Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.
Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.
Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.
Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.
Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa melihat jika laki-laki itu sangat mirip dengan pak Anton dan sangat tampan.
"Aku tidak bisa diam saja," gumam Budi dalam hati. "Ghenadie mungkin sebentar lagi akan berkuasa sekarang, tapi aku harus mencari tahu kelemahannya. Aku hanya butuh cara untuk membuat dia tersingkir sebelum dia memegang kendali penuh atas perusahaan dan bisa saja menyingkirkanku."
Di sisi lain, Joko yang duduk tidak jauh darinya tampak lebih gelisah. Berulang kali ia memandang ke arah Lina, pacarnya atau istri belum resminya, yang tampak tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, jauh di lubuk hatinya, Joko tahu Lina adalah orang yang selalu penuh perhitungan.
"Kalau Lina berpaling ke Ghenadie, aku habis," pikir Joko. Ia merasa ketakutan, apalagi mengingat Ghenadie kini bukan hanya lebih kaya, tetapi juga ahli waris dari perusahaan.
Lina dulu bisa berpaling kepadanya, karena dia lebih kaya sementara Ghenadie hanyalah tukang bakso keliling sambil kuliah. Sekarang tidak dinyana, ternyata si tukang bakso gembel itu bisa jadi ahli waris sebuah perusahaan raksasa.
Sementara itu, Lina hanya tersenyum tipis sambil memerhatikan kuku-kukunya yang baru saja dipoles. Dalam pikirannya, Ghenadie adalah peluang. Ia tahu bahwa dirinya cantik dan memiliki pesona yang sulit ditolak. Baginya, kehidupan adalah tentang memilih siapa yang bisa memberikan jaminan terbaik.
Budi akhirnya membuka pembicaraan, suaranya rendah tapi penuh tekanan. Karena Joko dan Lina dia panggil masuk ke dalam ruangannya.
"Jadi, apa rencana kalian setelah ini?" tanyanya sambil melirik ke arah Joko dan Lina.
Joko mengangkat bahu, tapi ekspresinya gugup. "Rencana? Maksudnya apa, Paman? Kita kan cuma perlu melanjutkan tugas masing-masing."
Budi tersenyum tipis, jelas ia tidak percaya. "Ah, Joko. Kau benar-benar tidak merasa terancam dengan hadirnya Ghenadie? Dia bukan sekadar mantan tukang bakso, dia sekarang adalah pemilik perusahaan."
Lina ikut angkat bicara, suaranya terdengar santai. "Kalau memang dia pemegang perusahaan, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kan? Kita hanya perlu menunjukkan bahwa kita profesional. Itu saja."
Tapi Joko langsung menatap Lina tajam, ada nada cemas dalam suaranya. "Lina, kau terlalu santai. Kau lupa siapa Ghenadie? Dia bukan cuma pemilik perusahaan, dia juga orang yang dulu kau tinggalkan."
Lina tersenyum, kali ini lebih lebar. "Dan itu salah siapa, Joko? Bukankah kau yang merebutku darinya?"
Joko terdiam, tapi matanya menyiratkan kemarahan.
Budi yang menyaksikan dinamika di antara mereka hanya menggeleng pelan. Ia tahu, Lina dan Joko adalah pasangan yang dibentuk oleh ambisi masing-masing, juga nafsu birahi, bukan cinta sejati.
Kemudian mereka terdiam dan asyik dengan pikiran masing-masing. Budi berusaha mengamankan dirinya, sementara Joko memikirkan jangan-jangan Lina berusaha kembali kepada Ghenadie sehingga hidupnya lebih terjamin.
Sedangkan Lina sedang berpikir keras, sesuatu bagaimana yabng menguntungkan dirinya. Dia tidak peduli dengan kesetiaan dan pengkhianatan, baginya hidup itu adalah kesempatan dan siapa yang bisa memberikannya kepastian hidup.
Setelah pertemuan singkat itu, Joko dan Lina kembali ke ruangannya. Sementara Budi membuka laptop dan mulai mencari data tentang Ghenadie. "Setiap orang punya kelemahan," pikirnya. "Dan aku yakin aku bisa menemukannya."
Meskipun dia baru mengenal Ghenadie, tetapi dia sangat yakin jika data tentang Ghenadie bertebaran di internet. Karena sekarang nyaris semuanya serba online di media sosial. Dia membuka F******k, I*******m, X, Tik Tok. Pokoknya semua media sosial yang dia perkirakan ada data Ghenadie.
"Aku hanya perlu orang dalam untuk menggali informasi lebih dalam," pikirnya.
Budi memutuskan untuk memanfaatkan seseorang yang ia tahu bisa dipercaya, seseorang yang punya bisa dia gunakan untuk menyingkirkan Ghenadie, bila perlu menghabisinya.
Pada saat bersamaan, Joko dan Lina sudah kembali ke ruangan mereka dan duduk berdua. Di ruangan itu hanya mereka berdua. Suasana di antara mereka terasa tegang.
"Jadi, kau ingin aku pura-pura tidak peduli dengan keberadaan Ghenadie?" tanya Joko dengan nada sinis.
Lina mengangkat bahu, sambil meminum kopinya. "Kau tidak perlu pura-pura. Aku tahu kau memang takut, Joko. Jangan kira aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu."
Joko menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku tahu apa yang kau pikirkan, Lina. Kau pasti melihat ini sebagai kesempatan untuk kembali mendekati dia, kan? Jangan pikir aku tidak sadar."
Lina tertawa kecil, tapi tawa itu dingin. "Oh, Joko. Kau terlalu paranoid. Lagi pula, apa salahnya kalau aku berbicara baik-baik dengan Ghenadie? Itu demi kepentingan kita juga."
"Kepentingan kita, atau kepentinganmu?" balas Joko dengan nada tajam.
Lina meletakkan cangkirnya dengan pelan, tapi tatapannya berubah serius. "Dengar, Joko. Aku tidak pernah menginginkan hidup yang biasa-biasa saja. Kau tahu itu. Dan kalau aku melihat peluang untuk memperbaiki hidupku, aku akan mengambilnya. Kalau kau tidak bisa menerima itu, terserah."
Joko terdiam, tapi dadanya terasa sesak. Ia tahu bahwa Lina memang selalu seperti ini.
Sementara itu, pada saat bersamaan, jauh di kamar yang lain, Ghenadie tidak sepenuhnya buta dengan apa yang sedang terjadi. Ia tahu bahwa kehadirannya di perusahaan telah mengguncang beberapa orang, termasuk mantan pacarnya, Lina, dan saingan, Budi.
Di saat itu, Ghenadie melihat ayahnya pak Anton dan pembantu setianya, pak Andri duduk sambil saling memandang. Pak Anton sangat tertarik dengan apa yang disampaikan pak Andri tadi.
“Apa itu pak Andri?” tanya pak Anton antusias.
Pak Andri menatap pak Anton, dari pandangannya itu pak Anton tahu jika pembantunya ini sangat setia, selama ini orang ini selalu berkorban untuknya.
Pak Anton ingat ketika itu sedang makan di sebuah restoran, dia melihat pak Andri sedang memungut sampah-sampah di sekitar itu. Dia perhatikan pak Andri bekerja sangat teliti dan telaten.
Tapi mengapa nasibnya seperti itu? Jadi gembel pemungut sampah?
Entah bagaimana, hati pak Anton yang memang sangat baik, sangat tertarik dengan pak Andri. Kelihatan oleh pak Anton jika pak Andri meskipun jadi pemungut sampah, tetapi kelihatan seorang pekerja keras.
Kalau orang seperti itu jadi pembantuku? Mungkin sangat berarti …
Seperti ada yang menggerakannya, pada saat bersamaan, pak Andri melihat pak Anton. Kebetulan pak Andri juga sedang melihat dirinya. Pak Anton melemparkan senyum, langsung di balas pak Andri dengan senyuman sangat tulus.
Sungguh orang kaya yang sepertinya baik, pikir pak Andri dalam hati. Karena hampir semua orang kaya yang dijumpainya pasti memandangnya dengan rasa jijik.
“Kamu sudah makan?” tiba-tiba pak Anton bertanya dengan wajah yang sangat lembut dan penuh rasa iba.
***
Langit di atas markas bawah tanah perlahan kehilangan warnanya.Biru berganti putih, lalu transparan, dan akhirnya... hanya kilatan lembut, seolah realitas memilih untuk menjadi hambar agar bisa dimulai ulang.Symon berdiri di pusat simpul dimensi. Tubuhnya tak lagi anak-anak, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Ia bukan manusia, bukan ayam kuno, bukan mesin. Ia adalah titik tengah.“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Razak, yang kini duduk di ambang ruang pelindung waktu.Symon menatap ayahnya. Sorot matanya tenang, tapi jauh. “Aku bisa membuka segalanya. Tapi jika kulakukan... waktu akan kehilangan makna. Tidak akan ada lagi 'sekarang'. Tidak akan ada masa lalu untuk belajar, atau masa depan untuk berharap. Semua... menjadi satu.”Ena-4 bicara pelan, “Itu... bisa jadi akhir dari semua konflik. Atau awal dari kehampaan abadi.”Kembalinya DindaSinar keemasan menyembur dari belakang simpul.Dan dari dalam celah dimensi, Dinda melangkah keluar—masih dengan gaun lapuk dari Dimens
Pagi itu, Symon berdiri di tengah panggung gravitasi nol, membentuk simpul dimensi pertama, suatu titik pusat yang menyatukan tujuh arah waktu, sembilan lapisan realita, dan dua jenis kesadaran.Dari luar, markas bawah tanah berubah menjadi seperti bunga tak kasat mata: memekarkan kelopak-kelopak cahaya ke berbagai penjuru galaksi.Ena-4 berkata dengan suara gemetar, “Jika simpul ini berhasil stabil selama 72 jam… maka tidak akan ada lagi monopoli waktu. Konsorsium akan runtuh… karena dimensi tak bisa mereka kunci lagi.”Kaenra memperingatkan, “Tapi itulah yang membuat mereka nekat. Mereka akan mengerahkan apa pun untuk menghentikan ini… termasuk mengaktifkan sang pendiri yang mereka kubur sendiri.”Mereka akan berupaya dengan segala cara dan kemungkinan, tak peduli seberapa besar rintangan yang menghadang. Dalam diam, tekad itu tumbuh, menguat setiap kali harapan nyaris padam.Mereka sadar, jalan di depan tak mudah—penuh risiko, penuh tantangan. Namun, menyerah bukan pilihan. Mereka
Suasana markas kembali senyap.Tapi bukan damai.Telur kristal yang diberikan Dinda kini diletakkan di dalam kubah waktu-biologis, ruangan berbentuk setengah bola yang mampu mempercepat pertumbuhan sambil menjaga stabilitas energi. Namun apa yang terjadi justru di luar ekspektasi siapapun.Telur itu... tidak statis.Warnanya berubah-ubah setiap detik: biru seperti langit prasejarah, merah seperti plasma dimensi, ungu seperti tinta pemikiran. Dan setiap perubahan warna, seluruh sistem sensorik di markas berkedip.Ena-4 memutar alat pemindai.“Makhluk di dalam telur ini... tidak memiliki bentuk yang tetap. Ia beradaptasi dengan pikiran kita. Jika kita takut, ia akan menjadi bentuk yang kita takuti.”Dia bukan makhluk biasa. Ia seperti bayangan yang bisa mencium rasa takut dan membaca isi pikiranmu. Semakin kau berpikir tentangnya, semakin jelas wujudnya terbentuk.Bila kau takut, ia akan menjelma sebagai horor tergelap dari mimpimu. Tapi jika kau berharap, ia akan menampakkan diri sebag
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian di Node Detonasi Sistemik.Seluruh kapsul klon telah mendarat dengan selamat di titik-titik penyamaran. Di antara puing sistem jaringan Konsorsium yang kini mulai kacau, kode empati buatan Razak terus menyebar, menginfeksi pikiran-pikiran dingin yang selama ini hanya mengenal perintah dan data.Namun ketenangan itu retak ketika frekuensi anomali ditangkap oleh Kaenra.“Ini... bukan interferensi biasa,” katanya malam itu. Suara monitornya bergema di ruangan pusat observasi. “Sinyalnya sangat kuno. Seperti berasal dari dimensi yang sudah dikunci 19 tahun lalu.”Itu adalah dunia antah berantah, bukan sekadar asing, tapi tak terlukiskan oleh logika maupun imajinasi. Tak ada peta, tak ada arah mata angin, hanya kabut misteri yang melayang tanpa ujung.Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang disembunyikan semesta. Tapi mereka tak punya pilihan. Untuk menemukan kebenaran, mereka harus masuk ke sana. Menembus kekacauan, menantang absurditas.Karena ter
Ruang kendali pusat markas bawah tanah berkedip merah.Ena-4 menjatuhkan stylus logamnya. “Waktunya tinggal dua menit lima belas detik. Jika detonasi dimulai, setiap kapsul klon akan hancur dalam atmosfer. Tidak akan ada bukti yang tersisa... seolah mereka tak pernah ada.”Razak tak bicara. Ia hanya menatap layar hologram yang menampilkan posisi lima belas kapsul pengangkut klon yang meluncur ke berbagai titik dimensi. Salah satu di antaranya membawa Mina-7.Ia menatap dengan senyum damai saat mengirim transmisi terakhirnya. Di balik sinyal cahaya yang merambat di angkasa hampa, tersembunyi perpisahan yang tak terucapkan.Keenam klone lainnya, yang selama ini berbagi kesadaran dan misi dengannya, juga melakukan hal yang sama — saling menatap, saling memahami, saling mengucap selamat tinggal tanpa kata. Mereka tahu, ini akhir dari kebersamaan mereka sebagai satu kesatuan pikiran.Tapi tidak ada ratapan, hanya keheningan agung dan senyum tulus yang menyiratkan penerimaan. Dalam kedamaia
Di tengah malam yang sunyi, di bawah gua berlapis obsidian transdimensional, Razak berdiri seorang diri.RZK-V tidak ikut.Ena-4 dan Kaenra pun menunggu dari jarak jauh.Malam itu bukan untuk para strategis. Bukan untuk para algoritma. Tapi untuk jiwa-jiwa rusak yang telah dibuang sejarah.Di sekeliling Razak, perlahan mulai bermunculan siluet tubuh-tubuh cacat: ada yang memiliki tangan tambahan, sayap yang sobek, mata yang tak bisa fokus, kulit yang terbakar akibat percobaan dimensi.Mereka adalah klon gagal.Dan dulu, di masa eksperimen Konsorsium... mereka dianggap sampah biologis.Namun malam ini, satu suara menggema:“Kalian pernah dilahirkan... bukan karena pilihan. Tapi sekarang, aku ingin menawarkan pilihan yang bahkan mereka tak bisa bayangkan: kebebasan dengan harga kehormatan.”Para Klon yang HilangKlon bernama KZ-011, separuh wajahnya berkulit ayam, separuhnya terbakar asam, berdiri dan bertanya:“Kenapa kau di sini, Razak? Bukankah kau sempurna? Bukankah kau anak sang pa