Petang itu, selepas melewati ujian tak terduga dari Ibu Celina, Adit akhirnya bisa pulang.
Jam kerja seharusnya sudah selesai sejak satu jam lalu, tapi karena permintaan sang manajer, ia terpaksa lembur. Dengan tubuh yang masih terasa hangat setelah menyentuh kulit halus atasannya, Adit menghela napas panjang sambil menghidupkan motor bututnya. Mesin tua itu berderu kasar, seolah ikut lelah setelah hari yang terasa panjang. Adit melajukan motornya perlahan melewati jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan berpendar, menerangi aspal yang masih terasa hangat sisa matahari siang tadi. Hembusan angin malam yang menerpa wajahnya sedikit mengurangi rasa penat yang menggelayuti tubuhnya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Di sebuah tikungan yang agak gelap, tiba-tiba seorang wanita muncul dari arah samping. Terlambat menyadari kehadirannya, Adit hanya sempat menarik rem sekuat tenaga. Motor oleng ke samping. Adit terpental dan menubruk wanita itu. Ia terhempas ke kanan, dan manita itu terdorong jatuh ke belakang. "Aduh!" Suara rintihan terdengar dari orang yang ia tubruk. Adit meringis, lutut dan sikunya nya terasa perih akibat bergesekan dengan jalanan. Tapi lebih dari itu, ia segera bangkit dan menghampiri korban. Di bawah cahaya lampu jalan yang remang, ia melihat sosok seorang wanita muda yang terjatuh dengan lutut tertekuk. Wajahnya tersembunyi di balik helaian rambut panjang yang berantakan. "Maaf, Mbak! Saya nggak sengaja!" Adit buru-buru mendekat, hatinya berdebar panik. Wanita itu mendongak. Tatapan tajam dan penuh amarah langsung menghantam Adit. "Matamu di mana?! Sembarangan bawa motor!" bentaknya. Adit menelan ludah. Dari nada suaranya, wanita ini bukan tipe yang mudah diredakan hanya dengan permintaan maaf. Ia pun segera mengulurkan tangan. "Beneran saya nggak sengaja. Saya bantu berdiri, ya?" Wanita itu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan Adit. Begitu tangannya bersentuhan dengan kulit Adit, ekspresinya berubah sekilas. Napasnya tertahan, dan matanya membelalak sebelum buru-buru dikedipkan. Wajahnya tampak sedikit lebih merah, meskipun ia cepat-cepat mengalihkan perhatian dengan mendengus kesal. Adit menyipitkan mata. Ada yang aneh lagi. Kini ia bertanya-tanya; apakah sentuhan tangannya bisa membuat wanita seketika berubah drastis? Tadi siang dia juga menabrak Ayunda. Setelah ia bersentuhan dengan wanita itu, ekspresi wajahnya berubah. Kurang lebih mirip dengan wanita yang ia tubruk kali ini. Wanita itu menarik tangannya dengan cepat seolah tersengat, lalu berdehem dan berdiri tegak. Pakaian yang dikenakannya terlihat mahal, blazer hitam elegan membalut tubuhnya, dan sepatu hak tinggi yang kini ternoda debu makin memperjelas kelasnya. Rambutnya yang panjang tergerai, meski sedikit berantakan karena jatuh, tetap terlihat indah. “Kamu tahu siapa aku?” tanyanya dengan nada penuh percaya diri. Namun sebetulnya, ia sedang merasa rumit. Sensasi aneh yang baru saja ia rasakan segera pula ia tutupi dengan sikapnya yang angkuh. Adit mengerutkan kening. “Eh... Nggak. Memangnya saya harus tahu?” Wanita itu mendengus. “Tentu saja! Aku Larasati Sudirman. Dan kamu baru saja menabrakku!” Nama itu terdengar familiar. Adit mencoba mengingat-ingat, lalu matanya sedikit membesar. Larasati Sudirman... Sudirman... nama itu seperti nama pejabat sekaligus pengusaha kaya. Namun Adit tak habis pikir; bagaimana bisa wanita ini ada di tikungan dan menyeberang mendadak pula. Apa yang dia lakukan? Namun di seberang ada sebuah mobil mewah terparkir di pinggir jalan. "Saya beneran minta maaf, Mbak Larasati. Apa saya perlu antar ke rumah sakit? Atau ada yang bisa saya lakukan?" tanya Adit dengan suara lebih hati-hati. Larasati menatapnya dengan mata menyipit, lalu melirik lututnya yang sedikit lecet. Ia masih tampak sedikit linglung, tapi kembali menguasai dirinya. "Aku nggak mau berurusan dengan rumah sakit. Tapi kamu tetap harus bertanggung jawab." Adit menelan ludah. "Maksudnya?" Larasati menyeringai tipis. "Mulai sekarang, kamu utang budi sama aku. Dan aku bakal cari cara buat menagihnya. Siap-siap aja." Adit tidak tahu apakah harus lega atau semakin cemas. Ia tak begitu paham maksud wanita itu. Yang jelas, malam ini, hidupnya baru saja bertambah rumit. “Nona, aku tidak paham...” “Aku buru-buru. Berikan nomor ponselmu!” “E, oke...” Adit mengucapkan nomornya. Wanita itu mencatatnya di ponsel mahalnya. Namun ia tak sekadar mencatat, namun juga memastikan dengan menelefon nomor itu. Ponsel di saku Adit berbunyi. Ia mengambilnya dan mengeceknya. Larasati heran juga; betapa kuno ponsel pemuda tampan yang menabraknya itu. “Ini nomormu, mbak?” “Ya. Kamu simpan saja. Kamu kerja di mana?” “E, terapis di Klinik Kesehatan dan Kecantikan Ophelia. Tak jauh dari sini... itu di sana!” kata Adit. Ia siap tanggung jawab jika wanita itu memang butuh ganti rugi. Entah apa itu. “Namamu siapa?” “Aditya...” “Aditya siapa?” “Aditya Wijaya...” “Oke...” kata wanita itu. Ia meninggalkan Adit begitu saja; menyeberang dan masuk ke dalam mobil mewah di seberang jalan itu. *** Keesokan harinya, Adit tiba di klinik dengan perasaan campur aduk. Setelah insiden dengan Larasati semalam, ia masih belum tahu apakah perempuan itu benar-benar serius menagih "utang budi" atau hanya sekadar menggertaknya. Namun, rasa penasaran yang lebih besar adalah efek cincin yang mulai menunjukkan perubahan. Saat bersentuhan dengan Larasati, ia merasakan sesuatu yang berbeda; bukan sekadar reaksi biasa dari efek cincin, tetapi seolah-olah ada arus energi yang mengalir dari tubuh perempuan itu ke dirinya. Itu adalah sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya. Saat Adit baru saja mengganti seragamnya, pintu ruang loker terbuka dengan keras. Seorang staf masuk dengan wajah panik. "Adit! Ada tamu mencarimu!" Adit mengernyit. "Tamu? Siapa?" "Seorang wanita cantik, kelihatannya orang kaya. Dia nunggu di lobi dan ngotot mau ketemu kamu." Jantung Adit langsung berdegup kencang. Jangan-jangan… Dengan langkah hati-hati, Adit keluar menuju lobi. Dan benar saja, di sana berdiri Larasati Dharmawan dengan pakaian kasual yang tetap terlihat mahal. Ia bersedekap, menatap Adit dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Akhirnya kamu datang juga," ucapnya dengan nada setengah mengejek. Adit menarik napas. "Kenapa mencariku ke sini?" Larasati tersenyum tipis. "Karena aku sudah bilang, kamu punya utang budi sama aku. Dan sekarang aku mau menagihnya." "Oke. Apa yang kamu mau?" Larasati mendekat dan berbisik pelan, "Ikut aku sekarang. Ada sesuatu yang harus kamu lakukan." Adit menatapnya curiga. "Aku lagi kerja." "Aku nggak peduli. Kamu ikut atau aku bikin masalah di tempat ini?" Adit menggeram pelan. Perempuan ini benar-benar menyebalkan. Namun, ia tidak punya pilihan. Dengan sedikit enggan, ia menoleh ke resepsionis. "Bilang ke Pak Rudi aku ada urusan sebentar. Aku bakal balik dalam satu jam." Tanpa menunggu balasan, Larasati menarik lengan Adit dan menyeretnya keluar. Begitu kulit mereka bersentuhan lagi, sesuatu yang aneh terjadi. Jantung Adit berdetak lebih cepat, tapi bukan karena panik. Ada arus halus yang merambat dari ujung jarinya ke tubuhnya, seolah-olah cincin di jarinya merespons kehadiran Larasati. Perempuan itu juga tampak terkejut, tapi tidak melepaskan genggamannya. Mereka masuk ke mobil mewah Larasati. Begitu mesin menyala, Larasati mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, membuat Adit semakin curiga. "Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Adit. Larasati tidak langsung menjawab. Ia hanya mengetukkan jarinya ke kemudi, sebelum akhirnya menghela napas. "Aku butuh bantuanmu. Ada seseorang yang mengejarku." Adit membelalak. "Apa?! Siapa?" "Aku nggak bisa jelaskan sekarang. Tapi aku tahu satu hal." Larasati melirik sekilas ke arahnya. "Kamu bukan orang biasa, Adit. Sentuhanmu… Itu bukan sentuhan normal." Adit tercekat. Jadi Larasati memang merasakan sesuatu saat bersentuhan dengannya semalam. Tapi bagaimana bisa perempuan ini menyadarinya begitu cepat? "Jangan pura-pura nggak tahu," lanjut Larasati. "Aku nggak tahu apa yang kamu lakukan semalam, tapi tubuhku masih bereaksi. Dan aku yakin, kamu bisa melakukan lebih dari itu." Adit menelan ludah. Situasi ini makin rumit. Tidak hanya cincin di jarinya bereaksi lebih kuat, kini ada perempuan kaya yang sepertinya memiliki masalah besar dan entah bagaimana menyeretnya ke dalamnya.Suasana masih riuh. Beberapa pertarungan telah terjadi dan kini Adit pun sedang menonton sebuah pertarungan yang seru. Sesekali Adit menatap Seina. Dan beberapa kali pula tatapan mereka bertemu sekian detik saja.Seina sungguh penasaran dengan Adit. Dua kali ia telah melihat Adit menang melawan lawan yang berat. Kemenangannya seolah kebetulan. Namun ia berpikir, hal itu bukanlah sebuah kebetulan.Pertarungan sedang Adit lihat akhirnya selesai juga. Lawan yang kalah tampak berdarah-darah. Penonton yang menang taruhan bersorak senang, tak peduli dengan cidera parah yang dialami oleh petarung yang kalah itu.Sejujurnya Adit merasa miris. Tapi ia paham, para petarung yang berlaga di arena itu memang sudah siap mati; siap menanggung segala resikonya. Ia pun demikian. Ia tahu, pertarungan seperti itu kadang kala tidaklah sederhana.Di pertarungan yang ia saksikan, setidaknya ada dua petarung, yang ia rasa, tak sepenuhnya mengandalkan kekuatan fisik. Dukun sakti jelas pula berperan dalam tar
Kesepakatan telah terjadi. Lawan Adit adalah seorang bule, bertubuh tinggi besar, ototnya kekar, wajahnya sangar dan buas. Dia naik ke atas panggung terlebih dahulu. Bos petarung itu tersenyum senang, merasa telah berhasil memancing Darmawan untuk bertaruh besar dan sedari tadi dia memang menyembunyikan petarungnya itu, lalu yang terlihat bersamanya adalah petarung lain yang tubuhnya tak sesangar itu.Pak Darmawan tersenyum kecut melihat lawan Adit. Joko pun berkeringat dingin membayangkan bosnya pasti kalah 30 milyar malam ini."Pak, saya saja kah yang menggantikan Adit?" tanya Joko. Sedari awal ia memang tak yakin Adit bisa bertarung dengan baik.Darmawan melirik Adit, "kamu bisa mengalahkan dia?""Bisa, Pak. Jangan khawatir. Masih lebih sulit lawan cewek waktu itu!" kata Adit."Hah? Serius?" kata Darmawan mengerutkan keningnya."Mari kita lihat saja. Saya tidak akan turun panggung sebelum pingsan atau mati!" kata Adit sangat yakin. Darmawan terkesan dengan keberanian pemuda itu. Na
Jam empat sore, mobil Pak Darmawan datang. Kali ini dia bersama sopir dan pengawal yang lain. Wajahnya sangar, tinggi dan gagah. Aku belum pernah melihat dia di rumahnya.Pak Darmawan tersenyum saat berjalan ke teras, ia memanggil lelaki itu dan memperkenalkannya kepadaku. “Joko! Salam kenal!” ucapnya. Jabat tangannya pun juga terasa mantap.“Adit, bang…” balasku sopan.“Hehehe. Joko dulu pengawalku yang menemaniku kemana pun aku pergi. Dia sudah lama absen karena dipenjara. Pagi tadi dia dia bebas dan langsung tugas lagi!” kata Pak Darmawan. Aku pun mengangguk dan tersenyum canggung.“Kamu sudah siap untuk nanti?”“Sudah siap, Pak!” jawab Adit.“Bagus. Mau ganti baju dulu lalu berangkat?”“Siap pak!” jawab Adit. Ia segera bergegas masuk ke dalam rumahnya setelah mempersilakan Pak Darmawan masuk. Adit ke kamarnya, lalu berganti pakaian. Tak lama kemudian ia pun ke ruang depan.“Kamu suka motornya?”“E, suka Pak. Terimakasih banyak…” kata Adit.“Jika mau minta apa, bilang saja!” kata P
Adit kembali ke dapur setelah berpakaian lengkap, berniat untuk pamit pulang. Namun Dea menghentikannya. Ia sudah memesan sarapan melalui aplikasi, dan sebentar lagi akan datang. Adit tidak bisa menolak. Ia pun duduk di meja makan dapur apartemen itu.Perasaan canggung, khawatir, dan juga gugup bercampur aduk di dalam dirinya. Ia menatap Dea, yang kini juga sudah berpakaian lengkap. Ia terlihat cantik dan anggun, seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka semalam. Adit merasa hatinya berdebar kencang. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap."Kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dea, memecah keheningan."Kopi saja, Kak," jawab Adit, suaranya pelan.Dea mengangguk, lalu membuat dua cangkir kopi. Ia meletakkan satu di depan Adit, lalu duduk di hadapannya. "Kamu kelihatan tegang, Dit. Santai saja.""Eh, iya kak…” Adit merasa salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kak Dea tidak lekas ke kantor?”Dea tersenyum. "Sudah kubilang, perusahaan itu milikku. Aku bisa datang k
Adit dan Dea terlelap dengan sangat lelap di atas kasur queen size yang seprai putihnya kini sedikit kusut dan berantakan. Tidak ada alarm yang menyala, tidak ada gangguan dari dunia luar.AC kamar berdengung pelan dengan suhu 22 derajat, menciptakan udara sejuk yang membuat tidur mereka semakin nyenyak. Mereka tidur pulas, tubuh saling bersinggungan dengan alami, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua dalam kepompong keintiman yang hangat.Pukul 9 pagi, sinar matahari yang sudah mulai terik berhasil menyusup melalui celah-celah gorden berwarna krem, menciptakan garis-garis cahaya emas yang menari-nari di lantai kamar. Adit terbangun lebih dulu, kelopak matanya berkedip perlahan melawan silau, kemudian mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya. Ia menyadari kehangatan yang melingkupinya; bukan hanya dari selimut tipis yang menutupi sebagian tubuh mereka, tetapi juga dari tubuh Dea yang masih tidur dengan damai.Dea masih memeluknya erat, lengan kiri
Dea merasa gugup. Di sampingnya, Adit berbaring telentang, kaku dan diam. Ia tidak mengantuk sama sekali. Pikiran dan hatinya terus bergejolak. Ia menginginkan sesuatu, dan ia tahu, Adit adalah satu-satunya orang yang bisa memberikannya. Tapi, sepertinya Adit memang bukan lelaki nakal. Terbukti, setelah lima belas menit berlalu, pemuda itu hanya anteng di tempatnya. Jika ia tidak memulai, maka tidak akan terjadi apa-apa.Dea tahu, Adit pasti belum tidur. Atau belum benar-benar tertidur. Dan ia sadar, jika bukan sekarang, mungkin ia tak akan punya kesempatan sempurna seperti ini.Maka, Dea mulai menggeser tubuhnya merapat ke Adit. Gerakan pelan itu membuat kain selimut bergeser. Adit pun merasakan pergerakan itu. Jantungnya berdetak kencang dan ia hanya membeku berbaring rapi seperti lipatan baju di dalam lemari. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Kulit mereka bersentuhan. Kehangatan yang menjalar dari tubuh Adit membuat Dea merasa nyaman. Namun ada sensasi l