Home / Romansa / Tunangan Kontrak Sang CEO / Bab 5 — Parkiran B3, Flash Disk, dan Tali Merah di Pergelangan

Share

Bab 5 — Parkiran B3, Flash Disk, dan Tali Merah di Pergelangan

Author: Wildan
last update Huling Na-update: 2025-08-21 11:33:15

Parkiran B3 seperti perut gedung: dingin, lembap, gema langkah memantul seperti napas panjang. Karina berdiri di bawah lampu kuning yang berkelip, memegang flash disk seukuran kuku jempol. Arga berdiri setengah langkah di depan Naya—posisi protektif yang tidak ia sadari, atau pura-pura tidak.

“Dari mana kamu dapat itu?” Arga membuka percakapan datar.

“Teman di keamanan,” jawab Karina, mengangkat flash disk tanpa mendekat. “Aku tahu prosedurnya. Makanya aku tidak pasang ke apa pun. Kita bawa ke forensic saja.”

“Isi?” tanya Naya.

“Potongan log akses ruang PR dan rekaman kamera koridor jam 02.00–02.30.” Karina menatap Naya sepersekian detik. “Kamu tidak sendirian di lantai itu semalam.”

Arga memberi isyarat ke salah satu anggota security detail yang menunggu di bayangan pilar. “Bawa ke lab. Chain of custody mulai dari sini.” Petugas memasukkan flash disk ke amplop bukti, menempelkan segel, meminta tanda tangan Karina. Ketat. Dingin. Nyata.

“Kenapa kamu memanggilnya di sini, Karina? Kenapa bukan lewat kanal resmi?” tanya Arga.

“Karena kanal resmi bocor,” jawab Karina. “Dan karena seseorang di lantai 43 suka memutarbalikkan niat baik.” Tatapannya tidak menuduh, tapi jelas bukan kosong.

Naya maju setengah langkah. “Kamu mencurigai siapa?”

Karina menggeleng pelan. “Yang pasti… pelakunya kidal. Lihat di still image nanti—dia memegang kartu akses di tangan kiri. Dan ada gelang.”

“Gelang?”

“Tali merah tipis di pergelangan. Bukan gelang resmi akses.”

Arga dan Naya bertukar pandang singkat. Tali merah. Naya pernah melihat kilau merah itu di mana? Ingatannya menari di tepi sadar.

Mereka kembali ke lantai 43. Tim IT forensic sudah siap seperti kru film, hanya saja bintang mereka adalah kabel dan hash. Di ruang kecil berlampu putih, analis memproyeksikan rekaman.

Koridor PR, jam 02.08. Sebuah bayangan melintas, hoodie gelap, masker, langkah mantap. Tangan kiri mengangkat kartu akses. Gagang pintu berbunyi klik. Freeze frame. Perbesar. Di pergelangan tangan: tali merah sederhana, simpulnya kecil, menjuntai separuh sentimeter.

“Gelang keberuntungan,” gumam seorang staf. “Banyak yang pakai.”

“Tidak di lantai 43,” potong Arga.

Rekaman kedua: jam 02.13. Kursi Naya. Laci terbuka. Bayangan duduk, menyambungkan sesuatu ke laptop. Wajah tetap dalam bayang. Bahu ramping, tapi bukan jaminan. Freeze.

“Bawa laptopnya,” perintah Arga. Petugas security mengantar laci Naya—seluruhnya—ke lab kecil. Segel dipecah. IT membuka perangkat, memindai port, menemukan bekas gores mikro di USB-A.

“Jejak media eksternal,” kata analis. “Ada implant skrip sederhana—rekam keystroke dan ambil session token. Non-persistent. Pintar.”

“Bisa dilacak?” tanya Naya.

“Sedikit. Kami lihat handshake ke alamat internal sebelum ‘meloncat’ ke luar. Ada kemungkinan pivot lewat mesin lain… bagian keuangan.”

Bahu Naya merosot lalu tegak lagi. “Bagian keuangan? Itu domainnya Luki.”

Seolah dipanggil, Luki muncul di ambang pintu lab, senyum hangat default. “Apa yang bisa kubantu?”

Arga menoleh sepersepuluh detik, cukup untuk memasang pagar tak terlihat. “Kami akan memberi tahu kalau perlu.”

Luki menatap layar—mengangguk lambat. Di pergelangan kirinya, jam besi berkilat. Tidak ada tali merah. “Hati-hati dengan asumsi,” ucapnya tenang, lalu pamit.

Usai pemeriksaan awal, Arga berbalik ke Naya. “Kau ikut denganku.”

“Mau ke mana?”

Media walk. Kencan publik pertama. Hari ini.”

Naya membatu. “Sekarang?”

“Sekarang. Kita butuh narasi baru untuk menekan rumor APEX. Lokasi akan kita pilih agar aman tapi cukup ‘terlihat’.” Arga menatap jam. “Tigapuluh menit.”

Karina menahan Naya sebelum ia pergi. “Hati-hati di luar. Lokasi kencan seperti itu… kalau sudah bocor sekali, akan bocor lagi.”

“Siapa yang membocorkan?”

“Kalau aku tahu,” Karina menatap lurus, “aku tidak akan memanggil kalian ke parkiran.”

Mereka tiba di sebuah kafe tua di Menteng—heritage, jendela besar, tanaman rambat, tempat favorit pasangan yang ingin terlihat tanpa terlihat. Tim kecil security menempati dua meja belakang. Seorang fotografer lifestyle yang “kebetulan” lewat mengambil tempat di trotoar seberang.

“Pegang cangkir dengan tangan kanan,” bisik Arga, suaranya rendah. “Cincin akan terlihat natural.”

“Cincin ini beratnya seperti satu rapat dewan,” balas Naya setengah bercanda.

Sebuah ponsel mengangkat di sudut. Flash kecil. Detik berikutnya, notifikasi meledak di ponsel Naya: spotted: CEO dingin & tunangan misterius di Menteng. Hastag lahir tanpa bidan.

“Tenang,” ucap Arga tanpa menoleh. “Ingat latihan.”

Seorang reporter infotainment, entah dari mana, sudah berdiri di dekat meja. “Pak Arga, Mbak Naya, sedikit komentar? Apa ini cinta lokasi?”

Naya meletakkan cangkir. Tangan tidak gemetar. “Kami berterima kasih atas atensi publik,” katanya, mengulang musik yang sudah ia hafal, tapi ia tambahkan satu nada miliknya: “Namun tolong beri ruang untuk bekerja. Ada ribuan karyawan yang menunggu kabar baik dari merger ini.”

Reporter mencoba menusuk: “Jadi ini demi merger?”

Arga menoleh, tajam namun hangat. “Demi perusahaan. Dan demi masa depan yang kita bangun bersama.” Matanya sebentar jatuh ke cincin di jari Naya. Kamera menangkap itu.

Kencan berakhir sesuai naskah. Mereka kembali ke mobil, kaca gelap menelan bayangan.

Di perjalanan, ponsel Naya bergetar lagi. Email anonim. Subjek: Kontrakmu cantik. Pasal 12 lebih cantik. Lampiran: scan halaman penalti, dengan spidol merah melingkari angka besar.

“Jangan balas,” kata Arga otomatis.

“Aku tidak akan,” gumam Naya. Tapi ada lampiran kedua—foto lama: Arga dan Adela, berdiri di karpet merah sebuah acara amal. Arga mengenakan tuksedo. Adela menatap kamera seolah itu adalah cermin miliknya sendiri.

“Ini…” Naya menahan pertanyaan yang belum memiliki bentuk.

Arga menatap foto sekilas. “Arsip. Tidak relevan.”

“Tapi relevan untuk orang yang ingin memancing.” Naya menyandarkan kepala. Tiba-tiba ingat: tali merah. Ia pernah melihatnya saat briefing kemarin, di pergelangan seorang staff keuangan magang yang membawakan print-out ke ruang rapat. Nama di badge: Rafi. Kid—kid… kidal? Naya melihat kembali potongan memori: Rafi selalu mengapit map di tangan kanan, menyodorkan pen dengan kiri.

“Pak, aku butuh daftar staf keuangan sementara yang bertugas malam—”

“Sudah diminta,” potong Arga. “Dan kita akan bertemu mereka setelah ini.”

Naya menatap pantulan dirinya di jendela mobil—cincin, mata yang menolak redup, dan sebuah tali cerita yang baru saja menarik simpul.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 35 — Arga: Primetime, Narasi, dan Kontrak yang Ditayangkan di Layar Raksasa

    Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 34 — Karina: Membantah, Mengaku Di-approach, dan Ancaman yang Menekan Di Urat Nadi

    Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 33 — Naya: CCTV, Satpam, dan Siluet yang Mirip Karina

    Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 32 — Arga: 48 Jam, Meja Dewan, dan Cetakan Log yang Terlalu Rapi

    Ruang dewan selalu dingin dua derajat lebih rendah daripada bagian kantor mana pun—pilihan yang disengaja agar orang tidak berlama-lama bersyarah. Aku menatap wajah-wajah yang sudah kukenal sejak sebelum krisis: beberapa percaya pada angka, beberapa pada intuisi, sebagian pada angin. “Saya minta 48 jam,” kataku tanpa preambule. “Forensik sudah berjalan. Menjatuhkan sanksi hari ini menyalakan api di ruang kontrol.”Ketua dewan memutar pena. “Publik melihat kita ragu.”“Kita berhati-hati, bukan ragu.” Aku tidak menaikkan suara. Orang menyamakan ketenangan dengan kepastian; itu sering membantuku menutup rapat.Seorang direktur independen—laminasi moral yang disukai media—mengangkat alis. “Laptop staf Anda menunjukkan akses jam dua pagi. IP internal. Nama alias mirip miliknya. Anda menahan tindakan disiplin karena…?”“Karena pola teknis yang tak cocok,” jawabku. “Ada tanda headless, ada service worker yang tak mungkin diciptakan dar

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 31 — Naya: Forensik, Saran “Cuti”, dan Akses yang Hidup Ketika Aku Sedang Live

    Pukul 08.10, layar war room memantulkan wajahku dalam bentuk angka: hash file, sidik jari perangkat, uptime sistem. Analis forensik—Daru, pria berjaket abu dengan mata yang seperti penggaris—membuka kronologi kasar dari laptop kerjaku. “Kami tidak menyentuh OS. Image bit-per-bit sudah diambil, semua langkah tamper-evident. Yang kita lihat sekarang hanyalah salinan. Kamu bisa duduk di sini—atau di luar.”“Aku di sini,” kataku. Kalau peluru menuliskan namaku, aku mau membaca kalibernya sendiri.Daru mengarahkan pointer. “Log menandai wake event jam 02.11.”“Aku sudah pulang jam sebelas lebih. Laptop terkunci di laci. Kunci kubawa,” sahutku.“Ya. Wake bukan berarti ada orang memencet tombol. Bisa network wake, bisa scheduled task. Yang menarik—” Ia memperbesar grafik—“jam 02.13 ada aktivitas browser menuju dashboard PR. Lalu satu menit silent. Kemudian

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 30 — Mini-Boss: Pembajakan Putaran Kedua, Meja yang Dibalik, dan Nama yang Muncul Kembali

    “Nomor lama?” Naya mengulang, otaknya menelusuri ingatan. Prepaid yang ia pakai semasa magang, sebelum pindah ke paket keluarga. “Bagaimana bisa aktif?” Analis operator menjelaskan via conference call: “Nomor sempat nonaktif, lalu di-recycle. Seseorang mendaftarkan ulang dengan dokumen palsu. SIM swap malam ini terjadi lewat call center—suara perempuan, membawa jawaban pertanyaan keamanan: nama hewan peliharaan pertama Naya.” “Aku tidak punya hewan peliharaan,” kata Naya. “Persis,” jawab Karina. “Jawaban itu dibuat-buat—yang berarti proses KYC operator bocor atau disuap.” Arga merangkum cepat. “Dampak: 2FA ke nomor lama memberi akses ke NAYA-ALT. Tindakan: ganti semua 2FA ke aplikasi token, passkey kalau bisa. Kirim notice ke operator dan regulator.” Sementara tim bergerak, war room memantau sesi NAYA-ALT yang tiba-tiba aktif dari IP luar negeri, menembus VPN murahan. “Mereka mencoba menjadwalkan unggahan lag

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status