Leya baru saja sampai di kantor suaminya. Belum sampai depan lift dia tak sengaja berpapasan dengan Nirwan yang muncul dari arah yang berlawanan. Lelaki tinggi itu berjalan tergesa-gesa hingga tak menyadari keberadaan istrinya. "Mau kemana dia?" tanya Leya heran. Dia menoleh pada Aryani yang kebetulan menemani hari ini. "Mungkin ada sesuatu yang penting, Bu.""Sepenting apa sampai-sampai tak menoleh ke arahku sedikitpun?" gumam Leya pelan. Namun masih bisa didengar samar-samar oleh orang di sebelahnya. "Jadi sekarang bagaimana, Bu?""Mau bagaimana lagi. Bosnya saja tak ada untuk apa kita datang ke sini. Kita kembali ke kantor," balas Leya seraya berbalik langkah. Sepanjang perjalanan menuju parkiran mobil, hatinya terus bertanya-tanya dengan apa yang dialaminya barusan."Apa dia marah padaku? Tak biasanya dia tak menoleh padaku walau sedingin apa pun sikapnya padaku selama ini?" batinnya kian berisik. Cataleya merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya. Dia sedikit menjauh dari asi
Silvia tak main-main dengan ucapannya tempo hari. Nyalinya jauh lebih besar dari tubuhnya yang mungil. Setelah melihat pasangan suami-istri itu pergi, wanita berambut sebahu itu pun pergi mendekati Liliana yang tengah menyiram tanaman di halaman belakang. Bermodalkan mimik wajah sendu serta bola mata basah yang ditetesi cairan pencuci mata, Silvia memulai aksinya. Tangis kecil yang dia keluarkan mengalihkan pandangan Liliana. "Ada apa? Kenapa kamu nangis?" tanya Liliana bingung. Kran air yang masih menyala menyemburkan air ke lantai dengan asal. "Tolong saya, Nyonya. Berikan keadilan untuk saya. Saya tahu kalau saya hanya pelayan yang hina, tetapi bukan berarti saya boleh diperlakukan seperti ini," isak tangis Silvia semakin menyayat hati. Dia bahkan tak segan untuk bersimpuh di bawah kaki Liliana. Mendapati perlakukan seperti itu tentu saja mengagetkan wanita yang umurnya lebih dari setengah abad tersebut. Liliana merasa risih. Dia menarik bahu Silvia untuk berdiri menghadapnya
Pukul setengah lima sore Leya sudah sampai rumah dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Setelah bercerita pada Cindy hatinya yang terasa sesak sedikit berkurang. Otaknya yang terasa penuh kini bisa berpikir jernih untuk menghadapi masalah-masalah yang sudah mengantri untuk diselesaikan. Setelah membersihkan diri, Leya berjalan-jalan di taman depan rumah untuk mengusir kebosanan menghabiskan waktu senja. Aroma putik bunga mangga yang baru saja mekar dari kebun tetangga tertiup angin masuk ke dalam indra penciumannya. Terasa begitu menyegarkan. Leya melangkahkan kakinya menuju bangku di bawah pohon jambu air. Rasanya sudah lama dirinya tak bersantai-santai seperti ini. Silvia pulang dengan wajah kesal. Dia berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh sedikit pun. "Ada apa dengannya?" gumam Leya penasaran.Sejak awal mereka bertemu, Leya sudah menaruh perasaan tak suka terhadap Silvia. Hati kecilnya seakan menolak untuk lebih dekat dengannya ketimbang dengan pelayan lain yang ada
Silvia datang menemui Nirwan di ruangannya. Tatapan mata lelaki itu begitu tajam menusuk, tetapi Silvia tak gentar sebelum apa yang dia inginkan tercapai. "Anda harus bertanggung jawab atas diri saya, Tuan," ucap Silvia sebagai pembuka perbincangan mereka. Nirwan tersenyum mengejek mendengar ucapan wanita di hadapannya itu. Kata bertanggung jawab seperti sebuah jebakan untuk menjerat mangsa agar tak dapat kabur melepaskan diri. "Berapa yang kamu inginkan?"Nirwan langsung to the point tanpa berbasa-basi. Dia langsung mengeluarkan cek dari dalam laci meja kerjanya kemudian mencoret nominal angka di atasnya. "Apa segini cukup. Aku bisa memberi tambahan lagi berapa pun nominal yang kamu inginkan agar kamu simpan cerita malam itu sampai mati!"Wanita bertubuh kecil mungil itu tersenyum sinis menatap selembar cek yang Nirwan lemparkan padanya. Hati kecilnya terluka atas penghinaan yang dia terima. untuk apa menerima cek uang yang tak seberapa jika dia bisa memiliki tambang emasnya lang
Lelaki berkulit sawo matang itu semakin marah dan melampiaskannya dengan menci-um kasar istrinya."Eummmph, Nirwan!" Leya meronta-ronta dengan memukul dada bidang suaminya. Piyama handuk yang dia kenakan entah sejak kapan talinya terlepas hingga tersingkap bersamaan dengan pakaian lelaki itu yang telah tanggal dari tubuh atletisnya.Dada sintal itu menyembul malu-malu mau. Tangan Nirwan mulai menjelajah pada paha yang putih mulus pun terekspos. Ciu-mannya pun ikut berubah menjadi naf-su yang menggebu. Leya yang merasa dilecehkan menggigit bibir Nirwan, sehingga tautan mereka pun terlepas. Leya sebenarnya tak masalah jika Nirwan meminta haknya sebagai suami dan hal itu juga sering mereka lakukan selama menikah. Walau hanya sebatas memenuhi kebutuhan rohani saja tanpa adanya ikatan perasaan seperti cinta. Tetapi dengan cara baik-baik dan bukan pemaksaan seperti saat ini."Kamu—," Nirwan tak melanjutkan ucapannya. Dia mengusap sudut bibirnya yang berdarah akibat ulah Leya.Nirwan pun
Leya langsung bertolak ke rumah mertuanya. Di depan pintu dia langsung mendapati sang suami yang duduk di kursi teras seolah tengah menunggunya. "Kenapa terlambat?" Suara Nirwan terdengar begitu dingin, berbeda jauh dari beberapa jam yang lalu saat menelponnya. "Mampir ke toko dulu, beli ini." Leya menunjukkan sebuah plastik putih besar dari brand toko roti langganannya. Leya memang menyempatkan diri untuk membeli beberapa buah roti serta cake untuk buah tangan dan tak menyangka akan menjadi alasan yang bisa dia berikan pada suaminya. "Oh." Nirwan berdiri kemudian berjalan melewati dirinya begitu saja. Dia tak mengerti apa yang menjadi kesalahannya hingga suaminya kini bersikap dingin padanya. Dalam kebingungannya, dia tetap mengikuti langkah kaki suaminya dari belakang. Liliana telah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh hijau di tangannya. "Selamat malam, Ma," sapa Leya ramah. Tangannya menyodorkan bingkisan yang dibawa dengan canggung. Seperti seorang wanita y
Silvia menahan sakit hati mendengarkan bentakan Liliana padanya sore ini. Semua itu disebabkan hanya karena Silvia lamban memasak makanan yang Liliana pinta dan rasanya juga tidak enak.Liliana bahkan sampai melepeh kembali makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Rasa asin yang terlalu menyengat berlomba dengan rasa getir dari bumbu yang tidak tanak saat menumis. "Sebenarnya apa saja kerjamu. Beres rumah tidak pernah rapi, masak pun juga tidak bisa." Liliana terus saja mengomel tanpa henti seakan tengah meluapkan kekesalan hati yang telah lama tersimpan. Darmi dan beberapa pelayan lainnya menyaksikan dari sudut ruangan sembari mengerjakan pekerjaan mereka. "Memang gak ada guna dia di sini. Kerjaannya cuma ngawasi seakan dirinya yang nyonya rumah," bisik seorang pelayan yang tengah memotong wortel pada temannya. "Makanya kalau ada Tuan muda dandannya menor banget," balas sebelahnya tak kalah berbisik. "Apa iya?" tanya satunya lagi yang tak pernah memperhatikan hal-hal aneh sel
Burung berkicau merdu di balik jendela mengusik ketenangan sepasang suami-istri yang baru saja terlelap saat subuh menjelang. Leya mengerjabkan matanya perlahan saat cahaya matahari merambat ke retina. Lagi-lagi Leya terbangun dengan yang terasa kram akibat aktifitas mereka semalam. Namun yang berbeda kali ini adalah Leya yang menyodorkan dirinya secara suka rela. Bukan karena cinta melainkan pasrah pada kewajiban semata. Leya tersentak kaget mendengar jam weker di atas nakas yang tiba-tiba berbunyi. Tak ingin bunyi nyaring itu membangunkan makhluk kekar yang tengah terlelap di sampingnya, Leya bergegas mematikan. Baru saja Leya hendak beranjak dari ranjang, tangan kekar Nirwan membelit pinggangnya manja. "Mau kemana?""Kerja," jawab Leya singkat. Tangannya berusaha mendorong lengan suaminya agar menyingkir dari tubuhnya. Tetapi bukannya terlepas, rangkulan tangan itu semakin erat. Nirwan membenamkan wajah ke balik punggung mulus istrinya. Menghirup aroma tubuh pendamping hidupny
Saat bias matahari baru saja muncul memudarkan warna gelap di langit. Nirwan terbangun karena terganggu oleh tangisan seseorang di sebelahnya. Lelaki itu mengucek-ngucek matanya, seraya bangkit dengan kepala yang masih terasa pusing. "Berisik!" sentaknya kasar membuat suara tangis itu terdiam sesaat. Nirwan membuka matanya, betapa terkejutnya dia mendapati wanita yang tengah menangis di sampingnya tak mengenakan busana dan hanya ditutupi selimut tebal."Silvia? Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Nirwan syok. Dan lebih syok lagi dia melihat dirinya dalam keadaan yang sama dengan Silvia, tanpa pakaian yang menutupi tubuh mereka. "Apa Tuan lupa? Kalau semalam ... kalau semalam Tuan sudah merampas kehormatan saya, hik hik hik," terang Silvia seraya kembali menangis. Tangisannya terdengar pilu membuat Nirwan semakin pusing. Nirwan memijit pelipisnya kuat, kepalanya terasa berat. Dia berusaha menarik kembali memori yang tersimpan di otaknya tentang kejadian semalam. Ingatannya hanya