Home / Urban / Tukang Pijat Tampan / Mulai Menyadari Sesuatu

Share

Mulai Menyadari Sesuatu

Author: Black Jack
last update Last Updated: 2025-03-03 15:20:40

Buru-buru Ayunda melepaskan diri dari rengkuhan Adit. Namun aura marah yang tadinya tampak di wajah cantik itu seketika lenyap, berganti rona merah di pipinya. Tanpa mengatakan apa-apa, Ayunda pergi meninggalkan Adit.

‘Dia itu kenapa!’ ucap Adit dalam hati. Ia sungguh tak mengerti. Namun ia tak mau terlalu memikirkannya, sebab ia pun buru-buru harus ke ruang pelatihan.

Ada lima orang termasuk Adit yang merupakan terapis baru. Adit satu-satunya calon terapis cowok. Lalu empat yang lain adalah terapis cewek. Ada dua trainer, satu cewek dan satu cowok. Keduanya adalah senior yang sudah lama bekerja di tempat itu.

“Maaf terlambat!” kata Adit.

“Loh, kok kamu ada di sini? Bukannya kata Pak Rudy kamu sudah out ya!” ucap Anton, trainer cowok yang mendapatkan tugas mengajari anak-anak baru itu.

“Iya. Tiga hari kamu nggak masuk dan hari ini pun datang setelah istirahat siang!” kata Cindy, si trainer cewek. Adit bertanya-tanya pula, kenapa Cindy juga tahu ia tak masuk kerja.

Di titik itu, ia yakin pak Rudy sudah mengatakan kepada banyak orang aku sudah dipecat, namun hari ini aku terselamatkan oleh kedatangan klien yang tadi itu.

“Maaf kak, tadi pagi dapat tugas dari Ibu Celina untuk melayani klien!” kata Adit.

“Jangan bohong ya!” ketus Cindy. Tadinya dia senang karena ada anak baru ganteng dan gagah. Namun pak Rudy mengatakan akan memusuhi siapa saja yang baik dengan Adit. Jadi, Cindy batal merasa senang dengan kehadiran pemuda tampan itu.

“Sumpah Kak. Bisa konfirmasi ke Ibu Celina soal ini. Tadi beliau sendiri yang menyuruhku,” Adit membela diri.

“Ya sudah. Hari ini kamu nonton aja. Sudah ketinggalan banyak hari ini. Malas aku mengulang lagi!” kata Anton.

“Siap Kak!” kata Adit.

Maka Adit hanya bisa menonton saja tanpa praktek. Tapi dengan menonton itu, dia juga belajar.

Satu jam berlalu begitu saja. Lalu Pak Rudy datang ke ruangan itu. “Adit, layani klien di ruangan 12! Sekarang!” ujarnya dengan nada tak enak untuk didengar.

Adit pun heran; kenapa pula Pak Rudy malah memberikan kesempatan baginya. Tak hanya Adit yang heran. Anton, Cindy dan empat calon terapis itu pun juga dibuat heran olehnya.

“Jika klien tidak puas dengan pelayananmu, atau bahkan sampai komplain, besok kamu nggak usah lagi datang ke sini!” kata Pak Rudy.

Kini semua pun paham maksud Pak Rudy. Dia sedang menjerumuskan Adit.

Tapi saat itu, Adit tak berpikir ke arah sana.

“Siap Pak, saya segera ke sana!” kata Adit. Ia pun meninggalkan ruangan itu. Begitu Adit keluar dan pintu ditutup kembali, Pak Rudy tersenyum licik.

“Kliennya ibu Nesya yang suka marah-marah itu!”

Anton tertawa, “Astaga Pak! Ibu gendut yang galak itu kan?”

“Ya!” kata Pak Rudy.

“Dia itu maunya banyak, tapi komplain terus. Ya gimana lagi Pak. Lemaknya itu loh, tebel. Susah dipijit!” kata Anton sambil tertawa. Cindy pun juga tertawa.

“Ya sudah. Kalian lanjut aja. Aku akan ke depan lagi!” kata Pak Rudy.

Sementara itu, Adit yang tak tahu apa-apa segera masuk ke ruang nomor 10.

Ia agak syok melihat klien yang datang saat itu; tubuhnya sangat besar dan hampir berbentuk bulat.

“Selamat siang, Nona...”

“Nona kepalamu itu! Kamu menyindirku, hah!” hardik wanita itu dengan suara keras. Ia menatap Adit dengan tatapan tajam.

“E, maaf Nyonya. Saya orang baru. Maaf jika salah menyebut!” kata Adit langsung dibuat kena mental dengan bentakan klien yang satu itu.

Wanita itu masih terlihat kesal. Tapi ia memang selalu seperti itu. Dan dia merupakan salah satu pelanggan yang cukup sering datang ke klinik tersebut untuk layanan pijat biasa.

“Baik, Nyonya. A-Anda ingin dilayani seperti apa?” tanya Adit.

“Pijit full body!” ucapnya ketus.

“Baik, Nyonya. Akan saya persiapkan!” kata Adit.

Klien itu membuka pakaiannya, menyisakan dalamannya, dan tidur telungkup di tempat yang disediakan.

Adit mengambil handuk, mengambil beberapa jenis minyak pijit, menyalakan dupa aroma terapi dan menyetel musik terapi.

Kali ini dia lebih siap dari sebelumnya.

“Mau menggunakan minyak apa, Nyonya?”

“Yang wangi dan tidak panas! Apa itu namanya aku lupa!” balasnya masih dengan sikap ketus-judes.

“Baik,” kata Adit. Ia segera mengambil satu jenis minyak yang diminta oleh nyonya itu. “Saya mulai sekarang, Nyonya?”

“Ya!”

Adit menuangkan di bagian kaki terlebih dulu. ‘Semoga lancar!’ ucapnya dalam hati. Lalu ia mulai memijit. Ia kembali dibuat heran. Baru beberapa detik ia memulai, wanita itu menunjukkan gejala serupa dengan klien sebelumnya.

‘Sebenarnya kenapa dengan pijitanku?’ ucap Adit dalam hati. Ia sungguh penasaran dan bertanya juga, “Apakah kurang nyaman, Nyonya? Terlalu keras kah?”

“Tidak. Itu nyaman sekali. Teruskan!” ucapnya. Kini nada bicaranya melunak dan enak didengar. Maka Adit pun langsung tahu juga jika kliennya memang sungguh merasa nyaman.

Masih dengan perasaan penuh tanda tanya, Adit terus memijit sesuai prosedur. Sesekali ia berhenti ketika klien itu menggeliat parah dan mengeluarkan suara-suara khas.

Adit paham dan menyadari sesuatu kini; wanita itu mengalami perasaan nikmat dari pijitannya. Dan yang membuat Adit penasaran adalah, kenapa bisa begitu?

Waktu berlalu. Pijitan hanya sesuai standard. Tak ada yang aneh. Namun wanita itu sungguh sangat puas.

“Pijitanmu nyaman sekali. Siapa namamu? Lain kali kalau ke sini, aku hanya mau dipijit olehmu!” ucap klien itu. Wajahnya masih merona merah setelah ia mendapatkan pijitan itu. Nafasnya masih terengah dan tatapan matanya masih sayu mendayu syahdu. Gerak-geriknya pun terlihat manja dan jinak-jinak merpati.

“E, nama saya Adit. Jika Nyonya merekomendasikan saya, kemungkinan saya akan lanjut menjadi terapis tetap. Saat ini saya masih dalam masa training!” kata Adit mencoba memanfaatkan situasi.

“Tentu aku rekomendasikan. Teman-temanku juga banyak yang langganan di sini. Mereka harus coba pijitanmu!” kata klien itu.

“Terimakasih banyak, Nyonya. Saat ini ada lagi yang bisa saya bantu?”

“Aku sudah cukup puas. Hampir dua jam kamu pijit aku. Sudah cukup. Lain kali saja lagi. Haah, sudah lama aku tak merasakan perasaan seperti ini. Terimakasih, Adit! Tunggu sebentar, ada hadiah untukmu!” Nyonya itu mengambil dompetnya, mengambil beberapa lembar berwarna merah tanpa menghitungnya, lalu memberikannya kepada Adit.

“E, ini...”

“Tips buat kamu. Besok-besok kamu yang layani aku ya!”

“Terimakasih banyak Nyonya. Saya siap. Dan mohon Nyonya menegur saya jika ada salah agar saya bisa mengerti!” kata Adit.

“Ya. Tentu saja!”

Perubahan sikap wanita itu membuat Adit merasa lega. Ia tak tahu berapa uang tips yang diberikan untuknya. Tapi cukup banyak. Lebih dari empat ratus ribu sepertinya. Adit juga tak menghitungnya. Malu. Ia memasukkannya ke dalam saku.

Di depan sana, Pak Rudy sudah menunggu dengan tidak sabar. Kebetulan pula Celina juga ada di depan, sibuk dengan resepsionis.

Waktu untuk melayani klien sudah habis. Ia tahu, ibu klien yang pemarah itu pasti sebentar lagi akan keluar dengan wajah seperti biasa. Dan ia bisa menggunakannya untuk menyingkirkan Adit dari tempat itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tukang Pijat Tampan   Ditelefon Pak Darmawan

    Urusan pencurian minuman keras sudah selesai. Kotak-kotak berisi botol minuman premium kini telah kembali ke gudang klub Bu Renata, tersusun rapi di rak-rak kayu yang gelap dan lembab. Debu masih menempel di beberapa sudut kardus, jejak dari petualangan tak terduga pagi itu.Setelah itu, Bayu mengajak Adit makan siang di sebuah warung sederhana tak jauh dari cafe. Warung itu hanya berupa tenda terpal biru dengan beberapa meja plastik yang sudah menguning. Aroma bumbu pecel dan nasi hangat bercampur dengan asap rokok kretek menguar di udara. Di pojok warung, televisi tua menyala dengan suara yang sedikit bindeng, menayangkan sinetron siang yang tak ada yang memperhatikan.Mereka duduk di meja pojok, agak tersembunyi dari pandangan pengunjung lain. Bayu menyeruput es teh manisnya perlahan, matanya sesekali melirik ke arah jalan, seolah memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Keheningan menggantung di antara mereka sampai akhirnya Bayu membuka suara."Kemarin, kamu juga berkelahi sep

  • Tukang Pijat Tampan   Ke Markas Ormas

    Suara rintihan Joko menggema di gudang yang tertutup rapat. Setelah lima belas menit "percakapan intensif" dengan Bayu dan Adit, hidung Joko sudah bengkak dan bibirnya robek. Darah menetes dari lubang hidung dan sudut mulutnya, tapi matanya masih memancarkan kekerasan kepala."Terakhir kali gue tanya," kata Bayu sambil menggulung lengan kemejanya yang sudah kusut. "Lu jual minuman itu kemana?"Joko meludahkan darah. "Ke... ke Bang Sugeng. Di markas PPBI daerah Jembatan Merah."Adit mengernyitkan kening. PPBI—Persatuan Pemuda Bela Indonesia—salah satu ormas yang terkenal brutal di kota ini. Mereka sering terlibat dalam bisnis gelap dan pungutan liar."Kenapa lu harus jual ke mereka?" tanya Bayu sambil duduk di kursi plastik yang ia tarik, posisinya sejajar dengan Joko yang terduduk di lantai dengan tangan diikat ke belakang."Gue... gue kalah judi kemarin malam. Hutang 50 juta ke mereka. Kalau nggak bayar pagi ini, mereka ancam bunuh istri gue," Joko menjawab dengan suara parau.Adit m

  • Tukang Pijat Tampan   Orang Gudang Bermasalah

    Suara deru motor trail menggema di jalanan yang masih sepi pagi itu. Bayu dan Adit melaju dengan jarak sekitar sepuluh meter, Bayu di depan sebagai pemimpin. Club Royal terletak di kawasan bisnis kota, sebuah bangunan berlantai tiga dengan fasad hitam-merah yang mencolok. Di siang hari seperti ini, tempat yang biasanya gemerlap dengan lampu neon itu tampak seperti gedung kosong biasa.Mereka memarkir motor di samping gedung, di area khusus karyawan. Beberapa mobil pick-up dan motor sudah terparkir di sana; kendaraan para pekerja yang mengurus operasional siang hari klub."Ingat Dit, kita di sini bukan tamu," kata Bayu sambil melepas helmnya dan merapikan rambutnya. "Kita wakil Bu Renata. Jadi sikap harus tegas, tapi jangan over. Biarkan aku yang bicara dulu."Adit mengangguk sambil mengikuti langkah Bayu menuju pintu samping gedung. Ada tulisan "Staff Entrance" di atas pintu besi yang cat hijaunya sudah mengelupas.Bayu mengetuk pintu dengan pola tertentu; tiga ketukan cepat, jeda, du

  • Tukang Pijat Tampan   Bayu Sudah Masuk Kerja

    Keesokan harinya, matahari baru saja menampakkan sinarnya di ufuk timur ketika Bayu sudah memarkir motornya di halaman rumah Renata. Pria berusia 35 tahun itu memang terkenal disiplin dan selalu datang lebih awal dari jadwal. Ia berjalan santai menuju ruang depan, menyalakan AC, lalu duduk di sofa sambil mengeluarkan ponselnya.Pelayan rumah, Mbak Sari, segera menyajikan secangkir kopi hitam panas. Sudah menjadi rutinitas pagi yang tak pernah terlewat. Bayu menyesap kopinya perlahan sambil membuka aplikasi berita, sesekali mengecek pesan WhatsApp dari rekan-rekannya yang lain.Di lantai atas, Adit terbangun dengan mata bengkak dan kepala yang terasa berat. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya terus memutar ulang kejadian malam sebelumnya dengan Renata. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah wanita itu muncul; terkadang dengan tatapan sedih, terkadang dengan senyum lembut yang tak pernah ia lihat sebelumnya.Adit melirik jam di ponselnya. Pukul tujuh pagi. Ia mendengar suar

  • Tukang Pijat Tampan   Menyelam Mengikuti Arus

    Keheningan menyelimuti kamar. Hanya terdengar suara AC yang berdengung pelan dan detak jantung mereka yang saling bersahutan. Tirai tipis bergoyang lembut, digerakkan angin dari sela jendela yang tak sepenuhnya tertutup rapat. Cahaya lampu tidur membentuk semburat kekuningan di dinding, menciptakan nuansa nyamanRenata mengangkat tangannya perlahan, jari-jarinya menyentuh pipi Adit yang masih menutup mata. Sentuhan itu sangat ringan, seperti embusan udara. Ia menelusuri kontur wajah Adit dengan penuh kehati-hatian, seolah takut lelaki itu akan hilang jika disentuh terlalu keras.“Buka matamu, Dit,” bisiknya lembut, hampir seperti doa yang dihembuskan pada malam yang rapuh.Adit membuka mata, menatap langsung ke mata Renata yang berjarak hanya beberapa senti dari wajahnya. Sorot mata itu tidak hanya memantulkan cahaya kamar, tapi juga kerapuhan; keputusasaan yang nyaris putus harapan, namun juga kerinduan yang begitu dalam, yang seolah tertahan bertahun-tahun dan baru kini menemukan ce

  • Tukang Pijat Tampan   Cukup Temani Aku

    Adit menduga, Renata pasti meminta dipijit seperti biasanya. Namun rupanya tidak. Wanita itu membanting tubuhnya ke kasur yang empuk, lalu terlentang sambil menghela napas panjang. Matanya menatap langit-langit kamar sejenak, sebelum kemudian beralih kepada Adit yang masih berdiri tak jauh dari ranjang dengan postur tubuh kaku."Sini, nyantai dan mengobrol di sini!" ajak Renata sambil menepuk sisi kasur di sebelahnya.Adit berjalan pelan, langkahnya ragu-ragu. Ia duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih tegap dan waspada."Ya ampun, kamu kaku amat sih!" sindir Renata sambil terkekeh melihat postur Adit yang seperti tentara sedang berbaris. "Rileks dong, aku tidak akan menggigitmu.""Em..." Adit merasa canggung. Keringat mulai mengumpul di telapak tangannya."Rebahan sini. Dengerin aku cerita tentang masa laluku..." kata Renata dengan nada yang tiba-tiba berubah lembut, hampir seperti bisikan.Adit menghela napas dalam-dalam. Ia tak punya pilihan. Dengan gerakan yang masih kaku, ia berbar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status