LOGINKeesokan paginya, agenda sudah menunggu: kunjungan pabrik untuk peluncuran tahap pertama GreenShift. Kamera internal dan beberapa media bisnis akan hadir. “Kita butuh cerita lapangan,” ujar Karina. “Orang-orang, bukan hanya angka.”
Naya setuju. Pabrik udara bersih, helikopter kata-kata besar kadang mendarat terlalu lama di langit-langit gedung kaca. Di tanah, cerita lebih jujur. Ia memeriksa daftar peserta, mencari satu nama. Rafi tidak ada—sick leave mendadak. Catatan HR: “Demam.”
Arga menyuruh security mengawasi apartemen Naya selama mereka turun ke lapangan. Lemari kerja yang berantakan sudah didokumentasikan. Tidak ada yang hilang, kecuali selembar post-it dari planner Naya: “B3/02:13 — tali merah.” Kecuali pelakunya ingin meninggalkan pesan bahwa ia selalu satu langkah di depan.
Bus perusahaan meluncur menuju pabrik di pinggiran kota. Saat tiba, bau logam, oli, dan kopi karyawan menyambut. Naya menyapa satu per satu perwakilan serikat. “Program pelatihan ulang akan fokus ke energi terbarukan,” jelasnya. “Ada kelas akhir pekan untuk yang punya anak kecil.”
Seorang perempuan dengan helm biru bertanya, “Ibu yakin tidak ada PHK?”
Naya menatapnya, tidak menutupi jeda. “Yakin bahwa kami akan melakukan ini dengan bermartabat. Kalau ada penyesuaian, itu akan disampaikan jujur dan diberikan jalan alternatif.”
Arga berdiri setengah meter di belakang, mendengarkan. Ketika seorang reporter bisnis melayangkan pertanyaan tentang biaya, Arga menjawab dengan angka; ketika seorang karyawan bertanya tentang transport, Naya menjawab dengan rute. Dua suara, satu pesan.
Di sela walkthrough, seorang pria berpakaian rapi tetapi tidak memakai helm—jelas tamu, bukan pekerja—berdiri di bayang-bayang gudang. Senyum manis, kemeja tanpa cela. Dimas.
“Naya,” sapanya, seolah mereka bertemu di co-working santai, bukan di tengah medan reputasi yang terbakar. “Kau tampak sibuk menyelamatkan dunia.”
“Ada yang harus diselamatkan,” jawab Naya. “Kadang dari orang yang menyalakan apinya.”
Dimas terkekeh. “Tuduhan berat.” Ia beralih ke Arga, sopan, hampir hormat. “Pak Mahendra. Selamat untuk programnya. Kompetitor yang baik selalu saling mendorong untuk lebih baik, bukan?”
“Kompetitor yang baik tidak menguntit stafku,” balas Arga dingin.
Dimas mengangkat tangan, seolah menyerah. “Aku hanya kebetulan diundang oleh rekan serikat untuk melihat. Transparansi itu baik.” Matanya kembali ke Naya. “Ngomong-ngomong, aku menemukan sesuatu di dark corner internet. Bukti kecil tentang skema ghost vendor yang melibatkan… bagian keuangan kalian.”
Naya merasa udara mengeras. “Bukti itu gratis?”
“Tidak ada yang gratis. Tapi untukmu, harga khusus: sebuah kopi di atap gedungmu malam ini.” Senyumnya menyala. “Bawa keadilan, dapatkan kebenaran.” Ia menyelipkan kartu undangan kecil ke tangan Naya—kertas hitam dengan tulisan perak: Rooftop, 22.00.
Arga mengambil kartu itu dari tangan Naya tanpa permisi, merobeknya jadi dua. “Kalau kau punya bukti, kirim ke whistleblower channel kami. Anonim. Audit akan tindak.”
“Aduh,” Dimas menepuk dada, “romantis sekali menjaga. Tapi kau lupa, Pak: kadang kebenaran malu-malu. Ia muncul ketika hanya satu orang yang menunggu.” Tatapannya kembali jatuh ke Naya, sekelebat lebih lembut dari yang pantas. “Aku akan tetap di atap. Kalau tidak datang, aku akan anggap kamu percaya pada sistem yang menggaji para serigalanya.”
Dimas pergi, menyisakan aroma cologne dan rasa ingin melempar kartu undangan yang sudah jadi serpihan.
Siang itu, peluncuran berlangsung mulus. Kamera menangkap senyum jujur para pekerja. Naya merasakan sesuatu yang langka: harap. Ia menuliskan nama-nama untuk dijadikan case study—Suci yang ingin jadi teknisi, Fajar yang ingin pindah ke maintenance solar.
Sebelum pulang, seorang mandor menarik Naya ke samping. “Mbak, ada rumor yang memulai kekacauan pabrik minggu lalu. Katanya dari orang Varuna yang infiltrasi group W******p kami. Nama user ‘RedString’.”
Darah Naya mendingin. “Tali merah,” gumamnya.
Malamnya, di kantor, tim IT mengirim pembaruan: perangkat FIN-RAFI-07B memicu tripwire kedua, mencoba mengakses kalender Arga jam 21.13. Lokasi: guest Wi-Fi lounge lantai 5. Bukan area keuangan.
“Umpan,” kata Arga. “Atau seseorang memegang perangkat Rafi.”
“Rafi masih sakit?” tanya Naya pada HR lewat chat.
“Tidak di rumah. Orang tuanya bilang: ‘dia keluar sebentar beli obat, belum kembali’.”
Naya menatap jam. 21.45. Angin di atap gedung selalu bersekutu dengan orang yang ingin merasa berani. Ia mengetik pesan ke Arga: “Aku akan ke atap. Tapi kita pasang mata di tiga titik.”
Balasannya datang dua detik kemudian. “Aku sudah di lift.”
Wartawan duduk dalam setengah lingkaran; tidak ada karpet merah, tidak ada photobooth. Hanya meja, mikrofon, dan papan peta tata kelola—kotak dan panah yang mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun menenangkan bagi mereka yang mengelola risiko. Arga masuk tepat waktu, menyapa singkat. Naya berdiri di sisi, separuh berlindung di balik panel, separuh ingin melihat reaksi ruangan tanpa menjadi pusat sorot. “Terima kasih sudah datang,” Arga membuka. Suaranya datar, namun terukur. “Saya akan bicara pendek dan jelas. Pertama, tentang pernikahan. Kami menikah secara legal dan tercatat. Karena itu saya menjalankan recusal—saya tidak ikut memutus hal yang menyangkut langsung kepentingan Naya. Keputusan yang berpotensi konflik melewati gate legal dan pengawas independen. Ini bukan janji; ini struktur yang bisa diperiksa.” Ia menunjuk peta. “Kedua, tentang governance. Kami telah menyerahkan paket bukti kepada regulator, menindaklanjuti rekomendasi panel, dan
Pagi itu IR menyampaikan pesan ringkas dari investor besar yang selama ini menjadi jangkar: mereka meminta komitmen publik dari Arga mengenai dua hal—compliance yang tak bisa ditawar, dan firewall relasi pasca pernikahan sipil. “Mereka ingin mendengar langsung dari mulut CEO,” ujar analis IR, “bukan dari lembar fakta. Mereka butuh kalimat yang bisa dikutip, namun tetap akurat.”Arga tidak menunda. Ia tahu semakin panjang jeda, semakin banyak orang menulis cerita sendiri. Ia meminta tim menyiapkan konferensi pers singkat yang bukan panggung drama, melainkan meja informasi. “Tujuannya dua,” katanya kepada Naya, Sinta, Inez, dan Laila. “Menegaskan tata kelola dan menutup celah bagi narasi yang menjadikan Naya tumbal.”Sinta menyusun kerangka pernyataan dalam kalimat yang mudah diingat tetapi sulit disalahpahami. Bagian pertama berjudul Legal & Tata Kelola: pernikahan sipil legal, tercatat resmi; recusal berjalan—Arga tidak ikut memutus hal yang menyentuh langsung kepe
Pukul tujuh lewat lima, video teaser versi panjang naik. Bunyi musiknya seperti jam dinding tua yang dipaksakan lari maraton—berdebar terlalu cepat, memaksa penonton merasa ada sesuatu yang dikejar. Tim digital Mahendra sudah duduk di depan layar bahkan sebelum hitungan mundur selesai. Inez memimpin, Sinta di sampingnya, Rendra di belakang dengan catatan rute unggahan. Naya memilih berdiri, karena duduk membuatnya merasa menunggu.Pemutaran pertama tidak untuk yakin atau tidak yakin, tetapi untuk mencatat. Inez membiarkan video berjalan tanpa jeda, lalu memutar ulang dengan kecepatan seperlima. “Lihat ini,” katanya, menyorot bagian ketika bayangan di balkon tampak condong ke Arga. “Interframe‑nya janggal. Di bingkai ke‑274 sampai 279, ada lompatan luminans yang tidak selaras dengan arah lampu kota.” Ia mengekstrak enam bingkai itu ke panel terpisah. Pada satu bingkai, garis tepi bahu terlihat bergerigi tajam; pada bingkai berikutnya, halus seperti dilukis ulang. “Ini tanda
Malam hari di kantor terasa seperti peron kereta setelah keberangkatan terakhir: sunyi tetapi penuh jejak. Di ruang rapat kecil tanpa jendela, Arga duduk bersama Naya, Sinta, dan Laila. Press line tentang skors telah terkirim; balasan dari investor masuk dalam bentuk pertanyaan singkat: “Kapan Plt. CFO?” “Berapa cakupan audit?” “Bagaimana memastikan keputusan finansial tak tertunda?” Pertanyaan‑pertanyaan itu sehat, terdengar teknis, namun di luar sana arus lain mulai deras: saran, bisikan, ancaman halus agar Naya ditaruh di altar ketenangan pasar. Arga menatap selembar kertas kosong, lalu berkata tanpa menaikkan suara, “Ada dorongan menukar proses dengan tumbal. Jawabannya tidak. Ketertiban lahir dari aturan, bukan dari kepala yang dikorbankan.” Kalimat itu tidak ditujukan untuk media. Itu kompas bagi tim. Naya mengangguk; ia tidak mencari pembelaan manis, ia hanya membutuhkan arah yang tegak. Laila menambahkan rencana: Plt. CFO akan diumumkan paling lambat H+3, mele
Pukul 09.00 tepat, panel etik kembali duduk. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sengaja dramatis. Hanya gesekan map, detak jam, dan suara kursi yang bergeser pelan. Ketua panel membuka berkas, membaca tanpa kata sifat: “Berdasarkan bahan yang disampaikan dan verifikasi silang yang telah dilakukan, panel merekomendasikan pemberhentian sementara (skors) terhadap Luki dari jabatan CFO. Panel juga merekomendasikan audit forensik lanjutan oleh pihak independen serta penyerahan paket bukti yang sudah distandarkan ke penegak hukum.” Kalimatnya pendek, namun terasa seperti palu yang menyentuh meja: tidak keras, tetapi final.Reaksi di ruangan meredam. Beberapa kepala menunduk, beberapa napas tertahan. Kenan menatap ujung sepatunya—ia bukan pahlawan di sini, ia adalah sumber data yang menyatakan kesalahannya sendiri dan menanggung konsekuensi. Whistleblower keuangan meremas kedua telapaknya, menahan gemetar karena sadar namanya, betapapun disamarkan, sudah masuk catatan proses. Naya
Tidak ada balasan pada pesan ancaman itu—bukan karena takut, tetapi karena prosedur selalu lebih tajam dari adu kata. Laila membuka protokol anti‑intimidasi perusahaan yang memang dirancang untuk situasi begini: langkah 1, preservasi bukti; langkah 2, pelaporan resmi; langkah 3, pembatasan akses dan perlindungan personal; langkah 4, komunikasi terbatas yang menjaga martabat korban tanpa memperkeruh proses hukum.Langkah 1: Preservasi. Tim keamanan menyalin ponsel Naya melalui perangkat write‑blocker; image forensik dibuat, hash dicatat, dan salinan kerja disegel. “Kalau pesan dihapus di ujung sana,” kata Inez, “kita tetap punya jejak.” Lampiran yang dikirimkan ancaman—jika ada—diekstraksi lengkap dengan header untuk melacak jalur. HR meminta Naya tidak menggunakan nomor itu untuk membalas atau menghubungi pihak ketiga.Langkah 2: Pelaporan resmi. Laila mengirimkan berkas ke polisi siber dengan nomor laporan, jam, dan rujukan kebijakan internal. “Setiap ancaman pada







