LOGINKafe Menteng meneteskan efeknya ke dunia maya seperti kopi yang merembes melalui kertas filter. Dalam satu jam, tagar #MahendraDate mengambang di trending. Ada yang iri, ada yang sinis, ada yang membuat fan-cam Arga menatap cincin di jari Naya. PR menyebutnya good noise. Bagi Naya, bunyi itu masih terdengar seperti bel alarm.
Di kantor, war room menampilkan sentiment graph yang condong ke hijau. “Kita perlu follow-up narasi,” kata Karina, menunjuk papan ide. “Konten ‘hari kerja bareng tunangan CEO’: humanis, low-key, behind-the-scenes.”
“Bocoran lokasi tadi terlalu cepat,” sela Naya. “Siapa pun yang mengirimkannya, gerakannya langsung dari sistem dalam.”
Arga menatap layar. “Kita nyalakan tripwire. Setiap akses kalender eksekutif dikloning, sistem memberi tanda.”
Luki, yang entah sejak kapan sudah berdiri di pojok ruangan, mengangkat alis. “Ide bagus. Aku akan minta timku—”
“Biar tim IT pusat,” potong Arga. “Konflik kepentingan.”
Senyum Luki tak berubah. “Tentu.”
Sore harinya, Arga menjadwalkan media walk kedua: bukan kafe, melainkan toko buku independen yang punya ruang acara kecil. “Kita butuh ‘cerita normal’,” katanya. “Beli buku, sumbang untuk program literasi. Low controversy, high warmth.”
Naya, yang dua jam terakhir menonton ulang rekaman tali merah, menyetujui. “Boleh. Tapi aku minta dua pengawal tambahan—pintu belakang.”
“Sudah diatur.”
Toko buku itu wangi kertas tua. Lampu kuningnya menghias rambut Naya menjadi madu. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong buku, berhenti di bagian leadership. Arga mengambil sebuah judul tentang crisis communication. “Ironi,” katanya datar.
Naya menggenggam punggung buku tipis berjudul Small Acts of Courage. “Kau harus mulai dari bab satu,” ia menepuk sampul. “Menerima bahwa kamu kadang salah.”
Mata Arga menoleh sekilas—ada humor kecil yang jarang muncul. “Aku sudah sampai bab dua.”
Tawa Naya lahir lebih mudah dari yang ia duga. Kamera ponsel meminta bagian. Mereka melambaikan tangan, santai terukur. Lalu—bunyi ping di ponsel Arga membuat jeda. Pesan muncul di layar, nama pengirim terpampang jelas: Adela.
Naya melihat, bukan mengintip—layar terlalu terang untuk tidak terlihat. “Dia menghubungi?”
Arga menutup ponsel. “Investor rujukan. Akan kubalas nanti.”
Seorang MC mini acara toko memanggil mereka ke panggung kecil. Arga berbicara ringkas tentang literasi dan masa depan tenaga kerja. Naya menambahkan satu paragraf tentang buku-buku yang disediakan bagi anak-anak pabrik. Sederhana, manusiawi. Tepuk tangan hangat.
Setelah acara, di back room sempit, Naya berhadapan dengan Adela—bukan kebetulan. Gaun krem, perhiasan minimal, senyum yang tahu kapan harus tumbuh. “Selamat,” kata Adela lembut, matanya menilai cincin Naya. “Kamu bergerak cepat, Arga.”
“Adela,” sahut Arga datar, “Ini bukan tempat—”
“Tempat apa pun bisa jadi panggung, kalau penontonnya ada,” potong Adela. Ia menoleh ke Naya. “Aku investor rujukan. Itu salah satu alasanku kembali. Yang lain… sejarah.”
“Sejarah tidak menandatangani term sheet,” balas Naya. “Investor rujukan melakukannya.”
Adela tersenyum tipis. “Berani juga.” Ia melangkah lebih dekat pada Arga, suaranya turun setengah oktaf. “Aku masih punya akses ke dua dana Eropa. Mereka suka kepastian. Dan kepastian tidak terlihat seperti—” matanya menelusur cincin “—ini.”
Arga membuka mulut, tapi Naya mendahului. “Kepastian terlihat seperti governance yang tegas. Anda ingin lihat? Hadir saja di rapat dewan berikutnya. Kursi peninjau untuk sponsor tersedia.”
Adela berhenti sesaat—tidak menyangka. “Kau mengundangku menilai pekerjaaanmu?”
“Menilai pekerjaan kami,” koreksi Naya, lalu menatap Arga. “Kalau Pak CEO setuju.”
Arga menahan seperempat detik, lalu mengangguk. “Kirim undangan.”
Adela merapikan tas. “Sampai jumpa, Miss Small Acts of Courage.” Ia pergi, meninggalkan jejak parfum yang terlalu cantik untuk diingat.
Dalam mobil, keheningan duduk di antara mereka. Akhirnya Arga berkata, “Kau tidak harus—”
“Harus,” potong Naya. “Kalau dia mau bermain di panggung, kita tulis naskahnya.”
Malamnya, di apartemen, Naya membuka paket kurir yang tadi ia terima: tali merah tipis, simpul rapi, kartu kecil: Kamu melihatku. Ia membalik kartu. Ada noda tinta—angka 7 seperti kail.
Ia membuka daftar staf keuangan. Rafi—magang—tempat duduk 7B. Ia menelusuri profil internal: kuliah malam, beasiswa internal, mentor: Luki.
Sebelum Naya sempat menelepon Arga, layar ponselnya dipenuhi panggilan. Media alert: “Lokasi tunangan CEO baru bocor—lagi.” Foto dari kamera CCTV gang belakang toko buku—yang hanya staf tahu—muncul di timeline.
“Tripwire kita gagal?” Naya mengirim pesan cepat.
“Tidak,” balas Arga. “Tripwire menyala. Akses kalender eksekutif dikloning dari perangkat: FIN-RAFI-07B.”
Jari Naya mendingin. Ia menekan panggilan.
“Jangan lakukan apa pun sendiri,” suara Arga mendahului salam. “Aku jemput.”
Wartawan duduk dalam setengah lingkaran; tidak ada karpet merah, tidak ada photobooth. Hanya meja, mikrofon, dan papan peta tata kelola—kotak dan panah yang mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun menenangkan bagi mereka yang mengelola risiko. Arga masuk tepat waktu, menyapa singkat. Naya berdiri di sisi, separuh berlindung di balik panel, separuh ingin melihat reaksi ruangan tanpa menjadi pusat sorot. “Terima kasih sudah datang,” Arga membuka. Suaranya datar, namun terukur. “Saya akan bicara pendek dan jelas. Pertama, tentang pernikahan. Kami menikah secara legal dan tercatat. Karena itu saya menjalankan recusal—saya tidak ikut memutus hal yang menyangkut langsung kepentingan Naya. Keputusan yang berpotensi konflik melewati gate legal dan pengawas independen. Ini bukan janji; ini struktur yang bisa diperiksa.” Ia menunjuk peta. “Kedua, tentang governance. Kami telah menyerahkan paket bukti kepada regulator, menindaklanjuti rekomendasi panel, dan
Pagi itu IR menyampaikan pesan ringkas dari investor besar yang selama ini menjadi jangkar: mereka meminta komitmen publik dari Arga mengenai dua hal—compliance yang tak bisa ditawar, dan firewall relasi pasca pernikahan sipil. “Mereka ingin mendengar langsung dari mulut CEO,” ujar analis IR, “bukan dari lembar fakta. Mereka butuh kalimat yang bisa dikutip, namun tetap akurat.”Arga tidak menunda. Ia tahu semakin panjang jeda, semakin banyak orang menulis cerita sendiri. Ia meminta tim menyiapkan konferensi pers singkat yang bukan panggung drama, melainkan meja informasi. “Tujuannya dua,” katanya kepada Naya, Sinta, Inez, dan Laila. “Menegaskan tata kelola dan menutup celah bagi narasi yang menjadikan Naya tumbal.”Sinta menyusun kerangka pernyataan dalam kalimat yang mudah diingat tetapi sulit disalahpahami. Bagian pertama berjudul Legal & Tata Kelola: pernikahan sipil legal, tercatat resmi; recusal berjalan—Arga tidak ikut memutus hal yang menyentuh langsung kepe
Pukul tujuh lewat lima, video teaser versi panjang naik. Bunyi musiknya seperti jam dinding tua yang dipaksakan lari maraton—berdebar terlalu cepat, memaksa penonton merasa ada sesuatu yang dikejar. Tim digital Mahendra sudah duduk di depan layar bahkan sebelum hitungan mundur selesai. Inez memimpin, Sinta di sampingnya, Rendra di belakang dengan catatan rute unggahan. Naya memilih berdiri, karena duduk membuatnya merasa menunggu.Pemutaran pertama tidak untuk yakin atau tidak yakin, tetapi untuk mencatat. Inez membiarkan video berjalan tanpa jeda, lalu memutar ulang dengan kecepatan seperlima. “Lihat ini,” katanya, menyorot bagian ketika bayangan di balkon tampak condong ke Arga. “Interframe‑nya janggal. Di bingkai ke‑274 sampai 279, ada lompatan luminans yang tidak selaras dengan arah lampu kota.” Ia mengekstrak enam bingkai itu ke panel terpisah. Pada satu bingkai, garis tepi bahu terlihat bergerigi tajam; pada bingkai berikutnya, halus seperti dilukis ulang. “Ini tanda
Malam hari di kantor terasa seperti peron kereta setelah keberangkatan terakhir: sunyi tetapi penuh jejak. Di ruang rapat kecil tanpa jendela, Arga duduk bersama Naya, Sinta, dan Laila. Press line tentang skors telah terkirim; balasan dari investor masuk dalam bentuk pertanyaan singkat: “Kapan Plt. CFO?” “Berapa cakupan audit?” “Bagaimana memastikan keputusan finansial tak tertunda?” Pertanyaan‑pertanyaan itu sehat, terdengar teknis, namun di luar sana arus lain mulai deras: saran, bisikan, ancaman halus agar Naya ditaruh di altar ketenangan pasar. Arga menatap selembar kertas kosong, lalu berkata tanpa menaikkan suara, “Ada dorongan menukar proses dengan tumbal. Jawabannya tidak. Ketertiban lahir dari aturan, bukan dari kepala yang dikorbankan.” Kalimat itu tidak ditujukan untuk media. Itu kompas bagi tim. Naya mengangguk; ia tidak mencari pembelaan manis, ia hanya membutuhkan arah yang tegak. Laila menambahkan rencana: Plt. CFO akan diumumkan paling lambat H+3, mele
Pukul 09.00 tepat, panel etik kembali duduk. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sengaja dramatis. Hanya gesekan map, detak jam, dan suara kursi yang bergeser pelan. Ketua panel membuka berkas, membaca tanpa kata sifat: “Berdasarkan bahan yang disampaikan dan verifikasi silang yang telah dilakukan, panel merekomendasikan pemberhentian sementara (skors) terhadap Luki dari jabatan CFO. Panel juga merekomendasikan audit forensik lanjutan oleh pihak independen serta penyerahan paket bukti yang sudah distandarkan ke penegak hukum.” Kalimatnya pendek, namun terasa seperti palu yang menyentuh meja: tidak keras, tetapi final.Reaksi di ruangan meredam. Beberapa kepala menunduk, beberapa napas tertahan. Kenan menatap ujung sepatunya—ia bukan pahlawan di sini, ia adalah sumber data yang menyatakan kesalahannya sendiri dan menanggung konsekuensi. Whistleblower keuangan meremas kedua telapaknya, menahan gemetar karena sadar namanya, betapapun disamarkan, sudah masuk catatan proses. Naya
Tidak ada balasan pada pesan ancaman itu—bukan karena takut, tetapi karena prosedur selalu lebih tajam dari adu kata. Laila membuka protokol anti‑intimidasi perusahaan yang memang dirancang untuk situasi begini: langkah 1, preservasi bukti; langkah 2, pelaporan resmi; langkah 3, pembatasan akses dan perlindungan personal; langkah 4, komunikasi terbatas yang menjaga martabat korban tanpa memperkeruh proses hukum.Langkah 1: Preservasi. Tim keamanan menyalin ponsel Naya melalui perangkat write‑blocker; image forensik dibuat, hash dicatat, dan salinan kerja disegel. “Kalau pesan dihapus di ujung sana,” kata Inez, “kita tetap punya jejak.” Lampiran yang dikirimkan ancaman—jika ada—diekstraksi lengkap dengan header untuk melacak jalur. HR meminta Naya tidak menggunakan nomor itu untuk membalas atau menghubungi pihak ketiga.Langkah 2: Pelaporan resmi. Laila mengirimkan berkas ke polisi siber dengan nomor laporan, jam, dan rujukan kebijakan internal. “Setiap ancaman pada







