Share

7. Rumah Teman Satu Malam

"Siapa dia?" Alif berbisik-bisik sembari mengintip ke dalam. "Teman atau pacar Mbak Jenar?" Pertanyaannya sedikit memaksa. "Bosnya Mbak Jenar?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kalau bos dari perusahaan besar datang berkunjung tanpa alasan begini."

Pandangan Alif tertuju pada Jenar. "Ada masalah di kantor, Mbak?"

"Udah, pulang aja." Jenar kokoh untuk mengusir Alif. "Urusi kebun kamu itu dulu, nanti malam aku jelaskan." Dia mendorong tubuh Alif menjauh dari rumahnya.

"Sekarang aku harus menemui tamuku." Dia menoleh ke belakang. "Kamu lihat sendiri, dia orang berada. Aku gak mau kalau terkesan mengabaikan dan tidak menghormati kedatangannya."

Alif menyerah. "Oke!" Dia meraih kedua tangan Jenar. "Janji jelaskan, oke?"

Jenar menghela nafas. "Hm, sekarang pulang dulu. Jangan merepotkan diriku." Jenar menggerutu. Kembali mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh darinya.

Alif pasrah dan pergi. Rasa penasaran disimpan dalam hatinya. Sesuai janji Jenar, dia akan datang malam nanti untuk menjelaskan.

Setelah Alif pergi, Jenar masuk ke dalam rumah. Ada Pak Julian di sana. Sekarang suasana canggung datang merajalela.

"Adik?" Pak Julian memulai. "Aku tidak tahu kalau kamu punya adik sebesar itu." Dia menatap ke ambang pintu. "Kenapa diusir?"

Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak punya adik, Pak. Aku tinggal sama teman di sini." Dia menjawab seadanya. Fakta bahwa rumah ini sepi—hanya ada mereka berdua sekarang—menjawab itu semua.

"Lantas?"

"Tetangga yang akrab." Jenar mempersingkat. Duduk di atas kursi rotan yang sudah tua. Ruangan ini tidak luas membuat jarak mereka terlalu dekat untuk berbicara layaknya bos dan karyawannya.

"Kamu suka pakai baju begitu di rumah?" tanya Julian. Melirik belahan dada milik Jenar.

Bodoh! Gadis itu lupa dengan penampilannya sendiri sebab terlalu panik mendapati fakta pria ini datang secara tiba-tiba.

"Ah, aku ganti akan ganti baju dulu, Pak Julian."

Hampir Jenar bangkit, tetapi Julian menggenggam tangan Jenar. Membuatnya kembali duduk.

"Lagian aku pernah melihatnya," ucap Julian. Ngawur!

Jenar menelan ludah.

"Ah, maaf." Julian tersenyum kaku. Menyadari kebodohan lewat kata-katanya tadi.

Jenar manggut-manggut. Menurut saja. "Ngomong-ngomong kenapa Pak Julian datang kemari?"

"Rumah kamu nyaman juga," ucap Julian mengabaikan Jenar.

Jenar menatapnya. Dia yakin kalau itu bukan sebuah pujian.

"Hanya perlu sedikit dibersihkan." Julian mengimbuhkan.

Ah ... Jenar paham. Begitulah caranya mengkritik.

"Pak Julian." Gadis itu memberanikan diri untuk berbicara dengan volume seadanya. "Ada apa datang kemari?" tanyanya lagi.  "Rumah ini jauh dari rumah Pak Julian, juga tidak searah dengan kantor."

"Kamu tahu rumahku?" Pria itu menyahut. Dengan santainya dia menarik gelas kosong di sisinya. "Kamu pasti mencari tahu tentang diriku," sambung Julian penuh percaya diri.

"Biar aku buatkan teh!" Jenar mencegah. 

Julian menatapnya kala Jenar mencegah dengan nada meninggi. Terkejut. Hampir saja dia mengira kalau gadis ini memarahinya.

"Maksudku ... bagaimana bisa Pak Julian minum air putih setelah jauh-jauh datang kemari?" Dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak enak untuk itu."

Julian diam. Padahal dia hanya menuang air putih dan itu membuat Jenar kalang kabut.

"Kenapa menatapku begitu?"

Sial, dia benar-benar tampan!

"Aku akan membuatkan teh," ujarnya lagi. Sayangnya pria itu malah meminum air putihnya dalam sekali teguk saja.

"Air putih lebih sehat," sahut Julian, tertawa ringan.

Sejauh ini Jenar belum bisa menyimpulkan apapun tentang tujuan kedatangannya dengan membawa semua barang-barang di dalam tas belacu itu. 

"Aku akan langsung pada intinya." Dia memulai setelah meletakkan gelas kosong di atas meja. Menatap Jenar dalam diam. Gadis itu terlihat begitu resah dengan bermain bersama jari jemarinya sekarang.

"Untuk semua yang aku bawa hari ini adalah hadiah untukmu," katanya pada Jenar.

"Hadiah?" Jenar menatap jajaran tas belacu. Tentu saja pria kaya ini tidak akan membelikan hadiah abal-abal untuknya mengingat uang adalah hal sepele untuk dihambur-hamburkan terkadang kala. "Aku tidak tahu kenapa harus mendapatkan semua ini padahal aku tidak melakukan apapun."

"Aku menyukai proposal kamu," jawab Julian dengan mantap. "Sebenarnya."

Jenar diam. Benarkah? Bukan tentang Los Angeles?

"Juga tentang Los Angeles."

Ah! Itulah poinnya.

"Sebagai tanda permintaan maaf atas apa yang terjadi di Los Angeles satu minggu yang lalu. Aku tidak tahu harus meminta maaf dengan cara yang bagaimana, jadi aku rasa ini sebagai bentuk penyesalan dariku."

Sebenarnya Jenar adalah gadis cerewet. Namun, dia akan menjadi diam kalau berhadapan dengan orang asing. Ditambah lagi kedudukan mereka yang sama sekali tidak bisa mentoleransi kesalahan di Los Angel satu minggu yang lalu.

"Aku menyesal," imbuh Julian.

Deg! Hatinya terbakar. Jujur saja di dalam lubuk hatinya—jika mengingat malam itu—sama sekali dia tidak menyesali kebodohannya. Dia menikmatinya.  

"Tidak perlu membawa sebanyak itu, Pak. Aku yang jadi tidak enak." Jenar mencoba tersenyum. "Aku rasa aku tidak pantas menerima itu."

Malam itu, Julian menarik Jenar di atas ranjang, mencium, dan menjamah dirinya. Nafsu dan gairah yang menggila, membuat Jenar menikmatinya. Hingga akhirnya kesalahan itu terjadi. 

"Cukup bawa satu, jika ingin membawa buah tangan. Aku bisa mengerti." Jenar menunduk. "Semua ini hanya akan membuatku canggung saja." Nada bicaranya hampir habis di bagian akhir kalimatnya.

 Usia Julian hampir dua kali lipat dari Jenar. Namun, dia bukan pria tua yang kuno. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh Jenar sekarang. Gelagat dan logatnya berbicara menandakan bahwa dia tidak baik-baik saja.

"Tidak perlu canggung padaku," katanya pada Jenar. "Di kantor memang kamu harus menghormati diriku, tetapi tidak kalau di rumah dan luar kantor. Aku banyak berteman dengan gadis muda sebab itu adalah temannya Jasmine dan Julio."

Tanpa dia sadari, pria ini baru saja menegaskan kalau dia punya anak yang hampir seusia dengan Jenar.

"Pak Julian." Dia memotong. Pandangan matanya perlahan-lahan kembali untuk Julian. "Ada yang ingin aku sampaikan."

Julian diam seraya mengangguk.

"Saya berpikir untuk ...." Dia diam lagi. Keraguan memunculkan pertanyaan tentang salahkah dia memutuskan ini? Entahlah. Dia tidak punya jaminan hidup jika melakukan hal itu.

"Untuk ...." Jenar mengulum salivanya. Jika dia mengundurkan diri, maka akan sulit mencari pekerjaan di Jakarta. Lagian bekerja di perusahaan ini membuat hidupnya terjamin.

"Kalau ragu, biarkan aku yang bicara dulu." Julian menyela.

Jenar mengangguk ringan. "Silakan."

"Ayo menikah!" ucapnya dengan mantap. "Menikahlah denganku, Jenar."

Seperti ada badai besar di dalam hati Jenar. "Aku ...." Dia dibisukan oleh keadaan.

"Tidak perlu khawatir soal uang, pekerjaan, rumah, dan lainnya. Hidup kamu akan terjamin setelah menikah denganku." Dia semakin gila dengan kalimatnya. "Aku janji kalau aku tidak akan mengecewakan dirimu. Aku adalah pria yang bertanggung jawab."

Jenar bisu. Di dalam kepalanya kosong.

"Maka dari itu, ayo menikah denganku."

... Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status