Share

5. Calon Anak Tiri

Di sela langkah kakinya saat perjalanan pulang, entah mengapa Jenar masih memikirkan tentang hubungan Luce dan Julian.

Tanpa sadar, gadis itu bergumam, "Kenapa dia menceraikan Nyonya Luce?" 

Jenar masih memiliki pendapat yang sama: Luce adalah wanita sempurna! Dia tidak mengerti mengapa Julian menceraikan Luce.

"Dia cantik. Berwibawa, pintar dan kaya raya. Dia adalah wanita karier yang mapan. Dia pasti jadi istri yang sempurna dan ibu yang pantas untuk ketiga anak-anaknya. Lalu kenapa dia malah menceraikannya?" Jenar mencoba untuk mendalami peran Julian sebagai seorang suami dan ayah.

"Mungkinkan karena Pak Julian punya wanita simpanan?" Jenar tak sengaja menunjuk dirinya sendiri. "Seperti diriku sekarang?" Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Apa yang aku pikirkan!"

Faktanya, hubungan singkat satu malam tidak cukup untuk bisa mengenal Julian. 

Byur! Tiba-tiba saja genangan air yang ada di sisi trotoar—sisa hujan kemarin malam— menyembur mengenai baju dan wajahnya.

"Sialan!" umpat Jenar. Dia memejamkan rapat kedua matanya sembari mengepalkan jari jemarinya. "Hei!" Jenar berteriak marah.

Mobil mewah berhenti tak jauh dari sana. Mundur setelah melihat Jenar menjadi korban kelalaiannya. 

"Oh my Gosh!" Suara seorang pemuda terdengar setelah membuka kaca pintu mobil.

Jenar juga membuka matanya. Dia merasakan tubuhnya yang basah oleh air comberan.

"Awas kamu ya!" Jenar menatap kepala yang menyembul keluar dari jendela mobil.

Pemuda itu tersenyum sembari melambaikan tangannya. "I'm so sorry, aunty!"

Jenar semakin kesal kala mendengar kalimat berbahasa asing keluar dari mulutnya bersama dengan ekspresi wajah tak berdosa. Jenar menghampiri pemuda itu. Bayangan tubuhnya dipantulkan  oleh body mobil yang mulus mengkilap.

"Oh, shit!" Dia mengumpat setelah melihat penampilan Jenar yang kacau dan kotor.

"Kamu mengemudi pakai mata atau enggak?" tanya Jenar dengan wajah kesal. Menatap tajam pemuda itu.

"Aku mengemudi pakai tangan, setirnya nggak bisa bergerak kalau hanya dilihat saja," jawabnya lalu tertawa puas.

Jenar sedang mengutuk pemuda yang ada di depannya di dalam hatinya.  Dia benar-benar pemuda yang tidak tahu sopan santun.

"Sekali lagi aku minta maaf." Dia mengulang kalimatnya. "Karena sekarang aku sedang terburu-buru ... jadi aku harus pergi," katanya. Dia hampir saja menutup jendela mobil, tetapi Jenar menekan tangannya di sana dan membuat kacanya harus berhenti.

"Dasar tidak bertanggung jawab!" Jenar menggerutu. "Kamu itu nggak tahu caranya minta maaf dengan benar?" Nada bicara Jenar semakin meninggi. "Kamu itu udah salah bukannya minta maaf malah cengengesan seperti itu!" Jenar tidak akan melepaskan pemuda ini begitu saja. 

"Aku kan tadi sudah meminta maaf," gumam pemuda itu. 

Jenar memalingkan wajahnya. "Perasaanku sudah buruk malah ditambah jadi lebih buruk lagi," gerutunya.

Pemuda itu diam dan mengulum salivanya. Berdecak kasar kemudian. "Oke ... oke! Aku minta maaf. Puas?" Dia menyatukan kedua terlapak tangannya.

Sayangnya, Jenar tidak melihat ketulusan dari kalimat itu. "Kamu ini memang suka merendahkan orang lain atau bagaimana?"

"Tante ini maunya gimana?" Dia mengerutkan keningnya heran. "Mau ke kantor polisi sekarang? Menyelesaikannya secara hukum?" 

Sekarang ini bukan hanya baju Jenar saja yang kotor, tetapi harga dirinya juga. Dipanggil bibi tua olehnya padahal usianya tidak jauh dari pemuda ini.

"Tante?" Jenar menyahut. "Usiaku masih 24 tahun!" Jenar menyeru. Sekarang dia menunjuk wajah pemuda menyebalkan itu. "Aku bahkan belum punya keponakan! Bisa-bisanya kamu panggil aku dengan sebutan tante! Memangnya aku menikah sama om kamu?" Jenar berteriak kesetanan. 

Dia memasang wajah malas pada Jenar. "Okelah." Pemuda itu menghela nafasnya ringan. "Siapapun kamu. Aku minta maaf. Aku nggak sengaja," ucapnya. Menurunkan nada bicaranya.

Meskipun begitu, Jenar bukan gadis bodoh. Dia tahu permintaan maaf itu tidak tulus.

"Orang tua kamu mendidik kamu dengan benar atau tidak?" pekiknya.

"Mbak ini mau apa lagi? Mbak mau aku minta maaf dan aku sudah melakukannya. Aku bahkan melakukannya sebanyak dua kali, jadi kenapa masih menggerutu seperti ini?" Wajahnya mulai ikut kesal. "Mbak mau aku turun lalu bersujud di kaki mbak?"

"Permintaan maaf itu benar-benar tulus?" sahut Jenar, tak acuh dengan pertanyaannya.

"Lagian memangnya aku melakukan kesalahan sebesar apa?" Dia menatap perawakan tubuh Jenar. Sialnya dia memakai baju putih bersih dan sekarang harus kotor sebab lumpur yang menyembur ke tubuhnya. "Itu bisa dicuci," timpalnya berargumen. "Butuh uang untuk membersihkannya?"

Pemuda itu merogoh saku jaket yang dia kenakan. Menyodorkan uang pada Jenar.

"Aku yakin ini cukup. Bukan hanya untuk mencuci bahkan bisa membeli baju baru. Jadi lupakan semuanya dan juga aku sudah meminta maaf."

"Kamu pikir aku butuh uang kamu?" tanyanya tersinggung. Jenar menyahut uang itu dan melemparkannya kembali padanya. "Aku gak butuh uang hasil minta orang tua!" pekiknya dengan wajah cemberut.

"Hei!" Dia menatap Jenar dengan marah. "Gak perlu jual mahal! Semua gadis miskin menyukai uang." Pemuda itu tidak berhenti sampai di sana. "Aku yakin kalau itu adalah alasanmu menahanku sejak tadi," tuturnya tersenyum seringai. "Kamu menunggu uang ganti rugi."

Jenar mengambil sebuah botol minum dari dalam tas jinjing dan membukanya. Dia melemparkan air itu masuk ke dalam mobil si pemuda. Membasahi jok tempat duduk, baju,  jaket yang dikenakan olehnya dan wajah tampannya juga.

"Oh my shit!" Dia mengumpat. "What are you doing?" Dia menatap ke arah Jenar dengan penuh emosi, tetapi Jenar mulai tertawa ringan.

"Kamu merasakan betapa marahnya aku sekarang?" tanya Jenar. "Kamu juga minta uang ganti rugi dariku?" Jenar kembali tertawa jahat.

"Itu pembalasan dariku, brengsek!" Dia menutup kalimatnya. "Padahal itu hanya air putih bersih, tetapi kamu marahnya sudah luar biasa. "

Jenar membungkukkan badannya untuk menatap pemuda itu. Melangkahkan kakinya mendekati jendela mobil agar suaranya terdengar begitu jelas dan lantang sehingga dia tidak perlu mengulanginya.

"Hei, nak! Kalau mau dihargai orang itu, setidaknya hargai orang juga." Jenar mulai menceramahi. "Hidup di dunia ini perlu simbiosis mutualisme. Kalau kamu melempar kotoran maka kamu juga akan mendapat kotoran, Nak." Jenar tertawa puas melihat perubahan ekspresi pemuda itu.

Jenar kembali berdiri tegap.

"Setidaknya punya sopan santun. Kasihan orang tua kamu yang mendidik kamu sejak kecil kalau ternyata didikan mereka sia-sia saja," ketus Jenar.

"Percuma juga kalau kamu naik mobil mewah. Wajah kamu tampan juga penampilan kamu menawan, semuanya terlihat sempurna. Namun, kalau kamu minim akhlak dan sopan santun, kamu itu tidak ada bedanya sama kotoran babi." Jenar menyeringai setelah menyelesaikan kalimatnya. Dia memilih pergi selepas itu.

"Hei!" Pemuda itu meneriakinya. Berharap Jenar akan berhenti.

"Dasar sialan!" Dia mengumpatinya.

Jenar terus melangkah menjauh darinya. Tak peduli dengan sumpah serapah yang menyertai panggilan itu. Toh juga, mereka tidak akan bertemu lagi. Itu adalah harapannya. Sayangnya, Jenar tidak tahu bahwa mereka akan bertemu lagi ....

... Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status