Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.
Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.
Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.
Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.
Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenangan untuk memberhentikan dan mengangkat orang sesuka hatinya.
Selama ini pak Anton terlalu percaya padanya, sehingga dia bebas berbuat semaunya, menyingkirkan orang-orang yang tidak disenanginya dan mengangkat orang sesukanya.
“Pak Anton, kita harus bicara,” suara lembut Andri, asistennya yang setia, mengalihkan perhatiannya.
Pak Anton menatap pak Andri sejenak, kemudian tersenyum lemah. “Ada yang harus dibicarakan, Andri?” tanyanya pelan.
“Ini tentang Ghenadie,” jawab pak Andri tegas, tatapannya tajam.
Anton terdiam sejenak. Nama itu selalu membangkitkan berbagai macam emosi dalam dirinya. Ghenadie, seorang tukang bakso, anak yang selama ini ia cari, beberapa bulan yang lalu, sudah ditemukan oleh pak Andri.
Sesuai dengan data yang pak Andri berhasil temukan, dia telah menyelidiki sampai ke desa tempat orang tua Ghenadie berada.
Kemudian beberapa minggu yang lalu, pak Andri sengaja makan bakso di tempat Ghenadie berjualan, dan tanpa sepengetahuan Ghenadie, dia sengaja mengambil handuk kecil yang di pakai Ghenadie untuk mengelap mulutnya dan membawanya itu untuk tes DNA.
Air liur Ghenadie yang ada di situ di tes bersama dengan ludah pak Anton, hasilnya DNA-nya 100% sama.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya pak Anton, suaranya sedikit bergetar.
“Tes DNA-nya sudah keluar, Pak,” Andri mengulurkan sebuah amplop ke arah Anton. “Tidak diragukan lagi, bahwa Ghenadie adalah anak kandung Bapak.”
Anton menatap amplop itu dengan tangan gemetar. Hatinya berkecamuk antara kebahagiaan dan penyesalan. Selama bertahun-tahun, ia mencari anaknya itu. Ghenadie bisa diketemukan oleh pak Andri, berdasarkan keterangan dari pak Anton.
Waktu itu itu di daerah mereka terjadi bencana alam, banjir bandang yang menyapu wilayah mereka, sehingga mereka terpisah. Untung sewaktu Ghenadie kecil hanyut, dia ditemukan oleh seorang Ibu yang sekarang menjadi ibunya, di pungut dan di pelihara.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, keluarga baru Ghenadie pindah ke kampung lain dan ditemukannya Ghenadie olehnya tidak ada yang tahu. Sementara beberapa bulan kemudian pak Anton pindah ke kota besar, dari situ dia berusaha dan sampai sukses seperti sekarang.
Dia awalnya menjadi pemungut sampah, kemudian menjual beras dan akhirnya mengageni gas dan beras dan kemudian menjadi pengusaha besar. Dia sungguh seorang yang sangat ulet, sayang semenjak peristiwa banjir bandang yang merenggut nyawa istrinya, dia tidak pernah menikah lagi.
“Di mana dia?” pak Anton akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.
“Tadi malam dia ku suruh datang ke sini, mungkin sudah datang,” ujar pak Andri, asistennya itu.
“Bawa dia ke sini,” seru pak Anton.
“Baik, Pak.”
Pagi itu di saat Ghenadie datang, pak Andri melihat jelas kelakuan pak Budi dan Joko keponakannya menghina Ghenadie. bahkan Lina juga, yang diam-duiam telah dimasukan bekerja oleh Joko dan poak budi.
Setelah menyelesaikan sedikit masalah itu, pak Andri membawa Ghenadie menghadap pak Anton. mereka naik lift dan memasuki ruangan pak Anton.
“Ghenadie...,” suara pak Anton pecah, saat melihatnya bersama pak Andri masuk. Ia tak dapat menahan air matanya. “Aku tahu... Aku sudah lama mencarimu.”
Tanpa pikir panjang, Anton melangkah maju dan memeluk Ghenadie erat. Tangan-tangan tuanya yang gemetar memegang pundak anaknya, seakan-akan takut kehilangan lagi.
Ghenadie membalas pelukan itu, air matanya jatuh tak terbendung. “Apakah … Apakah ini benar?” tanya Ghenadie masih kurang yakin.
Di sudut ruangan, Andri menatap adegan mengharukan itu dengan mata berkaca-kaca. Setelah bertahun-tahun mendampingi Anton, ia tahu betapa pria itu selalu mencari anaknya yang hilang.
Bahkan dia sudah hampir putus asa, mungkin saja anaknya sudah mati. Tetapi hati kecilnya merasakan, bahwa anaknya masih hidup. Nama Ghenadie, diberikan oleh ibu angkatnya, karena ada dua nama yang disiapkan oleh mendiang suaminya, salah satu korban dari banjir itu.
Saat itu suaminya berada di ladang, karena menderita asam urat akut, ketika hanyut diterpa banjir besar yang sangat deras, dia tidak bisa menggerakkan kakinya, sehingga dia tidak tertolong lagi.
Nama Ghenadie diberikan, karena sewaktu istrinya hamil, dia menyiapkan dua nama. Jika anak mereka perempuan, maka diberikan nama Avik, jika laki-laki, diberikan nama Ghenadie.
Setelah memungut Ghenadie kecil dan memberikannya nama, Toballak, dia tetap berusaha mencari suaminya. Tetapi beberapa bulan kemudian tidak ketemu, Toballak yakin, suaminya pasti salah satu korban dari banjir bandang yang sangat ganas itu.
Akhirnya dia kembali ke kampung halaman orangnya tuanya dengan membawa Ghenadie. Tidak lama setelah itu, orang tuanya pun meninggal dunia.
Namun, momen bahagia itu tak berlangsung lama.
“Maaf Pak Anton, ada yang mendesak perlu Anda ketahui,” pak Andri tiba-tiba angkat bicara, memecah keheningan.
Anton melepaskan pelukannya dan menatap Andri penuh tanya. “Apa yang terjadi, Andri?”
***
Langit di atas markas bawah tanah perlahan kehilangan warnanya.Biru berganti putih, lalu transparan, dan akhirnya... hanya kilatan lembut, seolah realitas memilih untuk menjadi hambar agar bisa dimulai ulang.Symon berdiri di pusat simpul dimensi. Tubuhnya tak lagi anak-anak, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Ia bukan manusia, bukan ayam kuno, bukan mesin. Ia adalah titik tengah.“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Razak, yang kini duduk di ambang ruang pelindung waktu.Symon menatap ayahnya. Sorot matanya tenang, tapi jauh. “Aku bisa membuka segalanya. Tapi jika kulakukan... waktu akan kehilangan makna. Tidak akan ada lagi 'sekarang'. Tidak akan ada masa lalu untuk belajar, atau masa depan untuk berharap. Semua... menjadi satu.”Ena-4 bicara pelan, “Itu... bisa jadi akhir dari semua konflik. Atau awal dari kehampaan abadi.”Kembalinya DindaSinar keemasan menyembur dari belakang simpul.Dan dari dalam celah dimensi, Dinda melangkah keluar—masih dengan gaun lapuk dari Dimens
Pagi itu, Symon berdiri di tengah panggung gravitasi nol, membentuk simpul dimensi pertama, suatu titik pusat yang menyatukan tujuh arah waktu, sembilan lapisan realita, dan dua jenis kesadaran.Dari luar, markas bawah tanah berubah menjadi seperti bunga tak kasat mata: memekarkan kelopak-kelopak cahaya ke berbagai penjuru galaksi.Ena-4 berkata dengan suara gemetar, “Jika simpul ini berhasil stabil selama 72 jam… maka tidak akan ada lagi monopoli waktu. Konsorsium akan runtuh… karena dimensi tak bisa mereka kunci lagi.”Kaenra memperingatkan, “Tapi itulah yang membuat mereka nekat. Mereka akan mengerahkan apa pun untuk menghentikan ini… termasuk mengaktifkan sang pendiri yang mereka kubur sendiri.”Mereka akan berupaya dengan segala cara dan kemungkinan, tak peduli seberapa besar rintangan yang menghadang. Dalam diam, tekad itu tumbuh, menguat setiap kali harapan nyaris padam.Mereka sadar, jalan di depan tak mudah—penuh risiko, penuh tantangan. Namun, menyerah bukan pilihan. Mereka
Suasana markas kembali senyap.Tapi bukan damai.Telur kristal yang diberikan Dinda kini diletakkan di dalam kubah waktu-biologis, ruangan berbentuk setengah bola yang mampu mempercepat pertumbuhan sambil menjaga stabilitas energi. Namun apa yang terjadi justru di luar ekspektasi siapapun.Telur itu... tidak statis.Warnanya berubah-ubah setiap detik: biru seperti langit prasejarah, merah seperti plasma dimensi, ungu seperti tinta pemikiran. Dan setiap perubahan warna, seluruh sistem sensorik di markas berkedip.Ena-4 memutar alat pemindai.“Makhluk di dalam telur ini... tidak memiliki bentuk yang tetap. Ia beradaptasi dengan pikiran kita. Jika kita takut, ia akan menjadi bentuk yang kita takuti.”Dia bukan makhluk biasa. Ia seperti bayangan yang bisa mencium rasa takut dan membaca isi pikiranmu. Semakin kau berpikir tentangnya, semakin jelas wujudnya terbentuk.Bila kau takut, ia akan menjelma sebagai horor tergelap dari mimpimu. Tapi jika kau berharap, ia akan menampakkan diri sebag
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian di Node Detonasi Sistemik.Seluruh kapsul klon telah mendarat dengan selamat di titik-titik penyamaran. Di antara puing sistem jaringan Konsorsium yang kini mulai kacau, kode empati buatan Razak terus menyebar, menginfeksi pikiran-pikiran dingin yang selama ini hanya mengenal perintah dan data.Namun ketenangan itu retak ketika frekuensi anomali ditangkap oleh Kaenra.“Ini... bukan interferensi biasa,” katanya malam itu. Suara monitornya bergema di ruangan pusat observasi. “Sinyalnya sangat kuno. Seperti berasal dari dimensi yang sudah dikunci 19 tahun lalu.”Itu adalah dunia antah berantah, bukan sekadar asing, tapi tak terlukiskan oleh logika maupun imajinasi. Tak ada peta, tak ada arah mata angin, hanya kabut misteri yang melayang tanpa ujung.Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang disembunyikan semesta. Tapi mereka tak punya pilihan. Untuk menemukan kebenaran, mereka harus masuk ke sana. Menembus kekacauan, menantang absurditas.Karena ter
Ruang kendali pusat markas bawah tanah berkedip merah.Ena-4 menjatuhkan stylus logamnya. “Waktunya tinggal dua menit lima belas detik. Jika detonasi dimulai, setiap kapsul klon akan hancur dalam atmosfer. Tidak akan ada bukti yang tersisa... seolah mereka tak pernah ada.”Razak tak bicara. Ia hanya menatap layar hologram yang menampilkan posisi lima belas kapsul pengangkut klon yang meluncur ke berbagai titik dimensi. Salah satu di antaranya membawa Mina-7.Ia menatap dengan senyum damai saat mengirim transmisi terakhirnya. Di balik sinyal cahaya yang merambat di angkasa hampa, tersembunyi perpisahan yang tak terucapkan.Keenam klone lainnya, yang selama ini berbagi kesadaran dan misi dengannya, juga melakukan hal yang sama — saling menatap, saling memahami, saling mengucap selamat tinggal tanpa kata. Mereka tahu, ini akhir dari kebersamaan mereka sebagai satu kesatuan pikiran.Tapi tidak ada ratapan, hanya keheningan agung dan senyum tulus yang menyiratkan penerimaan. Dalam kedamaia
Di tengah malam yang sunyi, di bawah gua berlapis obsidian transdimensional, Razak berdiri seorang diri.RZK-V tidak ikut.Ena-4 dan Kaenra pun menunggu dari jarak jauh.Malam itu bukan untuk para strategis. Bukan untuk para algoritma. Tapi untuk jiwa-jiwa rusak yang telah dibuang sejarah.Di sekeliling Razak, perlahan mulai bermunculan siluet tubuh-tubuh cacat: ada yang memiliki tangan tambahan, sayap yang sobek, mata yang tak bisa fokus, kulit yang terbakar akibat percobaan dimensi.Mereka adalah klon gagal.Dan dulu, di masa eksperimen Konsorsium... mereka dianggap sampah biologis.Namun malam ini, satu suara menggema:“Kalian pernah dilahirkan... bukan karena pilihan. Tapi sekarang, aku ingin menawarkan pilihan yang bahkan mereka tak bisa bayangkan: kebebasan dengan harga kehormatan.”Para Klon yang HilangKlon bernama KZ-011, separuh wajahnya berkulit ayam, separuhnya terbakar asam, berdiri dan bertanya:“Kenapa kau di sini, Razak? Bukankah kau sempurna? Bukankah kau anak sang pa