Share

Ancaman Mama Mertua

“Kita mau ke mana, Mas?” tanyaku sambil menatap suami yang masih fokus mengemudi. Apalagi gelagat suami terlihat aneh, senyum-senyum sendiri seperti orang sedang ketempelan.

“Ke suatu tempat!” jawabnya singkat. Matanya terus menatap lurus tanpa menoleh walau hanya sedetik saja.

“Mas, terima kasih, ya.”

“Untuk apa?”

“Yang tadi. Aku pikir kamu akan menerima perjodohan kamu sama Risma, ternyata kamu menolaknya. Maaf juga karena aku sudah marah-marah dan minta cerai sama kamu.”

“Aku nggak minat punya dua istri, Dek. Satu saja kepala aku sudah pusing, apalagi kalo lagi ngomel!”

“Ish! Jahat banget mulut kamu, Mas. Tadinya aku udah terharu dan melayang karena aku pikir kamu begitu mencintai aku tapi ternyata hanya karena malas dicereweti istri. Memangnya aku bawel banget ya, Ma”

“Menurut kamu?”

“Iya. Aku cerewet, nyebelin, nggak bisa apa-apa, Cuma ibu beranak tiga yang bisanya leha-leha di rumah tanpa bisa membantu suami cari duit. Aku Cuma perempuan boros, doyan soping berburu barang limited edition dan aku ini jelek!” sungutku emosi juga baper.

Lelaki yang tengah memegang setir itu tertawa dan mengacak rambutku. Dia memarkirkan mobil di pinggir Kanal Banjir Timur, menatap wajahku dan berkata, “ kamu luar biasa. Wanita yang mau menerima aku apa adanya, ibu dari anak-anakku yang harus dijaga perasaannya dan kamu permaisuri hati aku. Selamanya aku akan mencintai kamu, Dek Rivani.”

“Tapi kamu serius menolak perjodohan itu ‘kan, Mas?” tanyaku masih merasa ragu. Sebab setelah ini pasti masih banyak lagi drama yang harus dilalui, dan aku yakin mama mertua tidak akan berhenti mengganggu juga mendesak suami untuk menikahi perempuan pilihannya itu.

“Memangnya aku terlihat sedang berbohong, Dek? Kamu tau, mencari perempuan yang mau menjadi pendamping hidup saat kita sudah mapan itu gampang. Tapi mencari istri saat kita kere itu susahnya luar biasa, dan sepertinya hanya kamu wanita yang mau menerima Mas apa adanya, meninggalkan kemewahan hidup kamu demi mengabdi kedapa Erlangga Notonegoro, seorang laki-laki miskin yang sedang mencoba mengubah hidup. Masa giliran hidup kita mulai enak dan mapan malah aku harus membagi cinta kepada wanita yang dulu pernah menolak Mas karena Mas miskin?”

Aku menggeser tubuh lebih mendekat, menyandarkan kepala di pundak suami merasa berterima kasih karena ternyata dia cukup sadar diri, tidak menjadi kacang yang lupa akan kulitnya.

“Ayo kita turun. Kamu belum makan ‘kan?” ajaknya sambil mengusap lembut rambutku yang tergerai.

“Makan di sini, Mas?”

“Iya. Dulu sebelum Mas punya segalanya hanya tempat ini yang biasa kita sambangi, karena Mas hanya bisa mentraktir kamu jajanan kaki lima. Kamu ingat, Dek. Saat kita masih pacaran dan lagi makan di sini, Bang Damian datang bersama bodyguard-nya, menarik paksa kamu lalu menonjok perut Mas dan melarang Mas untuk berhubungan dengan kamu lagi!”

“Iya, Mas. Aku masih ingat.”

“Ayo, turun! Kita makan dan nostalgiaan. Biar punya tenaga buat...” Dia mengerling nakal. Pasti habis ini minta jatah. Dasar omes.

Gawai milik suami sejak tadi terus saja menjerit-jerit. Ada beberapa panggilan masuk dari mama mertua dan juga Ariesa, tapi Mas Erlangga lebih memilih mengabaikan dan menonaktifkan ponselnya.

“Kenapa dimatikan, Mas? Nanti Mama sama adik kamu marah lho?” tanyaku sambil mengancing daster dan meletakkan Viera di ranjangnya. Kami memang sengaja meletakkan dua tempat tidur di kamar utama, agar anak-anak masih bisa tidur sekamar walaupun tidak seranjang.

“Pusing, Dek. Biarin aja.” Dia lalu merebahkan bobot di atas kasur, berbantal kedua pahaku dan menyuruhku untuk memijat kepalanya.

“Mama, Tata mau mimik cucu,” rengek Danisa sambil mengucek mata.

Padahal tadi sudah terlelap. Kenapa harus bangun lagi?

“Mas, anakmu minta susu tuh!”

Entah memang sudah benar-benar tidur atau hanya pura-pura, Mas Erlangga memejamkan mata dan terdengar dengkuran halus serta dadanya naik turun dengan teratur. Aku memindahkan kepala suami di kasur, beranjak dari tempat tidur lalu membuatkan susu untuk anak sulungku dan membacakan dia dongeng supaya cepat kembali tidur.

Setelah Danisa terlelap lekas mematikan lampu kamar, merebahkan tubuh di atas petiduran melepas penat juga mengistirahatkan pikiran.

“Anak-anak udah tidur semua, Dek?” Tangan Mas Erlangga melingkar di pinggang. Laki-laki berkulit bersih itu lalu merapatkan tubuhnya, memelukku erat meminta jatah malam sampai tiga kali seperti orang meminum obat. Padahal tadi saat anaknya minta susu dia sudah terlelap. Aneh.

Lelah, remuk seluruh tubuh, itu yang kurasakan saat bangun tidur.

Tapi tidak apa-apa. Daripada nanti dia minta jatah sama perempuan lain, lebih baik berkorban sedikit untuk menyelamatkan rumah tangga kami dari pelakor yang berkeliaran.

Turun dari tempat tidur, membersihkan tubuh dari hadas besar lalu membangunkan suami menyuruhnya untuk melaksanakan salat subuh. Tapi hingga jarum pendek jam menunjuk ke angka enam pagi, laki-laki dengan garis wajah tegas itu tidak kunjung beranjak dari tempat tidurnya. Kebiasaan memang. Selalu susah kalau disuruh ibadah.

“Bu, ada Kang Sayur noh di depan,” kata Sari saat aku keluar dari kamar. Aku mengangguk dan segera mengayunkan kaki cepat menuju halaman, menghampiri Kang Sayur yang biasa mangkal di depan memilih sayuran segar serta ikan.

“Duh, perasaan semalam nggak ujan. Tapi itu rambut basah ampe kaya kucing habis kecebur kolam,” celetuk Bu Hilmie seraya melirik ke arahku yang sedang mengambil tomat di sebelahnya.

“Iya. Itu leher dikondisikan juga kali. Udah kaya habis digigit drakula saja. Sengaja ya mau pamer sama kita kalo semalam habis ada serangan rudal? Mentang-mentang suami kita pada jauh di luar kota!” Bu Ovie menimpali.

“Hu’um. Emangnya dikira kita bakal panas ya, Bu Ovie.”

“Tau, tuh! Kayaknya sengaja dia. Kan gosipnya Mas Erlang mau kawin lagi, jadi, ya dia sengaja deh angkat daster, biar beranak lagi dan gak jadi dipoligami!”

Bu Hilmie tertawa. Aku masih berusaha sabar menghadapi tetangga toxic seperti mereka. Kalau diladeni, bisa ikutan s*deng nantinya.

“Berapa totalnya, Kang?”

“Seratus ribu, Mbak Vani. Ini saya bonusin cabe sebungkus, soalnya Mbak Vani nggak pernah ngutang. Nggak kaya ....” Kang Sayur melirik ke arah kedua ibu-ibu hedon itu.

Aku tertawa melihat ekspresi Bu Hilmie dan Bu Ovie. Cantik-cantik tukang ngutang. Sombong pula.

Sayur kuletakkan di dalam kulkas lalu kembali ke kamar membangunkan suami karena jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka tujuh pagi. Anak-anak juga sudah bangun semua, dan tugas sebenarnya harus sudah dimulai.

“Apaan sih, Dek. Belum ge subuh!” Mas Erlangga kembali menenggelamkan tubuh ke dalam selimut.

“Mas, ini udah siang bolong. Udah jam tujuh. Ayo bangun. Anak-anak udah bangun lho. Buruan mandiin anak-anak. Bikin susu buat Mikayla dan Danisa. Itu kan tugas kamu sekarang!” cerocosku panjang lebar.

“Aku masih ngantuk, Dek. Capek!”

“Makanya jangan kebanyakan makan martabak kalo malem. Jadinya males bangun, kan! Ayo, buruan, Mas! Anak-anak udah nangis noh!”

“Kan ada kamu, Dek. Apa sih fungsinya kamu kalau anak-anak nangis saja musti bangunin aku!”

“Kamu lupa ya, kalau kita itu...”

“Nah, kamu liat sendiri kan kelakuan istri kamu, Lang. Masa istri durhaka kaya dia mau kemu pertahankan!”

Aku terkesiap ketika tiba-tiba mama mertua sudah berdiri di ambang pintu kamar. Pun dengan suami yang masih bersembunyi di dalam selimut.

“Istri model begini yang kamu belaian mati-matian kemarin? Duh, kasian kamu, Lang. Kalo Mama jadi kamu sih, mendingan Mama nikah lagi sama Risma, punya anak laki-laki, habis itu hempas deh istri nggak berguna dan doyan hamil tapi anaknya cewek semua ini!” Mama menatap mencemooh ke arahku.

“Mama ngapain datang-datang main masuk ke kamar? Kamar itu area pribadi loh. Harusnya kalo bertamu itu nunggu di ruang tamu. Jan maen masuk ke kamar begini. Kalau anak mantunya lagi ngapa-ngapain bagaimana?” protes suami sambil duduk bersandar di sandaran dipan.

“Buktinya nggak lagi ngapa-ngapain kan?”

“Habis ngapa-ngapain, Ma. Udah selesai. Mama keluar dulu gih! Aku mau ke kamar mandi. Mau bersih-bersih badan.”

“Mandi tinggal mandi saja kok. Ngapain pake ngusir Mama segala. Kamu memang udah ketularan sengklek kaya si Vani, Lang!”

Aku mengernyitkan dahi mendengar makian Mama. Salah lagi aku.

Mama memekik ketika Mas Erlangga menyibak selimutnya dan melenggang bebas tanpa penghalang apa pun dan masuk ke dalam toilet. Tawaku hampir pecah dibuatnya.

Astaga, Mas Erlang. Konyolnya kebangetan!

“Kamu kasih obat apa sih anakku, sampe tingkahnya absurd begitu. Ini pasti pengaruh karena kamu sering menyuruh-nyuruh dia kaya b*bu!” cicitnya lagi sambil keluar dan membanting pintu.

Sabar, Rivani, Sabar. Mengelus dada mencoba bersabar dengan apa yang sedang mendera.

Sepuluh menit kemudian Mas Erlangga keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di tubuh bagian bawah. Dia lalu segera mengganti pakaian, menyisir rambut dan keluar menemui Mama sambil menggendong Mikayla dan menggandeng tangan Danisa.

“Liat nih, Oma. Cucu Oma cantik-cantik kan?”

Mama tidak menoleh, apalagi menatap wajah anak-anakku. Menyakitkan bukan?

“Lang, pokoknya kamu ganti uang Mama, uang Aries dan uang Risma yang kemarin dipake buat bayar makanan di restoran. Semuanya total lima belas juta!” ucap Mama tanpa basa-basi.

“Lha, kan yang makan kalian. Kenapa masih ngejar-ngejar aku buat bayar, sih?” Mas Erlangga mengenyakkan bokong di sofa, memangku kedua putrinya yang sedang menyusu.

“Kamu itu bener-bener, Lang. Mama itu kan bikin acara buat kamu. Ya wajar jika Mama minta kamu yang bayar makannya!”

“Lha, aku ini kan Cuma tamu undangan, nggak ikut makan pula. Si Mama inu aneh!”

“Pokoknya kamu harus ganti. Mama malu tau sama si Risma. Dia akhirnya mengambek sama Mama dan nggak mau lagi diajak jalan sama Mama. Kata dia Mama PHP, padahal kan karena kamunya menolak. Mama nggak merasa PHP-in dia.”

“Ya sudah kalo dia nggak mau jalan sama Mama. Nggak rugi kan? Lagian Mama itu aneh. Orang aku udah punya istri malah Mama jodoh-jadohin aku sama orang lain. Kalau umpama tiba-tiba keluarganya Daffo berbuat begitu ke Ariesa apa Mama nggak sakit hati?” Kedua manik legam suami menatap tajam wajah ibunya.

“Pokoknya mama nggak mau tau. Ganti uang kami dan nikahi Risma, atau kamu akan liat jenazah Mama sekarang juga!”

“Sudah aku katakan dan tekankan, Ma. Aku cukup punya istri satu. Nggak ada niatan nambah. Aku mencintai Vani.”

Sambil menangis Mama berjalan ke belakang, dan tidak lama kemudian kembali dengan membawa sebilah pisau.

“Kalau kamu tetap memilih mempertahankan Vani dan tidak mau menikahi Risma, Mama akan menyayatkan pisau ini ke pergelangan tangan Mama, Erlang. Sekarang kamu pilih yang mana. Menikah dengan wanita pilihan Mama atau Mama mati!” ancam Mama seraya menempelkan pisau tepat di nadinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status