Share

6. Alif : Remaja puber

"Ya ampun, Mbak Jenar!" Seseorang berteriak menyambut Jenar kembali. Dia bahkan melemparkan sekop yang ada di tangannya, melepas sarung tangan, dan meninggalkan aktivitas berkebunnya sore ini.

"Mbak ini kenapa?" Dia melihat Jenar dari atas ke bawah. Penampilan Jenar kotor dan basah penuh bercak lumpur. Padahal pagi tadi dia berpamitan hanya untuk pergi bekerja.

"Ada pemuda rese," katanya. Menyahut seadanya. Berjalan masuk ke dalam rumah. Di sinilah Jenar tinggal selama di Jakarta.

Tentang kedua orang tuanyar. Ayah Jenar meninggal karena sebuah penyakit lima tahun lalu. Ibunya merantau ke luar negeri untuk menghasilkan uang lebih. Dia tinggal bersama teman lamanya yang kadang-kadang datang. Di samping kanan, seorang remaja yang baru saja masuk bangku perkuliahan tinggal bersama ayahnya seorang kuli bangunan serabutan yang kadang pulang kadang tidak.

"Terus gimana?" tanyanya pada Jenar. Mengikuti langkah Jenar masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu yang terkunci.

Jenar menghela nafasnya panjang lalu meletakkan tas jinjingnya yang sedikit kotor terkena cipratan genangan dari mobil tadi. "Apanya yang gimana?" tanya Jenar. "Beginilah akhirnya," sungut Jenar sedikit kesal.

Dia menatap pantulan tubuhnya dari cermin retak di sudut ruangan. "Aku harus mandi dan mencucinya. Perlu pemutih pakaian untuk membersihkannya."

Gadis itu menelisik semua noda yang ada di atas bajunya bahkan di sisi lehernya. "Beberapa nodanya sudah kering, jadi bakalan sedikit susah. Kalau mau buang bajunya juga sayang," imbuhnya.

"Dia nggak minta maaf atau ganti rugi?" tanyanya meminta penjelasan.

"Sudah. Namun, aku tidak menerima permintaan maafnya dan ganti rugi darinya. Dia sama sekali tidak tulus mengatakannya dan bahkan dia melemparkan uang padaku. Marah padaku padahal jelas-jelas dia yang salah." Jenar tersenyum tipis. Dia melepaskan kancing bajunya satu persatu.

Pemuda itu manggut-manggut.. Menatap punggung Jenar. 

"Ngomong-ngomong, gimana kuliah kamu?" tanya Jenar. Membuka topik pembicaraan yang sedikit lebih seru ketimbang harus membahas tentang keluh kesahnya hari ini.

"Jurusan hukum gak cocok sama aku," sesalnya. Dia tertawa memandang dirinya sendiri.

"Kenapa nggak dari awal ambil pertanian atau perhutanan?" Jenar ikut tertawa. Dia melepaskan kemejanya dan kini hanya memakai tanktop saja. "Kamu suka berkebun dan sejenisnya," cetus Jenar menyimpulkan.

Jenar memutar tubuhnya. "Namun, mau bagaimana lagi? Kamu sudah terlanjur masuk di tahun pertama, harus menyesuaikan diri dan menerima keadaan untuk empat tahun ke depan," imbuhnya. Masih tertawa.

Orang menyapa pemuda ini dengan nama Alif. Mahasiswa tahun pertama di bangku jurusan hukum bisnis. Katanya, dia akan mendirikan perusahaan besar dengan ilmu itu. Digadang-gadang akan menjadi sukses pada setiap doanya.

Sama seperti Jenar, bahkan mimpinya saja tidak tahu malu pada keadaan.

"Kenapa menatapku begitu?" tanya Jenar.

Jujur saja, semua pria menyukai tubuh Jenar dengan pakaian yang minim. Memperlihatkan bahu mulus, leher jenjang, dan kulit putih susu yang seksi. Itu semua sempurna ditambah dengan wajahnya yang cantik.

Jenar menarik gelas kaca di sisinya, membawa satu untuk Alif.

"Ayah kamu gak pulang lagi?" tanyanya kala Alif hanya diam. "Kalau di rumah nggak ada makanan kamu bisa datang ke sini. Kita bisa masak mie dan makan bersama."

"Lalu?" Alif menerima segelas air putih dari Jenar. "Setelah makan bersama, harus apa?"

Jenar berdecak. "Pulang. Kamu besok ada kuliah. Aku juga harus kerja."

"Nonton film atau semacamnya." Alif menyela aktivitas minumnya sendiri.

"Tiket bioskop mahal!" Jenar memperjelas. "Lebih baik buat nabung," celetuknya tertawa santai. "Lagian kamu juga harus berhemat. Biaya kuliah akan semakin mahal, Alif."

"Aku punya film dari temanku," goda Alif. "Film yang bagus dan bikin nagih," timpalnya penuh semangat. 

Dari tawannya itu Jenar paham film apa yang dia maksudkan.

"Sudah aku katakan berhentilah bergaul dengan mereka!" Jenar memukul kepalanya dengan sedikit kasar. "Kamu itu masih di bawah umur, baru juga usia 18 tahun kemarin."

"Itu artinya aku nggak di bawah umur," jawabnya tertawa lagi. "Aku sudah diperbolehkan nonton film dewasa," katanya berterus terang.

"Kalau ayah kamu tahu kamu itu hobinya nonton film porno, bisa-bisa dia nggak mau membiayai kuliah kamu. Dia kerja siang malam bahkan terkadang tidak pulang, hanya untuk memenuhi kebutuhan kamu dan agar kamu bisa sarjana nantinya. Setidaknya berbeda nasibnya dengan dia," ucapnya. Berdecak kasar menutup kalimatnya. "Kamu ini benar-benar!"

"Mbak Jenar gak mau?" tanyanya kemudian. Tertawa kecil lagi. "Aku punya ranjang baru .... Ayah yang membelikan."

"Mau aku pukul lagi?" Jenar memotong kalimatnya. Wajahnya kesal sekali. Mengepalkan tangannya di depan Alif. "Kamu benar-benar tidak sopan!"

Dia berdiri dan berjalan menuju ke meja yang ada di belakang mereka. Jenar mengambil mie insan dan menunjukannya pada Alif.

"Kalau kamu mau aku bakalan masakin sekalian. Jadi, pulanglah dulu dan mandilah. Kegiatan berkebun kamu juga belum selesai tadi, ketimbang kamu gangguin aku di sini!" pekik Jenar seraya melirik ke arahnya. Dia masih memasang wajah kesal seperti tadi.

"Mbak Jenar." Alif memanggilnya, mengabaikan perintah Jenar. "Mbak benar-benar enggak ada perasaan buat aku?"

Alif mulai lagi! Jenar berani mengatakan bahwa pemuda ini gila cinta. Alif punya perasaan khusus pada Jenar.

"Pulanglah dan belajarlah dengan giat," jawab Jenar.  Itu adalah jawaban abadi Jenar. "Kamu itu masih remaja puber yang labil tentang cinta, jadi gimana bisa aku menerima perasaan kamu padahal kamu sekolahnya aja nggak bener?" Dia menggerutu pada Alif. "Maaf jika ini terlalu kasar, tetapi di mana ibu kamu?"

Alif bisu. 

"Belajar yang benar! Cari kerja yang mapan. Punya gelar dan karir, lalu kamu cari di mana ibu kamu," imbuh Jenar membuat alur. "Kamu bisa mendatangi aku dan melamar jika begitu. Aku akan mempertimbangkannya," celetuk Jenar kemudian. 

Jenar menatap Alif dengan saksama. "Alif, maaf lagi jika ini menyakiti hati kamu." Jenar menarik nafas dan membuangnya. "Aku gak mau punya suami miskin. Aku ingin mengubah segalanya, Alif. Jadi gadis miskin itu capek banget." Dia tersenyum miris, hampir menertawai takdirnya sendiri.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menyela pembicaraan mereka. Alif menoleh begitu juga dengan Jenar.

"Siapa?" Alif yang menyahut padahal dia bukan tuan rumah.

"Ini aku!" Suara seorang pria terdengar. "Kamu ada di dalam kan?" 

Jenar menatap Alif, begitu juga sebaliknya. 

"Siapa?" Alif bertanya. "Sepertinya pria kaya?" Dia mengintip dari balik tirai jendela. 

"Benar! Dia pria kaya!" Alif menatap Jenar. "Sejak kapan Mbak Jenar punya sugar daddy?"

Jenar berjalan mendekatinya. "Jangan ngawur!" Dia memukul kepala Alif. Pemuda itu merintih. "Sudah aku bilang berhenti nonton film dewasa. Itu mempengaruhi imajinasi bodoh kamu itu!"

Alif tertawa. Memandang Jenar yang membuka pintu untuk menyambut tamunya.

"Pak Julian?"

... Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status