"Siapa dia?" Alif berbisik-bisik sembari mengintip ke dalam. "Teman atau pacar Mbak Jenar?" Pertanyaannya sedikit memaksa. "Bosnya Mbak Jenar?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kalau bos dari perusahaan besar datang berkunjung tanpa alasan begini."
Pandangan Alif tertuju pada Jenar. "Ada masalah di kantor, Mbak?"
"Udah, pulang aja." Jenar kokoh untuk mengusir Alif. "Urusi kebun kamu itu dulu, nanti malam aku jelaskan." Dia mendorong tubuh Alif menjauh dari rumahnya.
"Sekarang aku harus menemui tamuku." Dia menoleh ke belakang. "Kamu lihat sendiri, dia orang berada. Aku gak mau kalau terkesan mengabaikan dan tidak menghormati kedatangannya."
Alif menyerah. "Oke!" Dia meraih kedua tangan Jenar. "Janji jelaskan, oke?"
Jenar menghela nafas. "Hm, sekarang pulang dulu. Jangan merepotkan diriku." Jenar menggerutu. Kembali mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh darinya.
Alif pasrah dan pergi. Rasa penasaran disimpan dalam hatinya. Sesuai janji Jenar, dia akan datang malam nanti untuk menjelaskan.
Setelah Alif pergi, Jenar masuk ke dalam rumah. Ada Pak Julian di sana. Sekarang suasana canggung datang merajalela.
"Adik?" Pak Julian memulai. "Aku tidak tahu kalau kamu punya adik sebesar itu." Dia menatap ke ambang pintu. "Kenapa diusir?"
Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak punya adik, Pak. Aku tinggal sama teman di sini." Dia menjawab seadanya. Fakta bahwa rumah ini sepi—hanya ada mereka berdua sekarang—menjawab itu semua.
"Lantas?"
"Tetangga yang akrab." Jenar mempersingkat. Duduk di atas kursi rotan yang sudah tua. Ruangan ini tidak luas membuat jarak mereka terlalu dekat untuk berbicara layaknya bos dan karyawannya.
"Kamu suka pakai baju begitu di rumah?" tanya Julian. Melirik belahan dada milik Jenar.
Bodoh! Gadis itu lupa dengan penampilannya sendiri sebab terlalu panik mendapati fakta pria ini datang secara tiba-tiba.
"Ah, aku ganti akan ganti baju dulu, Pak Julian."
Hampir Jenar bangkit, tetapi Julian menggenggam tangan Jenar. Membuatnya kembali duduk.
"Lagian aku pernah melihatnya," ucap Julian. Ngawur!
Jenar menelan ludah.
"Ah, maaf." Julian tersenyum kaku. Menyadari kebodohan lewat kata-katanya tadi.
Jenar manggut-manggut. Menurut saja. "Ngomong-ngomong kenapa Pak Julian datang kemari?"
"Rumah kamu nyaman juga," ucap Julian mengabaikan Jenar.
Jenar menatapnya. Dia yakin kalau itu bukan sebuah pujian.
"Hanya perlu sedikit dibersihkan." Julian mengimbuhkan.
Ah ... Jenar paham. Begitulah caranya mengkritik.
"Pak Julian." Gadis itu memberanikan diri untuk berbicara dengan volume seadanya. "Ada apa datang kemari?" tanyanya lagi. "Rumah ini jauh dari rumah Pak Julian, juga tidak searah dengan kantor."
"Kamu tahu rumahku?" Pria itu menyahut. Dengan santainya dia menarik gelas kosong di sisinya. "Kamu pasti mencari tahu tentang diriku," sambung Julian penuh percaya diri.
"Biar aku buatkan teh!" Jenar mencegah.
Julian menatapnya kala Jenar mencegah dengan nada meninggi. Terkejut. Hampir saja dia mengira kalau gadis ini memarahinya.
"Maksudku ... bagaimana bisa Pak Julian minum air putih setelah jauh-jauh datang kemari?" Dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak enak untuk itu."
Julian diam. Padahal dia hanya menuang air putih dan itu membuat Jenar kalang kabut.
"Kenapa menatapku begitu?"
Sial, dia benar-benar tampan!
"Aku akan membuatkan teh," ujarnya lagi. Sayangnya pria itu malah meminum air putihnya dalam sekali teguk saja.
"Air putih lebih sehat," sahut Julian, tertawa ringan.
Sejauh ini Jenar belum bisa menyimpulkan apapun tentang tujuan kedatangannya dengan membawa semua barang-barang di dalam tas belacu itu.
"Aku akan langsung pada intinya." Dia memulai setelah meletakkan gelas kosong di atas meja. Menatap Jenar dalam diam. Gadis itu terlihat begitu resah dengan bermain bersama jari jemarinya sekarang.
"Untuk semua yang aku bawa hari ini adalah hadiah untukmu," katanya pada Jenar.
"Hadiah?" Jenar menatap jajaran tas belacu. Tentu saja pria kaya ini tidak akan membelikan hadiah abal-abal untuknya mengingat uang adalah hal sepele untuk dihambur-hamburkan terkadang kala. "Aku tidak tahu kenapa harus mendapatkan semua ini padahal aku tidak melakukan apapun."
"Aku menyukai proposal kamu," jawab Julian dengan mantap. "Sebenarnya."
Jenar diam. Benarkah? Bukan tentang Los Angeles?
"Juga tentang Los Angeles."
Ah! Itulah poinnya.
"Sebagai tanda permintaan maaf atas apa yang terjadi di Los Angeles satu minggu yang lalu. Aku tidak tahu harus meminta maaf dengan cara yang bagaimana, jadi aku rasa ini sebagai bentuk penyesalan dariku."
Sebenarnya Jenar adalah gadis cerewet. Namun, dia akan menjadi diam kalau berhadapan dengan orang asing. Ditambah lagi kedudukan mereka yang sama sekali tidak bisa mentoleransi kesalahan di Los Angel satu minggu yang lalu.
"Aku menyesal," imbuh Julian.
Deg! Hatinya terbakar. Jujur saja di dalam lubuk hatinya—jika mengingat malam itu—sama sekali dia tidak menyesali kebodohannya. Dia menikmatinya.
"Tidak perlu membawa sebanyak itu, Pak. Aku yang jadi tidak enak." Jenar mencoba tersenyum. "Aku rasa aku tidak pantas menerima itu."
Malam itu, Julian menarik Jenar di atas ranjang, mencium, dan menjamah dirinya. Nafsu dan gairah yang menggila, membuat Jenar menikmatinya. Hingga akhirnya kesalahan itu terjadi.
"Cukup bawa satu, jika ingin membawa buah tangan. Aku bisa mengerti." Jenar menunduk. "Semua ini hanya akan membuatku canggung saja." Nada bicaranya hampir habis di bagian akhir kalimatnya.
Usia Julian hampir dua kali lipat dari Jenar. Namun, dia bukan pria tua yang kuno. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh Jenar sekarang. Gelagat dan logatnya berbicara menandakan bahwa dia tidak baik-baik saja.
"Tidak perlu canggung padaku," katanya pada Jenar. "Di kantor memang kamu harus menghormati diriku, tetapi tidak kalau di rumah dan luar kantor. Aku banyak berteman dengan gadis muda sebab itu adalah temannya Jasmine dan Julio."
Tanpa dia sadari, pria ini baru saja menegaskan kalau dia punya anak yang hampir seusia dengan Jenar.
"Pak Julian." Dia memotong. Pandangan matanya perlahan-lahan kembali untuk Julian. "Ada yang ingin aku sampaikan."
Julian diam seraya mengangguk.
"Saya berpikir untuk ...." Dia diam lagi. Keraguan memunculkan pertanyaan tentang salahkah dia memutuskan ini? Entahlah. Dia tidak punya jaminan hidup jika melakukan hal itu.
"Untuk ...." Jenar mengulum salivanya. Jika dia mengundurkan diri, maka akan sulit mencari pekerjaan di Jakarta. Lagian bekerja di perusahaan ini membuat hidupnya terjamin.
"Kalau ragu, biarkan aku yang bicara dulu." Julian menyela.
Jenar mengangguk ringan. "Silakan."
"Ayo menikah!" ucapnya dengan mantap. "Menikahlah denganku, Jenar."
Seperti ada badai besar di dalam hati Jenar. "Aku ...." Dia dibisukan oleh keadaan.
"Tidak perlu khawatir soal uang, pekerjaan, rumah, dan lainnya. Hidup kamu akan terjamin setelah menikah denganku." Dia semakin gila dengan kalimatnya. "Aku janji kalau aku tidak akan mengecewakan dirimu. Aku adalah pria yang bertanggung jawab."
Jenar bisu. Di dalam kepalanya kosong.
"Maka dari itu, ayo menikah denganku."
... Next ...
"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian."Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya."Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya."Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya." "Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita te
Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua." "Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...." "Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. "Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu." Jenar menarik nafasnya.
"Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b
“Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam.“Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?”Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.”Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya.“Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya.“Kamu gak
Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela
“Siapa orang itu?” Jasmine mendatangi ibunya yang duduk di teras rumah.Luce menyambut kedatangan putrinya dengan senyum manis. “Siapa?” Dia mengerutkan keningnya. Mengulang pertanyaan yang sama.Jasmine duduk di sisi Luce. “Orang yang akan dinikahi papa,” sambungnya. Memperjelas.Luce tersenyum tipis. Menyeruput teh yang dibuatnya sendiri. Tak kuat memandang putrinya, dia memilih fokus pada halaman rumah mantan suaminya.“Mama juga gak tahu?” tanya Jasmine lagi. Meskipun setelah perceraian mereka tidak pernah bertemu, tetapi Luce tetaplah ibunya. Jasmine tahu, Luce juga pasti terkejut dengan keputusan Julian.“Namanya Jenar?” Luce malah balik bertanya. Mendapat anggukan dari Jasmine. “Dia karyawan papamu.”Jasmine menyunggingkan senyum. “Selera papa rendah banget,” gumam Jasmine.Jasmine sudah besar, dia tahu mana yang wajar dan tidak wajar. Menurutnya pernikahan papanya adalah hal yang tidak wajar.“Kamu tidak protes sama papa?” Luce menatap wajah putrinya. Identik dengan Julian. Ja
Rasa canggung menggantung di udara. Jenar mulai menyesal tentang dia yang memutuskan untuk tetap berada di sini.“Dia siapa, Julian?” Logatnya berbicara begitu khas. Dia sepertinya bukan asli orang Indonesia. Wajahnya pun mencerminkan kalau dia adalah orang barat.Julian menatap Jenar. “Kekasihku,” akunya. Tentu saja Jenar terkejut bukan main. Ingin memprotes tetapi dia tidak bisa.“Kami akan menikah.” Julian menambahkan.Ternyata bukan hanya Jenar yang terkejut sekarang, tetapi wanita itu juga.Julian memahami keadaan. “Jenar, perkenalkan ini adalah Anne Daisy.” Julian menatap Anne. "Anne, ini Jenar. Calon istriku.” Julian dengan bangga memperkenalkan Jenar.Anne mengertukan keningnya. “Berapa usiamu?” Dia langsung pergi pada poin pembicaraan. “Kamu awet muda atau memang masih muda?” Anne menelisik penampilan Jenar.“25 tahun,” jawab Jenar seadanya. Melirik Julian. “Usia tidak penting,” imbuhnya dengan lirih. Tersenyum canggung, berpura-pura bahwa hubungan mereka benar-benar berlanda
Jenar duduk di atas sofa sembari memandangi keadaan sekitarnya. Rumah mewah ini seakan membelenggu kebahagiaannya. Hanya ada kekhawatiran besar di dalam hatinya sekarang."Jasmine akan pulang sebentar lagi. Katanya dia sudah ada di depan gang komplek," ucap Julian. Menghampiri Jenar dengan membawakan secangkir teh untuk kedatangannya.Penyesalannya datang lagi. Dia seharusnya tadi menolak saat dia itu mengajaknya untuk sekalian datang mampir ke rumahnya.Jenar tersenyum manis pada Julian. "Di mana Jean?" tanyanya. Syukurlah kalau nama anak terakhir Julian mudah diingat olehnya."Aku menitipkannya di pengasuh. Katanya mereka sedang jalan-jalan di taman, nanti juga akan kembali karena aku sudah menelepon kalau ada tamu penting yang datang ke rumah." Pria itu menjawab seadanya. Duduk di depan Jenar. "Bagaimana dengan rumahku?" tanya Julian lagi. "Apanya yang bagaimana?" Jenar mengernyitkan dahi. "Nyaman untuk kamu?" Julian sepertinya tergesa-gesa, tentang Jenar yang harus segera menye