Share

Tamu Mas Erlangga

Mas Erlangga menghela napas sambil menggeleng kepala, tidak terlihat panik sama sekali melihat aksi nekat ibunya.

“Dek, kita sarapan dulu. Mas lapar,” ajak suami seraya melangkahkan kaki menuju meja makan.

“Erlang, Mama mau bunuh diri malah kamu cuekin. Kamu itu sebenarnya masih sayang sama Mama nggak sih?!” omel mertua seraya mengikuti Mas Erlangga ke meja makan, dengan mode masih sama seperti tadi. Menautkan pisau di pergelangan tangan.

“Lha, terus, aku harus bagaimana, Ma? Kalau aku melarang nanti dikira nggak sayang juga karena menolak keinginan Mama. Kalo Mama sudah siap masuk Neraka ya silakan Mama bunuh diri. Memangnya yakin sudah siap dijemput malaikat Izroil?”

“Erlang, Mama serius. Mama hitung sampe tiga, kalau kamu nggak bilang bersedia menikahi Risma Mama bu-nuh di-ri!”

Laki-laki dengan garis wajah tegas itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur, membuka kitchen set mengambil pisau oleh-oleh dari Mami saat dia jalan-jalan ke Filipina.

“Nih, Ma. Kalau mau bunuh di-ri pake piso yang ini. Kalau yang dipegang Mama nggak tajem, percuma. Sari aja nggak mau pake. Soalnya buat motong tempe saja nggak bisa, apalagi buat motong urat nadi Mama!” Dia meletakkan pisau tersebut di atas meja, tepat di hadapan mama mertua. “ Kamu kenapa malah bengong begitu, Dek. Ayo, buatkan Mas sarapan. Mas mau makan roti pake selai kacang!” perintahnya kepadaku.

Aku mengangguk mengiyakan dan segera mengoles selai kacang di permukaan roti tawar, meletakkannya di piring lalu menyodorkannya ke Mas Erlangga.

Sedangkan Mama, wajah perempuan itu terlihat semakin frustrasi, terlebih lagi saat melihat putra satu-satunya malah tengah asik mengunyah roti yang aku buatkan.

“Kamu benar-benar sudah meracuni otak anak saya, Vani!” sungut Mama seraya mengentakkan kaki di lantai dan meninggalkan kami.

“Mas, kenapa tadi tidak mencegah Mama?” tanyaku masih bingung dengan sikap suami yang terlihat santai juga tidak ada gurat kekhawatiran sama sekali. Padahal tadi jelas-jelas mamanya hampir mau mengakhiri hidupnya.

“Memangnya kamu mau Mas nikah lagi?”

Aku mengernyitkan dahi mendengar jawaban dari suami.

“Enggaklah! Biar kata kamu nyebelin, tapi aku cinta sama kamu.”

“Ya sudah kalau begitu!” Dia mengacak rambutku yang masih sedikit basah.

“Tapi kalau tadi Mama bunuh diri beneran bagaimana?”

“Nggak bakal, Dek. Mas paham banget sifat Mama itu seperti apa. Dia mana mau mati sia-sia hanya karena ingin punya menantu kaya Risma!”

Aku tersenyum sambil mengusap pipi suami dengan penuh cinta. Tidak menyangka kalau dia akan membelaku juga menolak mentah-mentah si pelakor juga permintaan konyol mamanya. Semoga saja setelah ini tidak ada lagi drama pemaksaan dari mertua, dan semoga saja hati Mas Erlangga tetap teguh dengan pendiriannya.

Duduk bersandar di sofa, memasang alat pemompa ASI kemudian menulis tanggal serta waktu di botol yang sudah penuh terisi. Aku sengaja memompa ASI-ku secara berkala, supaya Viera tidak harus diberi susu formula saat aku berada di toko.

Sebenarnya kasihan harus meninggalkan anak-anak setiap hari bersama papanya. Tapi mau bagaimana lagi. Aku ingin menyadarkan Mas Erlangga bahwa tidak mudah menjadi seorang ibu rumah tangga, apalagi harus mengurus dua orang batita dan satu orang bayi. Biar dia merasakan capeknya dan tidak meremehkan perempuan berdaster yang setiap hari harus mengabdikan diri kepada suami, rela menukar waktunya hanya untuk mengurus buah hati sampai kadang lupa seperti apa rasanya duduk leha-leha.

“Dek, kayaknya udahan aja deh tukar posisinya. Kita kembali seperti semula. Kamu di rumah urus anak-anak, sedangkan aku urus toko,” ucap Mas Erlangga seraya menghampiri diriku yang sedang menyimpan ASI perah yang baru dan mengeluarkan yang harus diminum Viera hari ini.

“Kenapa memangnya? Nyerah ya? Nggak enak, kan ngurus tiga anak. Capek kan? Makanya, Mas. Jangan suka remehin aku. Aku ini strong. Bisa makan sambil gendong anak, bahkan saat hamil tua masih bisa lari sono sini urus kamu dan anak-anak. Sedangkan kamu, belum ge seminggu gantiin posisi aku, tapi kamu udah nyerah.” Mengangkat satu ujung bibir.

“Bukannya begitu, Dek. Rasanya kaya kurang enak aja dilihat. Suami santai pantai di rumah, malah istrinya yang kerja di luar sana!”

“Halah! Bilang saja kamu nggak sanggup dan nyerah!”

“Dek, hari ini saja. Besok kamu boleh ke toko lagi.”

Kedua alisku bertaut menatap suami dengan mimik aneh. Kenapa hari ini harus libur ke toko.

“Enggak bisa!” Melenggang pergi melewati suami lalu segera menukar pakaian bersiap pergi ke kios.

“Iya. Besok saya transfer. Kamu yang sabarlah. Sekarang toko istri yang hendel. Nggak usah ke toko. Nanti saya transfer. Mobile banking saya lagi bermasalah. Percaya deh, besok setelah semuanya oke saya langsung transfer kamu!”

Sekilas kudengar Mas Erlangga sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon dan membicarakan masalah transfer. Ada apa? Apa diam-diam ....

Ah, aku tidak mau berprasangka buruk kepada suami, juga tidak mau menanyakan dengan siapa dia berbicara tadi. Aku harus menyelidikinya. Dan kalau ternyata dia tidak setia, tidak akan segan-segan mengambil semua yang ada dan membuat Mas Erlangga kembali miskin semiskin miskinnya.

“Dek, bagaimana? Kamu tetep kekeuh mau ke toko?” Laki-laki bertubuh tegap itu mencegah langkahku, mencekal lengan ini dan menatap lamat-lamat wajahku. Tatapannya mencurigakan.

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Deh, udahan aja yuk! Mas nyerah deh. Mas nggak kuat. Enakan di toko nggak capek!”

“Bisa liat cewek montok dan bisa main-main di belakang juga ya, Mas?”

Riak wajah suami seketika berubah mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulutku.

Awas saja kalau berani macam-macam. Kemarin sudah membuatku melambung tinggi karena penolakannya saat dijodohkan dengan Risma, sekarang kembali membuat hati ini waswas karena sepertinya dia juga menyimpan sejuta rahasia di balik penolakan itu.

“Aku jalan, Mas. Titip anak-anak!” Menyalami tangan dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat, mengambil kunci mobil lalu mencium pipi ketiga anakku yang sedang asik bermain di ruang tengah.

“Duh, sekarang kerja? Suaminya dikurung karena takut diambil pelakor ya, Mbak?” cicit Bu Hilmie, tetangga paling toxic ketika aku membuka pintu pagar dan mengeluarkan kendaraan roda empatku. Saking emosinya, aku sengaja memundurkan mobil dengan ugal-ugalan hingga wanita berpenampilan heboh tersebut menjerit karena hampir saja tertabrak mobilku.

“Maaf, Bu Hilmie. Saya tidak sengaja. Maklum, belum pandai menikung, eh, mengemudi!” ucapku seraya tersenyum manis. Padahal sengaja pengen ngerjain tetangga rese seperti dia.

“Makanya kalo nggak bisa nyetir jangan sok-sokan!” sungutnya.

Dia nggak tau, dulu aku pernah jadi juara balap sampai kena razia balap liar dan dibui selama satu minggu.

Herman menyambut dengan senyum ramah ketika mobil kutepikan di depan toko. Pun dengan Linda yang katanya merasa lebih senang jika toko dikelola olehku, sebab bisa pulang lebih cepat dan bisa segera berkumpul dengan anak-anaknya.

“Maaf, Bu. Di dalam ada tamu. Dia nyariin Pak Erlang,” kata Linda dengan ekspresi aneh.

“Memangnya siapa tamunya?” tanyaku penasaran.

“Ibu lihat sendiri saja di dalam.”

Segera melangkahkan kaki menuju ruang kerja suami, dan langkah ini berderap kaku saat melihat seorang perempuan tengah hamil duduk di sofa sambil menikmati jus buah serta roti.

“Maaf, cari siapa, Mbak?” tanyaku ragu. Menelisik tampilan si wanita dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Mas Erlangnya mana? Kenapa malah kamu yang datang ke toko?” Dia balik bertanya.

“Dia ada di rumah. Memangnya ada apa, Mbak. Kok pagi-pagi sekali sudah mencari suami saya?”

“Dia ingkar janji sama saya, Mbak. Katanya mau transfer buat biaya persalinan tapi, saya tunggu sudah berhari-hari dia tidak juga mentransfer uang itu. Memangnya dia pikir saya bisa ngutang juga di rumah sakit? ‘Kan enggak! Benar-benar si Mas Erlang nggak ada tanggung jawabnya sama sekali!”

Aku menelan saliva dengan susah payah mendengar serentetan kalimat yang meluncur dari mulut perempuan itu.

Ya Allah, Mas Erlang ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status