Bab 5
Lila dan Bima berlari keluar dari rumah, meninggalkan Arga dalam pelukan erat Lila. Malam terasa lebih dingin dari biasanya, angin yang berhembus membawa bisikan samar yang terus-menerus mengganggu pikiran mereka. Ketakutan menggerogoti mereka, tetapi rasa cinta dan tanggung jawab untuk melindungi anak mereka lebih besar dari rasa takut itu. "Kita harus ke Pohon Leluhur sebelum purnama berikutnya," kata Bima, suaranya tegas meski napasnya tersengal. "Tapi apa kita cukup siap?" tanya Lila, menggenggam tangan Bima erat. "Pak Gana bilang kita membutuhkan ritual, dan itu tidak mudah." Bima menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang Lila dalam-dalam, matanya penuh tekad. "Kalau kita menunggu, Arga akan menjadi tumbal berikutnya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi." Kembali ke rumah Bu Ratmi Namun, sebelum melangkah lebih jauh, mereka memutuskan untuk memeriksa rumah Bu Ratmi. Jeritan terakhir yang mereka dengar masih terngiang di telinga. Rumah kecil itu kini tampak lebih gelap dari biasanya, seolah-olah tidak ada kehidupan di dalamnya. Bima membuka pintu perlahan. Bau busuk menyergap mereka, membuat Lila hampir muntah. Di ruang tengah, mereka menemukan kursi rotan yang terguling dan lantai penuh jejak kaki berlumpur. "Bu Ratmi?" panggil Bima, suaranya menggema di ruang kosong. Tidak ada jawaban. Hanya suara derit kayu dari lantai atas. Bima mengisyaratkan Lila untuk tetap diam saat ia mendekati tangga. Langkahnya hati-hati, tetapi setiap pijakan kayu terasa seperti berteriak di tengah keheningan. Di ujung tangga, mereka menemukan pintu kamar Bu Ratmi setengah terbuka. Di dalamnya, tubuh Bu Ratmi tergeletak di lantai, matanya terbuka lebar, tetapi tidak ada cahaya kehidupan di dalamnya. Wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang mendalam. Di dinding kamar, sebuah pesan tertulis dengan darah segar: "Pohon memanggil. Harga telah dibayar." Lila tersedu pelan, sementara Bima mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Mereka menghabisi Bu Ratmi sebagai peringatan," katanya dengan nada rendah. "Kita harus melawan, Lila. Kita tidak bisa mundur." Malam semakin larut saat mereka mendekati Pohon Leluhur, tempat yang selalu dihindari penduduk desa. Pohon tua itu berdiri megah di tengah hutan, dengan akar-akar besar yang mencengkeram tanah seperti tangan raksasa. Udara di sekitar pohon itu lebih dingin, seolah-olah kehidupan tidak bisa bertahan di dekatnya. Ketika mereka melangkah mendekat, suara-suara aneh mulai terdengar—bisikan, tawa kecil, dan jeritan samar yang seolah berasal dari tempat jauh. Lila merasakan bulu kuduknya meremang, tetapi ia tidak berhenti. Pak Gana sudah menunggu di sana, berdiri di depan pohon dengan tongkat kayu di tangannya. Ia mengenakan jubah hitam dengan simbol-simbol kuno di sepanjang tepinya. Di sampingnya, sebuah lingkaran ritual sudah digambar di tanah dengan campuran garam dan darah ayam. "Kalian datang," katanya tanpa menoleh. "Tapi mereka juga tahu kalian ada di sini. Ritual ini harus dilakukan dengan cepat." Bima maju mendekat. "Apa yang harus kami lakukan?" Pak Gana menatap mereka dengan mata tajam. "Salah satu dari kalian harus masuk ke dalam lingkaran itu dan menyerahkan sebagian jiwa kalian. Itu satu-satunya cara untuk membuka akses ke akar pohon ini dan menghancurkannya." Lila terkejut. "Apa maksudnya menyerahkan jiwa?" Pak Gana menghela napas panjang. "Kalian akan kehilangan sebagian besar energi hidup kalian. Mungkin kalian tidak akan pernah pulih sepenuhnya. Tetapi jika tidak ada yang melakukannya, kutukan ini akan terus berlanjut." Sebelum mereka bisa memutuskan, suara jeritan keras terdengar dari dalam hutan. Bayangan-bayangan hitam mulai muncul dari balik pepohonan, bergerak mendekati mereka dengan cepat. "Mereka datang!" seru Pak Gana, melangkah mundur. "Mereka tidak akan membiarkan kita menyelesaikan ini." Bima mencengkeram parang di tangannya, bersiap menghadapi makhluk-makhluk itu. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Bayangan itu mengelilingi mereka, mata merah menyala menatap mereka dengan kebencian. Lila meraih Arga, memeluknya erat. Dalam hati, ia tahu keputusan harus segera diambil. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke dalam lingkaran ritual. "Lila, jangan!" teriak Bima. "Aku harus melakukannya," kata Lila tegas. "Arga membutuhkan kita, Bima. Kita tidak punya pilihan lain." Saat Lila berdiri di tengah lingkaran, Pak Gana mulai melafalkan mantra kuno. Udara di sekitar mereka bergetar, dan cahaya bulan purnama tampak semakin terang, menerangi Pohon Leluhur. Bayangan-bayangan itu mulai menyerang, tetapi Bima dengan gagah berani menghadang mereka, mengayunkan parang dengan penuh semangat meski tubuhnya sudah lelah. Lila merasakan tubuhnya melemah seiring mantra Pak Gana berlanjut. Akar pohon mulai bergerak, membuka jalan ke sebuah lubang gelap yang berisi sesuatu yang tampak seperti cahaya hijau redup. Namun, sebelum ritual selesai, suara tawa keras menggema di udara. Sosok tinggi dengan mata merah muncul di depan mereka, lebih besar dan menyeramkan dari bayangan lainnya. "Berani sekali kalian mencoba melawan kami," suara itu bergema, membuat tanah di sekitar mereka bergetar. Lila mulai kehilangan kesadaran, tetapi ia tetap berdiri di dalam lingkaran. Akar-akar pohon yang bergerak kini tampak seperti ular besar yang siap melilit siapa saja. Sosok besar itu melangkah mendekat, menatap langsung ke arah Lila. "Kau sudah menyerahkan jiwamu," katanya dengan senyum mengerikan. "Tapi kau belum tahu, ritual ini akan menghancurkan lebih dari sekadar pohon." Pak Gana berhenti melafalkan mantra, wajahnya berubah pucat. "Tidak... ini tidak mungkin. Aku salah membaca naskahnya." "Apa maksudmu?" tanya Bima, menoleh panik. Pak Gana menatap mereka dengan mata penuh penyesalan. "Jika kita melanjutkan, kutukan akan berakhir... tetapi dengan harga yang jauh lebih besar." Malam itu, suara tawa menyeramkan dari makhluk gaib bercampur dengan teriakan Bima dan Lila, menyisakan pertanyaan besar: apakah mereka harus melanjutkan ritual atau mundur untuk menyelamatkan keluarga mereka? Lila mengerang, tubuhnya terasa seperti disedot ke dalam kekosongan. Di dalam lingkaran ritual, ia melihat sekilas bayangan wajah-wajah penuh penderitaan yang muncul dan menghilang dalam cahaya hijau di dasar lubang akar Pohon Leluhur. Pak Gana melanjutkan mantra dengan suara gemetar, tetapi getaran di udara semakin kuat, seakan-akan alam sedang memberontak. Di sisi lain, Bima terus melawan bayangan-bayangan hitam dengan parang di tangannya, meskipun setiap serangan terasa sia-sia. Makhluk-makhluk itu tidak terluka, hanya mundur sejenak sebelum kembali menyerang. “Bima, mereka terlalu banyak!” seru Lila lemah. Namun, sebelum Bima bisa menjawab, tanah di bawah Pohon Leluhur mulai retak, dan akar-akar raksasa bergerak liar, seperti ular yang mencari mangsa. Lubang di dasar pohon semakin membesar, memancarkan cahaya hijau yang menyilaukan. Tiba-tiba, sosok besar dengan mata merah menyala melayang di atas mereka. Suaranya menggema seperti ribuan bisikan jahat. "Kalian pikir bisa menghancurkan kami begitu saja? Kalian hanya alat. Pohon ini tidak akan mati tanpa tumbal terakhir—jiwa bayi itu!" Arga, yang tertidur dalam pelukan Lila, mulai menangis keras. Tangisannya menggema di udara, membuat bayangan-bayangan itu semakin gelisah. Sosok besar itu mengulurkan tangan kabutnya ke arah Lila, mencoba meraih Arga. “Tidak akan kubiarkan!” Bima berteriak, melompat ke arah makhluk itu dengan parang terangkat tinggi. Tetapi sebelum parang itu mengenai sasarannya, makhluk itu menghilang, meninggalkan suara tawa yang mengerikan. Di saat yang sama, lubang di dasar pohon meledak dengan kilatan cahaya hijau yang menyilaukan, memaksa mereka semua menutup mata. Ketika Lila membuka matanya, ia menyadari bahwa semuanya telah berubah. Pohon Leluhur tampak lebih menyeramkan, dengan akar-akar yang sekarang menggeliat seperti makhluk hidup. Di tanah, sebuah simbol kuno yang bercahaya perlahan muncul, seolah-olah memanggil sesuatu dari kedalaman. Pak Gana jatuh terduduk, wajahnya penuh ketakutan. "Ini buruk... sangat buruk. Pohon ini tidak hanya tempat kutukan dimulai. Pohon ini adalah gerbang. Dan sekarang gerbangnya terbuka." Sebelum mereka bisa mencerna kata-kata Pak Gana, suara gemuruh keras terdengar dari dalam lubang. Angin dingin yang mencekam berhembus keluar, membawa aroma busuk yang menusuk hidung. Dari kegelapan lubang itu, sebuah tangan besar, bersisik, dan penuh duri muncul, mencengkeram akar-akar pohon dengan kekuatan yang luar biasa. Lila menahan napas saat melihat makhluk itu mulai muncul sepenuhnya, sosok raksasa dengan tubuh menyerupai naga namun memiliki wajah seperti manusia tua yang keriput dan mata yang memancarkan kebencian murni. Makhluk itu tertawa dengan suara yang mengguncang bumi. "Kalian membangunkan aku. Terima kasih... Sekarang, aku akan mengambil apa yang menjadi milikku." Lila memeluk Arga lebih erat, tubuhnya gemetar hebat. Bima berdiri di depan mereka, mencoba melindungi keluarganya meski wajahnya dipenuhi keringat dingin. "Pak Gana, apa ini?!" seru Bima dengan suara penuh panik. Pak Gana hanya bisa tergagap, "Itu... itu penjaga kutukan. Jika kita tidak segera menghentikannya, desa ini... mungkin seluruh dunia akan hancur." Makhluk itu mulai bergerak mendekati mereka, menginjakkan kakinya yang besar ke tanah, menciptakan retakan besar yang seolah-olah memisahkan mereka dari dunia nyata. Lila memandang Bima, air matanya jatuh. "Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa melawannya!" Tetapi sebelum Bima bisa menjawab, suara kecil namun tajam keluar dari bibir Arga. "Mama... papa..." Lila dan Bima membeku. Itu adalah pertama kalinya Arga berbicara. Namun, suara itu bukan suara seorang bayi—melainkan suara lain yang lebih tua, lebih dalam, dan penuh misteri. "Pergi ke dalam pohon," kata suara itu. "Hanya di dalam, kalian akan menemukan cara menghentikan ini. Tapi bersiaplah... tidak semua akan kembali."Di ruang tamu yang sunyi, Arga dan Anandia duduk berhadapan. Wajah Anandia tegang, sementara Arga menatapnya dengan sabar, menunggu penjelasan yang sudah lama ia tunggu."Arga," Anandia memulai, suaranya bergetar. "Aku harus memberitahumu sesuatu yang mungkin akan mengubah cara pandangmu terhadapku."Arga menyandarkan punggungnya, mencoba membuat Anandia merasa lebih nyaman. "Katakan saja, Anandia. Aku di sini untuk mendengar, apa pun itu."Anandia menarik napas panjang. "Keluargaku... mereka bukan keluarga biasa. Kami memiliki hubungan dengan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa aku hindari."Arga mengerutkan kening. "Hubungan dengan sesuatu yang gelap? Maksudmu apa?"Anandia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Dulu, sebelum aku lahir, keluargaku terlibat dalam sebuah ritual gaib. Ritual itu melibatkan leluhurmu, Arga."Arga tertegun. "Leluhurku? Apa hubungan keluargamu dengan kutukan itu?"Anandia men
Pagi itu, Arga kembali ke rumah dengan perasaan penuh pertanyaan. Percakapan dengan Anandia kemarin masih terngiang-ngiang di benaknya. Namun, saat ia hendak memasuki rumah, Anandia muncul di gerbang, seolah telah menunggunya."Anandia?" Arga menatapnya heran. "Kenapa kamu di sini?""Aku harus bicara, Arga. Ini soal keluargaku. Aku harus menjelaskannya sekarang," kata Anandia dengan nada serius.Arga ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Ia membuka pintu dan mengajak Anandia duduk di ruang tamu. Lila dan Bima tidak ada di rumah, jadi tempat itu cukup tenang untuk percakapan mereka."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Arga sambil menyilangkan tangan di dada.Anandia menatap ke arah jendela, matanya penuh kenangan pahit. "Dua tahun lalu, aku kehilangan keluargaku dalam sebuah kejadian yang tidak pernah bisa aku lupakan. Mereka dibunuh... oleh sesuatu yang bukan manusia."Arga terkejut. "Apa maksudmu, bukan manusia?"Anandia menghela napas panjang. "Sesuatu yang datang dari dunia ga
Suasana kelas yang semula riuh mendadak sunyi saat seorang gadis baru memasuki ruangan. Guru wali kelas tersenyum sambil memperkenalkan."Anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Perkenalkan dirimu, ya."Gadis itu maju ke depan kelas dengan langkah tenang. Rambut hitamnya tergerai rapi, dan matanya memancarkan keteguhan yang aneh."Halo, semuanya. Nama saya Anandia, saya baru pindah dari kota. Senang bisa bergabung di sini." Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.Bisik-bisik mulai terdengar di antara para siswa."Anandia cantik banget, ya," ujar salah satu siswa perempuan."Kayaknya dia tipe cewek pintar," timpal yang lain.Sheila yang duduk di sudut kelas memperhatikan dengan tatapan tak suka. Ia memelototi Anandia seolah langsung menganggapnya ancaman.---Saat Jam Istirahat.Anandia berjalan keluar kelas, mencari tempat untuk duduk sendiri. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Arga di taman. Ia mendekat dengan ragu, lalu berkata, "Boleh duduk di sini?"Arga, yang seda
Hari itu, suasana kelas tampak lebih ramai dari biasanya. Guru wali kelas baru saja mengumumkan adanya kompetisi akademik tingkat provinsi, dan Arga, seperti biasa, langsung ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Namun, suasana berubah tegang saat nama lain disebutkan."Sebagai perwakilan kedua, kami memilih Farel," kata wali kelas dengan senyum.Semua murid mulai berbisik-bisik. Farel adalah salah satu siswa yang dikenal pintar, tapi sering terlihat iri dengan prestasi Arga. Wajah Farel tampak puas, tapi ada kilatan tantangan di matanya saat ia menatap Arga.Saat kelas usai, Farel menghampiri Arga yang sedang duduk di pojokan, membaca buku."Jadi, kita akan jadi tim, ya?" Farel membuka percakapan dengan nada sinis.Arga mengangkat wajahnya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Tim? Kalau kau serius, mungkin," jawabnya datar.Farel terkekeh kecil. "Jangan terlalu percaya diri, Arga. Kau mungkin juara di sekolah, tapi ini tingkat provinsi. Aku hanya ingin memastikan kau nggak memper
Di SMA tempat Arga bersekolah, ketampanan, kepintaran, dan kepribadian misteriusnya membuat banyak siswi terpesona. Namun, ada satu siswi yang terobsesi melebihi yang lain, Sheila Ia bukan hanya sekadar menyukai Arga, tapi yakin bahwa Arga adalah takdirnya.Pagi itu, suasana di kelas Arga ramai seperti biasa. Arga duduk di bangku belakang, fokus mengerjakan soal tambahan yang diberikan gurunya. Di sudut lain, Sheila mengamati Arga dengan tatapan yang tidak bisa diartikan."Sheila, ngapain bengong? Lagi-lagi liatin Arga, ya?" sindir Siska, teman sebangkunya.Sheila tersenyum kecil. "Dia itu... beda. Kamu nggak ngerti."Siska memutar bola matanya. "Beda apanya? Dia cuma cowok dingin yang nggak pernah peduli sama siapa pun.""Itu karena dia belum kenal aku," balas Sheila yakin.Hari itu, di jam istirahat, Sheila membawa sekotak bekal yang dibuatnya sendiri. Ia berjalan ke arah meja Arga di kantin, di mana Arga sedang membaca buku s
Sekolah SMA tempat Arga belajar adalah salah satu sekolah paling bergengsi di kota. Gedungnya megah, dikelilingi taman luas dengan pepohonan rindang. Namun, suasana sekolah itu selalu menjadi saksi dari kehadiran seorang murid yang misterius dan penuh daya tarik, Arga.Arga adalah pemuda yang dikenal dengan sikap dingin dan cueknya. Ia jarang berbicara dengan teman-teman sekelasnya kecuali saat diperlukan. Namun, justru sikap inilah yang membuatnya begitu dikagumi."Arga itu keren banget, ya. Diam-diam bikin penasaran," bisik seorang siswi kepada temannya saat Arga melintas di lorong sekolah."Dia nggak cuma ganteng, tapi juga pinter banget. Nilai akademiknya selalu nomor satu, belum lagi dia jago basket. Idola banget deh!" sahut yang lain.Dalam berbagai kompetisi, nama Arga selalu muncul. Ia unggul di akademik, menjuarai olimpiade fisika tingkat nasional, dan juga merupakan kapten tim basket sekolah. Ketika Arga bermain di lapangan, tribun selalu dipenuhi sorakan siswa-siswi yang me