Setelah merasa cukup puas berbincang dengan Fara, Amanda berpamitan untuk pulang. Fara menawarkan diri untuk mengantar wanita itu, tetapi ditolak dengan alasan Angga yang akan menjemputnya."Ingat sama kata-kataku ya, Nda. Cukup jaga jarak aja, kalau dia hubungi kamu jangan pernah direspons. Kalau perlu blokir aja nomornya atau kamu ganti nomor yang baru."Amanda hanya mengangguk, tetapi dalam diamnya dia memikirkan banyak hal. Setelah Angga datang Amanda langsung berpamitan kepada Fara dan segera pergi dari area rumah perempuan itu. Sepanjang perjalanan Amanda masih saja diam. Dia bukannya memikirkan soal Abimanyu melainkan memikirkan sesuatu yang sudah dia temukan tadi di tempat Fara."Kenapa, Yang. Kok dari tadi diem terus. Biasanya kalau habis ketemu sama Fara pasti bakalan hepi tapi ini kok malah kebalikannya." Angga menoleh sebentar untuk melihat sang istri yang hanya diam saja sejak tadi."Aku curiga, Mas.""Curiga sama siapa?" tanya Angga tanpa menoleh, la
"Yang," panggil Angga, lalu mendongak dan menatap wajah Amanda di atasnya sambil tersenyum manja. "Kenapa?" tanya Amanda membalas senyuman Angga. Angga tetap tersenyum tanpa menjawab pertanyaan wanita itu, lalu menjulurkan satu tangan dan mengusap pelan pipi lembut Amanda. Mengucapkan kata maaf karena sering membuat wanita itu terluka dengan segala sikap dan ucapannya. Rupanya rasa bersalah itu masih cukup besar sehingga rasa penyesalan masih dirasakan oleh Angga. Amanda tersenyum lebar dan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Angga, mengatakan bila dia sudah memaafkan semua kesalahan lelaki itu dan menganggapnya sebagai angin lalu. "Aku cinta sama kamu. Jadi kumohon! Jangan pernah pergi," tutur Angga sungguh-sungguh membuat Amanda merasa terharu. Angga mengangkat kepalanya dari atas pangkuan Amanda, memutar tubuh supaya berhadapan dengan wanita itu. Menatap wajah sang istri cukup lama dan akhirnya mendekapn
Hidup itu ibaratkan sebuah roda yang selalu berputar setiap saat. Seperti halnya sebuah hubungan yang tak selamanya berjalan mulus, ada kalanya datang sebuah ujian yang datang silih berganti dan tugasnya hanyalah satu, bersabar dan menghadapinya dengan hati lapang. Sikap Angga pun masih sama, lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah daripada dengan Amanda dan wanita itu juga masih tetap diam, menahan rasa sakitnya seorang diri. Mereka hidup bersama. Namun, seolah tak begitu, Angga selalu sibuk dengan urusannya sehingga sering mengabaikan sang istri yang membutuhkan cukup banyak waktu untuk mereka berdua. Ibaratnya seperti ada, tetapi tak terlihat ada. Makan malam dengan keheningan, Amanda yang terus fokus dengan makanannya dan Angga yang berulang kali mendongak untuk melihat wajah istrinya itu. "Beberapa bulan ke depan aku ada urusan di luar kota." Amanda menghentikan suapan dan menatap wajah Angga sebentar, lalu menunduk dan memilih menat
Senyuman lebar terus mengiasi bibir berwarna soft pink itu, dia terus bersikap biasa meski jauh di dalam dirinya sedang menjerit karena terluka. Sejujurnya Amanda enggan keluar dari rumah, bahkan dia lebih ingin berada di dalam kamar saja dan meratapi nasib pernikahannya yang benar-benar telah berada di ujung tanduk. Dia terpaksa datang ke acara itu seorang diri, acara pernikahan Seffina dengan Althan—kakak sepupu Angga—yang digelar sangat mewah di hotel berbintang. Sebenarnya dia bisa menghubungi Angga untuk mengingatkan pria itu. Namun, rasa sakitnya telah melarang dirinya untuk berbuat demikian."Selamat ya, Kak. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai nanti-nanti." Amanda menyalami Althan, tetapi pria itu malah menarik tubuhnya dan memeluk sebentar adik iparnya itu."Makasih ya, Amanda. Angga mana, kamu ke sini sendirian?" tanya Althan sambil mengedarkan pandangannya. Setelah tidak menemukan Angga dia malah menatap Amanda dengan tatapan m
Saat selesai memakamkan Nessa Angga yang terlalu lelah langsung tidur dan keesokan harinya dia mulai sibuk kembali dengan urusan kantor. Selama Nessa sakit dia terlalu banyak mengambil cuti dan kini pekerjaannya sedang menumpuk. Lelaki itu sempat bingung karena tidak juga melihat sang istri di pagi hari. Namun, dia juga tak bisa mencari karena kini sudah sangat terlambat untuk berangkat ke kantor."Nanti aja pas jam istirahat aku coba telepon dia lagi. Semoga aja kamu nggak ngelakuin hal bodoh itu lagi, Amanda." Angga berdoa semoga Amanda tidak mengulangi lagi kejadian dulu, saat dia berniat melakukan bunuh diri.Pekerjaan yang begitu menumpuk membuat Angga sampai lupa untuk membaca pesan yang telah Amanda kirimkan. Setelah pekerjaan selesai dia langsung pulang dan berharap bisa menemui sang istri dan kembali memperbaiki hubungan mereka. Namun, Angga menghela napas kasar saat sampai di rumah Amanda masih juga tidak ada, ditelepon juga nomornya tidak bisa.
"Hati-hati, Nak. Mami kan sudah bilang jangan suka lari-lari!" Wanita berambut sebahu itu terus berteriak saat bocah laki-laki yang berada tak jauh darinya masih saja berlari tanpa perduli bila nanti akan tersandung batu dan akhirnya terjatuh."Kangen sama Mami!" balas bocah itu sambil merentangkan kedua tangannya membuat perempuan yang sedang mengenakan setelan formal itu tersenyum dengan lebar. Namun, senyuman di bibirnya mulai menghilang saat melihat bahwa sang anak hendak terjatuh."Shadam!""Hap! Untung papa yang tangkap."Wanita itu menghela napasnya dengan lega karena akhirnya Shadam tidak sampai terluka dan pria berkemeja biru pastel itu langsung menggendong Shadam dan membawanya mendekati sang ibu."Mamiii!!" Shadam langsung turun dan memeluk kaki wanita itu dengan penuh kerinduan. "Shadam pikir pak supir lagi yang jemput."Wanita itu tersenyum dengan lebar dan mulai berjongkok supaya tinggi tubuhnya menyamai sang anak. "Mami lagi nggak sibuk hari ini, jadi kita akan jalan-ja
Amanda tersipu saat Daejung terus menatapnya tanpa berkedip dengan senyuman lebar di bibir pria itu. Saat ini keduanya sedang berada di butik ternama, Daejung telah meminta Amanda untuk mengikuti sebuah acara penting dengannya. Awalnya Amanda menolak karena dia bisa memilih pakaian di butiknya sendiri. Namun, Daejung menolak dan malah membawa wanita beranak satu itu untuk memilih pakaian di butik lain, tetapi nyatanya bukan Amanda yang memilih pakaian itu tapi Daejunglah pemilihnya."Ganti aja, ya. Kayaknya pakaian ini nggak pantes buat aku." Amanda insecure dan mulai berbalik berniat untuk melepas Lace dress di tubuhnya."Ngapain, kamu cocok kok pakai baju itu." Daejung menolak dan masih memperhatikan Amanda yang terlihat muda dengan dress itu."Jangan yang ini, Jung. Ini terlihat terlalu muda kalau aku pakai," mohon Amanda membuat Daejung menghela napasnya dengan pelan. Daejung juga tidak bisa memaksa Amanda supaya bersedia mengenakan pakaian pilihannya. Wanita itu bersedia ikut saj
Daejung menghela napasnya dengan pelan dan kembali duduk di atas kursi, kembali mengingat semua tuduhan yang telah Yuki lontarkan untuk Amanda. Dia tersenyum sebentar sambil menggelengkan kepalanya karena merasa lucu dengan semua tuduhan wanita bertubuh tinggi itu."Ciuman dan lebih dari itu ... kamu salah, Yuki. Membayangkannya saja aku tidak bisa apalagi sampai melakukannya. Hubungan kita tidak dekat seperti yang kamu pikirkan itu," desah Daejung dan mulai menidurkan kepalanya di atas meja dengan perasaan bingung. Namun, dia langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara pintu terbuka. "Maaf, Jung. Aku pulang duluan ya," ujar Amanda langsung sambil membuka tas selempang dan mencari sesuatu di dalamnya."Biar aku anter. Kan, kamu masih harus jemput Shadam." Daejung beranjak dari kursi dan melangkah menuju Amanda berada. Namun, wanita beranak satu itu melarangnya."Eh, nggak perlu. Aku bisa pesan taksi kok. Kamu juga kayaknya lagi sibuk banget hari ini. Besok kita juga ketemu lag