LOGINLima hari lamanya Adit praktis terkurung di apartemennya. Ia tidak bisa keluar tanpa dikerubuti, tidak bisa ke gym tanpa jadi tontonan, tidak bisa sekadar beli makan tanpa dimintai foto puluhan kali. Bahkan ketika ia pesan makanan lewat aplikasi, beberapa driver yang mengantar langsung mengenalinya dan minta foto, membuat Adit harus memberi tip lebih besar supaya mereka tidak menyebarkan alamatnya.Tapi dalam lima hari penyekapan diri itu, Vera ditemani Laras bekerja dengan efisiensi luar biasa. Ia mengunjungi puluhan properti, bernegosiasi dengan agen, mengecek dokumen legal, dan akhirnya menemukan satu rumah yang sempurna: rumah tingkat dua di kawasan yang nyaman, lingkungan yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk pusat kota tapi masih dalam jarak tempuh yang reasonable untuk urusan pekerjaan.Harga: dua koma tujuh miliar, sudah termasuk full furnished dengan furniture lama yang masih layak pakai. Vera langsung closing deal, membayar lunas dengan transfer bank dari rekening Adit. Dan
Hari itu Adit mulai merasakan efek tidak nyaman dari menjadi terkenal; efek yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, yang tidak tertulis di kontrak, yang tidak bisa diantisipasi meski sudah diperingatkan.Pagi itu, seperti biasa, ia keluar dari unit apartemennya dengan pakaian olahraga, kaus tanpa lengan hitam, celana training, dan sepatu lari, berniat menuju ruang gym untuk sesi latihan pagi yang sudah menjadi rutinitas hariannya.Tapi begitu pintu lift terbuka di lantai lima dan ia melangkah keluar menuju koridor gym, ia langsung menyadari ada yang salah.Ada kerumunan.Sekitar sepuluh wanita, usia bervariasi dari remaja hingga awal tiga puluhan, berdiri di dekat pintu masuk gym. Mereka berbisik-bisik sambil sesekali menoleh ke arah lift, seolah sedang menunggu sesuatu. Dan ketika mereka melihat Adit keluar, mata mereka langsung berbinar."ADIT!" teriak salah satu dari mereka; gadis muda dengan rambut dikuncir tinggi dan ponsel sudah terangkat siap memotret.Dan seperti bendungan
Mobil mereka melaju cepat melewati jalanan. Larasati agak tegang menyetir, terkesan buru-buru; khawatir mereka mengikuti meski sepertinya tidak mungkin.Baru setelah mereka melewati tiga lampu merah (yang kebetulan mereka dapat hijau) dan yakin tidak ada pengejaran, ketiganya menghela napas panjang hampir bersamaan; napas lega yang ditahan sejak tadi."Syukurlah kamu menang. Busyet, wanita itu ngeri!" kata Larasati dengan suara yang masih sedikit gemetar, adrenalin belum sepenuhnya reda."Memang sangat mengerikan…" sahut Adit sambil meregangkan bahu yang pegal setelah pertarungan. "Vera aja hampir dia bunuh waktu itu. Kalau bukan karena Laras yang punya kemampuan penyembuhan, Vera mungkin udah…"Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak perlu. Mereka semua tahu apa yang hampir terjadi."Itu orang gila," gumam Vera dengan nada getir. "Lihat aja tadi, dia nafsu banget berkelahi. Nggak peduli tempat, nggak peduli siapa yang nonton. Dia kayak… kayak bertarung adalah satu-satunya hal yang dia
Malam itu seharusnya menjadi perayaan yang santai. Tapi datangnya lima orang itu, dengan Maeia di antaranya, seolah membuat darah Adit dan Vera seketika membeku.Wanita itu tidak berubah banyak sejak pertarungan di arena beberapa minggu lalu. Rambut merahnya yang menyala masih dipotong pendek dengan gaya undercut yang maskulin, tubuhnya yang berotot terlihat jelas di balik tanktop hitam ketat dan jaket kulit, dan wajahnya, wajah yang cantik tapi dihiasi bekas luka dan tatapan dingin, menampilkan ekspresi yang sulit dibaca.Maria, dialah petarung perempuan ganas dari Manila yang hampir membunuh Vera di arena waktu itu. Wanita yang pukulannya seperti palu besi, yang tidak punya belas kasihan, yang bertarung bukan untuk menang tapi untuk menghancurkan.Ia datang bersama beberapa orang lokal; wajah-wajah yang tidak asing di dunia bawah tanah, di arena pertarungan terselubung itu.Sudah tentu mereka satu komplotan; mungkin kartel pertarungan atau organisasi kriminal yang lebih besar. Dan m
Waktu terus berjalan dengan ritme yang cepat. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan proses syuting pun mengalir dengan luar biasa lancar; jauh lebih lancar dari yang pernah dibayangkan oleh siapapun di tim produksi. Adegan-adegan laga yang biasanya menjadi momok menakutkan dalam setiap produksi film action, yang banyak makan waktu lama, banyak kesalahan, risiko cedera tinggi, serta sulit diprediksi kapan selesainya, kini bisa dilakukan dengan sangat mudah dan hasilnya selalu mengagumkan.Metode yang Adit perkenalkan, membiarkan lawan main menyerang dengan bebas dan sungguhan sementara ia menyesuaikan, terbukti revolusioner. Tidak ada lagi pengulangan berkali-kali karena koreografi yang kaku atau gerakan yang tidak sinkron. Semuanya terasa hidup, natural, dan penuh energi.Dalam dua puluh lima hari, seluruh rangkaian proses syuting telah selesai. Lebih cepat dari jadwal yang sudah diperhitungkan ketat oleh Krisna; mereka menghemat hampir seminggu dari timeline awal. Semangat
Sepuluh menit kemudian, sebuah space kosong di dalam gudang dibersihkan dan matras tipis sudah digelar untuk safety meski Adit dan Vera tidak benar-benar membutuhkannya.Para kru berkumpul dengan penasaran, kameramen, lighting team, beberapa aktor termasuk Dedi dan Dina yang akan main di scene action itu, bahkan Clara yang baru saja selesai touch-up makeup ikut menonton.Rendra berdiri di depan dengan Krisna di sampingnya, tangan terlipat di dada. "Okay guys, perhatian. Adit dan Vera akan kasih demo sparring untuk reference scene fight. Perhatikan semua pergerakan dan sebagainya ya!”Adit dan Vera berdiri berhadapan di tengah matras. Mereka tidak pakai kostum khusus; hanya baju yang tadi mereka pakai. Tidak ada baju pelindung. Latihan itu akan jadi pertarungan nyata, hanya dengan kontrol penuh untuk tidak saling melukai."siap?" tanya Adit sambil mengambil posisi kuda-kuda."Oke…" jawab Vera dengan senyum antusias, mengambil stance menyerang, lebih agresif, tubuh condong sedikit ke de







