"Ya ampun, Mbak Jenar!" Seseorang berteriak menyambut Jenar kembali. Dia bahkan melemparkan sekop yang ada di tangannya, melepas sarung tangan, dan meninggalkan aktivitas berkebunnya sore ini.
"Mbak ini kenapa?" Dia melihat Jenar dari atas ke bawah. Penampilan Jenar kotor dan basah penuh bercak lumpur. Padahal pagi tadi dia berpamitan hanya untuk pergi bekerja.
"Ada pemuda rese," katanya. Menyahut seadanya. Berjalan masuk ke dalam rumah. Di sinilah Jenar tinggal selama di Jakarta.
Tentang kedua orang tuanyar. Ayah Jenar meninggal karena sebuah penyakit lima tahun lalu. Ibunya merantau ke luar negeri untuk menghasilkan uang lebih. Dia tinggal bersama teman lamanya yang kadang-kadang datang. Di samping kanan, seorang remaja yang baru saja masuk bangku perkuliahan tinggal bersama ayahnya seorang kuli bangunan serabutan yang kadang pulang kadang tidak.
"Terus gimana?" tanyanya pada Jenar. Mengikuti langkah Jenar masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu yang terkunci.
Jenar menghela nafasnya panjang lalu meletakkan tas jinjingnya yang sedikit kotor terkena cipratan genangan dari mobil tadi. "Apanya yang gimana?" tanya Jenar. "Beginilah akhirnya," sungut Jenar sedikit kesal.
Dia menatap pantulan tubuhnya dari cermin retak di sudut ruangan. "Aku harus mandi dan mencucinya. Perlu pemutih pakaian untuk membersihkannya."
Gadis itu menelisik semua noda yang ada di atas bajunya bahkan di sisi lehernya. "Beberapa nodanya sudah kering, jadi bakalan sedikit susah. Kalau mau buang bajunya juga sayang," imbuhnya.
"Dia nggak minta maaf atau ganti rugi?" tanyanya meminta penjelasan.
"Sudah. Namun, aku tidak menerima permintaan maafnya dan ganti rugi darinya. Dia sama sekali tidak tulus mengatakannya dan bahkan dia melemparkan uang padaku. Marah padaku padahal jelas-jelas dia yang salah." Jenar tersenyum tipis. Dia melepaskan kancing bajunya satu persatu.
Pemuda itu manggut-manggut.. Menatap punggung Jenar.
"Ngomong-ngomong, gimana kuliah kamu?" tanya Jenar. Membuka topik pembicaraan yang sedikit lebih seru ketimbang harus membahas tentang keluh kesahnya hari ini.
"Jurusan hukum gak cocok sama aku," sesalnya. Dia tertawa memandang dirinya sendiri.
"Kenapa nggak dari awal ambil pertanian atau perhutanan?" Jenar ikut tertawa. Dia melepaskan kemejanya dan kini hanya memakai tanktop saja. "Kamu suka berkebun dan sejenisnya," cetus Jenar menyimpulkan.
Jenar memutar tubuhnya. "Namun, mau bagaimana lagi? Kamu sudah terlanjur masuk di tahun pertama, harus menyesuaikan diri dan menerima keadaan untuk empat tahun ke depan," imbuhnya. Masih tertawa.
Orang menyapa pemuda ini dengan nama Alif. Mahasiswa tahun pertama di bangku jurusan hukum bisnis. Katanya, dia akan mendirikan perusahaan besar dengan ilmu itu. Digadang-gadang akan menjadi sukses pada setiap doanya.
Sama seperti Jenar, bahkan mimpinya saja tidak tahu malu pada keadaan.
"Kenapa menatapku begitu?" tanya Jenar.
Jujur saja, semua pria menyukai tubuh Jenar dengan pakaian yang minim. Memperlihatkan bahu mulus, leher jenjang, dan kulit putih susu yang seksi. Itu semua sempurna ditambah dengan wajahnya yang cantik.
Jenar menarik gelas kaca di sisinya, membawa satu untuk Alif.
"Ayah kamu gak pulang lagi?" tanyanya kala Alif hanya diam. "Kalau di rumah nggak ada makanan kamu bisa datang ke sini. Kita bisa masak mie dan makan bersama."
"Lalu?" Alif menerima segelas air putih dari Jenar. "Setelah makan bersama, harus apa?"
Jenar berdecak. "Pulang. Kamu besok ada kuliah. Aku juga harus kerja."
"Nonton film atau semacamnya." Alif menyela aktivitas minumnya sendiri.
"Tiket bioskop mahal!" Jenar memperjelas. "Lebih baik buat nabung," celetuknya tertawa santai. "Lagian kamu juga harus berhemat. Biaya kuliah akan semakin mahal, Alif."
"Aku punya film dari temanku," goda Alif. "Film yang bagus dan bikin nagih," timpalnya penuh semangat.
Dari tawannya itu Jenar paham film apa yang dia maksudkan.
"Sudah aku katakan berhentilah bergaul dengan mereka!" Jenar memukul kepalanya dengan sedikit kasar. "Kamu itu masih di bawah umur, baru juga usia 18 tahun kemarin."
"Itu artinya aku nggak di bawah umur," jawabnya tertawa lagi. "Aku sudah diperbolehkan nonton film dewasa," katanya berterus terang.
"Kalau ayah kamu tahu kamu itu hobinya nonton film porno, bisa-bisa dia nggak mau membiayai kuliah kamu. Dia kerja siang malam bahkan terkadang tidak pulang, hanya untuk memenuhi kebutuhan kamu dan agar kamu bisa sarjana nantinya. Setidaknya berbeda nasibnya dengan dia," ucapnya. Berdecak kasar menutup kalimatnya. "Kamu ini benar-benar!"
"Mbak Jenar gak mau?" tanyanya kemudian. Tertawa kecil lagi. "Aku punya ranjang baru .... Ayah yang membelikan."
"Mau aku pukul lagi?" Jenar memotong kalimatnya. Wajahnya kesal sekali. Mengepalkan tangannya di depan Alif. "Kamu benar-benar tidak sopan!"
Dia berdiri dan berjalan menuju ke meja yang ada di belakang mereka. Jenar mengambil mie insan dan menunjukannya pada Alif.
"Kalau kamu mau aku bakalan masakin sekalian. Jadi, pulanglah dulu dan mandilah. Kegiatan berkebun kamu juga belum selesai tadi, ketimbang kamu gangguin aku di sini!" pekik Jenar seraya melirik ke arahnya. Dia masih memasang wajah kesal seperti tadi.
"Mbak Jenar." Alif memanggilnya, mengabaikan perintah Jenar. "Mbak benar-benar enggak ada perasaan buat aku?"
Alif mulai lagi! Jenar berani mengatakan bahwa pemuda ini gila cinta. Alif punya perasaan khusus pada Jenar.
"Pulanglah dan belajarlah dengan giat," jawab Jenar. Itu adalah jawaban abadi Jenar. "Kamu itu masih remaja puber yang labil tentang cinta, jadi gimana bisa aku menerima perasaan kamu padahal kamu sekolahnya aja nggak bener?" Dia menggerutu pada Alif. "Maaf jika ini terlalu kasar, tetapi di mana ibu kamu?"
Alif bisu.
"Belajar yang benar! Cari kerja yang mapan. Punya gelar dan karir, lalu kamu cari di mana ibu kamu," imbuh Jenar membuat alur. "Kamu bisa mendatangi aku dan melamar jika begitu. Aku akan mempertimbangkannya," celetuk Jenar kemudian.
Jenar menatap Alif dengan saksama. "Alif, maaf lagi jika ini menyakiti hati kamu." Jenar menarik nafas dan membuangnya. "Aku gak mau punya suami miskin. Aku ingin mengubah segalanya, Alif. Jadi gadis miskin itu capek banget." Dia tersenyum miris, hampir menertawai takdirnya sendiri.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu menyela pembicaraan mereka. Alif menoleh begitu juga dengan Jenar.
"Siapa?" Alif yang menyahut padahal dia bukan tuan rumah.
"Ini aku!" Suara seorang pria terdengar. "Kamu ada di dalam kan?"
Jenar menatap Alif, begitu juga sebaliknya.
"Siapa?" Alif bertanya. "Sepertinya pria kaya?" Dia mengintip dari balik tirai jendela.
"Benar! Dia pria kaya!" Alif menatap Jenar. "Sejak kapan Mbak Jenar punya sugar daddy?"
Jenar berjalan mendekatinya. "Jangan ngawur!" Dia memukul kepala Alif. Pemuda itu merintih. "Sudah aku bilang berhenti nonton film dewasa. Itu mempengaruhi imajinasi bodoh kamu itu!"
Alif tertawa. Memandang Jenar yang membuka pintu untuk menyambut tamunya.
"Pak Julian?"
... Next ...
"Siapa dia?" Alif berbisik-bisik sembari mengintip ke dalam. "Teman atau pacar Mbak Jenar?" Pertanyaannya sedikit memaksa. "Bosnya Mbak Jenar?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kalau bos dari perusahaan besar datang berkunjung tanpa alasan begini." Pandangan Alif tertuju pada Jenar. "Ada masalah di kantor, Mbak?" "Udah, pulang aja." Jenar kokoh untuk mengusir Alif. "Urusi kebun kamu itu dulu, nanti malam aku jelaskan." Dia mendorong tubuh Alif menjauh dari rumahnya. "Sekarang aku harus menemui tamuku." Dia menoleh ke belakang. "Kamu lihat sendiri, dia orang berada. Aku gak mau kalau terkesan mengabaikan dan tidak menghormati kedatangannya." Alif menyerah. "Oke!" Dia meraih kedua tangan Jenar. "Janji jelaskan, oke?" Jenar menghela nafas. "Hm, sekarang pulang dulu. Jangan merepotkan diriku." Jenar menggerutu. Kembali mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh darinya. Alif pasrah dan pergi. Rasa penasaran disimpan dalam hatinya. Sesuai janji Jenar, dia akan datang malam na
"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian."Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya."Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya."Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya." "Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita te
Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua." "Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...." "Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. "Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu." Jenar menarik nafasnya.
"Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b
“Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam.“Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?”Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.”Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya.“Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya.“Kamu gak
Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela
“Siapa orang itu?” Jasmine mendatangi ibunya yang duduk di teras rumah.Luce menyambut kedatangan putrinya dengan senyum manis. “Siapa?” Dia mengerutkan keningnya. Mengulang pertanyaan yang sama.Jasmine duduk di sisi Luce. “Orang yang akan dinikahi papa,” sambungnya. Memperjelas.Luce tersenyum tipis. Menyeruput teh yang dibuatnya sendiri. Tak kuat memandang putrinya, dia memilih fokus pada halaman rumah mantan suaminya.“Mama juga gak tahu?” tanya Jasmine lagi. Meskipun setelah perceraian mereka tidak pernah bertemu, tetapi Luce tetaplah ibunya. Jasmine tahu, Luce juga pasti terkejut dengan keputusan Julian.“Namanya Jenar?” Luce malah balik bertanya. Mendapat anggukan dari Jasmine. “Dia karyawan papamu.”Jasmine menyunggingkan senyum. “Selera papa rendah banget,” gumam Jasmine.Jasmine sudah besar, dia tahu mana yang wajar dan tidak wajar. Menurutnya pernikahan papanya adalah hal yang tidak wajar.“Kamu tidak protes sama papa?” Luce menatap wajah putrinya. Identik dengan Julian. Ja
Rasa canggung menggantung di udara. Jenar mulai menyesal tentang dia yang memutuskan untuk tetap berada di sini.“Dia siapa, Julian?” Logatnya berbicara begitu khas. Dia sepertinya bukan asli orang Indonesia. Wajahnya pun mencerminkan kalau dia adalah orang barat.Julian menatap Jenar. “Kekasihku,” akunya. Tentu saja Jenar terkejut bukan main. Ingin memprotes tetapi dia tidak bisa.“Kami akan menikah.” Julian menambahkan.Ternyata bukan hanya Jenar yang terkejut sekarang, tetapi wanita itu juga.Julian memahami keadaan. “Jenar, perkenalkan ini adalah Anne Daisy.” Julian menatap Anne. "Anne, ini Jenar. Calon istriku.” Julian dengan bangga memperkenalkan Jenar.Anne mengertukan keningnya. “Berapa usiamu?” Dia langsung pergi pada poin pembicaraan. “Kamu awet muda atau memang masih muda?” Anne menelisik penampilan Jenar.“25 tahun,” jawab Jenar seadanya. Melirik Julian. “Usia tidak penting,” imbuhnya dengan lirih. Tersenyum canggung, berpura-pura bahwa hubungan mereka benar-benar berlanda