Share

9. Rumah Calon Suami

Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. 

"Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar.

Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua."

"Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...."

"Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. 

"Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu."

Jenar menarik nafasnya. "Ada banyak alasan kenapa aku harus mengembalikan ini, Pak Julian."

Dia menatap keadaan sekitarnya. Jenar tidak pernah membayangkan kalau dia akan berada di di sini. "Salah satu alasannya adalah rumah mewah ini," tukas Jenar.

Dia menatap Julian lagi. "Aku datang untuk mengembalikan semuanya sekaligus menolaknya, Pak." Nada bicaranya penuh dengan kecemasan. 

Julian tak percaya setelah mendengar keputusan Jenar yang diambil secepat ini. 

"Jenar, pikirkan baik-baik dulu." Dia masih mencoba untuk mendesaknya. "Aku tidak mau kamu menyesali semuanya nanti," ucap Julian seraya menggelengkan kepalanya.

"Aku akan menunggu kamu sampai  kamu bisa memutuskan semuanya." Julian membenahi posisi duduknya. "Jadi jangan merasa tertekan dan terbebani," pungkas Julian. Nada bicaranya berusaha untuk menenangkan Jenar. 

"Jika Pak Julian ingin menikah denganku karena kesalahan malam itu di Los Angeles, aku tidak akan menerimanya." Jenar berbohong, kenyataannya dia butuh tanggung jawab setelah Julian menjamah tubuhnya malam itu.

Julian termangu, mungkin dia tidak menyangka kalau Jenar akan seperti ini. Jenar menunjukkan padanya bahwa dia adalah gadis yang unik.

"Jadi aku mengembalikan semua hadiahnya." Jenar menutup kalimat. 

Julian menegakkan duduknya. "Mungkin ini terdengar seperti alasan, Jenar." Dia melipat tangannya di atas pangkuannya. "Jujur saja .... aku merasa bahwa kita cocok," katanya.

"Apa?" Jenar hampir saja terkejut. Untung dia bisa mengembalikan ekspresi wajahnya.

Julian menarik nafas. "Yang terjadi di Los Angeles itu seakan memantapkan hatiku. Aku bisa menikahimu." 

Jenar tersenyum tipis. "Aku tidak mendapatkan kecocokan di antara kita berdua, jadi jangan memaksakan situasi, Pak."

"Dengan kata lain aku sedang bertanggung jawab." Fokusnya tidak pernah beralih dari Jenar. 

Julian mengerti apa yang ada di dalam kepala Jenar sekarang. Tentang status sosial mereka. Ada kesenjangan yang begitu tinggi. 

"Kamu cantik." Julian tiba-tiba saja berbicara. Kalimatnya membuat Jenar menoleh padanya. 

"Kamu baik." Julian memuji. "Kamu mandiri. Kamu sopan santun. Kamu inovatif dan kamu luar biasa di usia kamu."

Pujian itu membuat Jenar diam sembari memandangi wajah Julian. 

"Bisa dikatakan itu adalah alasan mengapa aku ingin bertanggung jawab menikahimu."

Jenar menolak lagi. "Aku belum periksa ke rumah sakit dan aku tidak merasakan tanda-tanda kehamilan, jadi menikahiku untuk bertanggung jawab adalah hal yang sedikit berlebihan untukku, Pak Julian. Lagian, kamu sendiri sudah punya ...."

"Ah ... kamu benar!" sahut Julian emosional.

Kini pandangan Julian tertuju pada foto keluarga yang digantung di tengah ruangan. Itu pasti sudah diperbarui setelah perceraiannya, sebab tidak ada Luce Wileen di sana. 

Julian menunjuk wajah seorang pemuda, mirip dengan Luce Wileen. "Julio. Dia putra tertuaku."

Tunggu, Jenar mengenal wajahnya. Itu tidak asing untuk dirinya.

"Dia putra tertuaku yang sekarang berusia 21 tahun." Pria itu mulai menceritakan. "Dia duduk di bangku perkuliahan. Dia mengambil hukum bisnis karena aku yang memaksanya padahal dia ingin menjadi seorang atlet basket." 

Jenar terus memandangi foto Julio. 

"Bukannya aku pria jahat yang suka membatasi keinginan anak-anakku, tetapi aku membutuhkan seorang pewaris untuk meneruskan perusahaanku meskipun putraku yang itu sedikit menjengkelkan. Julio itu ...."

"Lanjutkan ke anak kedua." Jenar memotong setelah mengingat siapa pemuda itu. Pemuda menjengkelkan sore ini. 

"Jasmine?" Pria itu menoleh lagi. "Dia jarang tersenyum sebab temperamennya begitu buruk seperti ibunya. Dia paling manja sebab dia adalah anak tengah. Dia keras kepala, egois, dan sedikit sulit diatur." Julian tertawa. "Jadi kalau kamu menikah denganku, mungkin Jasmine sedikit melelahkan."

Jenar memandang Julan. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan menikah denganmu, Pak Julian."

"Kalau anak yang ketiga ...." Julian mengabaikan kalimat Jenar. Dia fokus dengan tujuannya untuk membuat Jenar berfikir ulang. "Dia yang paling kecil, usianya baru enam tahun. Dia masuk TK tahun ini." Julian kembali menatap Jenar. "Dia yang paling butuh sosok ibu seperti dirimu," bujuk Julian secara tidak langsung.

Julian membuang nafas. "Apa lagi yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya memberi kelonggaran.

"Julio ...." Jenar menyebutkan satu nama. "Benar-benar putramu?" 

Julian sedikit bingung dengan pertanyaannya. "Ada apa dengannya?" Sekarang dia menangkap ekspresi wajah Jenar yang tidak biasa. 

"Jenar?" Julian memanggilnya. "Ada masalah dengan putraku itu?" Dia mencoba memastikan. "Jangan-jangan kamu ...."

"Aku pulang!" Suara seorang pemuda menyela dari ambang pintu yang kemudian terbuka, membuat pandangan keduanya sama-sama mengarah ke sumber suara. 

"Julio?" Julian lah yang pertama kali menyapanya. Bangun dari tempat duduk. "Sapa dia," perintahnya pada Julio. 

Kerutan muncul di dahi Julio. "Kenapa aku harus menyapanya?" tanyanya. Menatap Jenar kemudian. "Aku tidak pernah menyapa dan mau peduli dengan tamu papa." 

Julian menghampiri putranya. "Kemarilah!" titah Julian. Membawa Julio ke ruang tamu. "Sekarang sapa dia."

Julio membeku setelah melihat wajah tamu papanya malam ini. Jenar pun begitu.

"Kenapa malah diam saja?" Julian menyenggol bahu putranya. Dia mulai berbisik. "Papa tahu kamu adalah bocah brandalan yang tidak punya sopan santun seperti ayah kandung kamu." Julian melirik Jenar sejenak. "Tapi, dia spesial," timpalnya lagi. 

"Lo?" Julian mengarahkan jari telunjuknya. "Gadis yang tadi kan?"

Sialnya, bukan sapaan seperti itu yang diinginkan Julian.

"Jaga sopan santunmu, Julio!" sentaknya sedikit marah. "Turunkan jari telunjukmu!" 

Julio menatap Julian. "Kenapa papa menerima gadis kurang ajar seperti dia untuk bertamu?" Dia membuang muka. "Merusak hari saja," katanya tak acuh.

Julio pergi setelahnya, tetapi dicegah Julian dengan menarik pergelangan tangan Julio. "Tetap di sini dan sapa dia!" Julian menarik nafas. "Kali ini saja, papa mohon."

"Sudahlah, Pak. Sepertinya Julio tidak menyukai aku," ucap Jenar pasrah. "Biarkan aku yang pergi saja kalau be—"

"Dia calon ibumu," pekik Julian meninggikan nada bicaranya atas ketidaksopanan putranya malam ini.

"Huh? Calon ibu?" Julio menyeringai. "Papa yakin?" Julio berjalan mendekati Jenar. "Dia tidak pantas menjadi ibuku!"

... Next ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status