Di perpustakaan, Alula mencari tempat paling sudut. Ruangan itu sudah seperti gudang yang sangat sepi. Hanya ada beberapa orang termasuk penjaga perpustakaan, yang bisa dihitung dengan jari.Alula mengambil asal satu buku, lalu meletakkannya di atas meja. Ia menyenderkan kepada pada dinding, lalu memulai ritualnya. Ritual menangis. Bukannya dibaca, buku itu hanya untuk menemaninya saja.Alula yang saat itu sudah cukup mengerti dengan yang terjadi, masih ingat ketika Jasman membawanya ke panti asuhan yang jauh dari kota tempat tinggal pria tersebut. Alula ditinggal di sana, di panti asuhan negeri yang pengelolanya adalah Jannah.Ketika Lebaran pun, Alula tidak pernah ingin mendatangi rumah Jasman. Pun pria itu tidak lagi peduli.“La, uang santunan dari orang-orang bisa kamu belikan baju Lebaran,” ujar Jannah kala itu.“Enggak, Bu. Aku simpan aja buat ditabung. Pengen beli sepeda, biar nggak jalan kaki kalau sekolah,” tolak Alula kecil.Setelah mengumpulkan beberapa waktu, sepeda akhirn
Lutfan memijat pelipis. Ia heran masih ada wanita model Alula yang suka ngeyel dan curiga padahal mereka dalam naungan kampus yang sama. Ia bercanda menyuruh Alula mendorong sendiri, tetapi ditanggapi serius oleh gadis itu.“Biar saya saja sini! Kalau kamu takut sepeda motormu saya bawa kabur, kamu bisa laporkan saya ke rektor kalau sampai saya melakukan itu.”Karena memang suasana yang terik dan Alula yang sudah sangat lelah badan dan pikiran, membuat wanita itu memberikan sepeda motornya.“Itu saya naiki Vespa-nya?” tanya Alula.“Gendong. Iyalah, kalau kamu dorong juga, percuma saya bantu kamu.” Tanpa membuang waktu, Lutfan mendorong sepeda motor Alula.Alula pun terpaksa menaiki kendaraan antik tersebut. Ia berjalan lambat di belakang Lutfan.“Kamu duluan saja.”“Tapi nggak enak sama Bapak.”“Astagfirullah. Keras kepala sekali kamu ini, ya!”“Baiklah. Saya duluan, Pak. Saya tunggu di bengkel depan!” ujar Alula. Lutfan hanya mengangguk.“Walaupun motor Vespa yang terkesan Jadul, tap
“Sini kamu!” Jasman melambai saat melihat Alula turun dari sepeda motor. Pria itu sudah lama berada di panti menunggu kedatangan Alula. Ia duduk di teras rumah Jannah.“Sudah saya prediksi kamu akan ke sini setelah diusir dari kos-kosan,” imbuh Jasman.Alula tersenyum masam. Jasman bicara seperti itu berarti tahu ia diusir dari kos-kosan dan tidak ada raut kasihan dalam diri pria itu pada Alula.“Pak, bisa dibicarakan baik-baik.” Jannah yang keluar dari rumahnya, menengahi. “Mari, bicara di dalam saja untuk menghindari huru-hara. Nggak enak dilihat orang kalau di luar.”“Ikut saya ke dalam!” Jasman meminta sang putri masuk ke rumah Jannah.Alula mengangguk sambil memilin tali ranselnya. Gugup.Alula duduk di sebelah Jannah. Sementara Jasman menatap anaknya tajam.“Pokoknya kamu harus menikah dengan pria pilihan saya tadi,” ujar Jasman dingin.“Pak Jasman, mohon maaf. Anda ini bicara sama anak sendiri, lho. Tapi nadanya, kok, seperti bicara sama penjahat?”“Saya berhak atas dia, jadi j
“Aku setuju, Bu,” ujar Alula.“Saya juga. Tapi setelah saya mengurus pernikahan Aruni.” Jasman menimpali.Jannah tertawa kecil. “Kenapa Anda tidak terpikir untuk melakukan ini dari dulu? Padahal kalau masalah uang, saya yakin Anda tidak kekurangan.”Jasman terdiam. Ia ingin melakukan itu sejak lama sebenarnya. Hanya saja, ia malas. Toh, Alula tidak tinggal bersamanya. Ia sudah membuang Alula yang dianggap kotoran tersebut. Namun, perkataan Jannah serupa hal yang membuatnya tertantang. Juga sebagai ajang ia akan berkuasa penuh menindas Alula jika terbukti gadis itu anaknya.“Pak Jasman, jadi kesimpulannya seperti ini. Alula tidak berhak menuruti perintah konyol Anda menikahi pria down syndrome pilihan Anda itu karena hubungannya dengan Anda belum pasti,” ucap Jannah.Jasman diam.“Kalau Alula bukan darah daging Anda, berarti tidak ada alasan memaksanya. Karena siapa Anda? Bukan siapa-siapanya.”“Kalau dia terbukti anak saya?”“Anda tetap tidak berhak memaksa. Apa Anda tidak malu? Tidak
“Bu Nur!” Wajah Alula berseri-seri saat melihat wanita yang masih cantik meski usianya tidak lagi muda tersebut ada di ruang tamu kediaman Jannah.Nur pun yang awalnya duduk, bangkit.Alula menghampiri Nur, lalu mencium tangan wanita itu takzim. Nur membingkai wajah Alula dengan kedua telapak tangan. Diciumnya pipi Alula kanan-kiri bergantian. Hal itu malah membuat hati Alula gerimis, ia terpaku beberapa saat sebab terharu sampai terbengong-bengong.Terharu karena dua wanita asing yang ada di sekelilingnya ini, memberikan banyak kasih sayang yang tidak didapat dari ibunya. Dua wanita itu Nur dan Jannah.“Kamu apa kabar? Sudah sehat? Tapi kelihatannya tambah kurusan,” tanya Nur. Tangannya belum beralih dari pipi Alula.Air mata Alula justru lolos dari pelupuk.“Loh, kok, malah nangis?” kelakar Nur. Ia membelai pipi Alula, menghapus air mata itu.“Kediri sekecil ini, Bu. Nggak nyangka bertemu Ibu di sini. Saya sangat bahagia.”Nur tersenyum.“Kalian sudah saling kenal?” Pertanyaan Janna
Aruni tersenyum sambil mengaduk minuman di hadapannya. Sebuah jus alpukat minuman favorit Yongki sudah tersaji sempurna.Malam ini, Aruni akan menjalankan misi untuk kesekian kali setelah sebelumnya gagal, untuk merebut hati dan cinta sang suami.“Kita lihat, Bang. Setelah obat perang*sang aku bubuhkan di minuman ini, apa kamu akan menolakku lagi?” gumam wanita itu.Sebuah rencana sudah disusun rapi oleh Aruni. Ia sebagai istri sah merasa harus mendapatkan lahir batin Yongki yang masih terpaut dengan masa lalunya. Wanita itu harus mengenyahkan bayang-bayang Alula dari hidup sang suami. Satu-satunya cara adalah hamil anak Yongki. Untuk mendapatkan kehamilan, harus melepas jubah keperawanan pada pria itu.“Obat ini dulu. Kalau tetap tidak berhasil, nanti akan kubuat kamu mabuk agar kamu tidak sadar dan aku akan memaksamu melakukannya. Aku berjanji akan melakukan apa pun untuk mendapatkan nafkah batinku, Bang.” Aruni kembali tersenyum.Resepsi pernikahan belum dihelat. Pun belum ada sebu
“Aruni?” Yongki yang awalnya tiduran, mengubah posisi menjadi duduk.Aruni mengenakan handuk berbentuk kimono, tetapi entah mengapa di mata Yongki Aruni terlihat begitu seksi.Tidak lupa Aruni mengunci kamar sambil tersenyum.“Bang, bisa minta tolong nggak?”“A-apa?” Yongki meraba dada. Yang berada di dalam sana, berdebar-debar.“Aku kayak masuk angin. Tolong olesi punggungku sama minyak kayu putih, ya?”Yongki diam. Berkali-kali ia meneguk ludah.“Gimana? Bisa?” Aruni memastikan.“O-oke.”Aruni berjalan gemulai menuju ranjang. Ia tengkurap di sana. Betisnya terekspose sempurna.Dilihat dari belakang, Yongki malah membayangkan Alula yang ada di sana.“Bang, ayo sini. Ini udah aku bawakan minyak kayu putihnya.” Aruni terus menarik target yang sudah terpancing umpannya.Dengan gusar, Yongki pun berdiri. Rasa panas, jantung berdebar, dan sesuatu yang biasanya di bawah sana jinak, mendadak buas butuh mangsa.Yongki pun mendekati Aruni. Ia menerima uluran minyak kayu putih dari sang istri.
Yongki mengendarai sepeda motornya tidak tentu arah. Jalanan malam begitu lengang, memudahkannya mengendarai secara ugal-ugalan. Hanya saja, ia harus waspada karena banyak kendaraan roda empat yang besar dan panjang.Pria itu terlihat sangat kacau. Matanya memerah, menyimpan kesedihan dan luka yang mendalam.“Alula, bersabarlah, Sayang. Aku akan berusaha lebih keras agar kita bersama,” gumamnya.Jika bukan karena Alula, hampir saja kesucian Aruni direnggutnya dan itu artinya berpisah dengan istrinya makin sulit. Apalagi jika wanita itu hamil. Tambah pelik.“Astagfirullah. Aku tahu ini semua salah. Mengabaikan istri juga berdosa, aku tahu itu. Tapi aku harus apa kalau aku belum bisa melupakan Alula?”Yongki melambatkan laju sepeda motor ketika tiba di sebuah jembatan yang membentang di atas sungai Brantas. Ia pun berhenti.Setelah mematikan mesin sepeda motor, Yongki berdiri di atas jembatan. Ia merentangkan tangan, lalu berteriak.“Alulaa!” Tubuh pria itu lantas ambruk. Ia terpejam, t