“Dek, ini rumah siapa?” tanya suami ketika kami sudah berada di rumah.
“Rumah kita, Mas!” Aku menjawab sambil menerbitkan senyuman, mengusap lembut pipi suami yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus.Lagi, dahi lelaki bertubuh jangkung itu berkerut-kerut sambil menyisir ke seluruh penjuru ruangan.Danisa dan Mikayla menghambur ke dalam pelukan papanya. Tapi anehnya, walaupun Mas Erlangga tidak mengenali anak-anak, dia tetap tidak menolak pelukan kedua buah hati kami dan malah membalas dekapan kedua malaikat kecil itu dan mencium pipi mereka berdua.“Anak Papa?” tanyanya seperti orang kebingungan.“Iya, Mas. Liat kakak Danisa. Mukanya mirip banget sama kamu. Mikayla juga.”“Iya!” Dia mengusap wajah anak-anakku, menelisik setiap inci wajah keduanya dan menitikkan air mata. “Maafkan Papa karena tidak mengingat kalian. Tapi Papa percaya kalau kalian adalah anak-anak Papa, karena Papa juga merasakan ikatan batin yang kuat!” u“Dek, kamu nggak capek urusin aku terus?” tanya Mas Erlangga sambil menatap wajahku dengan mata sudah berkabut.Kalau ditanya lelah, sudah pasti lelah sekali, baik hati maupun pikiran. Tetapi anggap saja ini sebagai baktiku sebagai seorang istri.“Enggak dong, Mas. Kamu ini kan suami aku.” Mengusap lembut pipinya, mendaratkan kecupan di kening sambil memejamkan mata, meminta kepada Allah supaya lekas mengembalikan suamiku seperti sedia kala.“Terima kasih, yah. Mas semakin sayang sama kamu, walaupun sebenarnya Mas belum begitu yakin kalau kita sudah menikah!”Aku membuang napas kasar. Tapi sudahlah. Kata dokter Dilan tidak boleh memaksa Mas Erlangga untuk mengingat segalanya, karena itu bisa membahayakan kesehatan serta keselamatan Mas Erlangga.“Ya sudah. Nggak usah dipikirkan. Yang penting kamu cepet sembuh, biar kita bisa kembali seperti dulu lagi!”Lelaki berjambang tipis itu mengangguk pelan.
Aku memijat pelipis yang tiba-tiba berdenyut nyeri, membuang napas kasar karena ternyata diam-diam ada yang berkhianat di toko ini.Padahal, aku begitu mempercayai mereka untuk mengelola, bahkan, selalu memprioritaskan para karyawan agar tidak sampai kehilangan pekerjaan.Tetapi beginilah manusia. Terkadang kita berusaha memberikan yang terbaik juga membela, mereka malah menusukku dari belakang.Sepertinya harus diadakan rapat dadakan, untuk membicarakan masalah ini supaya tidak berlarut-larut dan semakin banyak konsumen yang merasa dirugikan hingga akhirnya berhenti berlangganan.“Linda, panggil semua karyawan. Tutup toko sebentar, dan suruh mereka ke lantai dua menemui saya!” perintahku kepada Linda–orang yang paling dipercaya untuk mengurus toko selama aku tidak datang.“Ada apa, Bu?” tanya wanita berusia dua puluh lima tahun itu terlihat gusar. Apa jangan-jangan dia yang melakukan ini semua, karena catatan pemasukan toko juga dia yang menangani?Tidak. Aku nggak boleh berprasangk
“Kalian tidak dibayar?” tanyaku belum percaya. Aku yakin mereka semua sedang membohongi diriku secara kompak. Karena walaupun Mas Erlangga sedang sakit dan membutuhkan banyak sekali biaya, aku selalu memprioritaskan para pegawai daripada kebutuhan-kebutuhanku sendiri. Sebab tidak mau dianggap zalim, karena sudah menahan hak orang lain.“Tolong jelaskan semua ini kepada saya, Linda. Sebab saya yakin kamu pasti tau jawabannya. Selama ini saya mempercayakan keuangan sama kamu, dan bahkan semua uang gaji karyawan pun sudah aku titipkan ke kamu!”Kini, semua mata tertuju kepada Linda, dan wajah wanita itu langsung terlihat pias serta ketakutan.“Sa—saya... Uangnya diminta sama Pak Ilman dan kalau saya tidak memberikannya, Pak Ilman mengancam akan melukai saya dan putri saya. Apalagi Pak Ilman sudah bawa surat kuasa, jadi saya tidak berani membantah beliau!” terang Linda sambil menangis.“Bukannya saya sudah bilang ke kamu, kalau toko itu urusan
Air mata lolos begitu saja dari kedua sudut netra, melewati pipi kemudian jatuh di dada. Tepat di tempatku merasakan sesak sekaligus nelangsa.Mengurus suami dari pertama dia sakit sampai ke tahap sekarang, merawatnya dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah hingga mengorbankan seluruh waktu istirahatku, dan sekarang, ketika ada sekeping masa lalu yang dia ingat, justru orang yang sama sekali tidak pernah ada saat dia terbaring koma. Menyakitkan.“Dek, kenapa menangis?” tanya suami tanpa rasa bersalah sama sekali. Dia mencekal lenganku ketika hendak pergi, menggengam jari jemari ini dengan erat dan kedua bulat beningnya terus saja memindai ke arahku.“Siapa Sari, Mas?” Sengaja kutanya siapa wanita itu, ingin tahu juga mendengar jawaban dari Mas Erlangga.“Tidak tau. Tapi setelah sampai di sini dan melihat tower sutet itu, nama Sari tiba-tiba muncul di ingatan Mas. Tapi Mas tidak merasakan kalau diantara Mas dan dia ada ikatan entah keluarga a
“Mana bisa kita menikah, Bang. Aku ini adik Abang!”Lagi, Bang Damian menyentak napas kasar. Dia lalu mendorong kursi ke belakang, lekas beranjak bangun meninggalkan aku sendirian.Ada-ada saja si Abang. Masa mau menikahi adiknya sendiri?“Dek, sarapan buat Mas mana?” Aku berjingkat kaget saat Mas Erlangga ternyata sudah berdiri tidak jauh dariku duduk.“Kamu mau sarapan apa?” tanyaku sambil menelisik tampilannya yang sudah rapi, mengenakan kemeja pendek berwarna hijau telur asin serta celana bahan berwarna hitam panjang. “Mas Erlang mau ke mana?” “Kerja!” jawabnya serius.“Kerja? Di mana?”“Nggak tau. Mas lupa dulu saat sehat Mas kerja di mana. Makanya Mas mau nanya sama kamu.” Dia menjawab dengan polos, membuat hati ini mencelos hingga ke dasar.“Kamu lagi sakit. Tidak usah kemana-mana.”“Tapi aku laki-laki. Harus bertanggungjawab menafkahi istri dan anak.”“Iya, aku tau.
Penasaran, aku kembali membuka lemari Sari. Di sana masih ada dua buah lingerie, juga beberapa baju miliknya. Aku juga membuka laci dan melihat beberapa buah test pack bergaris dua. Hal itu mengingatkan saat pertama kali mengetahui Sari hamil dan dia pergi dari sini. Aku harus mencari Sari dan menginterogasinya, supaya misteri siapa yang menghamili dia bisa terungkap.Ketika hendak menutup pintu, mata ini menyipit saat melihat ada celana dalam berwarna cokelat tergeletak, dan sepertinya itu bukan punya suamiku. Size-nya terlalu besar dan aku juga tidak merasa membelikan underwear merek serta bentuk seperti ini.Mengambil sarung tangan, aku memungut barang berbau tidak enak tersebut lalu memasukkannya ke dalam kantung kresek dan menyimpannya di dalam gudang. Siapa tahu suatu saat berguna sebagai barang bukti.Pokoknya aku harus mengusut tuntas kasus ini. Jika nanti terbukti Sari hamil karena diperkosa, siapa pun pelakunya tidak akan kulepaskan. 'Kan kupenjarakan dia meski dia mertua,
Seperti janji Mami, hari ini Mbak Susi datang untuk membantu mengurus rumah. Mbak Susi itu sudah lama ikut sama Mami, jadi sudah tidak diragukan lagi pekerjaannya. Dia sama seperti Sari. Rajin dan tidak banyak tingkah. Hanya saja Mbak Susi berusia lebih tua dari Mas Erlangga, jadi tidak akan ada lagi drama seperti ketika ada Sari di sini. Lagian Mbak Susi sudah mempunyai anak juga suami, tidak seperti Sari yang masih muda dan belum menikah pula."Mbak. Saya mau ke apotek dulu. Nebus obat buat Mas Erlang!" pamitku kepada Mbak Susi seraya mengikat rambut lalu memakai sweater. Danisa sengaja aku ajak supaya dia tidak terlalu kerepotan. Aku juga berniat ke pasar untuk mencari jajanan pasar, karena si jabang bayi sedang ingin menyantap makanan tradisional."Iya, Cik. Hati-hati di jalan. Nggak usah ngebut-ngebut bawa mobilnya. Soalnya Cici Vani lagi hamil!" ucapnya membuatku tertawa.Sepertinya dia merasa trauma karena dulu pernah ikut denganku dan dia
***"Kenapa kamu bawa Sari kembali ke rumah, Vani?" tanya Bang Damian ketika kami sedang duduk berdua di teras belakang."Karena aku kasian sama Sari. Dia sedang mengandung dan aku nggak akan membiarkan dia terlunta-lunta sendiri, karena aku sama-sama wanita. Aku juga seorang ibu yang memiliki perasaan. Mana tega aku liat wanita hamil berkeliaran di luar sana tanpa penjagaan serta perlindungan!" jawabku seraya menyesap teh hangat buatan Bang Damian."Apa kamu tidak takut kalau ternyata malah Erlang yang menghamilinya?""Sepertinya tidak. Karen menurut penuturan Sari, pria yang menghamilinya itu mempunyai tatto di paha, sedangkan Mas Erlangga tidak mempunyai tato di tubuhnya!"Bang Damian tersedak teh yang sedang ia minum hingga terbatuk dan wajahnya memerah."Kenapa? Apa jangan-jangan...""Nggak usah berpikir macam-macam lagi kamu sama Abang. Biar kata Abang kamu b*jin*an, tetapi Abang tidak mungkin berani berbuat sekeji