Reza dan yang lain mulai putus asa mencari keberadaan Kalian. Semak belukar dan jalanan yang licin, belum lagi hujan mulai turun membasahi badan mereka.
"Linsi, lebih baik kita balik ke tenda dulu saja. Malam semakin larut, hujan juga mulai turun," ujar salah seorang di antaranya.
"Kita lanjut pencarian besok aja ya Lin, angin semakin bertiup kencang belum lagi ada kilat dan petir juga." Reza menjelaskan.
"Tapi kalau kita gak segera menemukan Kalina, nyawanya bisa dalam bahaya," jawab Linsi.
"Alinsi ini tengah malam, kita berada di hutan. Dalam cuaca buruk seperti ini bisa membahayakan nyawa kita semua." Rando lanjut menjelaskan.
Alinsia mengerutkan dahinya berpikir keras, dengan berat hati ia mengikuti nasehat yang lain untuk kembali ke tenda. Tak mungkin ia membahayakan nyawa banyak orang meski ia sangat ingin mencari sang sahabat. Mereka berjalan kembali menaiki tebing. Rando mengantarnya hingga sampai di depan tenda.
"Udah sana masuk, ganti pakaian dan hangatkan badan di dalam. Doakan Kalina agar dia baik-baik saja, berpikir positif selalu," ucap Rando dibelainya rambut Alinsia dengan tangan kanannya. Gadis itu mengangguk dan masuk ke dalam tenda. Dengan segera ia mengganti pakaian basahnya dengan yang kering. Kemudian meringkuk di balik selimut, menangis
*****
Sang surya mulai menyapa dunia, burung-burung berkicauan dengan merdu. Tetesan air bekas hujan semalam berjatuhan dari daun-daun yang tertiup angin. Gemercik air terjun terdengar nyaring ditambah kokokan ayam milik penduduk setempat bersahut-sahutan. Sungguh alunan musik alami khas pedesaan di pagi hari. Reza, Alinsia dan yang lainnya dibantu warga setempat mulai kembali menyusuri tebing semak belukar mencari Kalina. Di tempat yang berbeda Natalie dan kedua dayangnya malah asyik perawatan wajah dalam tenda sekretariat. Udara yang masih terasa dingin tak menyurutkan niat tiga gadis yang terkenal dengan julukan nenek sihir tersebut.
"Kalina!" teriak mereka bersahut-sahutan memanggil satu nama orang yang dari dulu mereka anggap penting gak penting.
"Kalina, kamu di mana?" teriak Rando. Alinsia yang berjalan beriringan dengan Rando tiba-tiba berhenti melangkah. Membuat semua yang berjalan di belakangnya ikut berhenti. Terdengar suara teriakan dari warga sekitar dari arah berlainan. Mereka pun bergegas ke arah suara tersebut.
"Ada apa pak?" tanya Reza.
"Lihat Mas, ada orang tiduran di atas batu sana." Seorang lelaki paruh baya menunjuk mulut sebuah gua besar. Mereka berlari melompati berbatuan, sesaat tempat tersebut padat. Kalina tergeletak tak sadarkan diri.
"Kalina bangun Kalin," berderai kembali tangisan Alinsia
"Kenapa Kalina bisa tiduran di tempat ini, apa jangan-jangan ada yang menolong dia sebelum kita sampai di tempat ini tadi?" tanya Reza. Mendengar suara gaduh perlahan-lahan Kalina membuka matanya. "Alinsi." Suara Kalina terdengar lirih.
"Kalina kamu gak apa-apa ‘kan, atau ada yang terasa sakit?" tanya Alinsi.
"Aku cuma merasa lemas dan perut aku sedikit sakit," jelas Kalina.
"Ya sudah nanti habis ini kita langsung ke rumah sakit ya," ujar Reza.
"Aku gak apa-apa kok beneran kita langsung pulang aja."
"Tadi katanya sakit perut," ujar Rando.
"Itu karena aku lapar belum sarapan."
"Oalah," teriak yang lain kompak.
Kalina berdiri dan dipapah oleh kedua pangeran tampan Reza dan Rando. Dengan pelan dan hati-hati mereka melangkah menjauhi air terjun tersebut. Namun, tanpa disadari sepasang tatapan mata dengan tajam memperhatikan mereka dari kejauhan sejak tadi. Kalina berhenti melangkah dan menoleh ke arah belakang, dia tak mendapati siapa-siapa. Semua orang telah berjalan di depannya.
"Cuma perasaanku saja kali ya," ucapnya dalam hati.
"Kenapa Kalin?" tanya Reza.
"Gak apa-apa kok." Kalina tersenyum meyakinkan.
"Atau kamu gak kuat jalan, mau aku gendong aja gimana?" usul Reza.
"Gak, gak usah, nggak apa-apa beneran, deh."
Di perjalanan, mereka melihat seekor burung elang berbulu putih terbang mendekat seolah-olah menggoda untuk dipegang.
"Burung yang cantik," ucap Kalina melihat burung itu terbang mendekat ke arahnya.
Belum sempat Kalina membelainya burung itu sudah melesat terbang ke atas menembus cakrawala. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan terjal. Wajah lelah mereka berubah lega ketika sampai di tepi jalan raya. Bus sekolah menanti, teriak sorak-sorai bahagia ketika mereka berhamburan masuk ke dalam. Jarak yang lumayan jauh hampir setengah hari.
Bersambung….
@lovely_karra
Seorang satpam bertubuh gempal berlari kecil membukakan pintu gerbang. Dengan sigap ditentengnya barang bawaan milik sang anak majikan. Sesampainya di kamar Kalina segera menghempaskan tubuh ke atas kasurnya yang empuk. Sejenak merilekskan tubuhnya yang penat. Diamati langit-langit, pandangannya lalu menjurus ke jendela kamar yang terbuka. Di sana bertengger seekor burung Elang putih. Kalina bangkit bergegas menuju ke arah jendela tersebut, ditangkapnya burung yang jinak itu. "Kenapa ada burung Elang di sini, punya siapa ya," pikir Kalina dengan memicingkan sebelah alisnya. "Mirip kayak burung yang aku lihat di hutan itu," pikirnya lagi. "Gak mungkin burung dari hutan itu, kan, pasti burung ini milik seseorang yang terlepas dari sangkar." Kalina berjalan keluar kamar menuruni tangga menuju ke taman belakang rumahnya. Dihempaskan burung itu agar terbang ke atas, tetapi baru sebentar terbang sang burung malah kembali terbang ke arahnya dan mendarat di atas pohon dekan Kal
Malam yang sunyi dan dingin, bulu kuduk Kalina mulai berdiri menyaksikan wajah-wajah buas dan liar, ketiga orang itu mulai berjalan mendekat. 'Tetap tenang Kalina, jangan gegabah,' ucapnya dalam benak menguatkan diri. Dia berusaha fokus membaca situasi mencari celah untuk melarikan diri. "Kalian mau apa?" pekik Kalina melihat mereka mendekat semakin mendekat. "Tolong!" teriaknya, tidak ada jawaban. Hanya suara tawa yang terdengar dari ketiga calon penjahat itu. "Teriak terus Neng, gak ada yang bakalan dengar," cibir orang berkumis, disambut kikikan yang lain. Salah satu di antara mereka mulai menyeret tangan Kalina agar menjauh dari mobil. Dengan susah payah dia menepis tangan kokoh itu. Tubuhnya terpelanting jatuh ke aspal.Kalina mulai berjongkok hendak berdiri, berharap ia dapat berlari dengan kencang.Namun tampaknya ia hanya dipermainkan oleh ketiga bajingan itu. "Dengan kaki kecilmu itu ke mana kamu bisa lari," ujar seorang berbadan kurus menarik lengan gad
Gelap, hanya gelap yang menyelimuti. Berpaling dari kenyataan yang harus diterima. Berusaha berpikir secara nalar mengukuhkan pendapat konyolnya, bahwa yang ia lihat hanya ilusi. Halusinasi saja, karena tak mungkin seorang manusia memiliki sebuah sayap. Itu semua hanya mitos dan legenda yang belum pasti kebenarannya Itu semua hanyalah cerita-cerita fantasi yang kerap ia saksikan dalam komik maupun anime favoritnya. Begitulah pemikiran itu bergejolak dalam benaknya. Sampai perlahan kelopak mata gadis itu bergerak, dan perlahan terbuka dengan pelan. "Kamu sudah sadar?" tanya Elang khawatir. Mata Kalina langsung mendelik, belum sempat Kalina membuka mulut, Elang sudah mendaratkan kecupan pada bibir mungil gadis itu. Wajahnya kembali memerah, jantungnya berdetak sangat cepat seperti parade drum band. "Kalau kamu berteriak bukan cuma kecupan yang kamu terima. Tapi aku akan melahap habis bibir mungilmu itu,!" ancam Elang memperingatkan. Kalina bergerak reflex membekap mulutn
'What the ….' Otak Kalina benar-benar diajak jalan-jalan pada pagi hari melihat pemandangan aduhai sungguh sayang untuk dilewatkan. Pemuda itu berdiri dengan handuk melilit di pinggangnya. Rambut dan badan basah karena baru mandi. Terlihat otot-otot lengannya menonjol di lengannya, ditambah dada bidang menampakkan roti sobek yang dikagumi para cewek-cewek pecinta opa-opa tampan dan cowok dua dimensi. Kalina masih melongo. 'Aku ingin menyentuhnya,' bisik Kalina. Tangan nakal itu terulur dan oh ya ampun jari telunjuk Kalina kini sudah sampai menyentuh otot-otot perut itu. Sekali menyentuh, 'Ah bukan mimpi,' keluh Kalina. Dia menyentuh lagi kali ini telapak tangannya meraba. 'Oh, ini sungguh luar biasa, aku bisa merasakan …." Pikiran Kalina buyar saat pemuda tersebut mengangkat badannya, berdiri tegak. "Sudah puas?" tanya Elang. Kalina menatap pemuda itu dengan gugup, "Oh, anu itu tubuhmu luar biasa," celetuk Kalina yang langsung menutup mulut, mata membuka le
Flashback jaman old, Kerajaan Nigella. Beberapa kawanan siluman muda sedang berburu di sebuah hutan tidak jauh dari istana. Mereka berlarian melompat menaiki sebuah bukit yang lebih tinggi agar mempermudah mengawasi calon mangsa. "Kalian lihat gadis dari klan peramal yang sedang berlatih memanah di dekat air terjun itu? Dia manis sekali," ucap Arsen —sang raja— mengawasi dengan girang. "Wah … wah … wah ... Sang Raja muda kita sedang jatuh cinta rupanya," kelakar Lamont, siluman serigala yang berwajah kalem dengan mata tajam. "Sepertinya dia akan kenyang tanpa makan malam hanya dengan menatap gadis itu," ujar Gavin, siluman elang (yang dipanggil Elang). "Rajaku, kenapa Anda lebih menyukai manusia, suatu saat mereka akan menua dan mati. Harusnya kita perbanyak keturunan dengan menikahi sesama bangsa siluman," kritik Elard, siluman harimau. Siluman yang populer di kalangan bangsa siluman dan manusia, walau berperilaku dingin wajah tampannya itu cukup membuat p
Atas perintah raja rapat dilaksanakan malam itu juga di aula istana. Anggota kerajaan duduk melingkar (seperti rapat meja bundar) dengan bangsa siluman berada di dekat pintu masuk aula. Para tetua berdiri di sebelah kiri dan untuk ketua setiap klan duduk di kursi yang disiapkan di depan meja bundar dengan bangsa manusia berdiri di belakangnya. "Aku tidak akan berlama-lama, aku akan langsung mengutarakan pendapatku sekarang juga." Arsen berkata lantang. "Aku akan menikah dengan putri klan siluman harimau dan menjadikannya ratu, tapi dengan sebuah syarat." Sang Raja menghentikan ucapnya. Setelah itu aku akan mengangkat seorang selir dari klan manusia peramal," lanjutnya. Aula berubah menjadi riuh tidak terkendali mereka sangat terkejut mendengar keputusan sang raja. "Tapi Nak, tidak ada tradisi selir dalam Kerajaan Nigella kita sejak dulu, apalagi menikahi bangsa manusia … itu melawan tradisi," keluh Sang Ratu —ibunda raja—. "Ibunda bukankah dengan menjadikan
Kicauan burung bersahut-sahutan terdengar nyaring, desiran air sungai mengalir deras di tengah hutan belantara itu. "Hei, sadarlah," cicit Gavin —siluman elang— mengguncang-guncang tubuh gadis yang ambruk di pangkuannya, panik. "Sekar!" Terdengar suara teriakan parau secara tiba-tiba. Siluman elang itu terkejut bukan kepalang tubuhnya hampir ambruk membentur bebatuan tepi sungai. Seorang nenek tua renta yang jalan terbungkuk dengan sebilah kayu di tangan menopang tubuh renta itu berjalan mendekati. "Apa yang terjadi pada cucuku?" tanya si nenek. "Saya tidak tau, tiba-tiba dia pingsan setelah …." Gavin bingung serta enggan melanjutkan ucapannya akan terdengar berkilah. "Apa tadi dia melihat masa depanmu, Cah Bagus?" tanya sang nenek mengerutkan kening dan menyipitkan mata. Siluman elang itu ternganga dan kembali memandangi gadis di pangkuannya. "Ikutlah denganku tidak baik berbicara di sini. Aku akan menjelaskannya nanti," lanjut sang nenek mengamati s
"Kedua orang tua Sekar diseret pergi. Karena penasaran aku mengendap-endap keluar dari persembunyian dan mengikuti mereka," lanjut nenek Sekar bercerita. "Akhirnya mereka berhenti di sebuah air terjun." Sang Nenek memukul-mukul dada, ingatan mengenaskan tersebut muncul kembali dalam benak. Sungguh peristiwa menyakitkan sepanjang hidup, rasa nyeri masih terasa sangat. "Lalu?" Gavin nampak tidak sabar. "Mereka melempar tubuh anak dan menantuku ke sebuah lingkaran berapi." Sang nenek menangis berteriak. Dia mengepalkan kedua tangan, tatapan benci terlihat jelas pada kobaran api di tungku. "Mantra dirapalkan dengan cepat. Anak dan menantuku dibakar hidup-hidup oleh mereka, aku masih sangat jelas mendengar teriakan kesakitan mereka berdua begitu pilu dan menyayat hati. Tubuhku melemas aku terduduk membekap mulutku sendiri, agar tangisan seorang ibu ini tidak terdengar oleh mereka." Nenek Sekar memejamkan mata, lelehan air bening mengucur deras membasahi pipi re