Aku melungguh lemas di sofa tidak jauh dari perempuan tersebut duduk, mencoba menata perasaan serta menepis prasangka buruk terhadap Mas Erlangga. Insya Allah dia laki-laki setia dan tidak suka mempermainkan hati wanita.
“Mbak, bisa teleponin Mas Erlang sekarang nggak? Saya lagi butuh uang banget soalnya!” ucap perempuan itu lagi dengan nada ketus.Aku mengangkat kepala menatap wajahnya yang cantik meski tanpa polesan, benar-benar anugerah luar biasa dari Tuhan. Mungkin kelebihannya itulah yang membuat laki-laki mudah jatuh cinta dan terpesona.“Memangnya ada perlu apa, Mbak? Dan kamu ini siapa? Kenapa kamu bisa kenal sama suami saya dan minta transferan uang?” Memberondong dia pertanyaan yang bersarang di benak.“Saya Syarlina temannya Ariesa. Adek ipar kamu dan suaminya itu minjem duit ke saya tiga ratus juta dan Mas Erlang sudah berjanji akan membayarnya. Tapi sudah hampir seminggu dia belum ada kabar, padahal dia janji mencicil uang itu!” ketusnya lagi.Aku syok bukan main. Jadi Ariesa meminjam uang kepada temannya dan suamiku yang harus membayarnya?Tidak akan kubiarkan. Aku yang sudah susah-susah cari uang, dia yang akan menikmati hasilnya.“Memangnya dia minjem uang sebanyak itu buat apaan, Mbak?” tanyaku penasaran.“Buat beli mobil yang dia pakai. Katanya biar keliatan sederajat sama kamu, karena kamu selalu merendahkan Ariesa di depan keluarga. Eh, malah nggak bisa bayar. Tadinya mau aku penjarakan tapi, Mas Erlang mau menjadi jaminannya dan dia berjanji akan segera melunasi hutang-hutangnya si Ariesa.”Ya Tuhan ... ternyata mobil yang dia sombongkan dan buat manas-manasin aku dibeli pake uang pinjaman, dan sekarang malah aku yang harus membayar hutangnya?“Kenapa Mbak nggak ke rumah Ariesa saja. ‘Kan dia yang berhutang. Kenapa harus suami saya yang bayar. Kami juga banyak tanggungan lho!”“Saya sudah berkali-kali ke sana, tapi dia selalu bilang sudah tidak ada urusan. Lagian suami kamu juga nggak keberatan kok!”Aku menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, mencoba bersikap sabar meski kepala serta hati ini sudah terasa terbakar. Panas karena emosi yang kian meninggi dan sulit dikendalikan.“Ya sudah. Nanti saya bicarakan dulu sama suami.”“Oke. Besok saya ke sini lagi dan Mbak harus udah nyiapin duit itu.”Aku mengulas senyum getir. Enak saja nyuruh-nyuruh orang nyiapin duit. Memangnya kami dinas sosial?Memijat pelipis yang terasa berdenyut, terus memikirkan bagaimana caranya agar Ariesa dan Daffo mau membayar hutang tanpa melibatkan suami. Aku nggak rela uang ratusan juta melayang begitu saja. Kalau adik-adik iparku baik sama aku sih nggak masalah.Ponsel dalam tas terdengar menjerit-jerit. Ada panggilan masuk dari suami, padahal belum satu jam aku meninggalkan rumah. Pasti dia mau menanyakan ini dan itu. Memangnya susah banget apa menghafal jadwal kegiatan anak-anak?“Ada apa, Mas?!” sapaku sampai lupa mengucapkan salam saking jengkelnya.“Kok kamu ketus begitu, Dek?”“Gimana nggak ketus. Barusan Syarlina datang ke toko. Kamu berhutang penjelasan sama aku, Mas. Kamu sudah membohongi aku!” Memutus sambungan telepon secara sepihak, merasa kecewa dengan keputusan suami yang mau menjadi penjamin hutang adiknya yang jumlahnya lumayan fantastis, tapi tidak berdiskusi terlebih dahulu kepadaku.Ting!Gawai dalam genggaman kembali berdering. Mas Erlangga mengirimkan pesan singkat di aplikasi berwarna hijau, membuat moodku bertambah buruk dan hanya membaca pesan tersebut tanpa berniat membalasnya. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri juga dikhianati. Menyakitkan.Lagi, ponselku berbunyi nyaring. Mas Erlangga menghubungiku berkali-kali dan kuabaikan panggilan itu sebab tidak mau para karyawan tahu permasalahan rumah tangga kami. Biar kusimpan rapat-rapat dan akan kuselesaikan di rumah nanti.Seperti biasanya, pukul tujuh malam aku menyuruh para karyawan untuk menutup toko dan pulang. Pun dengan diriku yang sudah bersiap kembali ke kediaman, membahas masalah hutang Ariesa juga sejumlah uang yang sudah ditransfer ke Syarlina oleh Mas Erlangga.Tidak terima rasanya dibodohi seperti ini oleh mereka, dan aku akan mengusahakan uang serta hakku kembali.Mas Erlangga terlihat sudah menunggu dengan gelisah di teras rumah. Sedangkan anak-anak, mereka tengah asik bermain sendiri, dengan keadaan kacau serta berantakan.“Dek, sudah pulang? Capek ya? Mau Mas pijetin apa mau Mas siapin air hangat?” Sambut suami sambil mengambil tas yang sedang kujinjing seperti ajudan melihat majikannya pulang.Memangnya dengan cara begitu hati ini akan mendadak luluh dan melupakan semua yang terjadi? Kamu salah besar, Mas. Yang ada malah tambah ilfeel liatnya.“Ayo masuk. Kita akan membahas masalah ini di dalam kamar, Mas!” Berjalan mendahului suami, menciumi puncak kepala ketiga putriku lalu menitipkan mereka kepada Sari.“Dek, Mas bisa jelaskan semuanya.”“Apanya yang mau Mas jelaskan. Mas sudah transfer dua kali ke Syarlina dengan jumlah yang lumayan besar. Lima puluh juta, Mas. Dan kalo aku nggak tau, besok kamu bakalan transfer lagi dua puluh lima juta lagi. Iya, kan?”“Dek, waktu itu Ariesa mau dipenjara gara-gara punya hutang sama si Syarlina. Masa Mas mau ngebiarin adek Mas dipenjara sementara masnya masih mampu!”“Apa, Mas? Coba ulangi sekali lagi?”“Dek, tolong nggak usah marah-marah begitu. Jangan perhitungan sama saudara. Biar makin berkah.”“Mas! Kalau dia susah dan butuh makan kita bantu wajar. Aku nggak masalah karena kita dikasih rezeki yang berlimpah sama Allah. Tapi kalo harus bayarin utangnya dia yang ratusan juta, mana ada sih orang yang mau ngeluarin duit Cuma-Cuma hanya demi memenuhi kebutuhan saudaranya yang sok kaya!”“Dek, waktu itu Ariesa ketipu sama orang. Niatnya dia mau bisnis tapi malah ketipu dan uang yang Syarlina pinjemin dibawa kabur sama si penipu. Jadi Mas nggak tega liat dia dikejar-kejar debt colector dan diancam mau dimasukkan penjara!”“Kamu itu b*d*h apa bagaimana sih, Mas? Dia itu pinjam uang buat beli mobil. Buka buat bisnis!”“Jangan ngarang, Dek.”“Kamu tanya sendiri sama dia, Mas. Pokoknya aku nggak mau tau. Duit lima puluh juta yang sudah kamu transfer ke Syarlina harus balik ke rekening aku.”“Kok kamu sekarang jadi perhitungan begitu sama keluarga aku?”“Terus, aku harus diem aja gitu? Apa kamu juga lupa, Mas. Saat aku hamil Danisa dan hampir keguguran, hanya pinjam lima juta ke keluarga kamu saja aku udah dihina-hina. Dicaci dan tidak ada satu orang pun yang mau membantu. Untung saja Mami masih mau bantu kita, kalau tidak...?”Mendadak mataku memanas saat mengingat kenangan pahit itu. Saat dimana aku sedang mengalami perdarahan dan butuh uang untuk biaya pengobatan, akan tetapi tidak ada satu orang pun yang peduli. Mereka seolah buta dan tuli, padahal seluruh tabunganku habis juga karena dipakai untuk menutupi semua hutang keluarga suami.“Sudahlah, Dek. Jangan bahas masalah yang sudah berlalu. Kita lupakan saja yang sudah lewat. Yang penting sekarang hidup kita sudah mapan!” Mas Erlangga melungguh lemas di tepi ranjang sambil mengusap kasar wajahnya.“Mapan juga karena Papi membantu. Kalau tidak, nggak tau deh kita jadi apa sekarang!” sungutku bertambah emosi.“Terus saja diungkit-ungkit, Dek. Aku memang suami tidak berguna. Aku miskin. Nggak bisa apa-apa kalo bukan karena Papi kamu. Tapi bisa nggak, jangan rendahkan aku seperti itu terus?”“Aku nggak pernah merendahkan kamu, Mas. Aku Cuma mengingatkan kamu, apalagi kamu itu begitu loyal kepada saudara-saudara kamu. Kamu sering diam-diam kirim uang ke mereka, padahal tidak ada satu orang pun yang mau menghargai aku sebagai istri kamu. Aku selalu dianggap duri di keluarga kamu. Mereka tidak pernah menganggap aku ada. Mereka Cuma mau memeras kita doang!”“Cukup, Dek. Cukup!” Wajah Mas Erlangga memerah dikuasai amarah. Rahangnya mengeras dengan geligi bergemeretak dan tanggal terkepal erat di samping tubuh. Baru kali ini aku melihat dia semarah ini kepadaku.“Pokoknya aku mau uang yang kamu transfer ke Syarlina kembali. Aku nggak mau tau.”“Iya. Secepatnya aku akan kembalikan uang kamu. Kamu hitung saja berapa semuanya!” Dia beranjak dari ranjang, keluar dari kamar sambil membanting pintu.“Sar, Bapak ke mana?” tanyaku karena tidak melihat suami di tempat biasa dia bersantai ria.“Tadi pergi, Bu. Naik motor. Ditegur sama kakak sama diajak main saja Bapak diem aja. Ngga mau nyaut!” jawab Sari membuatku bertambah kesal.Kalau marah sama istri harusnya tidak usah bawa-bawa anak, karena mereka itu tidak tahu apa-apa.“Sini dedeknya, Sar. Biar saya nenenin. Sudah malam juga. Sudah waktunya kamu istirahat. Terima kasih ya.”“Tapi Ibu juga butuh istirahat. Anak-anak belum pada bobok. Kasian Ibu kalau jagain anak-anak sendirian. Aku bantuin nggak apa-apa ya, Bu. Lagian aku belum ngantuk!”Aku mengulas senyum kepada asisten rumah tanggaku. Dia memang begitu pengertian serta perhatian, juga mau memegang pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya.Danisa dan Mikayla terlihat sudah tertidur di atas karpet diusap-usap punggungnya oleh Sari. Rasa sedih seketika merambati hati, merasa kurang memberikan kasih sayang kepada kedua putriku yang besar, karena harus sibuk mengurus si kecil yang
Aku beranjak berdiri lalu melenggang masuk hendak naik ke lantai dua ruko, sampai akhirnya langkah ini terhenti karena suami mencekal lenganku erat.“Dek, Mas minta maaf kalo Mas salah. Tapi tolong jangan minta pisah sama Mas. Mas mencintai kamu, Sayang. Kamu boleh caci-maki Mas, asal jangan ada kata perpisahan. Mas belum siap berjauhan dengan kamu,” lirihnya seraya menatap tajam manik cokelatku.“Biar reader yang bertugas mencaci-maki kamu, Mas. Karena aku nggak mau jadi istri durhaka!” Aku menepis kasar tangan suami lalu kembali menaiki anak tangga menghampiri anak-anak yang tengah asik bermain dengan Sari.“Dek, ya Allah...”Mas Erlangga mengikutiku dan ikut duduk di atas karpet sambil terus menatap wajahku yang dipasang ekspresi sedatar mungkin. Dia paling paham kalau diamku itu amarah sebenarnya. Karena jika hati ini sudah terlalu kesal, aku selalu memilih diam. Sebab diam itu emas, kaya yang di atas tugu Monas.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk peralahan. Mas Erlangga beranjak dari d
"Mas kamu kenapa?" tanyaku panik, melihat banyak sekali luka membiru di dada suami. Sepertinya dia habis dipukuli oleh seseorang. Tapi siapa yang melakukannya?"Aku nggak apa-apa, Dek!" Dia mengulas senyum tipis. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku melihat kalau saat ini dia sedang menahan rasa sakit luar biasa."Jawab, Mas. Kamu kenapa? Tubuh dan wajah kamu sampai lebam-lebam begini malah kamu bilang tidak apa-apa. Apa kamu habis berkelahi?""Biasa, Dek. Urusan lelaki. Udah, ah! Mas mau solat!" Mas Erlangga segera mengenakan pakaian dan mengambil sajadah lalu menggelarnya di lantai.Aku duduk dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, enggan beranjak dari kamar sebelum mendapatkan jawaban."Mas tolong katakan, dengan siapa kamu berkelahi?" tanyaku lagi setelah melihat suami selesai melaksanakan ibadah wajib dua rakaat."Sudahlah, Dek. Jangan dipermasalahkan lagi. Aku nggak apa-apa, kok!""Kamu babak belur begini loh, Mas.""Aku nggak apa-apa, Sayang. Cuma mempertahankan harga diri do
Sekuat tenaga menahan air mata agar tidak tumpah, namun, nyatanya aku tidak setegar batu karang yang selalu diterjang sang ombak. Rapuh.“Sabar, Bu. ‘Kan belum tentu Bapak selingkuh. Lebih baik Ibu selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Jangan pake esmosi,” nasihat Linda sambil terus memangku Viera yang sudah tertidur.“Iya, Lin. Terima kasih atas nasihatnya.” Menghapus air mata dengan punggung tangan, tetap fokus mengemudi supaya tidak mencelakakan orang-orang yang ada di dalam mobil.“Maaf ya, Bu. Karena saya sudah berani menasihati.”“Saya malah senang jika ada orang yang memberi nasihat. Itu tandanya orang itu peduli sama saya!”“Kami semua itu peduli dan sayang sama Ibu. Ibu itu wanita baik, pengertian, bos paling ngertiin anak buahnya.”Aku mencoba mengulas senyum tipis kepadanya.“Sabar ya, Bu.”“Terima kasih. Tolong kamu jangan ceritakan masalah tadi sama orang lain ya, Lin. Biar se
Walaupun mata masih belum bisa terpejam, aku lekas ikut berbaring mencoba menjemput lelap serta mengarungi mimpi.“Oh, ternyata begini ya kelakuan kamu, Rivani! Suami sudah ngoprek nyuci piring, jemur baju, tapi kamu malah masih tidur. Coba kalu liat, sudah jam berapa sekarang!!” Aku berjengit kaget saat seseorang menarikku dari tempat tidur secara paksa sampai terjatuh.“Apa apaan ini?” Aku yang belum sadar sepenuhnya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung.Mama menarikku ke halaman belakang, menunjukkan pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mas Erlangga sedang menjemur pakaian sambil menjaga anak-anak.“Liat! Suami kamu sudah kerepotan pagi-pagi seperti ini, kamu malah masih molor!” ketusnya lagi.Mas Erlangga menghampiri dan menatapku lalu bergantian menatap wajah ibunya. Benar-benar menyebalkan ini laki-laki. Dari dulu juga tidak pernah mau membantu mengerjakan pekerjaan istri, ta
Wajah datar laki-laki itu terus saja memindai wajahku. Dia adalah kakak tertuaku, laki-laki yang selalu berusaha melindungi dari siapa pun, bahkan dia juga orang yang paling menentang saat aku meminta izin menikah dengan Mas Erlangga.“Mas Erlang lagi sakit, Bang. Abang tumben datang ke toko?” Aku sengaja berbohong karena jika Bang Damian tahu yang sebenarnya terjadi, dia pasti akan sangat marah kepada suami. Bisa dipaksa pulang seperti dulu dan dilarang bertemu dengan Mas Erlangga jika ia sampai tahu kelakuan suami yang asli.“Kamu kurusan, Van. Apa kamu tidak bahagia?” Mata elang nan tajam itu tidak lepas dari wajahku.“Mungkin karena terlalu lelah, Bang. Kan aku punya bayi!”Bang Damian berjalan mendekat. Dia mengusap rambutku yang tergerai kemudian mendaratkan kecupan di puncak kepala.“Bang, aku bukan anak kecil lagi. Jangan cium aku di depan umum. Malu!” protesku.“Selamanya kamu akan tetap menjadi gadis kecil A
“Kamu ngapain vodeoin Daffo sama selingkuhannya, Dek? Jangan bilang kamu kirim video itu ke Ariesa ya?” tanya suami setengah berbisik. Mungkin dia tidak mau Bang Damian tahu, apalagi jika sampai aku mengatakan kalau Ariesa dan Mama memaksa dia untuk menikah lagi.“Emang iya, Mas. Kok kamu tau?” Menerbitkan senyuman, seolah apa yang aku lakukan ini tidak salah. “Aku Cuma pengen dia merasakan seperti apa rasanya dikhianati, supaya tidak terus menerus menyuruh kamu nikah lagi, Mas!”Mas Erlangga hanya menghela napas. Dia lalu menarik kursi dan duduk di dekat Bang Damian, memunggungi Daffo walaupun sesekali aku lihat ekor matanya melirik ke arah adik iparnya itu.Aku terus menatap wajah suami yang terlihat mulai memerah. Dan saat kuperhatikan, ternyata tangan laki-laki itu terkepal di atas paha, menyembunyikan amarah yang seperti mulai membuncah.Apa dia marah karena aku mengirimkan video tersebut kepada Ariesa?“Mas, kamu mau ke ma
Aku akhirnya mengajak suami pulang, ingin istirahat karena sudah seharian bekerja di toko, dan malam-malam malah harus ngelayap tidak jelas seperti ini.“Kenapa kita pulang? Baru jam sembilan, Sayang!” ucap Bang Damian dengan ekspresi kurang suka.“Aku capek, ngantuk. Lagian untuk apa kita jalan-jalan kalo ujung-ujungnya malah diem-dieman seperti ini?” protesku kesal.“Abang minta maaf!”“Ya sudah. Lebih baik kita pulang. Tau mau begini akhirnya lebih baik aku tidur saja tadi. Ayo, Mas!” Menggendong Viera, sementara Mas Erlangga menggendong Mikayla yang sudah terlihat ngantuk sedang tangan kanannya menggandeng Danisa.“Vani, Abang minta maaf kalau sudah menghancurkan mood kamu malam ini.” Laki-laki bertubuh atletis serta bertato ular naga di punggungnya itu mencekal lenganku.“Maaf, Bang. Tolong jangan paksa istri saya. Dia sudah kelelahan. Apa Abang tega kalau melihat dia pingsan nanti?” sambung suami sambil menatap