"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.
Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian.
"Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya.
"Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya.
"Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya."
"Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita tentang dia?" Jenar terlihat begitu cemas. "Jasmine!" Dia menyebutkan satu nama asing untuk Sarah. "Julio?" Dia memicingkan matanya, berharap kalau nama yang baru saja dia sebutkan benar. "Aku tidak tahu siapa anak yang terakhir, tetapi itu adalah alasan mendasar kenapa aku tidak bisa menikahinya."
Jenar menarik kursi rotan dan duduk di atas sana. Sepulangnya Julian dari rumahnya, Sarah datang tak lama kemudian. Tentu saja dia terkejut setelah melihat semua barang-barang mewah ini.
"Alasan kedua dia adalah bosku!" Jenar menaikan kedua jarinya. "Mungkin tidak masalah bagiku ketika aku harus keluar dari perusahaan setelah menikah dengannya dan menjadi nyonya Julian. Namun, aku tidak tahu bagaimana aku menjelaskan situasi ini pada karyawan yang lain."
Sarah memandang Jenar. "Kamu itu tipe orang yang tidak akan mau mendengarkan kata orang lain, jadi kenapa sekarang kata para karyawan penting untukmu?"
Sarah diam dan menunggu Jenar menjawab. Namun, Jenar bisu di tempatnya.
"Pak Julian punya jaminan kehidupan untuk kamu di masa depan. Kamu nggak harus hidup miskin lagi. Memikirkan bayaran ini dan itu. Paling konyolnya lagi ...." Dia menjeda. "Alif!"
Sarah berbisik. "Pemuda gila itu terus saja bilang kalau dia menyukai kamu, katanya dia akan berusaha untuk jadi laki-laki yang baik demi kamu!" Gadis itu tidak habis pikir. "Aku benar-benar takut padanya."
Jenar tertawa ringan. "Kenapa harus takut pada Alif? Dia itu nggak gigit apalagi sampai membunuh," sahutnya. Terkesan santai dengan semuanya. "Aku menganggapnya hanya cinta monyet, jadi tidak perlu dipikirkan lebih dari itu."
"Apanya yang tidak perlu dipikirkan?" Sarah memprotes. Menepuk punggung lawan bicaranya. "Dia itu benar tergila-gila sama kamu! Bisa-bisa dia berbuat nekat suatu saat nanti."
"Datang dan memperkosa?" Jenar menyahut. Berbicara ngawur lalu tertawa terbahak-bahak. "Maka aku yang akan membunuhnya dulu," imbuhnya. Menarik segelas air putih lalu meneguknya.
"Cobalah menjalin hubungan dulu dengan Pak Julian. Setidaknya memanfaatkan kekayaannya," sambung Sarah. Sarah adalah ahlinya kalau memberi saran gila.
"Setidaknya kamu bisa gunakan kehamilan palsu untuk memoroti hartanya sampai kamu bisa pindah ke rumah yang lebih besar dan punya kehidupan yang sedikit mapan," ujarnya.
"Paling tidak punya satu motor jadi nggak perlu naik bus atau jalan kaki kalau terlambat." Sarah menukas lagi.
Keduanya saling pandang.
"Katakan saja aku mau melakukan itu, kamu pikir akan mudah melewati dua anaknya?" Jenar memprotes. "Meskipun aku belum pernah melihat dua wajahnya, tetapi yang aku dengar kalau anak yang tertua itu anak laki-laki duduk di bangku perkuliahan." Jenar bangkit kursi. berjalan menuju meja berisi jajaran piring dan gelas. Waktunya untuk makan malam seadanya.
"Julio katanya sekolah dihukum dan bisnis seperti Alif, tetapi aku nggak tahu apakah mereka satu kelas atau satu kampus. Aku nggak peduli dengan itu," ucap Jenar terkesan tak acuh. "Kalau putrinya atau anak yang kedua, duduk di bangku sekolah menengah atas tahun kedua ini. Katanya dia gadis yang cerdik, pintar, dan pernah menang lomba cerdas cermat tingkat nasional."
Sarah hanya diam dan mendengarkan sembari memainkan kotak perhiasan yang baru saja dia keluarkan dari dalam tas belacu berwarna merah tua.
"Aku yakin kalau Pak Julian nggak akan asal-asalan menyekolahkan kedua anaknya. Dia bisa dikatakan sebagai jajaran pria terkaya di Jakarta. Jadi untuk masuk ke dalam keluarga itu ...." Jenar memutuskan kalimat. Mengembangkan senyum kecut, menahan tawa agar tidak menertawakan dirinya lagi untuk yang kesekian kalinya setelah kesalahan dia lakukan di Los Angeles bersama bosnya itu.
"Jadi?" Sarah yang mengingatkannya untuk kembali berbicara.
Jenar kembali berjalan mengarah padanya, membawa satu piring berisi nasi juga segelas air putih yang dia ambil sebelumnya.
"Katakan padaku jika kamu berada di posisi menjadi salah satu anak dari Pak Julian ...." Dia berbasa-basi lagi. Meletakkan piring dan gelas di atas meja.
"Keluarga yang mewah dan kaya raya. Kehidupan yang mapan dan dipandang baik oleh orang-orang di sekitarnya," tutur Jenar.
"Apapun yang mereka inginkan pasti tercapai tanpa hambatan apapun. Ditambah lagi mereka punya ayah yang super power dan ibu yang luar biasa tidak bisa diragukan lagi sebagai wanita mandiri!" Jenar kehilangan kepercayaan dirinya.
"Lalu tiba-tiba seorang gadis kampung yang tidak punya apapun, pengalaman kerja yang minim, bahkan kuliah saja tidak lulus ... datang dan bergabung di keluarga mereka sebagai ibu yang baru?" Jenar tertawa tanpa sebab. Menatap Sarah yang mengerutkan keningnya. "Seperti layaknya membuang emas hanya untuk mendapatkan tumpukan batu," ucapnya menutup kalimat.
Pada akhirnya, Jenar lah yang harus menerima dan mengiklaskannya.
"Hanya karena status keluarga dan sosial?" tanya Sarah. Dia mendorong kotak perhiasan mendekat pada temannya. "Jika tidak mau menikah dengannya, kembalikan semua ini padanya. Menerima ini berarti juga menerima lamarannya secara tidak langsung."
"Kamu bilang aku harus memoroti hartanya. Ini adalah salah satu caranya," ucap Jenar.
Sarah hampir saja mengumpat pada temannya. "Aku hanya bercanda!"
"Aku sedang berbicara serius dan kamu tiba-tiba bercanda." Jenar memprotes. Tertawa kecil.
Sarah menghela nafas. "Kembalikan semua ini dan katakan padanya bahwa kamu tidak bisa menikah dengannya." Dia menatap Jenar intensif.
"Jelaskan apa yang kamu katakan padaku tadi. Kesucianmu sudah hilang karena dia. Jangan harga dirimu juga, Jenar. Hanya itu yang bisa kamu pertahankan sebab kamu hanya gadis kampung yang miskin."
Jenar diam. Tidak jadi menyantap nasi di dalam sendok. Nafsu makannya hilang begitu saja.
"Setidaknya ada satu yang kamu banggakan! Itu adalah harga diri." Sarah memberi penekanan. "Kamu tidak boleh dilecehkan lagi, Jenar!"
"Jadi ... aku harus menemui dia?" Jenar melirih.
"Hm, kalau perlu ludahi wajahnya," ucap Sarah geram. "Dia seharusnya tidak menyombong pasal harta dengan membawa semua ini."
Sarah melirik Jenar. "Dia harusnya berlutut dan mohon ampun!"
... Next ...
Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua." "Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...." "Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. "Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu." Jenar menarik nafasnya.
"Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b
“Soto hangat penghilang pengar!” Sarah meletakkan semangkuk soto di depan Jenar. “Khusus untuk temanku yang baru saja dihajar alkohol kemarin malam!” Dia duduk di depan Jenar sembari menatapnya dengan tajam.“Kenapa menatapku begitu?” tanya Jenar. Dia masih belum yakin, apa yang terjadi sepulang dari rumah Julian. “Aku ... melakukan kesalahan?”Sarah menghela nafas. “Aku anggap pernyataan kamu tentang bersedia menikahi duda kaya bernama Julian Liandra kemarin malam adalah bagian dari mabuk kamu, Jenar.”Jenar mengernyitkan dahi dan Sarah memahami temannya.“Kamu pamitan mau ke rumah Pak Julian untuk mengembalikan hadiahnya. Lalu, tiba-tiba kamu ditemukan pingsan karena kebanyakan minum alkohol oleh Bu Ranti, tetangga sebelah.” Sarah memprotes. Sedangkan yang diprotes hanya diam dan menatapnya.“Kamu gak
Jenar membuat janji temu dengan Julian. Di sebuah rumah makan sederhana lah tempatnya. “Katanya kamu mau mau bicara sesuatu denganku?” tanya Julian. Dia yang mengambil alih untuk yng pertama kalinya. Jenar masih diam. Dia belum berani mengutarakan tujuannya—mencabut kata-kata dan menolak pernikahan itu. “Kamu sudah menerima lamaranku, jadi mulailah untuk terbiasa denganku.” Julian menatapnya. “Kita bisa saling mengenal satu sama lain di sisa hari sebelum pernikahan.” Jenar mendongakkan pandangan matanya. “Pak Julian,” panggil Jenar. Menarik fokus Julian untuk datang. “Soal pernikahan ....” Dia menjeda lagi. Jenar mengulum saliva saat mendapati Julian menatapnya dengan teduh. “Oh iya, soal pernikahan.” Sialnya, Julian salah duga. Dia antusaias membahas itu. Julian mengeluarkan tablet miliknya. Menyodorkan pada Jenar. “Aku sudah mencari gaun pengantin untuk kita,” katanya. Dia masih dengan senyum yang sama. “Ada beberapa saran dari desainer terbaik kenalanku.” Tatapan Jenar rela
“Siapa orang itu?” Jasmine mendatangi ibunya yang duduk di teras rumah.Luce menyambut kedatangan putrinya dengan senyum manis. “Siapa?” Dia mengerutkan keningnya. Mengulang pertanyaan yang sama.Jasmine duduk di sisi Luce. “Orang yang akan dinikahi papa,” sambungnya. Memperjelas.Luce tersenyum tipis. Menyeruput teh yang dibuatnya sendiri. Tak kuat memandang putrinya, dia memilih fokus pada halaman rumah mantan suaminya.“Mama juga gak tahu?” tanya Jasmine lagi. Meskipun setelah perceraian mereka tidak pernah bertemu, tetapi Luce tetaplah ibunya. Jasmine tahu, Luce juga pasti terkejut dengan keputusan Julian.“Namanya Jenar?” Luce malah balik bertanya. Mendapat anggukan dari Jasmine. “Dia karyawan papamu.”Jasmine menyunggingkan senyum. “Selera papa rendah banget,” gumam Jasmine.Jasmine sudah besar, dia tahu mana yang wajar dan tidak wajar. Menurutnya pernikahan papanya adalah hal yang tidak wajar.“Kamu tidak protes sama papa?” Luce menatap wajah putrinya. Identik dengan Julian. Ja
Rasa canggung menggantung di udara. Jenar mulai menyesal tentang dia yang memutuskan untuk tetap berada di sini.“Dia siapa, Julian?” Logatnya berbicara begitu khas. Dia sepertinya bukan asli orang Indonesia. Wajahnya pun mencerminkan kalau dia adalah orang barat.Julian menatap Jenar. “Kekasihku,” akunya. Tentu saja Jenar terkejut bukan main. Ingin memprotes tetapi dia tidak bisa.“Kami akan menikah.” Julian menambahkan.Ternyata bukan hanya Jenar yang terkejut sekarang, tetapi wanita itu juga.Julian memahami keadaan. “Jenar, perkenalkan ini adalah Anne Daisy.” Julian menatap Anne. "Anne, ini Jenar. Calon istriku.” Julian dengan bangga memperkenalkan Jenar.Anne mengertukan keningnya. “Berapa usiamu?” Dia langsung pergi pada poin pembicaraan. “Kamu awet muda atau memang masih muda?” Anne menelisik penampilan Jenar.“25 tahun,” jawab Jenar seadanya. Melirik Julian. “Usia tidak penting,” imbuhnya dengan lirih. Tersenyum canggung, berpura-pura bahwa hubungan mereka benar-benar berlanda
Jenar duduk di atas sofa sembari memandangi keadaan sekitarnya. Rumah mewah ini seakan membelenggu kebahagiaannya. Hanya ada kekhawatiran besar di dalam hatinya sekarang."Jasmine akan pulang sebentar lagi. Katanya dia sudah ada di depan gang komplek," ucap Julian. Menghampiri Jenar dengan membawakan secangkir teh untuk kedatangannya.Penyesalannya datang lagi. Dia seharusnya tadi menolak saat dia itu mengajaknya untuk sekalian datang mampir ke rumahnya.Jenar tersenyum manis pada Julian. "Di mana Jean?" tanyanya. Syukurlah kalau nama anak terakhir Julian mudah diingat olehnya."Aku menitipkannya di pengasuh. Katanya mereka sedang jalan-jalan di taman, nanti juga akan kembali karena aku sudah menelepon kalau ada tamu penting yang datang ke rumah." Pria itu menjawab seadanya. Duduk di depan Jenar. "Bagaimana dengan rumahku?" tanya Julian lagi. "Apanya yang bagaimana?" Jenar mengernyitkan dahi. "Nyaman untuk kamu?" Julian sepertinya tergesa-gesa, tentang Jenar yang harus segera menye
“Boleh aku masuk?”Jenar tidak tahu apakah dia akan melakukan kelancangan yang membuat Jasmine semakin membenci dirianya atau tidak. Dia hanya ingin datang dan berbicara.Jasmine tidak memberi jawaban. Dia meringkuk di dalam selimut tebalnya.“Aku anggap boleh,” ucapnya terdengar bimbang, meskipun begitu Jenar masih memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar Jasmine.“Papa kamu mengijinkan aku masuk ke sini untuk berpamitan pulang.” Jenar memulai kalimatnya. Dia masih takut jika itu hanya akan menambah kemarahan Jasmine saja.Jasmine menurunkan selimutnya. Dia bangkit dari tempat tidurnya dan menatap Jenar.“Kenapa melihatku seperti melihat monster?” Jenar berusaha untuk bergurau. Sayangnya, Jasmine tidak menangkap kalimat itu.“Katakan padaku dengan jujur!” Dia memer