Jenar masih memikirkan ucapan Wulan dan merasa ingin menjauh dari bosnya itu. Namun, di sinilah dia-- berada di ruangan yang sama dengan Julian karena ide proposal yang dia ajukan.
"Ada ide tambahan untuk proposal kamu?" tanya Julian, "Idenya perlu disempurnakan."
Jenar tidak memberi jawaban. Dia memilih menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan Julian.
Julian mengerti kesalahan di Los Angeles membuat Jenar begitu canggung padanya. Gadis itu sudah menghindari dirinya selama satu minggu. Dia mengabaikan panggilan suara dan pesan dari Julian. Ditambah lagi, keberadaan mantan istrinya--Luce Wileen di sudut ruangan.
"Kalau tidak ada, aku kembalikan proposalmu." Julian mendorong tumpukan kertas ke arah Jenar. "Temui aku lagi jika sudah menyempurnakan isi proposalmu." Dia menambahkan lagi. "Di dalam sana aku sudah memberikan beberapa catatan penting untuk membantu," pungkasnya.
Jenar mengangguk sekali. "Baik, Pak." Suaranya sangat lirih. "Terima kasih."
"Kirimkan proposalnya lagi padaku jika kamu memang benar-benar menginginkan ide inovasimu diciptakan. Kamu akan mendapatkan bonus dari itu dan kenaikan pangkat jika memenuhi syarat."
"Baik, Pak." Dia membungkukkan badannya. "Kalau begitu saya pergi dulu." Dia berpamitan kemudian.
"Jenar!" Julian memanggilnya tegas. Berbeda sekali dengan kenangan mereka malam itu. Julian jauh lebih lembut dan pengertian.
"Aku tidak memaksamu jadi santai saja. Tim inovasi dan pengembangan sedang ada project bukan? Kamu bisa fokus dengan project itu dan jika ada waktu luang baru kamu teruskan proposalnya." Julian menukas lagi. Tersenyum pada Jenar. Pria itu berusaha untuk menarik pandangan mata Jenar agar mau menatapnya, tetapi selalu saja gagal.
Jenar membalas senyum itu. "Terima kasih, Pak Julian. Kalau begitu saya langsung pergi saja. Sekali lagi terima kasih."
Dia mengangguk dan membiarkan Jenar pergi.
"Jenar?"
Sialnya dia kembali ditahan. Bukan Julian, itu adalah Luce Wileen. Siapa sangka kalau ternyata dia mendengarkan semua pembicaraan Jenar dan mantan suaminya.
"I--iya, Nyonya Luce?" sahutnya sedikit ragu. Jenar menatap ke arah Luce.
Ternyata benar, Luce Wileen mencerminkan sosok wanita karier patut untuk disanjung dan dibanggakan oleh siapa saja. Anehnya, Julian malah menceraikannya. Padahal, jika mencari kesempurnaan—entah itu secara fisik ataupun tidak—maka Nyonya Luce Wileen adalah jawabannya.
"Itu namamu bukan?" tanyanya seraya tersenyum dengan akrab.
"Benar sekali, Nyonya Luce," jawab Jenar.
"Aku membaca halaman pembahasan." Luce memulai kalimatnya. "Ini tentang proposal yang kamu buat."
Jenar lega. Ternyata itu yang ingin dia bahas, bukan tentang Julian dan skandal mereka di Los Angeles.
"Aku menyukai idemu dan aku yakin Julian juga berpikir hal yang sama." Dia memandang Julian dan tersenyum nyaman. Sedangkan Julian hanya manggut-manggut.
"Aku mengenalnya dengan baik jadi aku tahu koreksi apa yang mungkin ada di dalam kepalanya sekarang," imbuhnya.
Mereka ini sedang memamerkan kebersamaan dan keserasian atau bagaimana—batin Jenar.
Awalnya Jenar tidak peduli dengan mereka berdua, tetapi setelah Julian mengambil keperawanannya Jenar mulai punya dasar alasan yang kuat untuk mulai peduli.
"Mungkin kamu bisa menambahkan sedikit di beberapa bagian inovasi produknya. Berikan kesan tambahan dan poin utama mengapa kita harus menerima proposalmu," ucapnya. Mengoreksi Jenar.
Jenar mengangguk. "Terima kasih, Nyonya Luce."
"Oh! Satu lagi!" Dia menjeda lagi. "Beri nama produkmu dengan nama yang lebih unik lagi, penilaian konsumen adalah yang terbaik dan yang terpenting."
Jenar hanya bisa mengangguk.
Setelah bertemu langsung, Jenar jadi tahu meskipun wajah Luce menyeramkan—dengan make up tebal itu dan polesan bibir merah merona —tetapi, dari suara dan caranya berbicara, Jenar menyimpulkan kalau Luce Wileen adalah yang terbaik.
"Kamu boleh pergi kalau sudah mengerti. Kalau ada yang ingin ditanyakan kamu bisa hubungi aku. Kita bisa melakukan pertemuan di luar kantor dan aku akan membimbingmu."
Gadis itu melirik ke arah Julian. Mengabaikannya lagi kemudian. "Terima kasih, Nyonya."
"Aku juga dengar bahwa ini adalah pengalaman pertamamu bekerja dan ini adalah proposal pertama yang kamu ajukan langsung pada bosmu. Jadi, wajar saja kalau masih banyak kesalahan di dalamnya. Aku akan dengan senang hati untuk—"
"Jenar sedang sibuk sekarang, jadi biarkan dia pergi." Julian memotong.
Syukurlah—batin Jenar. Dia juga ingin segera pergi dari sini.
"Begitukah?" Luce menoleh pada Jenar. "Kamu boleh pergi kalau begitu."
Jenar merekahkan senyum lagi. Membungkuk dan berterimakasih lalu pergi dari ruangan itu.
"Kenapa ikut campur?" Julian memulai setelah Jenar keluar. "Katanya kamu akan pergi setelah menyelesaikan pekerjaanmu di sini. Kamu bilang itu sudah satu jam yang lalu."
Luce tersenyum. "Lalu? Aku harus membayar sewa karena duduk di sini lebih dari satu jam?" tukasnya tertawa ringan. "Lagian tidak ada salahnya kalau aku berkunjung ke perusahaan yang dulu kita rintis bersama. Sebagian adalah punyaku." Dia mengulas kembali.
"Luce!" Julian nampak sedikit kesal. "Sebentar lagi adalah jam makan siang, jadi pergilah sebelum lorong dipenuhi karyawan yang berlalu-lalang untuk pergi ke kantin dan menikmati waktu istirahat mereka."
Luce mengangkat kedua bahunya. "Memangnya kenapa kalau lorongnya ramai?" tanyanya. Berwajah polos tanpa dosa. "Aku tinggal menyapa mereka jika mereka menyapaku. Lagian aku dulunya juga bos mereka."
"Kita sudah bercerai. Setidaknya jika kamu ingin datang kabari dulu, jangan membuatku seperti pria bodoh yang tidak bisa menjawab pertanyaan dari karyawanku saat mereka bilang bahwa kamu datang mencariku."
Luce mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu jadi sensitif begini? Aku tau aku salah dengan datang tiba-tiba. Aku sudah meminta maaf." Dia tidak benar-benar mengaku bersalah.
"Pergilah sekarang. Aku mohon, Luce. Aku tidak nyaman denganmu." Julian menggerutu di tempatnya. "Kita bercerai dengan suasana yang kurang baik satu tahun yang lalu."
"Untuk itu aku berusaha memperbaiki hubungan kita." Dia menyahut. "Setelah bercerai, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan anak-anak," ucapnya mengeluh. "Jadi aku datang untuk mampir dan melihat anak-anak."
Julian berdecak kesal. Frustasi mengusap wajahnya.
"Salah jika aku datang untuk menjenguk anak dan mantan suamiku?" tanyanya sambil menutup laptop. "Aku penjahat dalam perceraian kita?"
"Luce, aku tidak mau bertengkar denganmu sekarang." Julian mengembuskan nafas kasar. "Semuanya sudah berlalu dan kita bangkit dengan cara kita masing-masing."
Pandangan mata Julian nanar pada Luce. "Kamu janji dan aku janji kalau perceraian kita tidak akan mempengaruhi dan mengubah apapun, kecuali hanya bagaimana kita berhubungan."
Luce terkekeh dan melipat tangannya. "Kamu yang menceraikan diriku," katanya pada Julian. "Katanya aku tidak sempurna menjadi istri dan ibu."
"Kita sepakat untuk bercerai!" Julian bersikeras. "Kita terus berbeda pendapat seperti sekarang, lalu apa lagi?" tanyanya seraya menaikkan kedua sisi bahunya. "Apa lagi yang bisa dipertahankan dari hubungan aneh seperti itu?"
Kalau sudah membahas masa lalu, dia kalah.
"Luce, jujur saja ... aku sudah mencintai orang lain." Julian tiba-tiba saja mengaku. Membuat Luce terkejut. "Aku akan mengenalkan dia pada anak-anak nanti."
"Julian?" Luce memandangnya serius. "Kamu sedang berbohong hanya karena ingin mengusirku kan?"
Julian menggelengkan kepalanya. "Aku juga akan segera mengenalkannya padamu, Luce. Tunggu saja."
... Next ...
Di sela langkah kakinya saat perjalanan pulang, entah mengapa Jenar masih memikirkan tentang hubungan Luce dan Julian. Tanpa sadar, gadis itu bergumam, "Kenapa dia menceraikan Nyonya Luce?" Jenar masih memiliki pendapat yang sama: Luce adalah wanita sempurna! Dia tidak mengerti mengapa Julian menceraikan Luce."Dia cantik. Berwibawa, pintar dan kaya raya. Dia adalah wanita karier yang mapan. Dia pasti jadi istri yang sempurna dan ibu yang pantas untuk ketiga anak-anaknya. Lalu kenapa dia malah menceraikannya?" Jenar mencoba untuk mendalami peran Julian sebagai seorang suami dan ayah. "Mungkinkan karena Pak Julian punya wanita simpanan?" Jenar tak sengaja menunjuk dirinya sendiri. "Seperti diriku sekarang?" Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Apa yang aku pikirkan!" Faktanya, hubungan singkat satu malam tidak cukup untuk bisa mengenal Julian. Byur! Tiba-tiba saja genangan air yang ada di sisi trotoar—sisa hujan kemarin malam— menyembur mengenai baju dan wajahnya. "Sialan!" umpa
"Ya ampun, Mbak Jenar!" Seseorang berteriak menyambut Jenar kembali. Dia bahkan melemparkan sekop yang ada di tangannya, melepas sarung tangan, dan meninggalkan aktivitas berkebunnya sore ini."Mbak ini kenapa?" Dia melihat Jenar dari atas ke bawah. Penampilan Jenar kotor dan basah penuh bercak lumpur. Padahal pagi tadi dia berpamitan hanya untuk pergi bekerja."Ada pemuda rese," katanya. Menyahut seadanya. Berjalan masuk ke dalam rumah. Di sinilah Jenar tinggal selama di Jakarta.Tentang kedua orang tuanyar. Ayah Jenar meninggal karena sebuah penyakit lima tahun lalu. Ibunya merantau ke luar negeri untuk menghasilkan uang lebih. Dia tinggal bersama teman lamanya yang kadang-kadang datang. Di samping kanan, seorang remaja yang baru saja masuk bangku perkuliahan tinggal bersama ayahnya seorang kuli bangunan serabutan yang kadang pulang kadang tidak."Terus gimana?" tanyanya pada Jenar. Mengikuti langkah Jenar masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu yang terkunci.Jenar menghela nafa
"Siapa dia?" Alif berbisik-bisik sembari mengintip ke dalam. "Teman atau pacar Mbak Jenar?" Pertanyaannya sedikit memaksa. "Bosnya Mbak Jenar?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kalau bos dari perusahaan besar datang berkunjung tanpa alasan begini." Pandangan Alif tertuju pada Jenar. "Ada masalah di kantor, Mbak?" "Udah, pulang aja." Jenar kokoh untuk mengusir Alif. "Urusi kebun kamu itu dulu, nanti malam aku jelaskan." Dia mendorong tubuh Alif menjauh dari rumahnya. "Sekarang aku harus menemui tamuku." Dia menoleh ke belakang. "Kamu lihat sendiri, dia orang berada. Aku gak mau kalau terkesan mengabaikan dan tidak menghormati kedatangannya." Alif menyerah. "Oke!" Dia meraih kedua tangan Jenar. "Janji jelaskan, oke?" Jenar menghela nafas. "Hm, sekarang pulang dulu. Jangan merepotkan diriku." Jenar menggerutu. Kembali mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh darinya. Alif pasrah dan pergi. Rasa penasaran disimpan dalam hatinya. Sesuai janji Jenar, dia akan datang malam na
"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian."Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya."Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya."Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya." "Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita te
Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua." "Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...." "Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. "Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu." Jenar menarik nafasnya.
"Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b
“Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam.“Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?”Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.”Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya.“Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya.“Kamu gak
Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela