Share

8. Sarah : Teman Persetanan

"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.

Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian.

"Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya.

"Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya.

"Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya." 

"Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita tentang dia?" Jenar terlihat begitu cemas. "Jasmine!" Dia menyebutkan satu nama asing untuk Sarah. "Julio?" Dia memicingkan matanya, berharap kalau nama yang baru saja dia sebutkan benar. "Aku tidak tahu siapa anak yang terakhir, tetapi itu adalah alasan mendasar kenapa aku tidak bisa menikahinya."

Jenar menarik kursi rotan dan duduk di atas sana. Sepulangnya Julian dari rumahnya, Sarah datang tak lama kemudian. Tentu saja dia terkejut setelah melihat semua barang-barang mewah ini.

"Alasan kedua dia adalah bosku!" Jenar menaikan kedua jarinya. "Mungkin tidak masalah bagiku ketika aku harus keluar dari perusahaan setelah menikah dengannya dan menjadi nyonya Julian. Namun, aku tidak tahu bagaimana aku menjelaskan situasi ini pada karyawan yang lain."

Sarah memandang Jenar. "Kamu itu tipe orang yang tidak akan mau mendengarkan kata orang lain, jadi kenapa sekarang kata para karyawan penting untukmu?"

Sarah diam dan menunggu Jenar menjawab. Namun, Jenar bisu di tempatnya. 

"Pak Julian punya jaminan kehidupan untuk kamu di masa depan. Kamu nggak harus hidup miskin lagi. Memikirkan bayaran ini dan itu. Paling konyolnya lagi ...." Dia menjeda. "Alif!"

Sarah berbisik. "Pemuda gila itu terus saja bilang kalau dia menyukai kamu, katanya dia akan berusaha untuk jadi laki-laki yang baik demi kamu!" Gadis itu tidak habis pikir. "Aku benar-benar takut padanya."

Jenar tertawa ringan. "Kenapa harus takut pada Alif? Dia itu nggak gigit apalagi sampai membunuh," sahutnya. Terkesan santai dengan semuanya. "Aku menganggapnya hanya cinta monyet, jadi tidak perlu dipikirkan lebih dari itu."

"Apanya yang tidak perlu dipikirkan?" Sarah memprotes. Menepuk punggung lawan bicaranya. "Dia itu benar tergila-gila sama kamu! Bisa-bisa dia berbuat nekat suatu saat nanti."

"Datang dan memperkosa?" Jenar menyahut. Berbicara ngawur lalu tertawa terbahak-bahak. "Maka aku yang akan membunuhnya dulu," imbuhnya. Menarik segelas air putih lalu meneguknya.

"Cobalah menjalin hubungan dulu dengan Pak Julian. Setidaknya memanfaatkan kekayaannya," sambung Sarah. Sarah adalah ahlinya kalau memberi saran gila.

"Setidaknya kamu bisa gunakan kehamilan palsu untuk memoroti hartanya sampai kamu bisa pindah ke rumah yang lebih besar dan punya kehidupan yang sedikit mapan," ujarnya.

"Paling tidak punya satu motor jadi nggak perlu naik bus atau jalan kaki kalau terlambat." Sarah menukas lagi.

Keduanya saling pandang.

"Katakan saja aku mau melakukan itu, kamu pikir akan mudah melewati dua anaknya?" Jenar memprotes. "Meskipun aku belum pernah melihat dua wajahnya, tetapi yang aku dengar kalau anak yang tertua itu anak laki-laki duduk di bangku perkuliahan." Jenar bangkit kursi. berjalan menuju meja berisi jajaran piring dan gelas. Waktunya untuk makan malam seadanya.

"Julio katanya sekolah dihukum dan bisnis seperti Alif, tetapi aku nggak tahu apakah mereka satu kelas atau satu kampus. Aku nggak peduli dengan itu," ucap Jenar terkesan tak acuh. "Kalau putrinya atau anak yang kedua, duduk di bangku sekolah menengah atas tahun kedua ini. Katanya dia gadis yang cerdik, pintar, dan pernah menang lomba cerdas cermat tingkat nasional."

Sarah hanya diam dan mendengarkan sembari memainkan kotak perhiasan yang baru saja dia keluarkan dari dalam tas belacu berwarna merah tua.

"Aku yakin kalau Pak Julian nggak akan asal-asalan menyekolahkan kedua anaknya. Dia bisa dikatakan sebagai jajaran pria terkaya di Jakarta. Jadi untuk masuk ke dalam keluarga itu ...." Jenar memutuskan kalimat. Mengembangkan senyum kecut, menahan tawa agar tidak menertawakan dirinya lagi untuk yang kesekian kalinya setelah kesalahan dia lakukan di Los Angeles bersama bosnya itu.

"Jadi?" Sarah yang mengingatkannya untuk kembali berbicara.

Jenar kembali berjalan mengarah padanya, membawa satu piring berisi nasi juga segelas air putih yang dia ambil sebelumnya.

"Katakan padaku jika kamu berada di posisi menjadi salah satu anak dari Pak Julian ...." Dia berbasa-basi lagi. Meletakkan piring dan gelas di atas meja.

"Keluarga yang mewah dan kaya raya. Kehidupan yang mapan dan dipandang baik oleh orang-orang di sekitarnya," tutur Jenar.

"Apapun yang mereka inginkan pasti tercapai tanpa hambatan apapun. Ditambah lagi mereka punya ayah yang super power dan ibu yang luar biasa tidak bisa diragukan lagi sebagai wanita mandiri!" Jenar kehilangan kepercayaan dirinya.

"Lalu tiba-tiba seorang gadis kampung yang tidak punya apapun, pengalaman kerja yang minim, bahkan kuliah saja tidak lulus ... datang dan bergabung di keluarga mereka sebagai ibu yang baru?" Jenar tertawa tanpa sebab. Menatap Sarah yang mengerutkan keningnya. "Seperti layaknya membuang emas hanya untuk mendapatkan tumpukan batu," ucapnya menutup kalimat.

Pada akhirnya, Jenar lah yang harus menerima dan mengiklaskannya. 

"Hanya karena status keluarga dan sosial?" tanya Sarah. Dia mendorong kotak perhiasan mendekat pada temannya. "Jika tidak mau menikah dengannya, kembalikan semua ini padanya. Menerima ini berarti juga menerima lamarannya secara tidak langsung."

"Kamu bilang aku harus memoroti hartanya. Ini adalah salah satu caranya," ucap Jenar.

Sarah hampir saja mengumpat pada temannya. "Aku hanya bercanda!"

"Aku sedang berbicara serius dan kamu tiba-tiba bercanda." Jenar memprotes. Tertawa kecil.

Sarah menghela nafas. "Kembalikan semua ini dan katakan padanya bahwa kamu tidak bisa menikah dengannya." Dia menatap Jenar intensif.

"Jelaskan apa yang kamu katakan padaku tadi. Kesucianmu sudah hilang karena dia. Jangan harga dirimu juga, Jenar. Hanya itu yang bisa kamu pertahankan sebab kamu hanya gadis kampung yang miskin." 

Jenar diam. Tidak jadi menyantap nasi di dalam sendok. Nafsu makannya hilang begitu saja. 

"Setidaknya ada satu yang kamu banggakan! Itu adalah harga diri." Sarah memberi penekanan. "Kamu tidak boleh dilecehkan lagi, Jenar!"

"Jadi ... aku harus menemui dia?" Jenar melirih.

"Hm, kalau perlu ludahi wajahnya," ucap Sarah geram. "Dia seharusnya tidak menyombong pasal harta dengan membawa semua ini."

Sarah melirik Jenar. "Dia harusnya berlutut dan mohon ampun!"

... Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status