MasukHari demi hari berlalu. Beberapa persidangan telah dilakukan, didominasi oleh perdebatan sengit tentang Eksepsi dan putusan sela yang menolak argumen tim hukum Sandi; sebuah kemenangan kecil bagi faksi Pak Robert. Kini, tibalah saat yang paling ditunggu: agenda pemeriksaan saksi.Pagi itu, Adit memasuki ruang sidang dengan langkah yang lebih tegak dari biasanya, meskipun ia tahu ia berjalan menuju sarang singa. Ia adalah saksi tunggal, satu-satunya orang yang berani bersaksi melawan anak Jenderal. Ruangan sidang penuh sesak; ketegangan terasa begitu padat.Adit duduk di kursi saksi. Di depannya, Majelis Hakim tampak serius, di sampingnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menatapnya dengan campuran harapan dan kekhawatiran. Di seberangnya, Sandi menyeringai, sementara tim kuasa hukumnya siap menerkam.Setelah sumpah diucapkan, Hakim Ketua mempersilakan JPU untuk memulai pemeriksaan.“Saudara saksi Adit,” JPU memulai, suaranya lantang. “Silakan ceritakan kronologi kejadian malam itu, mulai dar
Sidang pertama kasus Sandi akhirnya digelar. Kasus itu mendapatkan sorotan dari banyak media. Tentu saja; berita seperti itu adalah berita yang laris. Masyarakat sangat menyukai kabar pejabat bajingan, atau keluarganya, yang kasusnya terseret ke meja hijau.Adit ikut menghadiri persidangan itu meski hari itu bukan waktunya ia dihadirkan sebagai saksi.Ia ingin melihat seperti apa tampang Sandi saat ini, dan ia juga ingin melihat secara langsung sosok Pak Guntur. Sayangnya, jendral itu tidak muncul di persidangan. Yang ada hanya ibunya Sandi, kakak-kakaknya, dan tim kuasa hukum.Majelis Hakim masuk. Tiga sosok berseragam hitam itu duduk di kursi tinggi mereka, wajah mereka menunjukkan kelelahan yang sama yang terukir di wajah semua penegak hukum yang menangani kasus berisiko tinggi. Hakim Ketua mengetuk palu. Bunyi palu yang nyaring itu terasa seperti tembakan awal dalam duel yang sebenarnya.“Sidang perkara pidana nomor 113/Pid.B/2025/PN.Jkt.Pst atas nama Terdakwa Sandi, dinyatakan di
Adit sungguh ragu. Bukan hanya karena waktu yang tidak tepat, tapi karena rasa bersalah yang sudah lama menggerogoti. Ia hendak menolak, tapi Dea menarik tangannya dengan kekuatan yang tidak terduga, namun terasa akrab.“Kak…” Suara Adit tertahan, nyaris seperti erangan.“Udah tenang saja… ayo ikut aku…” kata Dea, senyumnya terlihat licik dan menggoda. “Nggak lama kok. Lima menit saja. Setelah itu, bentar lagi aku juga harus siap-siap. Ada meeting dengan beberapa bawahanku…” Ia menekankan kata 'bawahanku', seolah ingin mengingatkan Adit akan status dan kekuasaannya.Adit pasrah. Tarikannya lemah, penolakannya hanya di bibir. Jauh di lubuk hati, ia tahu ia menginginkannya. Ia berjalan mengikuti tarikan tangan Dea yang membawanya naik ke lantai dua. Langkah-langkah mereka di tangga berkarpet terasa sunyi, seolah menyembunyikan rahasia besar.Dan rupanya ia malah tak membawa Adit ke kamarnya, namun ke kamar Adit sendiri. Kamar itu terasa seperti zona aman yang berbahaya. Mereka masuk. Pi
Adit tahu waktu yang tepat untuk berangkat ke markas keluarga Robert. Saat subuh. Saat yang sama bagi para pencuri untuk beraksi.Ia sudah pamit sebelumnya kepada Vera jika ia akan berangkat subuh. Maka saat itu, Adit tak perlu membangunkan vera. Ia membawa barang-barangnya, lalu turun ke basement, menyalakan motor, meninggalkan apartemen mewah itu.Adit melajukan motornya dengan kecepatan tinggi di jalanan yang masih sepi itu. Hingga kemudian, sampailah ia di markas Pak Robert.Orang-orang keamanan yang jaga malam di sana sudah tahu Adit. Jadi mereka segera mempersilakan Adit masuk.Karena Pak Robert dan keluarganya, serta semua orang kecuali tim jaga malam masih tidur, Adit tak tahu ia harus kemana. Itu sebabnya ia hanya berada di ruang depan saja, rebahan di sofa panjang sambil memainkan ponselnya. Ia tak mengantuk sama sekali. Dan karena sebentar lagi pagi, ia memilih untuk tidak mencoba tidur.Jam lima pagi, para pelayan sudah bangun. Seorang pelayan melihat Adit. Ia sudah dipesa
Sampailah Adit di apartemen Vera setelah seharian menghabiskan waktu di markas Pak Robert membahas banyak hal. Ia akan mengikuti saran Pak Robert; pindah ke markas itu untuk sementara waktu.Vera sudah datang sejak tadi sore. Dan ia segera membukakan pintu untuk Adit.“Gimana? Kamu aman?”“Aman. Ada sesuatu tadi…” kata Adit.“Apaan? Masuk dulu geh…” kata Vera.Mereka pun ke sofa ruang tamu. Adit menceritakan seluruh rentetan kejadian yang ia alami tadi.“Jadi begitu, Ver. Kayaknya, akan lebih baik kalau aku di sana. Untuk sementara. Jadi lebih gampang juga koordinasinya. Soalnya, masalah ini sudah melebar…” kata Adit.“Dih kamu ini… demi apa, Dit!”“Demi kata hati aja…” balas Adit.“Terus soal apartemenmu nanti gimana? Kamu udah DP kan…”“Ya tetap jadi. Tapi kan nggak harus aku tempati untuk sementara waktu. Lagian aku nggak ada tempat tinggal. Jadi nanti deh, aku bayar lunas dulu kalau developernya menghubungi…” kata Adit.“Aku bisa bantu apa ini?” tanya Vera.“Nggak ada sih… ini aku
Beberapa orang mulai bertanya. "Bang, apa yang terjadi?" "Perlu bantuan, Bang?" "Udah nelpon polisi?""Sudah," jawab Adit singkat. "Mereka perampok. Saya cuma bela diri. Kalian menjauh aja, bahaya."Orang-orang mundur, tapi tetap penasaran, tetap merekam dengan ponsel mereka.Delapan menit kemudian, lebih cepat dari perkiraan, sebuah Toyota Avanza hitam dengan kaca film gelap melaju masuk ke parkiran minimarket. Turun empat orang berbadan besar dengan pakaian rapi, kemeja dan celana panjang, tapi aura yang sama tegasnya dengan bodyguard di rumah sakit tadi. Mereka kiriman Pak Robert."Adit?" salah satunya bertanya, meski sudah jelas dari konteks."Iya. Ini orangnya. Empat. Bawa mereka," kata Adit sambil menunjuk empat pria yang kini sudah mulai sadar semua, meringkuk kesakitan, dua di antaranya dengan tangan atau kaki patah.Keempat bodyguard itu bergerak cepat dan efisien. Mereka mengangkat, atau lebih tepatnya menyeret empat penyerang itu ke dalam mobil. Dua di baris tengah, dua di b







