Di sela langkah kakinya saat perjalanan pulang, entah mengapa Jenar masih memikirkan tentang hubungan Luce dan Julian.
Tanpa sadar, gadis itu bergumam, "Kenapa dia menceraikan Nyonya Luce?"
Jenar masih memiliki pendapat yang sama: Luce adalah wanita sempurna! Dia tidak mengerti mengapa Julian menceraikan Luce.
"Dia cantik. Berwibawa, pintar dan kaya raya. Dia adalah wanita karier yang mapan. Dia pasti jadi istri yang sempurna dan ibu yang pantas untuk ketiga anak-anaknya. Lalu kenapa dia malah menceraikannya?" Jenar mencoba untuk mendalami peran Julian sebagai seorang suami dan ayah.
"Mungkinkan karena Pak Julian punya wanita simpanan?" Jenar tak sengaja menunjuk dirinya sendiri. "Seperti diriku sekarang?" Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Apa yang aku pikirkan!"
Faktanya, hubungan singkat satu malam tidak cukup untuk bisa mengenal Julian.
Byur! Tiba-tiba saja genangan air yang ada di sisi trotoar—sisa hujan kemarin malam— menyembur mengenai baju dan wajahnya.
"Sialan!" umpat Jenar. Dia memejamkan rapat kedua matanya sembari mengepalkan jari jemarinya. "Hei!" Jenar berteriak marah.
Mobil mewah berhenti tak jauh dari sana. Mundur setelah melihat Jenar menjadi korban kelalaiannya.
"Oh my Gosh!" Suara seorang pemuda terdengar setelah membuka kaca pintu mobil.
Jenar juga membuka matanya. Dia merasakan tubuhnya yang basah oleh air comberan.
"Awas kamu ya!" Jenar menatap kepala yang menyembul keluar dari jendela mobil.
Pemuda itu tersenyum sembari melambaikan tangannya. "I'm so sorry, aunty!"
Jenar semakin kesal kala mendengar kalimat berbahasa asing keluar dari mulutnya bersama dengan ekspresi wajah tak berdosa. Jenar menghampiri pemuda itu. Bayangan tubuhnya dipantulkan oleh body mobil yang mulus mengkilap.
"Oh, shit!" Dia mengumpat setelah melihat penampilan Jenar yang kacau dan kotor.
"Kamu mengemudi pakai mata atau enggak?" tanya Jenar dengan wajah kesal. Menatap tajam pemuda itu.
"Aku mengemudi pakai tangan, setirnya nggak bisa bergerak kalau hanya dilihat saja," jawabnya lalu tertawa puas.
Jenar sedang mengutuk pemuda yang ada di depannya di dalam hatinya. Dia benar-benar pemuda yang tidak tahu sopan santun.
"Sekali lagi aku minta maaf." Dia mengulang kalimatnya. "Karena sekarang aku sedang terburu-buru ... jadi aku harus pergi," katanya. Dia hampir saja menutup jendela mobil, tetapi Jenar menekan tangannya di sana dan membuat kacanya harus berhenti.
"Dasar tidak bertanggung jawab!" Jenar menggerutu. "Kamu itu nggak tahu caranya minta maaf dengan benar?" Nada bicara Jenar semakin meninggi. "Kamu itu udah salah bukannya minta maaf malah cengengesan seperti itu!" Jenar tidak akan melepaskan pemuda ini begitu saja.
"Aku kan tadi sudah meminta maaf," gumam pemuda itu.
Jenar memalingkan wajahnya. "Perasaanku sudah buruk malah ditambah jadi lebih buruk lagi," gerutunya.
Pemuda itu diam dan mengulum salivanya. Berdecak kasar kemudian. "Oke ... oke! Aku minta maaf. Puas?" Dia menyatukan kedua terlapak tangannya.
Sayangnya, Jenar tidak melihat ketulusan dari kalimat itu. "Kamu ini memang suka merendahkan orang lain atau bagaimana?"
"Tante ini maunya gimana?" Dia mengerutkan keningnya heran. "Mau ke kantor polisi sekarang? Menyelesaikannya secara hukum?"
Sekarang ini bukan hanya baju Jenar saja yang kotor, tetapi harga dirinya juga. Dipanggil bibi tua olehnya padahal usianya tidak jauh dari pemuda ini.
"Tante?" Jenar menyahut. "Usiaku masih 24 tahun!" Jenar menyeru. Sekarang dia menunjuk wajah pemuda menyebalkan itu. "Aku bahkan belum punya keponakan! Bisa-bisanya kamu panggil aku dengan sebutan tante! Memangnya aku menikah sama om kamu?" Jenar berteriak kesetanan.
Dia memasang wajah malas pada Jenar. "Okelah." Pemuda itu menghela nafasnya ringan. "Siapapun kamu. Aku minta maaf. Aku nggak sengaja," ucapnya. Menurunkan nada bicaranya.
Meskipun begitu, Jenar bukan gadis bodoh. Dia tahu permintaan maaf itu tidak tulus.
"Orang tua kamu mendidik kamu dengan benar atau tidak?" pekiknya.
"Mbak ini mau apa lagi? Mbak mau aku minta maaf dan aku sudah melakukannya. Aku bahkan melakukannya sebanyak dua kali, jadi kenapa masih menggerutu seperti ini?" Wajahnya mulai ikut kesal. "Mbak mau aku turun lalu bersujud di kaki mbak?"
"Permintaan maaf itu benar-benar tulus?" sahut Jenar, tak acuh dengan pertanyaannya.
"Lagian memangnya aku melakukan kesalahan sebesar apa?" Dia menatap perawakan tubuh Jenar. Sialnya dia memakai baju putih bersih dan sekarang harus kotor sebab lumpur yang menyembur ke tubuhnya. "Itu bisa dicuci," timpalnya berargumen. "Butuh uang untuk membersihkannya?"
Pemuda itu merogoh saku jaket yang dia kenakan. Menyodorkan uang pada Jenar.
"Aku yakin ini cukup. Bukan hanya untuk mencuci bahkan bisa membeli baju baru. Jadi lupakan semuanya dan juga aku sudah meminta maaf."
"Kamu pikir aku butuh uang kamu?" tanyanya tersinggung. Jenar menyahut uang itu dan melemparkannya kembali padanya. "Aku gak butuh uang hasil minta orang tua!" pekiknya dengan wajah cemberut.
"Hei!" Dia menatap Jenar dengan marah. "Gak perlu jual mahal! Semua gadis miskin menyukai uang." Pemuda itu tidak berhenti sampai di sana. "Aku yakin kalau itu adalah alasanmu menahanku sejak tadi," tuturnya tersenyum seringai. "Kamu menunggu uang ganti rugi."
Jenar mengambil sebuah botol minum dari dalam tas jinjing dan membukanya. Dia melemparkan air itu masuk ke dalam mobil si pemuda. Membasahi jok tempat duduk, baju, jaket yang dikenakan olehnya dan wajah tampannya juga.
"Oh my shit!" Dia mengumpat. "What are you doing?" Dia menatap ke arah Jenar dengan penuh emosi, tetapi Jenar mulai tertawa ringan.
"Kamu merasakan betapa marahnya aku sekarang?" tanya Jenar. "Kamu juga minta uang ganti rugi dariku?" Jenar kembali tertawa jahat.
"Itu pembalasan dariku, brengsek!" Dia menutup kalimatnya. "Padahal itu hanya air putih bersih, tetapi kamu marahnya sudah luar biasa. "
Jenar membungkukkan badannya untuk menatap pemuda itu. Melangkahkan kakinya mendekati jendela mobil agar suaranya terdengar begitu jelas dan lantang sehingga dia tidak perlu mengulanginya.
"Hei, nak! Kalau mau dihargai orang itu, setidaknya hargai orang juga." Jenar mulai menceramahi. "Hidup di dunia ini perlu simbiosis mutualisme. Kalau kamu melempar kotoran maka kamu juga akan mendapat kotoran, Nak." Jenar tertawa puas melihat perubahan ekspresi pemuda itu.
Jenar kembali berdiri tegap.
"Setidaknya punya sopan santun. Kasihan orang tua kamu yang mendidik kamu sejak kecil kalau ternyata didikan mereka sia-sia saja," ketus Jenar.
"Percuma juga kalau kamu naik mobil mewah. Wajah kamu tampan juga penampilan kamu menawan, semuanya terlihat sempurna. Namun, kalau kamu minim akhlak dan sopan santun, kamu itu tidak ada bedanya sama kotoran babi." Jenar menyeringai setelah menyelesaikan kalimatnya. Dia memilih pergi selepas itu.
"Hei!" Pemuda itu meneriakinya. Berharap Jenar akan berhenti.
"Dasar sialan!" Dia mengumpatinya.
Jenar terus melangkah menjauh darinya. Tak peduli dengan sumpah serapah yang menyertai panggilan itu. Toh juga, mereka tidak akan bertemu lagi. Itu adalah harapannya. Sayangnya, Jenar tidak tahu bahwa mereka akan bertemu lagi ....
... Next ...
Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member
Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k
Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba
Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan
Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb
"Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s