Beranda / Urban / Tukang Pijat Tampan / Insiden Di Jalan

Share

Insiden Di Jalan

Penulis: Black Jack
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-03 15:22:08

Petang itu, selepas melewati ujian tak terduga dari Ibu Celina, Adit akhirnya bisa pulang.

Jam kerja seharusnya sudah selesai sejak satu jam lalu, tapi karena permintaan sang manajer, ia terpaksa lembur.

Dengan tubuh yang masih terasa hangat setelah menyentuh kulit halus atasannya, Adit menghela napas panjang sambil menghidupkan motor bututnya.

Mesin tua itu berderu kasar, seolah ikut lelah setelah hari yang terasa panjang.

Adit melajukan motornya perlahan melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar, menerangi aspal yang masih terasa hangat sisa matahari siang tadi. Hembusan angin malam yang menerpa wajahnya sedikit mengurangi rasa penat yang menggelayuti tubuhnya.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.

Di sebuah tikungan yang agak gelap, tiba-tiba seorang wanita muncul dari arah samping. Terlambat menyadari kehadirannya, Adit hanya sempat menarik rem sekuat tenaga. Motor oleng ke samping. Adit terpental dan menubruk wanita itu. Ia terhempas ke kanan, dan manita itu terdorong jatuh ke belakang.

"Aduh!" Suara rintihan terdengar dari orang yang ia tubruk.

Adit meringis, lutut dan sikunya nya terasa perih akibat bergesekan dengan jalanan. Tapi lebih dari itu, ia segera bangkit dan menghampiri korban.

Di bawah cahaya lampu jalan yang remang, ia melihat sosok seorang wanita muda yang terjatuh dengan lutut tertekuk. Wajahnya tersembunyi di balik helaian rambut panjang yang berantakan.

"Maaf, Mbak! Saya nggak sengaja!" Adit buru-buru mendekat, hatinya berdebar panik.

Wanita itu mendongak. Tatapan tajam dan penuh amarah langsung menghantam Adit.

"Matamu di mana?! Sembarangan bawa motor!" bentaknya.

Adit menelan ludah. Dari nada suaranya, wanita ini bukan tipe yang mudah diredakan hanya dengan permintaan maaf. Ia pun segera mengulurkan tangan. "Beneran saya nggak sengaja. Saya bantu berdiri, ya?"

Wanita itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan Adit. Begitu tangannya bersentuhan dengan kulit Adit, ekspresinya berubah sekilas. Napasnya tertahan, dan matanya membelalak sebelum buru-buru dikedipkan. Wajahnya tampak sedikit lebih merah, meskipun ia cepat-cepat mengalihkan perhatian dengan mendengus kesal.

Adit menyipitkan mata. Ada yang aneh lagi. Kini ia bertanya-tanya; apakah sentuhan tangannya bisa membuat wanita seketika berubah drastis? Tadi siang dia juga menabrak Ayunda. Setelah ia bersentuhan dengan wanita itu, ekspresi wajahnya berubah. Kurang lebih mirip dengan wanita yang ia tubruk kali ini.

Wanita itu menarik tangannya dengan cepat seolah tersengat, lalu berdehem dan berdiri tegak. Pakaian yang dikenakannya terlihat mahal, blazer hitam elegan membalut tubuhnya, dan sepatu hak tinggi yang kini ternoda debu makin memperjelas kelasnya. Rambutnya yang panjang tergerai, meski sedikit berantakan karena jatuh, tetap terlihat indah.

“Kamu tahu siapa aku?” tanyanya dengan nada penuh percaya diri. Namun sebetulnya, ia sedang merasa rumit. Sensasi aneh yang baru saja ia rasakan segera pula ia tutupi dengan sikapnya yang angkuh.

Adit mengerutkan kening. “Eh... Nggak. Memangnya saya harus tahu?”

Wanita itu mendengus. “Tentu saja! Aku Larasati Sudirman. Dan kamu baru saja menabrakku!”

Nama itu terdengar familiar. Adit mencoba mengingat-ingat, lalu matanya sedikit membesar. Larasati Sudirman... Sudirman... nama itu seperti nama pejabat sekaligus pengusaha kaya.

Namun Adit tak habis pikir; bagaimana bisa wanita ini ada di tikungan dan menyeberang mendadak pula. Apa yang dia lakukan? Namun di seberang ada sebuah mobil mewah terparkir di pinggir jalan.

"Saya beneran minta maaf, Mbak Larasati. Apa saya perlu antar ke rumah sakit? Atau ada yang bisa saya lakukan?" tanya Adit dengan suara lebih hati-hati.

Larasati menatapnya dengan mata menyipit, lalu melirik lututnya yang sedikit lecet. Ia masih tampak sedikit linglung, tapi kembali menguasai dirinya.

"Aku nggak mau berurusan dengan rumah sakit. Tapi kamu tetap harus bertanggung jawab."

Adit menelan ludah. "Maksudnya?"

Larasati menyeringai tipis. "Mulai sekarang, kamu utang budi sama aku. Dan aku bakal cari cara buat menagihnya. Siap-siap aja."

Adit tidak tahu apakah harus lega atau semakin cemas. Ia tak begitu paham maksud wanita itu. Yang jelas, malam ini, hidupnya baru saja bertambah rumit.

“Nona, aku tidak paham...”

“Aku buru-buru. Berikan nomor ponselmu!”

“E, oke...” Adit mengucapkan nomornya. Wanita itu mencatatnya di ponsel mahalnya. Namun ia tak sekadar mencatat, namun juga memastikan dengan menelefon nomor itu.

Ponsel di saku Adit berbunyi. Ia mengambilnya dan mengeceknya. Larasati heran juga; betapa kuno ponsel pemuda tampan yang menabraknya itu.

“Ini nomormu, mbak?”

“Ya. Kamu simpan saja. Kamu kerja di mana?”

“E, terapis di Klinik Kesehatan dan Kecantikan Ophelia. Tak jauh dari sini... itu di sana!” kata Adit. Ia siap tanggung jawab jika wanita itu memang butuh ganti rugi. Entah apa itu.

“Namamu siapa?”

“Aditya...”

“Aditya siapa?”

“Aditya Wijaya...”

“Oke...” kata wanita itu. Ia meninggalkan Adit begitu saja; menyeberang dan masuk ke dalam mobil mewah di seberang jalan itu.

***

Keesokan harinya, Adit tiba di klinik dengan perasaan campur aduk. Setelah insiden dengan Larasati semalam, ia masih belum tahu apakah perempuan itu benar-benar serius menagih "utang budi" atau hanya sekadar menggertaknya. Namun, rasa penasaran yang lebih besar adalah efek cincin yang mulai menunjukkan perubahan.

Saat bersentuhan dengan Larasati, ia merasakan sesuatu yang berbeda; bukan sekadar reaksi biasa dari efek cincin, tetapi seolah-olah ada arus energi yang mengalir dari tubuh perempuan itu ke dirinya. Itu adalah sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Saat Adit baru saja mengganti seragamnya, pintu ruang loker terbuka dengan keras. Seorang staf masuk dengan wajah panik.

"Adit! Ada tamu mencarimu!"

Adit mengernyit. "Tamu? Siapa?"

"Seorang wanita cantik, kelihatannya orang kaya. Dia nunggu di lobi dan ngotot mau ketemu kamu."

Jantung Adit langsung berdegup kencang. Jangan-jangan…

Dengan langkah hati-hati, Adit keluar menuju lobi. Dan benar saja, di sana berdiri Larasati Dharmawan dengan pakaian kasual yang tetap terlihat mahal. Ia bersedekap, menatap Adit dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Akhirnya kamu datang juga," ucapnya dengan nada setengah mengejek.

Adit menarik napas. "Kenapa mencariku ke sini?"

Larasati tersenyum tipis. "Karena aku sudah bilang, kamu punya utang budi sama aku. Dan sekarang aku mau menagihnya."

"Oke. Apa yang kamu mau?"

Larasati mendekat dan berbisik pelan, "Ikut aku sekarang. Ada sesuatu yang harus kamu lakukan."

Adit menatapnya curiga. "Aku lagi kerja."

"Aku nggak peduli. Kamu ikut atau aku bikin masalah di tempat ini?"

Adit menggeram pelan. Perempuan ini benar-benar menyebalkan. Namun, ia tidak punya pilihan. Dengan sedikit enggan, ia menoleh ke resepsionis. "Bilang ke Pak Rudi aku ada urusan sebentar. Aku bakal balik dalam satu jam."

Tanpa menunggu balasan, Larasati menarik lengan Adit dan menyeretnya keluar. Begitu kulit mereka bersentuhan lagi, sesuatu yang aneh terjadi.

Jantung Adit berdetak lebih cepat, tapi bukan karena panik. Ada arus halus yang merambat dari ujung jarinya ke tubuhnya, seolah-olah cincin di jarinya merespons kehadiran Larasati. Perempuan itu juga tampak terkejut, tapi tidak melepaskan genggamannya.

Mereka masuk ke mobil mewah Larasati. Begitu mesin menyala, Larasati mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, membuat Adit semakin curiga.

"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Adit.

Larasati tidak langsung menjawab. Ia hanya mengetukkan jarinya ke kemudi, sebelum akhirnya menghela napas. "Aku butuh bantuanmu. Ada seseorang yang mengejarku."

Adit membelalak. "Apa?! Siapa?"

"Aku nggak bisa jelaskan sekarang. Tapi aku tahu satu hal." Larasati melirik sekilas ke arahnya. "Kamu bukan orang biasa, Adit. Sentuhanmu… Itu bukan sentuhan normal."

Adit tercekat. Jadi Larasati memang merasakan sesuatu saat bersentuhan dengannya semalam. Tapi bagaimana bisa perempuan ini menyadarinya begitu cepat?

"Jangan pura-pura nggak tahu," lanjut Larasati. "Aku nggak tahu apa yang kamu lakukan semalam, tapi tubuhku masih bereaksi. Dan aku yakin, kamu bisa melakukan lebih dari itu."

Adit menelan ludah. Situasi ini makin rumit. Tidak hanya cincin di jarinya bereaksi lebih kuat, kini ada perempuan kaya yang sepertinya memiliki masalah besar dan entah bagaimana menyeretnya ke dalamnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tukang Pijat Tampan   Ujian Pertama Di Hari Pertama Kerja

    Para mucikari telah datang. Adit awalnya mengira jika mereka itu adalah wanita-wanita tua yang kusam dan berpenampilan biasa. Namun ia salah besar sebab ternyata mereka masih muda, seusia Renata, mungkin di kisaran 35 hingga 40 tahunan. Lebih mengejutkan lagi, mereka bukan hanya muda, tapi juga cantik, dengan riasan yang menonjolkan fitur wajah, dan berbalut pakaian yang ketat, menonjolkan setiap lekuk tubuh seksi mereka.Sebuah pertanyaan nakal muncul di benak Adit, sebuah rasa penasaran yang menggelitik: apakah mucikari-mucikari itu juga menjual tubuhnya? Namun, pertanyaan itu segera ditepisnya. Ia tak mungkin akan menanyakan hal sefrontal itu ketika ia diperkenalkan oleh Pak Budi, manajernya.Tapi ternyata, setelah perkenalan singkat itu, Pak Budi malah yang memulai cerita saat mereka berdua sama-sama pergi ke ruangan monitoring. Selain Adit, Pak Budi sebagai manajer memang lebih sering menghabiskan waktu di sana. Ia memantau semua sudut, mengawasi setiap gerak-gerik melalui bebera

  • Tukang Pijat Tampan   Dianggap Bocah

    Jam 5 sore, semua karyawan sudah datang, kecuali para mucikari dan anak buahnya. Pak Budi mempertemukan Adit sebagai orang baru, sebagai wakilnya pak Darmawan, yang akan menjabat sebagai kepala keamanan.Pak Jarwo tidak berangkat kerja. Dia sudah tahu bahwa dia tak lagi menjadi kepala keamanan. Siang tadi, Pak Budi menelefonnya, dan menjelaskan alasannya.Ketidakhadirannya membuat semua orang berpikir; pasti Pak Jarwo marah besar dengan pergantian statusnya yang tiba-tiba itu, tanpa masalah apapun. Dan dia tidak masuk karena dia marah.Situasi menjadi tidak menyenangkan. Adit bisa merasakan ketidak-senangan banyak orang karena kehadirannya, meski sebenarnya dia tidak bisa dipersalahkan juga sebab dia sendiri hanya menjalankan perintah pemilik baru tempat itu.Ada empat supervisor. Dua bertugas di lantai 4; tempat karaoke. Tugas mereka adalah mengatur para karyawan untuk melayani tamu, mengatur anak buah mucikari harus menemani siapa, dan juga garda depan yang mengurus permintaan tamu.

  • Tukang Pijat Tampan   Pekerjaan Baru

    Setelah sarapan pagi yang sederhana di rumah mewahnya, Pak Darmawan mengajak Adit untuk berkunjung ke investasi terbarunya; sebuah café yang baru saja dibelinya. Café Night Paradise, begitu namanya tertera di papan neon yang masih mati di siang hari. Meskipun menyandang nama café, tempat itu sesungguhnya adalah kompleks hiburan malam yang menawarkan lebih dari sekadar kopi dan makanan ringan. Di balik fasad café yang elegan, tersembunyi dunia dugem yang gelap dan ruang-ruang karaoke yang menjadi tempat berlangsungnya berbagai aktivitas yang tidak sehat.Rudi, seperti biasa, duduk di balik kemudi mobil mewah majikannya; sebuah Mercedes hitam yang selalu terawat dengan sempurna. Hanya mereka bertiga yang menuju ke tempat itu.Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit melewati jalanan kota yang mulai dipenuhi kendaraan bermotor. Kemacetan pagi hari Jakarta selalu menjadi rutinitas yang tak bisa dihindari. Pak Darmawan menggunakan waktu perjalanan itu untuk menjelaskan visi dan misinya te

  • Tukang Pijat Tampan   Candu Yang Sulit Lepas

    Lagi-lagi mereka terjebak dalam hubungan terlarang penuh dosa. Seperti malam-malam sebelumnya, hasrat yang telah lama mereka pendam kembali meledak dalam kesunyian kamar loteng yang gelap. Dinda sepenuhnya memimpin penyatuan itu dari awal sampai akhir, tangannya yang lembut namun tegas menuntun setiap gerakan dengan kepercayaan diri yang mengejutkan Adit.Ia pun konsisten menutup mulutnya, menggigit bibir bawahnya dengan kuat, berusaha sebisa mungkin tak menimbulkan suara meski tubuhnya bergejolak dengan gerakan rumit manakala ia sangat sering merasakan ledakan-ledakan kebahagiaan itu. Setiap kali tubuhnya hampir berteriak, Dinda segera menekan wajahnya ke dada bidang Adit, meredam desahan yang ingin keluar dengan aroma maskulin yang sudah sangat dikenalnya.Adit sendiri hampir tidak bisa menahan diri. Melihat wajah Dinda yang memerah, mata yang berkaca-kaca namun penuh gairah, dan cara ia bergerak dengan begitu penuh nafsu membuatnya hampir kehilangan kendali. Namun ia juga sadar bet

  • Tukang Pijat Tampan   Ketika Semua Sudah Terlelap

    Tubuh Adit menegang, setiap ototnya terasa ditarik ulur oleh gelombang sensasi yang sulit dijabarkan, namun perasaan seperti itu sangat mudah dipahami oleh para lelaki. Sesekali, getaran halus menjalarinya, terutama di momen Dinda dengan sengaja tidak membiarkannya mencapai puncak kebahagiaan yang begitu kental. Nafas Adit tersengal, seperti baru saja berlari maraton, saat ia menatap Dinda yang kini tersenyum usil, berdiri anggun di hadapannya.“Kita teruskan nanti ya,” bisik Dinda, suaranya mengandung nada menggoda yang memabukkan. “Tunggu yang lain tidur semua dulu… dah sana kalau mau balik ke kamar!” Dengan gerakan lembut namun tegas, Dinda membukakan pintu kamarnya.Demi apa pun, Adit merasa jengkel, sebuah rasa frustrasi yang manis dan hanya bisa ia simpan rapat-rapat dalam hati. Ini bukan kesal yang sesungguhnya; lebih kepada kejengkelan karena Dinda baru saja mengerjainya, membuatnya melayang-layang di awang-awang tanpa sempat menuntaskan penerbangan.Namun, di balik kejengkela

  • Tukang Pijat Tampan   Di Kamar Dinda

    Malam itu, udara terasa segar setelah hujan ringan yang sempat turun sore tadi. Adit mengikuti langkah Pak Darmawan yang masih terlihat bersemangat tinggi meski jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Sepatu kulit bosnya itu berbunyi ritmis di atas lantai marmer yang masih agak basah. Aroma kemenangan masih melekat di tubuh pria tua itu; campuran parfum mahal dan keringat dari ketegangan pertarungan tadi.Sementara itu, Rudi memilih berkumpul bersama rekan kerja lainnya di teras anak rumah di samping rumah utama setelah memarkirkan mobil sedan hitam bosnya ke garasi.Rumah bergaya ningrat itu tampak tenang dari luar, dengan lampu-lampu taman yang menerangi jalan setapak menuju pintu utama. Ketika Adit melangkah masuk mengikuti Pak Darmawan, ia bisa merasakan debaran jantungnya mulai tidak teratur. Bukan karena kelelahan dari pertarungan tadi, tapi karena antisipasi akan bertemu dengan seseorang yang telah menghantui pikirannya selama ia mulai berada di rumah itu.Ruang ten

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status