LOGINNirwan menelan ludah. Ruangan itu terasa menyempit, udara seolah menekan dadanya. “Silvia … dia—”
“Aku ibu dari anaknya,” potong Silvia cepat, suaranya meninggi. “Atau setidaknya, aku pernah menjadi wanita yang dia janji akan dinikahi dan ditanggung seumur hidup.” Senyum tipisnya sarat kemarahan. “Apa itu juga salah paham?”Nadira bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang, namun matanya menyimpan badai. Di tengah kebimbangannya tentang jati diri, Nadira baru saja mulai berusaha membuka dirinya untuk menerima Nirwan. “Aku tidak menyangka ternyata begitu banyak wanita di hidupmu,” ucapnya lirih pada Nirwan. “Dan kamu tidak bercerita padaku soal anak dan wanita ini.”Bintang mendekap Liliana semakin erat, tubuh kecilnya bergetar. Liliana membalas pelukan cucunya dan ikut menatap Silvia dengan amarah yang tak lagi ia sembunyikan. “Cukup, Silvia. Jangan buat keributan di rumahku. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau, jadi pergilah dari sini.”Liliana dengan tegasNirwan menelan ludah. Ruangan itu terasa menyempit, udara seolah menekan dadanya. “Silvia … dia—”“Aku ibu dari anaknya,” potong Silvia cepat, suaranya meninggi. “Atau setidaknya, aku pernah menjadi wanita yang dia janji akan dinikahi dan ditanggung seumur hidup.” Senyum tipisnya sarat kemarahan. “Apa itu juga salah paham?”Nadira bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang, namun matanya menyimpan badai. Di tengah kebimbangannya tentang jati diri, Nadira baru saja mulai berusaha membuka dirinya untuk menerima Nirwan. “Aku tidak menyangka ternyata begitu banyak wanita di hidupmu,” ucapnya lirih pada Nirwan. “Dan kamu tidak bercerita padaku soal anak dan wanita ini.”Bintang mendekap Liliana semakin erat, tubuh kecilnya bergetar. Liliana membalas pelukan cucunya dan ikut menatap Silvia dengan amarah yang tak lagi ia sembunyikan. “Cukup, Silvia. Jangan buat keributan di rumahku. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau, jadi pergilah dari sini.”Liliana dengan tegas
Silvia mundur-mandir sedari tadi. Ia tampak uring-uringan setelah mendapat informasi bahwa ada beberapa pria yang diduga adalah polisi tengah menggeledah rumah lamanya. “Bagaimana jika mereka menemukannya?” gumamnya panik. Telapak tangannya basah oleh keringat. Ingatannya melayang pada sesuatu yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat—sesuatu yang seharusnya sudah lenyap, terkubur bersama masa lalu. Ia berhenti melangkah, menekan pelipisnya yang berdenyut. Napasnya memburu. “Tidak … tidak boleh. Aku gak mau masuk penjara. Jalan satu-satunya aku harus pergi jauh dari tempat ini, tapi nenek tua itu memberikan uang yang jauh dari kata cukup," bisiknya lirih. Otaknya terasa semakin sakit memikirkan bagaimana caranya agar dirinya bisa mendapatkan uang dalam jumlah yang besar. Silvia berencana kabur keluar negeri sebelum masalah pembunuhan yang telah ia lakukan terbongkar. Sementara itu dirinya tak memiliki uang yang cukup.
Dunia Nadira tak lepas dari Nirwan. Selama ia masih memiliki keterikatan kontrak kerja, maka selama itu pula ia akan terus bertemu dengan lelaki tersebut. Seperti siang ini, ia dan Nirwan kembali di pertemukan dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Tentunya untuk membahas perihal kerjaan. Nadira menghindari tatapan mata Nirwan, ia mencoba untuk tetap fokus pada layar walau pikirannya melayang-layang entah kemana. Nadira masih kepikiran dengan perdebatan yang terjadi antara dirinya dan Devan. Terbesit rasa bersalah di hati wanita itu. Nirwan mengamati Nadira cukup lama sebelum akhirnya mengetuk meja pelan, membuat wanita itu tersentak kecil.“Kamu nggak fokus,” ucapnya tenang, tapi jelas. Tatapannya menembus, seolah mengetahui seluruh isi kepalanya.Nadira buru-buru menegakkan bahu. “Maaf, aku hanya kepikiran sesuatu—”"Apa soal lelaki itu?” sela Nirwan tanpa mengalihkan pandangan. Wajah lelaki itu berubah dingin.Nadira terdiam. Tenggorokannya mengering. Ia
"Kamu beneran gak mau cerita sama Mama? Apa karena kamu gak percaya sama Mama?" Nirwan memejamkan mata sejenak, ia lelah, tapi bukan karena pertanyaan itu.Justru karena ia tahu ini adalah pertanyaan yang selalu berhasil membuat pertahanannya runtuh.Nirwan menggeleng pelan. “Bukan begitu, Ma.”Liliana menatapnya dalam-dalam. “Lalu kenapa? Kenapa kamu pikir kamu harus menanggung semuanya sendiri?” Suaranya lembut, tapi ada ketegasan seorang ibu yang merasa pintu hatinya sedang didorong tertutup oleh anaknya sendiri.Nirwan mengusap wajahnya, menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata. “Kerena ini bukan masalah besar. Aku juga gak mau Mama khawatir akan hal itu.”Liliana tersenyum lirih. “Mama cuma gak mau kamu menanggung beban sendirian."Nirwan tersenyum tipis. Ada kehangatan yang perlahan meresap ke dadanya ketika mendengar kata-kata penuh cinta dari Liliana. Kegundahan yang sejak tadi menekan dadanya seakan mencair, mereda sedikit demi sediki
"Perbedaan?" Nadira menaikkan salah satu alihnya pertanda ia mulai tertarik dengan obrolan mereka yang canggung. “Iya, sikap manjamu seakan tak bisa melakukan apa pun—berbanding terbalik dengan Leya yang selalu mandiri.” Nirwan mengatakannya dengan nada hati-hati, seolah setiap kata dipilih agar tidak melukai. Tetapi kalimat itu tetap saja membuat dada Nadira menghangat, bukan marah, hanya … tersentuh dan sedikit tersindir. “Manja?” Nadira mengulang kata itu sambil menyandarkan kepala pada jendela, matanya mengarah ke jalanan yang padat. “Aku tidak manja. Aku hanya … terbiasa ditemani.” Nirwan melirik sekilas. “Itu bukan sesuatu yang buruk, kamu tahu. Sikapmu membuatku seakan dibutuhkan." Nadira memajukan bibirnya seraya berdecak. "Memangnya kapan aku bersikap manja padamu?" Nadira mencoba mengingat-ingat setiap hal yang ia lakukan pada saat mereka bersama. Ia merasa dirinya tak bersikap seperti yang Nirwan ucap
Silvia kembali datang ke kediaman keluarga Anggara, seperti halnya yang sering ia lakukan di masa lalu. Ia kerap datang hanya untuk meminta biaya hidup berdalih dengan alasan Bintang. "Kenapa tidak kamu bawa Bintang ke sini? Bagaimana kondisinya, apa dia sehat?" tanya Liliana setelah menyerahkan uang yang ada di dalam amplop ke tangan Silvia. Silvia tersenyum bahagia. Amplop coklat yang ia pegang terasa tebal. "Keadaannya sehat," jawabnya acuh tak acuh. Silvia mengintip ke dalam amplop tersebut, memeriksa sekilas lembaran uang pecahan berwarna biru itu."Bawa Bintang ke sini, biar Mama yang merawatnya. Mama yakin kamu tak akan mungkin merawatnya dengan baik. Kasihan anak itu ... dia pasti kesepian seorang diri di rumat setiap kamu tinggal begini."Liliana menghela napas panjang, suaranya bergetar oleh kekhawatiran yang sudah lama ia tahan. Namun Silvia hanya menutup amplop itu, meremasnya sedikit seolah memastikan isinya benar-benar nyata, lalu memasukkannya k







