"Jadi tadi kamu sholat Maghrib di rumah, Nak?" Tanya Ibu masih menatapku dengan tegang.
Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi mereka."Iya, kenapa, Bu? Apa karena hal itu Ibu melarangku sholat di rumah?""Karena hal apa?"Kali ini aku yang dibuat heran dengan pertanyaan Ayah. Harusnya Ayah peka apa maksudku jika ia pun mengalami hal yang serupa."Lho memangnya Ayah atau Ibu tak pernah mengalami keganjilan saat sholat di rumah?"Terlihat kedua orang tuaku saling bertukar pandang."Ya sama, Sat. Tapi kan keganjilan yang didapat itu berbeda-beda," sahut Ayah setelahnya. Tapi entah mengapa aku merasa Ayah tak sepenuhnya berkata jujur."Memangnya tadi kamu mengalami keganjilan yang bagaimana, Nak?" Ibu kembali bertanya dengan nada khawatir."Oh cuma sekedar dengar suara-suara aneh saat sholat saja kok, Bu."Terdengar Ibu menghela napas berat mendengar jawabanku."Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa ibumu melarang kamu sholat di rumah?" Ayah kembali bersuara."Memangnya sejak kapan rumah kita mengalami keganjilan seperti ini, Yah?""Ayah juga tak tahu pasti sejak kapan." Terlihat sekali Ayah enggan membahas keanehan di rumah ini."Lalu kenapa Ayah hanya membiarkan saja? Kenapa tak panggil Ustadz saja supaya rumah ini diruqyah?""Sudah. Tapi tak ada perubahan. Tetap saja begitu," ujar Ayah lagi-lagi tanpa menatapku.Entahlah aku merasa Ayah tak sepenuhnya jujur saat ini. Gelagat mereka juga benar-benar aneh akhir-akhir ini. Apa sebenarnya mereka pun tahu kebenaran tentang tumbal di bulan suro ini?Selanjutnya aku hanya bisa diam, malas melanjutkan bertanya karena merasa kedua orang tuaku terlalu banyak menutupi sesuatu.Tapi dalam hati aku sudah bertekad, esok akan ke rumah Ustadz Arif untuk konsultasi soal masalahku ini.***Aku berdiri di suatu tempat yang asing. Sebuah perkampungan yang begitu nampak kuno dan ketinggalan zaman. Rumah-rumah berdinding papan dan beratap daun rumbia berada di sekelilingku.Terlihat para penduduk juga tengah beraktivitas. Namun saat kulihat, wajah-wajah mereka begitu pucat seolah tak ada darah yang mengalir di sana.Sebenarnya di mana aku ini?Para penduduk tersebut terlihat begitu sibuk seperti hendak pergi ke suatu tempat.Dengan rasa penasaran, aku mengikuti mereka tanpa takut ketahuan. Karena sedari tadi aku sadar sepertinya mereka tak dapat melihatku.Setelah berjalan beberapa saat rombongan orang-orang aneh itu berhenti di sebuah aula kuno tanpa dinding.Terlihat di tengah-tengah aula terbentang sebuah karpet merah besar penuh dengan berbagai macam bunga. Namun setelah keperhatikan lebih jelas lagi, ternyata karpet itu bukan asli berwarna merah. Sepertinya warna merah pada karpet tersebut berasal dari tetesan cairan yang berwarna merah hingga membuat karpet tersebut berubah warna.Aku langsung bergidik saat berpikir bahwa cairan merah yang menutupi karpet tersebut adalah darah.Tak jauh dari karpet tersebut dibentang, ada sebuah kursi indah bak singgasana. Warna emas berkilat menambahkan kesan mewah pada kursi tersebut. Sepertinya pemilik kursi tersebut adalah orang yang istimewa.Kerumunan orang yang tadi datang kini sudah duduk bersila mengelilingi karpet merah tersebut.Tak berapa lama terdengar bunyi gamelan yang muncul entah dari mana, bersamaan dengan itu dari gelapnya rimbun hutan yang berada di belakang aula tersebut muncul serombongan orang.Aku seketika terkesima, kala melihat yang datang seperti rombongan kerajaan.Paling depan terlihat seorang lelaki dengan mengenakan pakaian kebesaran khas Raja berjalan menuju singgasana yang ada di sana. Sayangnya aku tak dapat melihat wajah raja tersebut karena ia memakai penutup muka.Saat mataku beralih melihat rombongan yang mendampingi raja, jantungku langsung berpacu tak menentu. Aku sampai menahan napas karena ketakutan melihat sosok-sosok mereka.Rupa mereka benar-benar mengerikan. Ada yang bertubuh kurus kering tapi memiliki perut yang amat besar, ada pula yang wajahnya menyerupai monyet namun bertubuh manusia, dan berbagai macam lagi jenis rupa mereka yang begitu mengerikan membuat aku benar-benar bergidik.Melihat kengerian di depan mata tersebut, rasanya ingin sekali aku kabur. Namun aku bingung di mana jalan yang akan membawaku pulang.Belum habis ketakutanku melihat mereka, tiba-tiba entah datang dari mana, sesosok tubuh terlempar ke tengah-tengah karpet merah tersebut.Setelah memperhatikan lebih seksama, aku makin terkejut karena sadar ternyata sosok yang baru saja terlempar itu adalah Mas Evan. Namun tubuhnya saat ini masih utuh tanpa cela, tak seperti saat ia kecelakaan tadi.Sebenarnya apa yang terjadi saat ini? Dan di mana aku sekarang? Dalam hati ingin sekali aku menolong Mas Evan, tapi aku begitu takut melihat makhluk-makhluk itu.Tak berapa lama, terlihat salah satu dari rombongan raja tadi mendekat ke arah Mas Evan dengan membawa sebuah belati yang terlihat begitu tajam.Lalu dalam hitungan detik saja belati tersebut sudah menghujam ke bagian perut Mas Evan yang sedari tadi tak bergerak.Makhluk tersebut dengan begitu semangat mencabik-cabik bagian perut Mas Evan. Lalu tanpa ampun mengambil bagian hatinya.Setelah puas dengan aksi kejamnya, makhluk lain mengambil hati Mas Evan tersebut, dan diberikan pada lelaki yang duduk di singgasana tersebut.Aku tak sanggup lagi rasanya melihat pemandangan yang begitu mengerikan itu. Apalagi saat melihat lelaki yang berada di singgasana tersebut memakan hati Mas Evan dengan rakusnya.Aku dapat melihatnya dengan jelas karena sebagian penutup wajahnya terbuka. Namun sayang, wajahnya tak juga terlihat.Setelah puas menyantap hati Mas Evan, lelaki yang bergaya bak Raja itu mengangkat kedua tangannya, membuat seluruh makhluk yang ada di situ dengan begitu beringas langsung menyerbu tubuh Mas Evan dan menyantapnya hingga tak bersisa.Melihat kengerian itu aku tak lagi bisa menahan diri. Aku langsung menjerit histeris sejadi-jadinya, bersamaan dengan itu aku langsung tersadar karena tiba-tiba terjatuh dari tempat tidur."Astaghfirullah ... Ternyata cuma mimpi. Tapi kenapa bisa semengerikan itu mimpiku?"Berulangkali aku mengatur napas untuk menetralkan degup jantung yang tak beraturan.Kejadian dalam mimpi tadi benar-benar membekas dalam ingatanku, membuat rasa takutku tak kunjung mereda.Segera kuraih ponsel untuk menyalakan aplikasi pemutar ayat-ayat Al-Qur'an supaya hatiku menjadi tenang.Namun baru beberapa detik aku menyalakannya, tiba-tiba aroma kemenyan yang begitu menyengat masuk ke indera penciumanku.Apalagi ini?Membuang rasa takut, aku bangkit dari tempat tidur untuk mencari dari mana asal bau kemenyan tersebut.Perlahan kuputar handle pintu dan membuka pintu sedikit untuk mengintip keadaan di luar kamar.Tak ada siapapun, tapi kenapa bau kemenyan ini begitu menyengat, bahkan sangking terasanya di indera penciuman sampai membuatku sesak.Karena merasa keadaan di luar aman, aku pun memutuskan untuk mencari asal bau tersebut.Aku menuju ruang depan tapi tak menemukan apapun. Namun saat melewati kamar Ayah dan Ibu, bau kemenyan tersebut makin terasa.Sayangnya pintu kamar orang tuaku itu tertutup begitu rapat. Hingga aku tak memiliki akses untuk mengintip ke dalam.Tak hilang akal, aku langsung merebahkan diri di lantai depan pintu kamar untuk mengintip melalui celah bawah pintu.Benar saja. Sepertinya asal bau kemenyan tersebut berasal dari dalam kamar orang tuaku. Namun sialnya lagi-lagi aku tak dapat melihat dengan jelas melalu
"Nak Satria ...."Aku langsung tersadar dari lamunan saat mendengar panggilan dari Pak Muhsin.Pandangan langsung kuedarkan ke sekitar tapi sama sekali tak nampak jejak dari Kakek tadi."Tadi saya hampir menabrak seorang kakek-kakek, Pak. Tapi sepertinya orangnya sudah pergi," ujarku berusaha setenang mungkin, walau sesungguhnya hatiku kini dipenuhi rasa tak enak."Oh begitu. Ya sudah, kalau begitu mari kita ke rumah Ustadz Arif sekarang."Aku langsung menyetujui ajakan Pak Muhsin.Kembali menyalakan motor mataku masih sesekali melihat sekeliling mencari keberadaan Kakek tadi, tapi ternyata benar-benar sudah tak nampak lagi, bahkan bayangannya sekalipun.Berusaha membuang segala kejanggalan barusan, aku kembali fokus pada tujuan awal mengunjungi Ustadz Arif.Semakin dekat menuju rumah Ustadz Arif, semakin terlihat jelas kerumunan warga yang ada di sana."Usir saja, usir! Kita tak butuh orang seperti mer
"Bu, itu benar Mas Danu yang meninggal?" Masih tak percaya dengan pendengaran sendiri, aku berlari ke warung menemui Ibu."Iya, Nak."Tubuhku seketika lemas mendengar jawaban Ibu. Baru tadi pagi Mas Danu memperlihatkan senyum sumringah padaku karena diberi uang oleh Lek Sutar. Tapi kini ...."Kamu gak apa-apa, Nak?" Ibu langsung menghampiriku yang begitu syok mendengar kabar duka tersebut."Bu, baru tadi pagi lho, aku bertemu dengan Mas Danu. Dia pun terlihat baik-baik saja," gumamku masih tak menyangka.Ibu mengelus bahuku berusaha menguatkan."Sekarang kamu percaya kan kalau tumbal bulan suro di kampung ini nyata?"Refleks aku menatap wajah Ibu."Tapi tumbal itu dipersembahkan oleh siapa dan untuk siapa, Bu? Kenapa hanya di desa kita saja yang seperti ini?"Ibu hanya menggeleng lemah tanpa menatapku, lalu bangkit berdiri karena ada pembeli datang.Tak mau membuang waktu, aku langsu
Tanpa buang waktu aku langsung balik badan hendak melarikan diri. Bisa gawat jika Lek Sutar mendapati aku telah menguping pembicaraannya.Tapi begitu menoleh aku dibuat hampir terjengkang karena mendapati kakek misterius yang tadi pagi hampir kutabrak sudah berdiri tepat di hadapanku.Jantungku makin bertalu-talu tak menentu saat merasa hawa tak enak di sekeliling.Situasiku terkepung kini. Di belakang ada Lek Sutar dan Pak Dasiman yang sedang mencariku, sedangkan di hadapanku ada kakek aneh yang selalu saja muncul tiba-tiba.Syukurnya tak berapa lama terdengar suara Bulek Sutini--istri Lek Sutar, memanggil-manggil Lek Sutar dengan heboh. Hingga dua orang di belakangku itu akhirnya mengurungkan niat untuk mencariku."Pak, ayo pulang, Pak! Karin, Pak ... Karin!" Bulek Sutini berteriak begitu heboh sembari menangis meraung-raung."Kenapa Karin, Bu?" Terdengar suara Lek Sutar juga tak kalah khawatir."Karin hilang, Pak."
Dengan hati tak menentu, aku berlari keluar dari rumah Mbah Darsih untuk mencari pertolongan. Rasa takut menjalari seluruh hatiku saat tadi tak merasakan denyut nadi pada Mbah Darsih. Firasatku benar-benar tak enak. Bagaimana jika wanita malang itu benar-benar meninggal?Berlari sejauh lima belas meter, akhirnya aku menemukan rumah tetangga Mbah Darsih."Pakde Kromo, tolong saya, Pakde ...." Sembari mengatur napas yang ngos-ngosan, aku meminta tolong pada seorang lelaki paruh baya yang sepertinya akan berangkat ke sawah itu."Satria? Ada apa?" Tanyanya dengan terheran-heran."Pakde, Mbah Darsih, Pakde ....""Mbah Darsih kenapa?" Tanyanya cepat sembari langsung meletakkan sabit yang tadi ia bawa.Aku pun menceritakan tentang kondisi Mbah Darsih, dan kekhawatiranku yang menyangsikan ia masih hidup.Tanpa membuang waktu, kami berdua pun langsung berlari menuju rumah Mbah Darsih.Namun begitu sampai di halaman, aku dibuat terheran-heran saat melihat pintu depan rumah Mbah Darsih sudah ter
Sraak!Butiran beras kuning tiba-tiba meluncur mengenai tubuh Karin."Aaaaa ...." Refleks Karin berteriak seolah begitu kesakitan. Lalu detik berikutnya ia kembali terkapar tak berdaya.Kami yang sedang tegang melihat Karin yang seperti tengah dirasuki itu, spontan melihat ke arah pintu masuk. Di sana sudah berdiri dukun yang waktu itu membantu pencarian Karin. Terlihat ia tengah memegang piring aluminium berisi beras kuning."Mbah Suroso ... Syukurlah Mbah datang di saat yang tepat." Dengan penuh kegembiraan, Lek Sutar menyambut tamu istimewanya itu."Anakmu itu sedang tak baik-baik saja, Sutar.""Tolong bantu saya, Mbah. Hanya Mbah lah saat ini yang bisa saya harapkan."Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Lek Sutar memohon pada dukun tersebut. Ucapannya sudah seperti seseorang yang tak punya Tuhan saja."Saya akan berusaha," sahut dukun tersebut dengan begitu mantap.Ia lalu berjalan menuju Karin yang kini kembali pingsan.Lalu tangannya beralih memegang perut Karin yang mem
Entah berapa lama aku pingsan, dengan kepala bagian belakang yang terasa begitu sakit, aku mulai membuka mata. Aku terkejut saat mendapati tubuh sudah terikat di sebatang pohon, hingga untuk bergerak pun aku kesulitan. Tubuhku merinding hebat kala melihat tepat di depan mata ada sebuah makam yang sepertinya sudah sangat tua. Makam siapa yang berada di tengah-tengah hutan begini?"Sudah bangun?"Aku tersentak saat mendengar suara dari arah belakang.Lalu muncul lah sang pemilik suara yang tak lain adalah Lek Sutar."Lek, apa yang Palek lakukan? Lepaskan aku, Lek!" Teriakku kesal saat melihat lelaki itu memandangiku dengan sinis."Lalu setelah aku melepaskanmu, kau akan mengadukan pada orang-orang tentangku, iya? Aku tak sebodoh itu, Satria," sahut Lek Sutar penuh penekanan."Mengadu apa, Lek? Aku bahkan tak tahu apapun!" Tandasku tak mau kalah."Lalu untuk apa kau mengikutiku kemari? Kau pasti mencurigaiku yang macam-macam kan?" Balas Lek Sutar dengan menatap nyalang."Tidak, Lek. Ak
Mataku nanar melihat sosok wanita tua yang tak lain adalah Mbah Darsih. Sedang apa wanita ini ada di hutan? "Cepat pergi!" Sentaknya padaku yang masih tertegun. Membuat aku langsung tersadar dan mengedarkan pandangan menatap sosok-sosok berwajah pucat yang kini telah menyadari bahwa aku telah lepas dari ikatan.Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil inisiatif untuk berlari, saat akan membawa serta Mbah Darsih, sialnya satu sosok berwajah pucat sudah lebih dulu menarik Mbah Darsih."Mbaaah!" Aku berteriak sembari hendak berlari menuju Mbah Darsih yang kini tengah terombang-ambing di antara makhluk-makhluk aneh itu."Jangan kemari! Cepat pergi, selamatkan diri!"Tentu aku tak rela meninggalkan wanita tua yang telah menolongku itu dengan para makhluk mengerikan.Tanpa banyak berpikir, aku langsung menerjang ke arah Mbah Darsih, namun mendadak langkahku tertahan saat di hadapan tiba-tiba muncul makhluk tinggi hitam yang kemari