Share

7. Mimpi Aneh

"Jadi tadi kamu sholat Maghrib di rumah, Nak?" Tanya Ibu masih menatapku dengan tegang.

Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi mereka.

"Iya, kenapa, Bu? Apa karena hal itu Ibu melarangku sholat di rumah?"

"Karena hal apa?"

Kali ini aku yang dibuat heran dengan pertanyaan Ayah. Harusnya Ayah peka apa maksudku jika ia pun mengalami hal yang serupa.

"Lho memangnya Ayah atau Ibu tak pernah mengalami keganjilan saat sholat di rumah?"

Terlihat kedua orang tuaku saling bertukar pandang.

"Ya sama, Sat. Tapi kan keganjilan yang didapat itu berbeda-beda," sahut Ayah setelahnya. Tapi entah mengapa aku merasa Ayah tak sepenuhnya berkata jujur.

"Memangnya tadi kamu mengalami keganjilan yang bagaimana, Nak?" Ibu kembali bertanya dengan nada khawatir.

"Oh cuma sekedar dengar suara-suara aneh saat sholat saja kok, Bu."

Terdengar Ibu menghela napas berat mendengar jawabanku.

"Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa ibumu melarang kamu sholat di rumah?" Ayah kembali bersuara.

"Memangnya sejak kapan rumah kita mengalami keganjilan seperti ini, Yah?"

"Ayah juga tak tahu pasti sejak kapan." Terlihat sekali Ayah enggan membahas keanehan di rumah ini.

"Lalu kenapa Ayah hanya membiarkan saja? Kenapa tak panggil Ustadz saja supaya rumah ini diruqyah?"

"Sudah. Tapi tak ada perubahan. Tetap saja begitu," ujar Ayah lagi-lagi tanpa menatapku.

Entahlah aku merasa Ayah tak sepenuhnya jujur saat ini. Gelagat mereka juga benar-benar aneh akhir-akhir ini. Apa sebenarnya mereka pun tahu kebenaran tentang tumbal di bulan suro ini?

Selanjutnya aku hanya bisa diam, malas melanjutkan bertanya karena merasa kedua orang tuaku terlalu banyak menutupi sesuatu.

Tapi dalam hati aku sudah bertekad, esok akan ke rumah Ustadz Arif untuk konsultasi soal masalahku ini.

***

Aku berdiri di suatu tempat yang asing. Sebuah perkampungan yang begitu nampak kuno dan ketinggalan zaman. Rumah-rumah berdinding papan dan beratap daun rumbia berada di sekelilingku.

Terlihat para penduduk juga tengah beraktivitas. Namun saat kulihat, wajah-wajah mereka begitu pucat seolah tak ada darah yang mengalir di sana.

Sebenarnya di mana aku ini?

Para penduduk tersebut terlihat begitu sibuk seperti hendak pergi ke suatu tempat.

Dengan rasa penasaran, aku mengikuti mereka tanpa takut ketahuan. Karena sedari tadi aku sadar sepertinya mereka tak dapat melihatku.

Setelah berjalan beberapa saat rombongan orang-orang aneh itu berhenti di sebuah aula kuno tanpa dinding.

Terlihat di tengah-tengah aula terbentang sebuah karpet merah besar penuh dengan berbagai macam bunga. Namun setelah keperhatikan lebih jelas lagi, ternyata karpet itu bukan asli berwarna merah. Sepertinya warna merah pada karpet tersebut berasal dari tetesan cairan yang berwarna merah hingga membuat karpet tersebut berubah warna.

Aku langsung bergidik saat berpikir bahwa cairan merah yang menutupi karpet tersebut adalah darah.

Tak jauh dari karpet tersebut dibentang, ada sebuah kursi indah bak singgasana. Warna emas berkilat menambahkan kesan mewah pada kursi tersebut. Sepertinya pemilik kursi tersebut adalah orang yang istimewa.

Kerumunan orang yang tadi datang kini sudah duduk bersila mengelilingi karpet merah tersebut.

Tak berapa lama terdengar bunyi gamelan yang muncul entah dari mana, bersamaan dengan itu dari gelapnya rimbun hutan yang berada di belakang aula tersebut muncul serombongan orang.

Aku seketika terkesima, kala melihat yang datang seperti rombongan kerajaan.

Paling depan terlihat seorang lelaki dengan mengenakan pakaian kebesaran khas Raja berjalan menuju singgasana yang ada di sana. Sayangnya aku tak dapat melihat wajah raja tersebut karena ia memakai penutup muka.

Saat mataku beralih melihat rombongan yang mendampingi raja, jantungku langsung berpacu tak menentu. Aku sampai menahan napas karena ketakutan melihat sosok-sosok mereka.

Rupa mereka benar-benar mengerikan. Ada yang bertubuh kurus kering tapi memiliki perut yang amat besar, ada pula yang wajahnya menyerupai monyet namun bertubuh manusia, dan berbagai macam lagi jenis rupa mereka yang begitu mengerikan membuat aku benar-benar bergidik.

Melihat kengerian di depan mata tersebut, rasanya ingin sekali aku kabur. Namun aku bingung di mana jalan yang akan membawaku pulang.

Belum habis ketakutanku melihat mereka, tiba-tiba entah datang dari mana, sesosok tubuh terlempar ke tengah-tengah karpet merah tersebut.

Setelah memperhatikan lebih seksama, aku makin terkejut karena sadar ternyata sosok yang baru saja terlempar itu adalah Mas Evan. Namun tubuhnya saat ini masih utuh tanpa cela, tak seperti saat ia kecelakaan tadi.

Sebenarnya apa yang terjadi saat ini? Dan di mana aku sekarang? Dalam hati ingin sekali aku menolong Mas Evan, tapi aku begitu takut melihat makhluk-makhluk itu.

Tak berapa lama, terlihat salah satu dari rombongan raja tadi mendekat ke arah Mas Evan dengan membawa sebuah belati yang terlihat begitu tajam.

Lalu dalam hitungan detik saja belati tersebut sudah menghujam ke bagian perut Mas Evan yang sedari tadi tak bergerak.

Makhluk tersebut dengan begitu semangat mencabik-cabik bagian perut Mas Evan. Lalu tanpa ampun mengambil bagian hatinya.

Setelah puas dengan aksi kejamnya, makhluk lain mengambil hati Mas Evan tersebut, dan diberikan pada lelaki yang duduk di singgasana tersebut.

Aku tak sanggup lagi rasanya melihat pemandangan yang begitu mengerikan itu. Apalagi saat melihat lelaki yang berada di singgasana tersebut memakan hati Mas Evan dengan rakusnya.

Aku dapat melihatnya dengan jelas karena sebagian penutup wajahnya terbuka. Namun sayang, wajahnya tak juga terlihat.

Setelah puas menyantap hati Mas Evan, lelaki yang bergaya bak Raja itu mengangkat kedua tangannya, membuat seluruh makhluk yang ada di situ dengan begitu beringas langsung menyerbu tubuh Mas Evan dan menyantapnya hingga tak bersisa.

Melihat kengerian itu aku tak lagi bisa menahan diri. Aku langsung menjerit histeris sejadi-jadinya, bersamaan dengan itu aku langsung tersadar karena tiba-tiba terjatuh dari tempat tidur.

"Astaghfirullah ... Ternyata cuma mimpi. Tapi kenapa bisa semengerikan itu mimpiku?"

Berulangkali aku mengatur napas untuk menetralkan degup jantung yang tak beraturan.

Kejadian dalam mimpi tadi benar-benar membekas dalam ingatanku, membuat rasa takutku tak kunjung mereda.

Segera kuraih ponsel untuk menyalakan aplikasi pemutar ayat-ayat Al-Qur'an supaya hatiku menjadi tenang.

Namun baru beberapa detik aku menyalakannya, tiba-tiba aroma kemenyan yang begitu menyengat masuk ke indera penciumanku.

Apalagi ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status