu dan aku yakin Julian juga berpikir hal yang sama." Dia memandang Julian dan tersenyum nyaman. Sedangkan Julian hanya manggut-manggut.

"Aku mengenalnya dengan baik jadi aku tahu koreksi apa yang mungkin ada di dalam kepalanya sekarang," imbuhnya.

Mereka ini sedang memamerkan kebersamaan dan keserasian atau bagaimana—batin Jenar.

Awalnya Jenar tidak peduli dengan mereka berdua, tetapi setelah Julian mengambil keperawanannya Jenar mulai punya dasar alasan yang kuat untuk mulai peduli. 

"Mungkin kamu bisa menambahkan sedikit di beberapa bagian inovasi produknya. Berikan kesan tambahan dan poin utama mengapa kita harus menerima proposalmu," ucapnya. Mengoreksi Jenar.

Jenar mengangguk. "Terima kasih, Nyonya Luce."

"Oh! Satu lagi!" Dia menjeda lagi. "Beri nama produkmu dengan nama yang lebih unik lagi, penilaian konsumen adalah yang terbaik dan yang terpenting."

Jenar hanya bisa mengangguk.

Setelah bertemu langsung, Jenar jadi tahu meskipun wajah Luce menyeramkan—dengan make up tebal itu dan polesan bibir merah merona —tetapi, dari suara dan caranya berbicara, Jenar menyimpulkan kalau Luce Wileen adalah yang terbaik.

"Kamu boleh pergi kalau sudah mengerti. Kalau ada yang ingin ditanyakan kamu bisa hubungi aku. Kita bisa melakukan pertemuan di luar kantor dan aku akan membimbingmu."

Gadis itu melirik ke arah Julian. Mengabaikannya lagi kemudian. "Terima kasih, Nyonya."

"Aku juga dengar bahwa ini adalah pengalaman pertamamu bekerja dan ini adalah proposal pertama yang kamu ajukan langsung pada bosmu. Jadi, wajar saja kalau masih banyak kesalahan di dalamnya. Aku akan dengan senang hati untuk—"

"Jenar sedang sibuk sekarang, jadi biarkan dia pergi." Julian memotong.

Syukurlah—batin Jenar. Dia juga ingin segera pergi dari sini.

"Begitukah?" Luce menoleh pada Jenar. "Kamu boleh pergi kalau begitu."

Jenar merekahkan senyum lagi. Membungkuk dan berterimakasih lalu pergi dari ruangan itu.

"Kenapa ikut campur?" Julian memulai setelah Jenar keluar. "Katanya kamu akan pergi setelah menyelesaikan pekerjaanmu di sini. Kamu bilang itu sudah satu jam yang lalu."

Luce tersenyum. "Lalu? Aku harus membayar sewa karena duduk di sini lebih dari satu jam?" tukasnya tertawa ringan. "Lagian tidak ada salahnya kalau aku berkunjung ke perusahaan yang dulu kita rintis bersama. Sebagian adalah punyaku." Dia mengulas kembali.

"Luce!" Julian nampak sedikit kesal. "Sebentar lagi adalah jam makan siang, jadi pergilah sebelum lorong dipenuhi karyawan yang berlalu-lalang untuk pergi ke kantin dan menikmati waktu istirahat mereka."

Luce mengangkat kedua bahunya. "Memangnya kenapa kalau lorongnya ramai?" tanyanya. Berwajah polos tanpa dosa. "Aku tinggal menyapa mereka jika mereka menyapaku. Lagian aku dulunya juga bos mereka."

"Kita sudah bercerai. Setidaknya jika kamu ingin datang kabari dulu, jangan membuatku seperti pria bodoh yang tidak bisa menjawab pertanyaan dari karyawanku saat mereka bilang bahwa kamu datang mencariku."

Luce mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu jadi sensitif begini? Aku tau aku salah dengan datang tiba-tiba. Aku sudah meminta maaf." Dia tidak benar-benar mengaku bersalah. 

"Pergilah sekarang. Aku mohon, Luce. Aku tidak nyaman denganmu." Julian menggerutu di tempatnya.  "Kita bercerai dengan suasana yang kurang baik satu tahun yang lalu."

"Untuk itu aku berusaha memperbaiki hubungan kita." Dia menyahut. "Setelah bercerai, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan anak-anak," ucapnya mengeluh. "Jadi aku datang untuk mampir dan melihat anak-anak." 

Julian berdecak kesal. Frustasi mengusap wajahnya. 

"Salah jika aku datang  untuk menjenguk anak dan mantan suamiku?" tanyanya sambil menutup laptop. "Aku penjahat dalam perceraian kita?"

"Luce, aku tidak mau bertengkar denganmu sekarang."  Julian mengembuskan nafas kasar. "Semuanya sudah berlalu dan kita bangkit dengan cara kita masing-masing." 

Pandangan mata Julian nanar pada Luce. "Kamu  janji dan aku janji kalau perceraian kita tidak akan mempengaruhi dan mengubah apapun, kecuali hanya bagaimana kita berhubungan."

Luce terkekeh dan melipat tangannya. "Kamu yang menceraikan diriku," katanya pada Julian. "Katanya aku tidak sempurna menjadi istri dan ibu."

"Kita sepakat untuk bercerai!" Julian bersikeras. "Kita terus berbeda pendapat seperti sekarang, lalu apa lagi?" tanyanya seraya menaikkan kedua sisi bahunya. "Apa lagi yang bisa dipertahankan dari hubungan aneh seperti itu?" 

Kalau sudah membahas masa lalu, dia kalah.

"Luce, jujur saja ... aku sudah mencintai orang lain." Julian tiba-tiba saja mengaku. Membuat Luce terkejut. "Aku akan mengenalkan dia pada anak-anak nanti."

"Julian?" Luce memandangnya serius. "Kamu sedang berbohong hanya karena ingin mengusirku kan?"

Julian menggelengkan kepalanya. "Aku juga akan segera mengenalkannya padamu, Luce. Tunggu saja."

... Next ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   154. Ending : Keputusan Akhir

    Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   153. Bimbang

    Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   152. Pertimbangkan!

    Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   151 Lamaran

    Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   150. Dia Kembali!

    Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   149. Negosiasi Tanpa Akhir

    "Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status