"Kamu mau jadi pacarku?" Untuk yang kesekian kalinya, Julio mengulang kalimatnya. Dia tidak tahu lagi kalau kemarasannya memang sudah hilang sekarang.Jenar yang awalnya terdiam, tiba-tiba saja menghela nafasnya kasar. Dia langsung menjitak kepala Julio. "Aku ini ibumu!" "Bisa-bisanya kamu bilang begitu di depanku!" Jenar marah bukan main. "Kalau bapak kamu tahu ini dia pasti akan kecewa!" Julio malah cengengesan di tempatnya. Dia kembali berjalan melangkah, menjauh dari Jenar. Jenar mengikuti langkah kaki Julio. "Kamu benar-benar tidak mau mendengarkan aku?" Dia kembali memaksa. "Aku tidak akan membiarkan kamu pergi kemanapun.""Aku juga mau pulang ke rumah!" Julio kesal pada Jenar malam ini. "Kenapa kamu jadi cerewet sekali?" ketusnya.Jenar mengulum ludah mendapatkan kata-kata itu. Hatinya sudah terbuat dari baja, hingga dia tidak perlu merasakan rasa sakit lagi.Gerimis tiba-tiba mengguyur kota, kepanikan Jenar dan keadaan mereka berdua melupakan fakta kalau langit mendung mala
Suasana pagi yang canggung. Menu sarapan yang istimewa, tetapi tidak untuk suasananya. Lambat laun semua mulai terasa begitu membosankan. Jenar hanya bisa menjalani semuanya dengan cara yang seadanya, tanpa mau banyak berharap lagi."Tiga hari ke depan aku akan ada acara di sini jadi tidak akan bisa pulang." Julian menyela keheningan makan. Fokus pandangan Julian tertuju pada dua putra dan putrinya, dia mencoba tersenyum pada Julio. "Papa harap kemarin malam adalah kesalahan terakhirmu hingga membuat Jenar kerepotan.""Aku tidak menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit. Dia yang datang—" Julio menghentikan kalimatnya, setelah dia mendapati ayahnya memandang dirinya dengan cara yang sedikit tegas."Kamu sudah dewasa dan papa yakin kamu mengerti tentang kata terima kasih, Julio." Julian memberi penekanan. "Kamu harus mulai mengubah sikapmu."Julio tidak memberi jawaban lagi. Dia melanjutkan aktivitas makannya. Belum sempat Julian memulai pembicaraan dengan Jean, suara langkah kaki terd
"Kamu akhirnya datang lagi, Jenar." Sarah tertawa ringan sembari meletakkan menu yang dipesan Jenar di atas meja.Jenar awalnya tidak mau memprotes. Datangnya kemari bukan menginginkan perdebatan dengan siapapun."Sekarang ada masalah apa?" Sarah langsung menebak tujuan Jenar main ke tempatnya kerja. Jenar mendengus pelan. "Anggap saja kalau aku ini pelanggan yang kebetulan kamu kenal," tandasnya. "Kalau tidak mau melayani kamu bisa kembali kerja lagi."Sarah tidak bergeming di tempatnya dalam beberapa waktu. Dia hanya memandang teman lamanya itu."Kamu pikir aku tidak tahu?" Sarah akhirnya berbicara lagi. Jenar memandangnya. Sepertinya dia yang sudah melupakan Sarah dengan kebiasaannya. Mereka sudah lama tidak bersua, sejak pertemuan terakhir beberapa minggu lalu."Aku tidak bisa menyalahkan kamu, Kamu sekarang sibuk mengurus rumah tangga." Sarah mulai dengan basa-basi, berusaha menarik fokus Jenar tanpa membuatnya emosi."Banyak teman-teman kita yang terkadang menanyakan kamu ket
Pemandangan kota dari gedung paling atas sedikit meredakan perasaan resah dan pikiran gundah gelisah yang Julian rasakan. Dia berakhir di tempat ini, setelah seharian penuh melakukan segalanya untuk mendapatkan penanam sahamnya kembali. Julian tidak bisa membayangkan bagaimana jika perusahaan yang dia bangun begitu megah dan mewah di tengah pusat kota Jakarta, harus menjadi milik orang lain. "Pemandangannya indah kan?" tanya Luce. Julian tidak sendiri datang kemari. Kenyataannya dia harus memaksakan diri untuk berbohong pada keluarga barunya. Julian tidak mungkin mengadakan kalau Luce turut serta dalam perjalanan bisnis tak resminya.Julian manggut-manggut. "Cukup menghibur malam ini," ucapnya. "Setidaknya kita bisa melihat semua ini di akhir kesibukan yang terjadi," kekehnya. Luce memahami keresahan Julian, tanpa dia harus mendapatkan pernyataan langsung dari mantan suaminya. Mereka sudah hidup lebih dari 15 tahun lamanya, saling mengenal satu sama lain hampir lebih dari 20 tahun
Sepulang dari cafe tempat Sarah bekerja, Jenar tidak langsung pulang ke rumah. Dia hanya mengabari pembantunya kalau dia akan pulang terlambat. Di tengah jalan, Jenar melihat seorang pria yang tidak asing untuknya. "Pria itu ...." Jenar menunjuk ke arahnya. Kedua matanya menyipit, mencoba untuk memastikan kalau yang dia lihat itu tidak salah. "Benar! Dia!" Jenar mempercepat langkah kakinya. Buru-buru dia menyeberang jalan, untuk sampai ke warung yang ada di sudut jalan. "Dua puluh ribu?" Suara pria itu terdengar ketika Jenar mendekat. "Katanya ada promo hari ini, aku hanya bawa lima belas ribu," jawabnya pada penjual.Jenar tak pikir panjang. Dia langsung merogoh aku jaket dan mengeluarkan uang untuk membantunya."Aku yang akan bayar," ucap Jenar.Hank terkejut. Dia mau menolak, tetapi penjual sudah mengambil uang Jenar. "Kamu istrinya Julian kan?" tanya Hank. Jenar menganggukkan kepalanya. Dia sedikit lega karena Hank ternyata masih mengingat dirinya. Jenar tersenyum. "Lam
"Kamu teman baru sampai ke rumah?" Julio menegur kedatangan Jenar. Jenar awalnya tak acuh. Dia melanjutkan langkah kaki tanpa mau menatap keberadaan Julio."Jenar!" Julio memanggilnya dengan tegas. Berharap kalau sekarang dia akan diperhatikan.Sayang sekali, Jenar masih saja melangkah untuk pergi ke kamar Jean. "Kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" tanya Julio. "Aku sedang menanyaimu sekarang."Jenar berhenti di depan kamar Jean. Dia hampir membuka pintu, tetapi benar mengurungkan niatnya.Jenar memandang Julio. Dia diam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara. "Jean sudah tidur?" Julio tidak menjawab. Dia hanya memandang raut wajah Jenar yang terlihat begitu asing hari ini. Sepertinya Jenar sedang menyembunyikan permasalahan di dalam matanya. "Kalau tidak menjawab ya sudah, aku akan memeriksa sendiri." Jenar berbalik badan, dia tak acuh dengan Julio yang jelas-jelas penasaran akan apa yang terjadi padanya hari ini.Julio tidak melarangnya untuk memeriksa Jean, jadi dia
Jenar mulai muak dengan Julio. "Apa aku tanya tentang itu padamu?" tanya Jenar.Jenar mendengus kesal. "Aku tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Permasalahanku terlalu banyak hari ini."Jenar menutup kalimatnya. Setelah itu dia langsung pergi dari hadapan Julio. Jenar peduli. Itulah permasalahan dalam dirinya sekarang."Aku yakin kamu membutuhkan informasi itu." Julio kembali menghentikan langkah kaki Jenar. Jenar berbalik dan menatapnya. "Kenapa kamu ini?" tanyanya sembari mengerutkan."Kenapa kamu jadi tiba-tiba peduli apa yang aku rasakan dan apa yang terjadi padaku?" Jenar terus mendesaknya. "Bersikaplah seperti Julio biasanya. Kamu tidak perlu berusaha keras untuk membalas kebaikanku."Julio mendekatinya. "Kamu tidak bisa berbohong padaku, Jenar.""Emangnya aku berbohong tentang apa padamu?" Jenar harus terlibat perkelahian dengan Julio sekarang. Jenar tersenyum tipis. "Tolong tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak mau berdebat dengan siapa pun termasuk kamu.""Papa per
Jasmine membuat kekacauan lagi. Jenar kembali dipanggil ke kantor polisi, kali ini permasalahan serius sebab Jenar harus menghadapi keluarga korban."Aku menuntutnya!" Kalimat itu membuat seluruh tubuh Jenar merinding. Jenar tidak tahu dia harus berbicara apa. Membuat pembelaan saja dia tidak bisa."Dia mengancam putriku dengan video yang diharapkan milih galih dalam hp-nya!" Wanita tua itu berteriak. "Bagaimana bisa aku membiarkan dia lolos begitu saja?"Jenar hanya menunduk. Sesekali dia melirik ke arah Jasmine yang duduk di sudut ruangan. Jasmine bukannya menyesal, tatapan matanya dipenuhi kemarahan."Sekali lagi maafkan putri saya," ucap Jenar merendah. "Saya akan memarahinya ketika sampai di rumah, Bu."Wanita itu menyeringai pada Jenar. "Aku dengar dia anaknya orang kaya. Papanya pemilik perusahaan makanan terkenal di Jakarta, aku juga dengar kalau papanya bercerai dari mamanya."Jenar hanya diam ketika dia mendapat pandangan mata aneh dari wanita di depannya. Dia tahu kalau d