Kata orang, kalau lagi patah hati itu hampa dan kosong. Semua aktivitas menjadi sangat tak menyenangkan alias malas dan mager.
Mungkin itulah yang terjadi padaku. Setelah memutuskan untuk pergi dari Bandung dan menjadi orang asing di Bogor, kerjaanku hanya diam, bengong sambil melihat hape yang layarnya menunjukan foto Mas Alfa.Menangis.Ya Allah! Ternyata sesulit ini mengenyahkan rasa bersalah yang membelit diri?Rasanya aku hidup layaknya zombi walau ini keputusanku sendiri.Setiap malam aku selalu bertanya.Apakah Mas Alfa baik-baik saja?Apakah Mas Alfa sudah makan?Apakah Mas Alfa membenciku?Apakah dia menandatangani surat cerainya?Ah, aku frustasi!Terus saja ratusan pertanyaan itu berulang tanpa jawaban. Terlebih ponsel dan nomorku telah berganti dan semua kontak aku hapus. Hanya menyisakan foto pernikahanku dan foto Mas Alfa yang kuambil diam-diam.Beginilah aku, terhukum oleh perApa yang lebih menegangkan dari pertemuan dadakan antara mantan kekasihmu dan 'CALON' mantan suamimu di saat kamu sedang melarikan diri?Pasti siapa pun yang mengalaminya akan merasakan frustasi dan berharap menghilang sejenak dari muka bumi.Begitulah yang aku rasakan kemarin, ketika tanpa kuduga Mas Alfa dan Yoga bertemu dan menjadikanku wasit pendamai di antara mereka yang berujung pada kepergian Yoga.Sesungguhnya, gara-gara kemarin aku merasa tak enak pada semua orang. Terlebih statusku dan Mas Alfa masih belum jelas karena aku pun gengsi menanyakan perihal surat cerai itu lebih dulu.Stres? Ya, aku sangat stres sampai-sampai aku lupa cara bernapas dan semalaman aku hanya bisa terjaga di depan lilin karena mati lampu.Sungguh, otakku yang lambat ini masih belum memahami bagaimana seorang Alfa bisa sampai ke sini? Sebanyak apa pun aku berpikir jawabannya tetap saja nol, karena si Mbok bilang dia tidak memberitahunya begitu pun Mbak Ya
Kau menjebaknya!Dasar bodoh!Dia bisa saja kesal denganmu!Agh, peduli setan! Toh sejak awal dia ingin melepaskanku dan merasa tak bahagia!Aku tersenyum miring ketika melihat Zela sudah berdiri di depan pintu rumahku. Sesuai janjinya untuk membayar hutang, gadis itu sepagi ini sudah siap untuk bekerja sebagai asisten. Dengan mengenakan celana kulot warna hitam dan kaos lengan panjang, wanitaku itu terlihat sangat manis, polos dan menggemaskan. Senang? Tentu saja. Bukankah tidak ada yang lebih membahagiakan ketika melihat seorang wanita yang selama ini kurindukan telah ada di hadapan. Bahkan luka-luka yang telah ia sebabkan serasa sirna hanya dengan melihat wajahnya.Namun, jangan harap aku akan berbaik hati menunjukan perhatianku seperti dulu karena aku tak mau Zela menganggapku mengemis kasihnya. Terlebih, aku tak ingin dia curiga bahwa keberadaanku di kampung ini untuk memastikan hal yang mungkin sangat penting bagi keberlangsu
Mengakui Mas Alfa sebagai suami? Tentu siapa pun pasti mau. Begitu pun aku, bahkan jika boleh akan aku umumkan kepada semua penduduk bumi juga penghuni dunia lain.Kalau Mas Alfa milikku! Dia milikku!Namun, lagi-lagi perjanjian bodohku dengan Bu Imel membenturkanku pada kenyataan pahitSekali pun hatiku berteriak mau, tetap saja itu tidak bisa meruntuhkan komitmen yang telah kubangun.Kenapa? Karena Bu Imel melarangnya. Karena aku berjanji tidak akan menjadi penghalang bagi Mas Alfa untuk mendapatkan istri yang lebih baik dariku dan karena aku berjanji akan menjaga kehormatan terakhir keluargaku di mata keluarga Prawira.Jadi, meski perih dan sangat ingin mengakui kalau Mas Alfa adalah suamiku, maaf aku belum bisa mengkhianati Bu Imel."Jadi, kamu tidak mau mengakui saya sebagai suamimu di depan semua orang?" tanya Mas Alfa menatapku dengan tatapan mengintimidasi."Enggak Pak Dok, maaf... lebih baik Zela gak ngasih tahu
Seharusnya aku tidak merencanakan sandiwara bodoh seperti tadi, tapi apa boleh dikata hanya itu yang terlintas di otak ini dan aku tak berpikir sampai sejauh itu hingga membuat Mas Alfa menahanku di rumahnya.Bodoh. Ya, aku sangat bodoh. Kenapa juga bertindak sampai berlebihan? Pakai bicara masalah 'kamar' segala.Astaghfirullah! Zela taubat!Jujur, sekarang ingin rasanya aku melarikan diri tapi mau tak mau dan suka tak suka, aku tetap harus bertanggung jawab atas ucapanku.Lelaki tampan bertitel dokter ini pasti sudah tahu kalau aku cemburu dan masih menginginkan hubungan ini. Jadi, dia takkan semudah itu melepaskanku."Eheum!"Aku berdehem sembari melirik diam-diam Mas Alfa yang sejak tadi hanya memperhatikanku tanpa bicara.Matanya yang setajam elang seolah tak mau berpindah, sehingga aku merasa ada yang salah. Padahal aku sudah menjelaskan padanya alasan aku bersandiwara tadi.Aku hanya tak ingin dia dijebak
POV AlfaAku tersenyum tipis melihat Zela menekuk wajahnya sepanjang perjalanan ini. Istri mungilku itu tak ubahnya seperti anak kecil yang sedang menjaga mainan kesukaannya agar tidak dicuri seseorang.Wajah tegang, bibir manyun dan tangan bersedekap.Perfect anehnya.Perubahan ini terjadi setelah aku menyampaikan kalau Ibu akan menjodohkan aku dengan Yoana. Entah kenapa, Zela tampak menjadi seseorang yang berbeda, sikapnya seakan lebih posesif dari biasanya.Sungguh, jika boleh jujur aku suka Zela yang seperti ini dibanding dia yang pura-pura tak perduli.Aku suka Zela yang tanpa malu menunjukan rasa cemburu dengan segala kepolosannya. Tidak seperti dulu yang kerap kali menahan diri dan menangis dengan sembunyi-sembunyi sehingga membuat otak ini terasa lelah karena disibukkan dengan menerka-nerka.Kenapa Zela? Ada apa dengannya? Terus saja begitu sampai Jalu dilepas ke alam liar.Namun, terlepas dari semua tin
Gila! Aku sepertinya kerasukan!Astaghfirullah. Bagaimana mungkin aku bisa bilang kalau sanggup berpisah lagi sama Mas Alfa sebulan? Kami kan, baru berpisah, masa harus berpisah lagi?Zela bodoh! Bodoh!Entah berapa kali hari ini aku merutuki diri. Acara makan di rumah Mas Alfa kemarin benar-benar membuatku syok setengah mati.Terlebih, dengan bodohnya aku berjanji untuk merubah pandangan Bu Imel lagi tentang aku.Mustahil.Dengan menjadikan Yoana sebagai rival, sama saja Bu Imel bilang tidak secara langsung kalau dia ingin Yoana-lah yang menang karena baginya menantu sempurna itu ya ... seperti Yoana.Cantik, pintar, dokter dan yang terpenting terlahir dari keluarga baik-baik. Itu poin plus yang tak dimiliki olehku.Keluarga baik-baik.Ah, miris.Duh ... Gusti, kalau seperti ini terus bagaimana caranya aku bisa menang? Dan bisa membuat Bu Imel menerimaku?Terutama aku dengar dari Mas Alfa,
Tubuhku bergetar, kakiku seolah tak menapak bumi dan Mas Alfa mengeratkan pelukannya.Aku nyaman. Ya, sangat nyaman karena sebuah kehangatan yang berasal dari seorang Alfa Prawira-suamiku.Seolah kegelisahan di dalam dada mengenai kekacauan yang kubuat sirna begitu saja, hanya karena sentuhannya. Terlebih ketika dia menciumku dalam di apartemen yang disewa Mas Alfa untukku selama aku menjalani challange Bu Imel."Kamu sudah melakukan yang terbaik Zel, Mas bangga sama kamu." Mas Alfa menarik wajahnya dan melepaskan tautan bibir kami.Aku termangu sambil menetralkan degup jantung. Sudah kubilang kan, Alfa itu the best kisser, dia itu pandai membuatku hampir pingsan hanya karena permainan bibirnya.Tahan Zela, jangan pingsan! Nggak lucu kan, pingsan pas lagi romantis.Namun, meski terlena tetap saja hati ini masih saja mengingat tatapan Ibu mertua yang menatap marah ke arahku saat Mas Alfa langsung membawaku pulang usai insiden peny
Ada masa di mana kita akan sering mempertanyakan kenapa Allah membuat kejadian seperti ini dan kenapa seperti itu? Karena begitulah manusia dia akan terus merasa apa yang terjadi padanya itu sungguh tidak adil. Padahal bisa jadi di mata Tuhan itulah yang terbaik, hanya manusia saja tidak mengetahui.Contohnya, dulu aku kira menikah sama Mas Alfa itu sebagai kutukan tapi sekarang aku merasa sangat bersyukur. Sebab, dengan menikah dengannya aku banyak mengalami proses pendewasaan dan juga pembelaan yang selama ini tak kudapatkan.Alfa itu suami. Alfa itu Kakak. Alfa itu Ayah dan Alfa itu cinta. Begitulah aku mendeskripsikan seorang Alfa.Jika aku cinta pertama Mas Alfa maka dia cinta sejatiku.Ya, sekarang kuakui aku memang sedang jatuh cinta. Oh, salah! Tapi, aku sedang membangun cinta karena kalau jatuh itu sakit kalau membangun itu bahagia.Walau kuakui jalan untuk bersama dengannya sungguh tak mudah.Berat.