MasukAdit kembali memijit. Ia merasa lebih tenang saat ini karena ternyata kliennya suka dengan pelayanannya.
Namun demikian, Adit bertanya-tanya; kenapa wanita itu meliuk-liuk seperti cacing dan juga mengeluarkan suara aneh?
Adit memang polos. Di usianya yang ke 22 tahun itu, dia belum pernah sekali pun nonton film dewasa.
Bukannya ia tak mengerti apa itu terangsang dan apa itu hubungan badan. Tapi sesungguhnya baru kali ini ia melihat secara langsung ada wanita yang sedang merasa seperti itu yang menurutnya sangat ambigu; apakah dia sakit atau apa? Sebab ia sungguh murni hanya memijit.
Adit juga sangat sopan dalam memijit. Ia tak aneh-aneh. Bahkan tak berani benar-benar melihat wanita itu. Ia memijit bagian yang semestinya sopan untuk dipijit.
Hingga kemudian, dua jam berlalu begitu saja. Dua jam adalah waktu standard klinik untuk melayani konsumen dengan pijitan.
“Huff... amazing... aku, sampai dibuat basah sama kamu. Siapa tadi namamu?” tanya wanita itu dengan nafas terengah.
“E—Adit, Nona...” jawab Adit. Ia pun juga tak begitu paham apa maksud wanita itu ketika dia mengatakan amazing; menjadi basah? Berkeringatkah maksudnya?
“Adit, sebentar. Jangan pergi dulu...”
“Ada yang bisa saya bantu lagi, nona?” tanya Adit.
“Nggak. Aku sudah puas. Tapi ada tips untukmu dan kalau aku ke sini lagi, aku mau kamu yang melayaniku ya!” kata wanita itu.
“Dengan senang hati, nona. Syukurlah jika Nona puas,” kata Adit.
Wanita itu mengambil uang 300 ribu dari dalam tasnya, lalu memberikan uang itu kepada Adit.
“Ini tips untukmu. Thanks ya. Sekarang kamu boleh pergi. Aku mau mandi dulu lalu check out!” kata wanita itu.
“Wah, banyak sekali... ini buat saya?”
“Wah, kamu ini beneran anak baru ya?”
“E—iya, nona...”
“Iya. Itu tips untuk kamu!”
“Terimakasih banyak, nona. Terimakasih. Semoga rejekinya lancar terus!” kata Adit. Lalu ia pamit pergi.
Rasanya masih deg-degan. Ia keluar dari kamar itu dan pergi menuju ke ruang istirahatnya para karyawan cowok. Di sana sepi. Yang lain sudah pasti sedang ada klien.
Adit masih terbayang-bayang dengan pekerjaan yang baru saja ia selesaikan itu. Namun kemudian, ia menyadari sesuatu; ia tak bereaksi sama sekali. Tak ada yang sesak dan mengganjal di celananya. Padahal, kadang-kadang benda tumpul itu mengembang juga jika ia melihat ada wanita yang berpenampilan seksi dan ketat.
Dan sebelumnya, ketika ia memijit wanita yang tampak menarik, sesuatu di dalam celananya pun pasti terbangun.
Namun kemudian, ia merasa baik-baik saja. Wajar jika miliknya tak bereaksi, sebab ia pun juga gugup saat memijit kliennya itu, sebab ia berada dalam posisi gawat. Rentan dipecat.
Lima belas menit istirahat untuk meredakan tangannya yang pegal, Bu Celina sang manager datang ke ruangan itu untuk mencarinya.
“Adit!”
“E—iya, ibu Celina...” Adit tersentak kaget.
“Good job! Customer puas. Tadi kamu kasih service apa aja? Berkali-kali dia memujimu!” kata Celina.
Adit lega sekaligus bingung, “Saya hanya pijit biasa seperti sebelumnya, Ibu...”
“Oh ya? Nggak ada service lain gitu?” Ibu Celina menyelidik curiga.
“Servis lain? Maksudnya Ibu?” tanya Adit bingung.
Celina menghela nafas, “Ya sudah. Kamu break aja dulu. Nggak ada jadwal klien lagi sampai nanti lewat makan siang. Jadi kamu lanjut training aja nanti!” kata Ibu Celina.
Tempat itu sebenarnya menawarkan satu layanan terselubung. Namun tidak semua karyawan tahu. Itu pun juga merupakan sesuatu yang dirahasiakan. Hanya pekerja senior yang tahu. Bagi Celina yang menjadi manager sekaligus yang mengatur pula permainan rahasia itu, Adit belum saatnya tahu.
Namun, kecurigaannya pada kemampuan Adit ia harap tepat. Sebab, ia bisa memanfatkan pria itu untuk memaksimalkan layanan terselubung yang paling menguntungkan panti pijatnya itu!
***
Tak ada jatah makan siang dari tempat kerja. Mereka harus mencari makan sendiri di luar atau di kantin untuk karyawan jika malas keluar.
Adit memilih untuk keluar mencari makan yang lebih murah. Meski tadi ia mendapatkan tips yang buatnya banyak, namun ia harus tetap hemat. Nasibnya belum jelas. Ia masih terancam dipecat.
Sampai di lobi, ia bertemu lagi dengan Pak Rudi. Orang itu menatapnya dengan tatapan penuh permusuhan.
Adit pura-pura tidak tahu. Ia kesal sebetulnya, namun tak mau mencari masalah. Bagaimana pun, Pak Rudi adalah supervisor; atasannya. Dia yang memiliki peran mengatur klien akan dilayani siapa. Kecuali klien meminta sendiri siapa yang harus melayaninya.
Banyak terapis, entah perempuan, entah lelaki, yang menghormatinya. Lebih ke arah takut sebetulnya, sebab Pak Rudi ini menentukan nasib mereka. Sekalinya Pak Rudi tidak suka dengan seseorang, dia akan memberikan kesialan bertubi-tubi.
“Hah kamu! Sini!”
“Bapak memanggil saya?” tanya Adit masih sopan.
“Ya!”
Adit mendekat. “Mau kemana kamu?”
“Ini istirahat siang Pak. Saya mau cari makan di luar...”
“Bersihkan gudang! Sekarang! Setelah itu kamu boleh makan siang!”
“Tapi ini jam istirahat, pak...” kata Adit.
“Aku bilang istirahatnya nanti ya nanti!” bentak Pak Rudi. Lalu ia mendekat dan berkata pelan penuh tekanan, “Kamu hanya beruntung hari ini. Lihat saja, kamu bikin masalah lagi denganku, maka kamu akan kehilangan pekerjaan!”
“Baik, Pak...” Adit sungguh kesal. Namun apa boleh buat. Ia menurut saja. Padahal membersihkan gudang jelas bukan bagiannya. Ia paham, Pak Rudi hanya sedang mencari pelampiasan.
Adit membersihkan gudang. Setelah selesai, waktu istirahat hanya tinggal 10 menit. Terpaksa ia ke kantin saja dan membeli roti sekadar untuk mengganjal perut.
Dari kantin itu, Adit agak tergesa menuju ke ruangan pelatihan. Ia tak tahu akan mendapatkan materi apa nantinya. Sebagai orang baru, seminggu sekali ia masih harus mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan performa kerja. Dan hari itu adalah jadwalnya.
Sampai di kelokan koridor, tanpa sengaja, Adit menabrak seseorang sampai jatuh. Ayunda nama orang yang ditabrak Adit. Dia seorang terapis senior. Masih muda. Cantik pula. Tapi dia galak, sombong dan tak mau tersaingi.
“Aduh... sialan! Jalan pakai mata dong!” Ayunda marah.
“Eh, maaf. Aku nggak sengaja. Buru-buru!” kata Adit. Ia cukup terpesona juga dengan kecantikan Ayunda. Siapapun akan terpesona oleh kecantikannya. Dan selama bekerja, Adit hanya berkesempatan sesekali melihat Ayunda dari jauh.
“Brengsek. Aduh sakit! Awas saja kau ini ya!” ketus Ayunda.
Adit mencoba membantu wanita itu. Namun tangannya ditepis dengan kasar. Ayunda ingin bangun sendiri. Namun ia agak terhuyung. Adit segera memasang badan untuk memegangi wanita itu agar dia tak terjatuh.
Telapak tangan Adit bersentuhan dengan kulit Ayunda. Seketika terjadi sebuah reaksi tak wajar di mana saat itu juga Ayunda merasakan sesuatu yang aneh.
Vera masih berada dalam situasi antara percaya dan tidak percaya. Ia duduk di tepi ranjang rumah sakit, kaki-kakinya menjuntai ke bawah, tangan-tangannya meraba-raba dadanya sendiri dengan gerakan hati-hati; mencari rasa sakit yang seharusnya ada, tapi tidak lagi ia temukan.Matanya menatap Adit yang kini sedang duduk di sofa, memangku kaki Larasati yang berbaring dengan posisi setengah meringkuk. Tangan Adit bergerak lembut, memijit pergelangan kaki gadis itu dengan gerakan memutar yang teratur, sambil mengalirkan tenaga dalamnya.Pemandangan itu terasa intim. Vera merasa seperti pengganggu di ruangannya sendiri.Ia menarik napas panjang, dalam, sangat dalam, sesuatu yang tidak bisa ia lakukan dengan nyaman sejak kemarin malam. Tapi sekarang, paru-parunya mengembang penuh tanpa rasa sakit. Tidak ada tusukan tajam di dada. Tidak ada sensasi tulang yang bergeser saat ia bernapas. Semuanya normal. Sempurna, bahkan."Dit... ini, aku kan udah sehat..." Vera berbicara, suaranya ragu-ragu,
Adit yang melihat ini langsung mundur beberapa langkah, memberi ruang. Matanya berbinar; ia tahu apa yang akan terjadi. Ia pernah merasakan sendiri sentuhan penyembuhan dari Larasati.Larasati memusatkan konsentrasinya. Matanya terpejam. Napasnya semakin dalam dan teratur. Di dalam tubuhnya, energi mulai bergerak; mengalir dari pusat, dari dantian, melalui meridian, menuju ke kedua telapak tangannya. Dan tak lama kemudian, di kedua tangannya terlihat pendaran cahaya.Cahaya itu berwarna biru keunguan, seperti aurora yang terperangkap dalam kepalan tangan. Cahaya itu bergerak, berputar, membentuk pola-pola yang rumit dan indah. Hangat namun tidak membakar. Lembut namun kuat.Vera terperangah. Matanya membulat sempurna, menatap kedua tangan Larasati yang bercahaya dengan ekspresi tidak percaya. Mulutnya terbuka sedikit, kata-kata tersendat di tenggorokan. Ia tak mengira, tidak pernah menduga, Larasati ternyata memiliki kemampuan. Dan dari intensitas cahaya itu, dari kepadatan energi yan
Adit tahu Larasati pasti menyimpan banyak pertanyaan saat itu juga. Perubahan ekspresinya sangat kentara; dari tatapan ragu saat pertama masuk, kini menjadi tatapan yang lebih tajam, menyelidik. Matanya sesekali melirik ke Vera, lalu kembali ke Adit, seolah mencoba menyusun puzzle dari kepingan-kepingan informasi yang belum lengkap.Vera sendiri juga bertanya-tanya; siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Adit? Dari cara Adit tersenyum saat menyebut namanya, dari cara gadis itu melangkah masuk dengan ekspresi posesif yang tipis namun jelas; Vera bisa menebak. Tapi ia memilih diam, menunggu penjelasan."Laras, kenalin, ini Vera yang belakangan ini sering aku repotin. Nanti aku ceritain semuanya..." kata Adit, suaranya sedikit terburu-buru. Ia melangkah ke samping, memberi ruang untuk Larasati mendekat.Sebelum Adit mengatakan hal lain, Larasati sudah bergerak maju. Langkahnya tegas, penuh percaya diri. Ia mendekat ke tempat tidur dan mengulurkan tangan, menyapa dengan senyum yang rama
Saat Adit masuk, Vera sedang duduk setengah berbaring di tempat tidur, memegang mangkuk bubur rumah sakit dengan tangan yang gemetar. Sendok stainless silver di tangannya hampir terjatuh beberapa kali. Wajahnya meringis setiap kali bergerak; rusuk yang patah membuat setiap gerakan menjadi siksaan."Bentar... aku bantu..." Adit buru-buru mendekat, mengambil alih mangkuk dan sendok dari tangan Vera. Ia menarik kursi yang ada di samping tempat tidur, duduk, lalu mulai menyuapi dengan gerakan hati-hati. "Tadi teman-temanmu sampai jam berapa?""Siang tadi mereka sudah pulang..." jawab Vera di sela suapan. Suaranya pelan, sedikit serak. "Samson sama beberapa petarung lain datang pagi. Mereka bawain buah. Itu, di meja."Adit menoleh sebentar ke meja kecil di sudut ruangan. Ada keranjang buah, apel, jeruk, anggur, terbungkus plastik bening dengan pita merah. Khas parsel orang jenguk."Terus kamu..." Adit kembali menyuapi, nada suaranya terdengar khawatir. "Dari siang sampai sekarang sendirian
Rehearsal berjalan lancar. Ruangan studio yang biasanya dipenuhi ketegangan kini terasa ringan dan bergairah. Hari itu terasa mulus dan luwes. Adit mendapatkan berkali-kali pujian dari sutradara dan pelatih akting. Pujian itu menderu, mengubah keraguan dalam dirinya menjadi energi positif. Bahkan Clara, aktris senior yang terkenal perfeksionis; dia sampai dibuat heran. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap Adit dengan mata menyipit.“Wow, Adit. Hari ini kamu beda banget! Bukan hanya acting-mu, tapi auramu juga! Semalam latihan naskah kah?” tanya Clara di akhir sesi itu, sambil menyesap air mineral dari botolnya.“Nggak sempat, Kak. Managerku malah sakit. Semalam nemenin dia di rumah sakit…” jawab Adit, sambil membereskan tasnya. Dia sedikit menunduk, menghindari tatapan intens Clara.“Manager kamu yang mana sih?” tanya Clara memasang wajah heran. Dalam hati ia sempat berpikir, lebih baik Adit dikelola managernya; yang jelas lebih profesional dan berpengalaman. Bisa mengantarkan A
Meridian, jalur energi vital dalam tubuh yang menjadi dasar praktik tenaga dalam, biasanya mengalir seperti sungai dalam tubuh manusia. Pada petarung yang terlatih seperti Vera, aliran itu kuat dan teratur, seperti sungai yang deras namun terkendali.Ini karena pukulan Maria, pikir Adit, rahangnya mengeras. Dia tidak hanya memukul dengan tenaga fisik. Dia memasukkan chi gelap ke dalam tubuh Vera, merusak jalur energi dari dalam.Adit tahu apa artinya ini. Dengan meridian yang rusak seperti ini, Vera tidak akan bisa menggunakan tenaga dalam dengan maksimal lagi. Mungkin masih bisa sedikit, tapi tidak seperti dulu. Untuk petarung seperti Vera yang mengandalkan kombinasi keterampilan fisik dan tenaga dalam, ini adalah pukulan berat. Hampir seperti atlet kehilangan setengah kemampuannya.Adit menghela napas panjang, perasaan bersalah dan marah bercampur dalam dadanya. Marah pada Maria. Marah pada dirinya sendiri meski ia tak bersalah.Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang selain ter







