Tubuh Adit menegang, setiap ototnya terasa ditarik ulur oleh gelombang sensasi yang sulit dijabarkan, namun perasaan seperti itu sangat mudah dipahami oleh para lelaki. Sesekali, getaran halus menjalarinya, terutama di momen Dinda dengan sengaja tidak membiarkannya mencapai puncak kebahagiaan yang begitu kental. Nafas Adit tersengal, seperti baru saja berlari maraton, saat ia menatap Dinda yang kini tersenyum usil, berdiri anggun di hadapannya.“Kita teruskan nanti ya,” bisik Dinda, suaranya mengandung nada menggoda yang memabukkan. “Tunggu yang lain tidur semua dulu… dah sana kalau mau balik ke kamar!” Dengan gerakan lembut namun tegas, Dinda membukakan pintu kamarnya.Demi apa pun, Adit merasa jengkel, sebuah rasa frustrasi yang manis dan hanya bisa ia simpan rapat-rapat dalam hati. Ini bukan kesal yang sesungguhnya; lebih kepada kejengkelan karena Dinda baru saja mengerjainya, membuatnya melayang-layang di awang-awang tanpa sempat menuntaskan penerbangan.Namun, di balik kejengkela
Malam itu, udara terasa segar setelah hujan ringan yang sempat turun sore tadi. Adit mengikuti langkah Pak Darmawan yang masih terlihat bersemangat tinggi meski jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Sepatu kulit bosnya itu berbunyi ritmis di atas lantai marmer yang masih agak basah. Aroma kemenangan masih melekat di tubuh pria tua itu; campuran parfum mahal dan keringat dari ketegangan pertarungan tadi.Sementara itu, Rudi memilih berkumpul bersama rekan kerja lainnya di teras anak rumah di samping rumah utama setelah memarkirkan mobil sedan hitam bosnya ke garasi.Rumah bergaya ningrat itu tampak tenang dari luar, dengan lampu-lampu taman yang menerangi jalan setapak menuju pintu utama. Ketika Adit melangkah masuk mengikuti Pak Darmawan, ia bisa merasakan debaran jantungnya mulai tidak teratur. Bukan karena kelelahan dari pertarungan tadi, tapi karena antisipasi akan bertemu dengan seseorang yang telah menghantui pikirannya selama ia mulai berada di rumah itu.Ruang ten
Mobil sedan hitam melaju menembus malam yang pekat, meninggalkan hiruk-pikuk lampu kota menuju kawasan yang semakin sepi. Adit memperhatikan jalanan yang dilalui dengan seksama; mereka memasuki area industri tua yang tampak ditinggalkan, di mana gedung-gedung kosong berdiri seperti hantu-hantu beton yang membisu."Kita akan ke tempat khusus malam ini," kata Pak Darmawan sambil mematikan puntung cerutunya. "Tempat ini hanya buka untuk kalangan tertentu. Orang-orang dengan uang yang... sangat banyak."Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gedung tua berlantai lima yang tampak tak terawat. Cat dindingnya mengelupas, beberapa kaca jendelanya retak, dan secara keseluruhan bangunan itu terlihat seperti akan roboh kapan saja. Namun yang menarik perhatian Adit adalah keberadaan belasan pria berjas rapi yang berjaga di berbagai sudut gedung. Mereka berdiri dengan postur tegang, mata waspada memindai setiap gerakan di sekitar mereka."Jangan tertipu dengan penampilannya," bisik Pak Darmawan k
Matahari siang sudah mulai condong ke barat ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. Adit mendengar suara mesin mobil yang familiar berhenti di depan rumah kontrakannya yang sederhana. Ia mengintip dari balik tirai jendela dan melihat sosok Pak Darmawan yang keluar dari kursi penumpang, diikuti oleh Rudi yang berperawakan besar dan selalu setia mengawal atasannya.Sepanjang pagi hingga siang hari, Adit hanya menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga yang monoton. Tangannya bergerak otomatis melipat pakaian yang baru selesai dijemur, merapikan sudut-sudut rumah yang sempit, dan membersihkan alat-alat dapur. Namun pikirannya melayang jauh, terjebak dalam pusaran pertanyaan yang terus mengusik ketenangan batinnya.Sejak kemarin malam, sebuah gagasan terus berputar dalam benaknya bagaikan lagu yang diputar berulang-ulang. Jika tugasnya hanya sebatas bertarung di arena-arena gelap yang diatur Pak Darmawan, mengapa ia harus tinggal di rumah besar sang bos? Bukankah lebih masuk aka
Cahaya matahari pagi yang lembut mulai menembus celah-celah tirai jendela kamar, menciptakan garis-garis emas yang menari di atas seprai kusut. Semalam Adit dan Ayunda terlelap begitu saja setelah melewati pergumulan ranjang beberapa kali yang menguras banyak tenaga. Napas mereka masih teratur, wajah Ayunda yang damai tertidur di dada Adit, sementara tangannya melingkar protektif di pinggang wanita itu.Ketika kesadaran mulai kembali, mata Adit yang pertama terbuka. Ia merasakan kehangatan tubuh Ayunda yang masih menempel erat padanya. Aroma rambut wanita itu yang harum bercampur dengan wangi tubuh mereka yang masih menyatu menciptakan sensasi yang membuatnya enggan beranjak. Namun, hasrat yang kembali bangkit tak tertahankan.Di pagi hari itu, saat Ayunda mulai menggeliat dan mata indahnya terbuka, mereka sama-sama tidak tahan dan bercinta sekali lagi. Kali ini lebih lembut, lebih penuh perasaan, seolah-olah mereka ingin menghentikan waktu dan menikmati setiap detik kebersamaan merek
Sentuhan Adit semakin berani. Bahkan, jemarinya pun telah menelusup ke area terlarang yang membuat Ayunda meradang melayang dalam kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sekujur tubuh Ayunda basah. Kasur Adit pun bahkan, sebab tak sedikit cairan yang menyembur keluar seperti kran air manakala Ayunda mendapatkan sesuatu yang luar biasa, yang membuat tubuhnya sampai melengkung tegang.Belum pernah ia merasakah hal itu sebelum-sebelumnya.Kini Ayunda paham kenapa klien Adit tergila-gila dan ketagihan. Ia sudah merasakannya, namun rasa itu seperti candu. Tak cukup rasanya jika hanya sentuhan saja.Dengan mata sayu dan nafas terengah, Ayunda menatap Adit yang saat itu pun juga setengah mati mengendalikan diri.Tanpa mengatakan apapun, Ayunda menarik tangan Adit, memintanya berbaring. Kini gantian Ayunda ingin menyenangkan lelaki itu. Tangannya dengan nakal dan berani merambat merabai sesuatu di dalam celana yang sudah sangat tegang itu.Tahu Adit bereaksi, Ayunda tak ragu sama