Buru-buru Ayunda melepaskan diri dari rengkuhan Adit. Namun aura marah yang tadinya tampak di wajah cantik itu seketika lenyap, berganti rona merah di pipinya. Tanpa mengatakan apa-apa, Ayunda pergi meninggalkan Adit.
‘Dia itu kenapa!’ ucap Adit dalam hati. Ia sungguh tak mengerti. Namun ia tak mau terlalu memikirkannya, sebab ia pun buru-buru harus ke ruang pelatihan.
Ada lima orang termasuk Adit yang merupakan terapis baru. Adit satu-satunya calon terapis cowok. Lalu empat yang lain adalah terapis cewek. Ada dua trainer, satu cewek dan satu cowok. Keduanya adalah senior yang sudah lama bekerja di tempat itu.
“Maaf terlambat!” kata Adit.
“Loh, kok kamu ada di sini? Bukannya kata Pak Rudy kamu sudah out ya!” ucap Anton, trainer cowok yang mendapatkan tugas mengajari anak-anak baru itu.
“Iya. Tiga hari kamu nggak masuk dan hari ini pun datang setelah istirahat siang!” kata Cindy, si trainer cewek. Adit bertanya-tanya pula, kenapa Cindy juga tahu ia tak masuk kerja.
Di titik itu, ia yakin pak Rudy sudah mengatakan kepada banyak orang aku sudah dipecat, namun hari ini aku terselamatkan oleh kedatangan klien yang tadi itu.
“Maaf kak, tadi pagi dapat tugas dari Ibu Celina untuk melayani klien!” kata Adit.
“Jangan bohong ya!” ketus Cindy. Tadinya dia senang karena ada anak baru ganteng dan gagah. Namun pak Rudy mengatakan akan memusuhi siapa saja yang baik dengan Adit. Jadi, Cindy batal merasa senang dengan kehadiran pemuda tampan itu.
“Sumpah Kak. Bisa konfirmasi ke Ibu Celina soal ini. Tadi beliau sendiri yang menyuruhku,” Adit membela diri.
“Ya sudah. Hari ini kamu nonton aja. Sudah ketinggalan banyak hari ini. Malas aku mengulang lagi!” kata Anton.
“Siap Kak!” kata Adit.
Maka Adit hanya bisa menonton saja tanpa praktek. Tapi dengan menonton itu, dia juga belajar.
Satu jam berlalu begitu saja. Lalu Pak Rudy datang ke ruangan itu. “Adit, layani klien di ruangan 12! Sekarang!” ujarnya dengan nada tak enak untuk didengar.
Adit pun heran; kenapa pula Pak Rudy malah memberikan kesempatan baginya. Tak hanya Adit yang heran. Anton, Cindy dan empat calon terapis itu pun juga dibuat heran olehnya.
“Jika klien tidak puas dengan pelayananmu, atau bahkan sampai komplain, besok kamu nggak usah lagi datang ke sini!” kata Pak Rudy.
Kini semua pun paham maksud Pak Rudy. Dia sedang menjerumuskan Adit.
Tapi saat itu, Adit tak berpikir ke arah sana.
“Siap Pak, saya segera ke sana!” kata Adit. Ia pun meninggalkan ruangan itu. Begitu Adit keluar dan pintu ditutup kembali, Pak Rudy tersenyum licik.
“Kliennya ibu Nesya yang suka marah-marah itu!”
Anton tertawa, “Astaga Pak! Ibu gendut yang galak itu kan?”
“Ya!” kata Pak Rudy.
“Dia itu maunya banyak, tapi komplain terus. Ya gimana lagi Pak. Lemaknya itu loh, tebel. Susah dipijit!” kata Anton sambil tertawa. Cindy pun juga tertawa.
“Ya sudah. Kalian lanjut aja. Aku akan ke depan lagi!” kata Pak Rudy.
Sementara itu, Adit yang tak tahu apa-apa segera masuk ke ruang nomor 10.
Ia agak syok melihat klien yang datang saat itu; tubuhnya sangat besar dan hampir berbentuk bulat.
“Selamat siang, Nona...”
“Nona kepalamu itu! Kamu menyindirku, hah!” hardik wanita itu dengan suara keras. Ia menatap Adit dengan tatapan tajam.
“E, maaf Nyonya. Saya orang baru. Maaf jika salah menyebut!” kata Adit langsung dibuat kena mental dengan bentakan klien yang satu itu.
Wanita itu masih terlihat kesal. Tapi ia memang selalu seperti itu. Dan dia merupakan salah satu pelanggan yang cukup sering datang ke klinik tersebut untuk layanan pijat biasa.
“Baik, Nyonya. A-Anda ingin dilayani seperti apa?” tanya Adit.
“Pijit full body!” ucapnya ketus.
“Baik, Nyonya. Akan saya persiapkan!” kata Adit.
Klien itu membuka pakaiannya, menyisakan dalamannya, dan tidur telungkup di tempat yang disediakan.
Adit mengambil handuk, mengambil beberapa jenis minyak pijit, menyalakan dupa aroma terapi dan menyetel musik terapi.
Kali ini dia lebih siap dari sebelumnya.
“Mau menggunakan minyak apa, Nyonya?”
“Yang wangi dan tidak panas! Apa itu namanya aku lupa!” balasnya masih dengan sikap ketus-judes.
“Baik,” kata Adit. Ia segera mengambil satu jenis minyak yang diminta oleh nyonya itu. “Saya mulai sekarang, Nyonya?”
“Ya!”
Adit menuangkan di bagian kaki terlebih dulu. ‘Semoga lancar!’ ucapnya dalam hati. Lalu ia mulai memijit. Ia kembali dibuat heran. Baru beberapa detik ia memulai, wanita itu menunjukkan gejala serupa dengan klien sebelumnya.
‘Sebenarnya kenapa dengan pijitanku?’ ucap Adit dalam hati. Ia sungguh penasaran dan bertanya juga, “Apakah kurang nyaman, Nyonya? Terlalu keras kah?”
“Tidak. Itu nyaman sekali. Teruskan!” ucapnya. Kini nada bicaranya melunak dan enak didengar. Maka Adit pun langsung tahu juga jika kliennya memang sungguh merasa nyaman.
Masih dengan perasaan penuh tanda tanya, Adit terus memijit sesuai prosedur. Sesekali ia berhenti ketika klien itu menggeliat parah dan mengeluarkan suara-suara khas.
Adit paham dan menyadari sesuatu kini; wanita itu mengalami perasaan nikmat dari pijitannya. Dan yang membuat Adit penasaran adalah, kenapa bisa begitu?
Waktu berlalu. Pijitan hanya sesuai standard. Tak ada yang aneh. Namun wanita itu sungguh sangat puas.
“Pijitanmu nyaman sekali. Siapa namamu? Lain kali kalau ke sini, aku hanya mau dipijit olehmu!” ucap klien itu. Wajahnya masih merona merah setelah ia mendapatkan pijitan itu. Nafasnya masih terengah dan tatapan matanya masih sayu mendayu syahdu. Gerak-geriknya pun terlihat manja dan jinak-jinak merpati.
“E, nama saya Adit. Jika Nyonya merekomendasikan saya, kemungkinan saya akan lanjut menjadi terapis tetap. Saat ini saya masih dalam masa training!” kata Adit mencoba memanfaatkan situasi.
“Tentu aku rekomendasikan. Teman-temanku juga banyak yang langganan di sini. Mereka harus coba pijitanmu!” kata klien itu.
“Terimakasih banyak, Nyonya. Saat ini ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Aku sudah cukup puas. Hampir dua jam kamu pijit aku. Sudah cukup. Lain kali saja lagi. Haah, sudah lama aku tak merasakan perasaan seperti ini. Terimakasih, Adit! Tunggu sebentar, ada hadiah untukmu!” Nyonya itu mengambil dompetnya, mengambil beberapa lembar berwarna merah tanpa menghitungnya, lalu memberikannya kepada Adit.
“E, ini...”
“Tips buat kamu. Besok-besok kamu yang layani aku ya!”
“Terimakasih banyak Nyonya. Saya siap. Dan mohon Nyonya menegur saya jika ada salah agar saya bisa mengerti!” kata Adit.
“Ya. Tentu saja!”
Perubahan sikap wanita itu membuat Adit merasa lega. Ia tak tahu berapa uang tips yang diberikan untuknya. Tapi cukup banyak. Lebih dari empat ratus ribu sepertinya. Adit juga tak menghitungnya. Malu. Ia memasukkannya ke dalam saku.
Di depan sana, Pak Rudy sudah menunggu dengan tidak sabar. Kebetulan pula Celina juga ada di depan, sibuk dengan resepsionis.
Waktu untuk melayani klien sudah habis. Ia tahu, ibu klien yang pemarah itu pasti sebentar lagi akan keluar dengan wajah seperti biasa. Dan ia bisa menggunakannya untuk menyingkirkan Adit dari tempat itu.
Suasana masih riuh. Beberapa pertarungan telah terjadi dan kini Adit pun sedang menonton sebuah pertarungan yang seru. Sesekali Adit menatap Seina. Dan beberapa kali pula tatapan mereka bertemu sekian detik saja.Seina sungguh penasaran dengan Adit. Dua kali ia telah melihat Adit menang melawan lawan yang berat. Kemenangannya seolah kebetulan. Namun ia berpikir, hal itu bukanlah sebuah kebetulan.Pertarungan sedang Adit lihat akhirnya selesai juga. Lawan yang kalah tampak berdarah-darah. Penonton yang menang taruhan bersorak senang, tak peduli dengan cidera parah yang dialami oleh petarung yang kalah itu.Sejujurnya Adit merasa miris. Tapi ia paham, para petarung yang berlaga di arena itu memang sudah siap mati; siap menanggung segala resikonya. Ia pun demikian. Ia tahu, pertarungan seperti itu kadang kala tidaklah sederhana.Di pertarungan yang ia saksikan, setidaknya ada dua petarung, yang ia rasa, tak sepenuhnya mengandalkan kekuatan fisik. Dukun sakti jelas pula berperan dalam tar
Kesepakatan telah terjadi. Lawan Adit adalah seorang bule, bertubuh tinggi besar, ototnya kekar, wajahnya sangar dan buas. Dia naik ke atas panggung terlebih dahulu. Bos petarung itu tersenyum senang, merasa telah berhasil memancing Darmawan untuk bertaruh besar dan sedari tadi dia memang menyembunyikan petarungnya itu, lalu yang terlihat bersamanya adalah petarung lain yang tubuhnya tak sesangar itu.Pak Darmawan tersenyum kecut melihat lawan Adit. Joko pun berkeringat dingin membayangkan bosnya pasti kalah 30 milyar malam ini."Pak, saya saja kah yang menggantikan Adit?" tanya Joko. Sedari awal ia memang tak yakin Adit bisa bertarung dengan baik.Darmawan melirik Adit, "kamu bisa mengalahkan dia?""Bisa, Pak. Jangan khawatir. Masih lebih sulit lawan cewek waktu itu!" kata Adit."Hah? Serius?" kata Darmawan mengerutkan keningnya."Mari kita lihat saja. Saya tidak akan turun panggung sebelum pingsan atau mati!" kata Adit sangat yakin. Darmawan terkesan dengan keberanian pemuda itu. Na
Jam empat sore, mobil Pak Darmawan datang. Kali ini dia bersama sopir dan pengawal yang lain. Wajahnya sangar, tinggi dan gagah. Aku belum pernah melihat dia di rumahnya.Pak Darmawan tersenyum saat berjalan ke teras, ia memanggil lelaki itu dan memperkenalkannya kepadaku. “Joko! Salam kenal!” ucapnya. Jabat tangannya pun juga terasa mantap.“Adit, bang…” balasku sopan.“Hehehe. Joko dulu pengawalku yang menemaniku kemana pun aku pergi. Dia sudah lama absen karena dipenjara. Pagi tadi dia dia bebas dan langsung tugas lagi!” kata Pak Darmawan. Aku pun mengangguk dan tersenyum canggung.“Kamu sudah siap untuk nanti?”“Sudah siap, Pak!” jawab Adit.“Bagus. Mau ganti baju dulu lalu berangkat?”“Siap pak!” jawab Adit. Ia segera bergegas masuk ke dalam rumahnya setelah mempersilakan Pak Darmawan masuk. Adit ke kamarnya, lalu berganti pakaian. Tak lama kemudian ia pun ke ruang depan.“Kamu suka motornya?”“E, suka Pak. Terimakasih banyak…” kata Adit.“Jika mau minta apa, bilang saja!” kata P
Adit kembali ke dapur setelah berpakaian lengkap, berniat untuk pamit pulang. Namun Dea menghentikannya. Ia sudah memesan sarapan melalui aplikasi, dan sebentar lagi akan datang. Adit tidak bisa menolak. Ia pun duduk di meja makan dapur apartemen itu.Perasaan canggung, khawatir, dan juga gugup bercampur aduk di dalam dirinya. Ia menatap Dea, yang kini juga sudah berpakaian lengkap. Ia terlihat cantik dan anggun, seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka semalam. Adit merasa hatinya berdebar kencang. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap."Kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dea, memecah keheningan."Kopi saja, Kak," jawab Adit, suaranya pelan.Dea mengangguk, lalu membuat dua cangkir kopi. Ia meletakkan satu di depan Adit, lalu duduk di hadapannya. "Kamu kelihatan tegang, Dit. Santai saja.""Eh, iya kak…” Adit merasa salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kak Dea tidak lekas ke kantor?”Dea tersenyum. "Sudah kubilang, perusahaan itu milikku. Aku bisa datang k
Adit dan Dea terlelap dengan sangat lelap di atas kasur queen size yang seprai putihnya kini sedikit kusut dan berantakan. Tidak ada alarm yang menyala, tidak ada gangguan dari dunia luar.AC kamar berdengung pelan dengan suhu 22 derajat, menciptakan udara sejuk yang membuat tidur mereka semakin nyenyak. Mereka tidur pulas, tubuh saling bersinggungan dengan alami, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua dalam kepompong keintiman yang hangat.Pukul 9 pagi, sinar matahari yang sudah mulai terik berhasil menyusup melalui celah-celah gorden berwarna krem, menciptakan garis-garis cahaya emas yang menari-nari di lantai kamar. Adit terbangun lebih dulu, kelopak matanya berkedip perlahan melawan silau, kemudian mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya. Ia menyadari kehangatan yang melingkupinya; bukan hanya dari selimut tipis yang menutupi sebagian tubuh mereka, tetapi juga dari tubuh Dea yang masih tidur dengan damai.Dea masih memeluknya erat, lengan kiri
Dea merasa gugup. Di sampingnya, Adit berbaring telentang, kaku dan diam. Ia tidak mengantuk sama sekali. Pikiran dan hatinya terus bergejolak. Ia menginginkan sesuatu, dan ia tahu, Adit adalah satu-satunya orang yang bisa memberikannya. Tapi, sepertinya Adit memang bukan lelaki nakal. Terbukti, setelah lima belas menit berlalu, pemuda itu hanya anteng di tempatnya. Jika ia tidak memulai, maka tidak akan terjadi apa-apa.Dea tahu, Adit pasti belum tidur. Atau belum benar-benar tertidur. Dan ia sadar, jika bukan sekarang, mungkin ia tak akan punya kesempatan sempurna seperti ini.Maka, Dea mulai menggeser tubuhnya merapat ke Adit. Gerakan pelan itu membuat kain selimut bergeser. Adit pun merasakan pergerakan itu. Jantungnya berdetak kencang dan ia hanya membeku berbaring rapi seperti lipatan baju di dalam lemari. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Kulit mereka bersentuhan. Kehangatan yang menjalar dari tubuh Adit membuat Dea merasa nyaman. Namun ada sensasi l