Home / Urban / Tukang Pijat Tampan / Ujian Dari Sang Manager

Share

Ujian Dari Sang Manager

Author: Black Jack
last update Last Updated: 2025-03-03 15:21:16

Pak Rudi menunggu di luar ruangan dengan senyum penuh kemenangan. Di sebelahnya ada Anton dan Cindy yang baru saja menyusul karena ingin menyampaikan sesuatu.

“Nanti dulu. Aku ingin melihat drama!” kata Pak Rudy. Dia yakin sebentar lagi, Nyonya Nesya akan keluar dengan wajah merah padam dan mengomel seperti biasanya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Saat pintu terbuka, yang keluar adalah seorang wanita yang sama sekali berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Nyonya Nesya terlihat begitu rileks, wajahnya berseri-seri, dan langkahnya ringan seolah baru saja kembali dari liburan mewah.

"Adit!" serunya sambil menepuk bahu pemuda itu dengan akrab. "jangan lupa ya, pokoknya aku hanya mau dipijat olehmu. Pastikan kamu ada setiap kali aku datang, ya?"

Pak Rudi hampir terlonjak. Mata Anton dan Cindy terbelalak tak percaya. Mereka saling berpandangan, mencoba mencari penjelasan atas fenomena langka ini. Adit sendiri hanya bisa tersenyum canggung.

“Siap Nyonya!” balas Adit.

Nyonya Nesya diam sejenak, lalu ia Kembali mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Adit. "Ini aku tambahkan lagi untukmu. Hari ini aku sangat senang. Kamu pantas mendapatkannya. Sampai jumpa!"

“Terimakasih banyak, Nyonya. Anda sungguh murah hati. Semoga lancar terus rejekinya!” kata Adit.

Nyonya Nesya berjalan pergi dengan langkah ringan, meninggalkan keheningan di belakangnya.

Pak Rudi menggertakkan giginya. Rencananya untuk menyingkirkan Adit gagal total. Namun, seseorang lain justru lebih tertarik dengan kejadian ini; seorang wanita yang sejak tadi mengamati dari jauh dengan penuh rasa penasaran. Dia tak lain adalah sang manager.

Hari sudah sore. Jam kerja Adit habis meski tempat itu masih buka. Ia shift pagi sampai sore. Jadi kini ia hedak pulang. Ia melihat Pak Rudy sebetulnya. Namun ia memilih untuk tak mendekati lelaki itu, dan langsung saja ke ruangan ganti karyawan, membuka loker dan mengambil barang-barangnya.

Sementara itu, di dalam kantornya, Ibu Celina mengamati kejadian tadi dengan kening berkerut. Ia sudah bekerja di industri ini bertahun-tahun dan sudah melihat berbagai macam klien. Tapi ini? Ini adalah pertama kalinya dia melihat perubahan drastis dari seorang pelanggan yang dikenal paling sulit dipuaskan.

Ia menekan interkom. "Panggil Adit ke kantorku."

Adit yang saat itu hendak pulang segera dipanggil oleh staf di depan. “Jangan pulang dulu, barusan Ibu Celina mencarimu. Langsung saja datang ke ruangannya!”

“Oke…” balas Adit.

Tak lama kemudian, pintu diketuk. "Permisi, Bu. Anda memanggil saya?"

"Masuk, Adit. Duduklah."

Adit duduk dengan canggung, sementara wanita itu menatapnya tajam. "Aku ingin tahu," katanya, jari-jarinya mengetuk meja, "apa yang kamu lakukan hingga Nyonya Nesya keluar dari ruangan dengan ekspresi seperti itu?"

Adit menelan ludah. "Saya... hanya memijat seperti biasa, Bu."

"Seperti biasa?" Mata Celina menyipit. "Dengar, aku sudah bekerja di industri ini bertahun-tahun. Aku tahu perbedaan antara pijatan biasa dan sesuatu yang... lebih. Jadi, katakan padaku, teknik apa yang kamu gunakan?"

Adit benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dia bahkan sendiri masih bingung dengan apa yang terjadi. "Saya tidak tahu, Bu. Saya hanya mengikuti prosedur."

Celina menyandarkan punggungnya ke kursi. Sejenak ia berpikir, lalu tiba-tiba tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu. Aku ingin memastikan sendiri. Pijat aku."

Adit terkejut. "Bu... Anda ingin saya memijat Anda?"

"Ya. Anggap saja ini sebagai ujian terakhirmu sebelum aku benar-benar memutuskan apakah kamu layak dipertahankan di sini atau tidak. Kamu berani?"

Adit menatapnya, lalu mengangguk. "Baik, Bu."

Mereka berpindah ke ruangan terapi khusus yang lebih privat. Ibu Celina melepas blazer yang dikenakannya, menyisakan pakaian dalam yang cukup sopan namun tetap menggoda. Ia berbaring tengkurap di atas meja pijat, sementara Adit menyiapkan minyak terapi.

"Kamu bisa mulai," katanya santai.

Adit menuangkan minyak ke tangannya, lalu mulai memijat punggung Ibu Celina dengan lembut. Baru beberapa detik berlalu, Aditya sudah bisa merasakan perubahan dari wanita itu. Otot-ototnya yang awalnya tegang mulai melunak. Napasnya, yang tadinya teratur, kini sedikit lebih berat.

Adit berusaha tetap profesional, tetapi ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa tubuh manajernya mulai menunjukkan reaksi yang sama seperti klien sebelumnya. Wanita itu menggeliat tipis, dan hembusan napasnya semakin terdengar.

"Hmmm..." suara lirih lolos dari bibirnya, membuat Adit semakin yakin bahwa ini bukan pijatan biasa.

Sementara itu, di luar ruangan, Pak Rudi yang mendengar perintah Ibu Celina sebelumnya hanya bisa mengepalkan tangan dengan penuh kekesalan. "Apa-apaan ini?! Kenapa malah jadi begini?!"

Setelah hampir satu jam berlalu, pijatan itu selesai. Ibu Celina masih terdiam di tempatnya, matanya terpejam seolah sedang menikmati efek yang baru saja ia rasakan.

Adit mundur selangkah. "Selesai, Bu. Apa Anda merasa lebih baik?"

Perlahan, Celina membuka matanya. Ia menatap Aditya dengan pandangan yang berbeda; bukan lagi hanya sekadar seorang manajer yang menilai karyawannya, tapi ada sesuatu yang lebih dari itu.

"Adit..." katanya dengan suara lebih lembut dari biasanya. "Aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi... kamu spesial."

Adit hanya diam, menunggu kelanjutan dari kata-katanya.

Celina menarik napas dalam, lalu bangkit dari meja. Ia mengenakan kembali blazernya dan merapikan rambutnya. "Kamu lulus ujian ini. Dan mulai sekarang... aku ingin kamu tetap bekerja di sini. Tidak usah lagi ikut training mingguan. Aku akan menghubungi HRD dan merubah statusmu di sini! Kamu sudah setara terapis senior. Gajimu harus disesuaikan"

Adit mengangguk. "Terima kasih, Bu. Saya akan bekerja sebaik mungkin."

Saat ia keluar dari ruangan itu, Ibu Celina masih berdiri di tempatnya, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia meraba tengkuknya yang masih terasa hangat.

"Apa sebenarnya yang dimiliki anak itu...?" gumamnya lirih, senyum tipis terukir di bibirnya.

Di luar, Pak Rudi mendekati Adit dengan wajah muram. "Kamu pikir kamu bisa bertahan di sini selamanya?" bisiknya geram.

Adit hanya tersenyum. "Saya hanya melakukan pekerjaan saya, Pak."

Pak Rudi menggertakkan giginya. Ia tahu, rencananya telah gagal lagi. Tapi ini belum berakhir.

Sementara itu, di dalam kantornya, Ibu Celina masih belum bisa melupakan apa yang baru saja terjadi. Kini, ada satu pertanyaan besar di pikirannya:

Siapa sebenarnya Aditya Wijaya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tukang Pijat Tampan   Pertarungan Kedua Di Malam Itu

    Suasana masih riuh. Beberapa pertarungan telah terjadi dan kini Adit pun sedang menonton sebuah pertarungan yang seru. Sesekali Adit menatap Seina. Dan beberapa kali pula tatapan mereka bertemu sekian detik saja.Seina sungguh penasaran dengan Adit. Dua kali ia telah melihat Adit menang melawan lawan yang berat. Kemenangannya seolah kebetulan. Namun ia berpikir, hal itu bukanlah sebuah kebetulan.Pertarungan sedang Adit lihat akhirnya selesai juga. Lawan yang kalah tampak berdarah-darah. Penonton yang menang taruhan bersorak senang, tak peduli dengan cidera parah yang dialami oleh petarung yang kalah itu.Sejujurnya Adit merasa miris. Tapi ia paham, para petarung yang berlaga di arena itu memang sudah siap mati; siap menanggung segala resikonya. Ia pun demikian. Ia tahu, pertarungan seperti itu kadang kala tidaklah sederhana.Di pertarungan yang ia saksikan, setidaknya ada dua petarung, yang ia rasa, tak sepenuhnya mengandalkan kekuatan fisik. Dukun sakti jelas pula berperan dalam tar

  • Tukang Pijat Tampan   Lawan Besar

    Kesepakatan telah terjadi. Lawan Adit adalah seorang bule, bertubuh tinggi besar, ototnya kekar, wajahnya sangar dan buas. Dia naik ke atas panggung terlebih dahulu. Bos petarung itu tersenyum senang, merasa telah berhasil memancing Darmawan untuk bertaruh besar dan sedari tadi dia memang menyembunyikan petarungnya itu, lalu yang terlihat bersamanya adalah petarung lain yang tubuhnya tak sesangar itu.Pak Darmawan tersenyum kecut melihat lawan Adit. Joko pun berkeringat dingin membayangkan bosnya pasti kalah 30 milyar malam ini."Pak, saya saja kah yang menggantikan Adit?" tanya Joko. Sedari awal ia memang tak yakin Adit bisa bertarung dengan baik.Darmawan melirik Adit, "kamu bisa mengalahkan dia?""Bisa, Pak. Jangan khawatir. Masih lebih sulit lawan cewek waktu itu!" kata Adit."Hah? Serius?" kata Darmawan mengerutkan keningnya."Mari kita lihat saja. Saya tidak akan turun panggung sebelum pingsan atau mati!" kata Adit sangat yakin. Darmawan terkesan dengan keberanian pemuda itu. Na

  • Tukang Pijat Tampan   Bertemu Lagi Dengan Seina Melinda

    Jam empat sore, mobil Pak Darmawan datang. Kali ini dia bersama sopir dan pengawal yang lain. Wajahnya sangar, tinggi dan gagah. Aku belum pernah melihat dia di rumahnya.Pak Darmawan tersenyum saat berjalan ke teras, ia memanggil lelaki itu dan memperkenalkannya kepadaku. “Joko! Salam kenal!” ucapnya. Jabat tangannya pun juga terasa mantap.“Adit, bang…” balasku sopan.“Hehehe. Joko dulu pengawalku yang menemaniku kemana pun aku pergi. Dia sudah lama absen karena dipenjara. Pagi tadi dia dia bebas dan langsung tugas lagi!” kata Pak Darmawan. Aku pun mengangguk dan tersenyum canggung.“Kamu sudah siap untuk nanti?”“Sudah siap, Pak!” jawab Adit.“Bagus. Mau ganti baju dulu lalu berangkat?”“Siap pak!” jawab Adit. Ia segera bergegas masuk ke dalam rumahnya setelah mempersilakan Pak Darmawan masuk. Adit ke kamarnya, lalu berganti pakaian. Tak lama kemudian ia pun ke ruang depan.“Kamu suka motornya?”“E, suka Pak. Terimakasih banyak…” kata Adit.“Jika mau minta apa, bilang saja!” kata P

  • Tukang Pijat Tampan   Akan Bertarung Lagi

    Adit kembali ke dapur setelah berpakaian lengkap, berniat untuk pamit pulang. Namun Dea menghentikannya. Ia sudah memesan sarapan melalui aplikasi, dan sebentar lagi akan datang. Adit tidak bisa menolak. Ia pun duduk di meja makan dapur apartemen itu.Perasaan canggung, khawatir, dan juga gugup bercampur aduk di dalam dirinya. Ia menatap Dea, yang kini juga sudah berpakaian lengkap. Ia terlihat cantik dan anggun, seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka semalam. Adit merasa hatinya berdebar kencang. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap."Kamu mau minum kopi atau teh?" tanya Dea, memecah keheningan."Kopi saja, Kak," jawab Adit, suaranya pelan.Dea mengangguk, lalu membuat dua cangkir kopi. Ia meletakkan satu di depan Adit, lalu duduk di hadapannya. "Kamu kelihatan tegang, Dit. Santai saja.""Eh, iya kak…” Adit merasa salah tingkah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kak Dea tidak lekas ke kantor?”Dea tersenyum. "Sudah kubilang, perusahaan itu milikku. Aku bisa datang k

  • Tukang Pijat Tampan   Terlambat Bangun

    Adit dan Dea terlelap dengan sangat lelap di atas kasur queen size yang seprai putihnya kini sedikit kusut dan berantakan. Tidak ada alarm yang menyala, tidak ada gangguan dari dunia luar.AC kamar berdengung pelan dengan suhu 22 derajat, menciptakan udara sejuk yang membuat tidur mereka semakin nyenyak. Mereka tidur pulas, tubuh saling bersinggungan dengan alami, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka berdua dalam kepompong keintiman yang hangat.Pukul 9 pagi, sinar matahari yang sudah mulai terik berhasil menyusup melalui celah-celah gorden berwarna krem, menciptakan garis-garis cahaya emas yang menari-nari di lantai kamar. Adit terbangun lebih dulu, kelopak matanya berkedip perlahan melawan silau, kemudian mengerjapkan mata beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya. Ia menyadari kehangatan yang melingkupinya; bukan hanya dari selimut tipis yang menutupi sebagian tubuh mereka, tetapi juga dari tubuh Dea yang masih tidur dengan damai.Dea masih memeluknya erat, lengan kiri

  • Tukang Pijat Tampan   Tawaran Yanh Sulit Ditolak

    Dea merasa gugup. Di sampingnya, Adit berbaring telentang, kaku dan diam. Ia tidak mengantuk sama sekali. Pikiran dan hatinya terus bergejolak. Ia menginginkan sesuatu, dan ia tahu, Adit adalah satu-satunya orang yang bisa memberikannya. Tapi, sepertinya Adit memang bukan lelaki nakal. Terbukti, setelah lima belas menit berlalu, pemuda itu hanya anteng di tempatnya. Jika ia tidak memulai, maka tidak akan terjadi apa-apa.Dea tahu, Adit pasti belum tidur. Atau belum benar-benar tertidur. Dan ia sadar, jika bukan sekarang, mungkin ia tak akan punya kesempatan sempurna seperti ini.Maka, Dea mulai menggeser tubuhnya merapat ke Adit. Gerakan pelan itu membuat kain selimut bergeser. Adit pun merasakan pergerakan itu. Jantungnya berdetak kencang dan ia hanya membeku berbaring rapi seperti lipatan baju di dalam lemari. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Kulit mereka bersentuhan. Kehangatan yang menjalar dari tubuh Adit membuat Dea merasa nyaman. Namun ada sensasi l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status