Home / Romansa / Tunangan Kontrak Sang CEO / Bab 8 — Atap, Pengakuan Setengah, dan Senyum yang Tertinggal di Lift

Share

Bab 8 — Atap, Pengakuan Setengah, dan Senyum yang Tertinggal di Lift

Author: Wildan
last update Last Updated: 2025-08-22 11:00:34

Angin malam mengibaskan rambut Naya ketika pintu atap menutup di belakang mereka dengan bunyi thud yang terlalu puas. Rafi berdiri beberapa langkah dari tepi, wajahnya pucat seperti halaman kosong. Tali merah di pergelangan tangannya tampak memotong kulit.

“Jangan mendekat tepi,” ucap Arga terlebih dahulu, nada perintah yang terdengar seperti naluri. Ia bergerak ke arah panel pintu, memeriksa. “Terkunci dari dalam sistem. Seseorang memainkan kontrol lift.”

Rafi meremas-remas jari. “Mbak… saya nggak tahu harus ketemu siapa. Mereka bilang kalau saya ngomong, beasiswa saya dihapus.”

“Siapa ‘mereka’?” tanya Naya—lunak, tetapi tajam.

Rafi menelan. “Saya pikir orang baik. Dia bilang mau bantu saya jadi karyawan tetap. Saya hanya disuruh bawa satu flash disk, colok di laptop manapun yang ada akses PR. Katanya buat update driver.”

“Siapa yang menyuruh?” Arga mendekat dua langkah, tetap menjaga jarak aman.

Rafi bergidik. “Saya ketemu di pantry lantai 5. Ngaku tim vendor IT. Tetapi… dia orang keuangan juga. Saya pernah lihat di briefing dengan Pak Luki.”

Nama itu jatuh seperti baut ke lantai baja. Naya menahan nafas. “Namanya?”

“Saya tidak tahu pasti—dia dipanggil ‘Mas Ken’ sama yang lain.”

Arga bertukar pandang dengan Naya. “Kenan,” gumamnya, seperti menemukan potongan puzzle yang lama hilang. “Kontraktor system integration di bawah capex keuangan. Kontraknya disponsori… Luki.”

“Berarti…” Naya tidak menuntaskan. Di situasi seperti ini, kalimat setengah lebih aman daripada tuduhan bulat.

Arga mendekati panel pintu lagi, menekan tombol darurat. “Terlambat memanggil lift tidak masalah. Tetapi kita tidak sendiri.” Ia mengangkat dagu, menatap kamera kecil di sudut atap. “Siapa pun yang menonton, permainan selesai.”

Seolah membalas, beep terdengar. Pintu terbuka setengah—cukup untuk seorang pria berjas krem menyelip masuk. Bukan Dimas. Luki.

“Syukurlah, kalian di sini,” ucapnya, napas teratur seperti habis menaiki satu lantai, bukan delapan. “Aku dapat notifikasi tripwire. Kupikir lebih baik aku yang datang duluan.” Matanya melewati Rafi yang pucat, berhenti sekejap pada tali merah, lalu kembali ke Arga. “Masalah apa?”

“Masalah vendor IT bernama Kenan,” jawab Arga. “Kau bawa dia?”

“Kenan sudah tidak on-site,” kata Luki, seolah menyesal. “Dan Pak, kita punya tamu lain.” Ia memberi isyarat. Dari balik pintu muncul—Adela. Menyusupkan dirinya ke malam seperti bayangan parfum.

Naya mengeraskan rahang. “Ini area terbatas.”

“Aku sponsor investor,” jawab Adela santai. “Aku datang karena ada kabar tidak menyenangkan tentang praktik internal yang bisa mempengaruhi due diligence kami.” Ia menatap Rafi, manis seperti gula yang mahal. “Kamu baik-baik saja?”

Rafi hanya mengangguk, terlalu takut melihat siapa pun.

Arga menahan diri keras-keras. “Adela, turunkan nada dramamu. Ini bukan rapat teater. Luki, bawa Rafi ke HR sekarang. Dan aktifkan rekaman pernyataannya.”

“Dengan senang hati,” kata Luki. Ia meletakkan tangan lembut di punggung Rafi, menuntun ke pintu. Di detik itu, Naya melihat sesuatu—sekilas, secepat kilat kamera. Di bawah lengan jas Luki, menonjol ujung tali merah yang… bukan. Bukan tali. Hanya pelindung gelang jam. Naya mengembus napas yang tak sadar ia tahan.

Ketika pintu menutup di belakang Rafi dan Luki, angin di atap seperti mengubah arah. Tersisa tiga orang: Arga, Naya, Adela.

“Beberapa investor melihat kencan publik kalian sebagai teater murahan,” kata Adela, tanpa pendahuluan. “Tapi ada juga yang menganggap itu cerdas. Masalahnya, cerdas tidak cukup. Aku datang menawarkan kepastian.” Ia menatap Arga lurus. “Putuskan tunangan palsu ini. Tunjukkan bahwa kamu memilih stabilitas, bukan drama. Dana Eropa akan menandatangani minggu depan.”

Arga tertawa—suara paling hangat sekaligus paling dingin yang pernah Naya dengar. “Kau mengira aku menjual keputusan pribadiku untuk cek yang bahkan belum jelas kursnya?”

“Bukan pribadi,” Adela bersandar pada pagar atap. “Ini tata kelola.”

Naya melangkah maju, berdiri di samping Arga—bukan di belakang. “Tata kelola juga berarti melindungi whistleblower—yang barusan hampir kau intimidasi dengan kehadiranmu.”

Adela mengangkat alis. “Kau cepat belajar.”

“Dan kau cepat muncul di tempat yang tidak pernah kusangka,” balas Naya.

Lift berbunyi lagi. Pintu membuka. Karina muncul, terengah ringan. “Maaf, sinyal pager HR tidak masuk. Rafi sekarang di ruang HR, Laila sudah bersama dia. Ada satu hal lagi—Kenan tidak terdaftar sebagai vendor aktif tiga bulan terakhir. Kontraknya berakhir, tapi masih punya akses guest.”

“Siapa yang mengaktifkan akses itu?” tanya Arga.

Karina memegang tablet. “Permintaan sementara: ditandatangani ‘LM’. Inisial.”

Naya dan Arga serempak: “Luki Mahendra.”

Adela, untuk pertama kalinya malam itu, terlihat… tergeser. “Itu serius,” katanya pelan, bukan pada siapa-siapa.

Arga mengangguk pada Karina. “Kunci akses guest. Audit semua jejak. Dan—” ia menoleh ke Adela “—kalau kau benar sponsor yang peduli tata kelola, kau akan mendukung kami membereskan ini, bukan mengkalkulasi drama.”

Adela menatap lama, kemudian mengangguk setitik. “Aku akan lihat tindakanmu besok.” Ia melangkah ke lift, berhenti di ambang. “Untuk catatan: kau tidak pernah berubah, Arga. Tetapi mungkin itu yang membuatmu berbahaya sekaligus bisa dipercaya.”

Ia pergi. Malam menyisakan ruang untuk napas panjang yang tidak pernah cukup panjang.

Di lift turun, Naya bersandar pada dinding baja yang memantul pucat. Arga menatap angka-angka turun. “Kau baik?”

“Baik adalah kata yang luas,” Naya menjawab. “Tapi aku berdiri.”

“Terus berdiri,” kata Arga. “Besok kita mulai perburuan yang sebenarnya.”

Pintu lift terbuka di lantai 43. Di lorong, sebuah amplop cokelat menunggu di lantai, tanpa alamat. Di dalamnya, foto zoomed-in dari balkon kantor: siluet dua orang hampir bertemu—yang jika dibaca terburu-buru, tampak seperti ciuman.

“Siapa pun ini,” ucap Naya, “dia tahu cara menulis cerita lewat gambar.”

“Kalau begitu,” balas Arga, “kita ubah genre-nya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 35 — Arga: Primetime, Narasi, dan Kontrak yang Ditayangkan di Layar Raksasa

    Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 34 — Karina: Membantah, Mengaku Di-approach, dan Ancaman yang Menekan Di Urat Nadi

    Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 33 — Naya: CCTV, Satpam, dan Siluet yang Mirip Karina

    Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 32 — Arga: 48 Jam, Meja Dewan, dan Cetakan Log yang Terlalu Rapi

    Ruang dewan selalu dingin dua derajat lebih rendah daripada bagian kantor mana pun—pilihan yang disengaja agar orang tidak berlama-lama bersyarah. Aku menatap wajah-wajah yang sudah kukenal sejak sebelum krisis: beberapa percaya pada angka, beberapa pada intuisi, sebagian pada angin. “Saya minta 48 jam,” kataku tanpa preambule. “Forensik sudah berjalan. Menjatuhkan sanksi hari ini menyalakan api di ruang kontrol.”Ketua dewan memutar pena. “Publik melihat kita ragu.”“Kita berhati-hati, bukan ragu.” Aku tidak menaikkan suara. Orang menyamakan ketenangan dengan kepastian; itu sering membantuku menutup rapat.Seorang direktur independen—laminasi moral yang disukai media—mengangkat alis. “Laptop staf Anda menunjukkan akses jam dua pagi. IP internal. Nama alias mirip miliknya. Anda menahan tindakan disiplin karena…?”“Karena pola teknis yang tak cocok,” jawabku. “Ada tanda headless, ada service worker yang tak mungkin diciptakan dar

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 31 — Naya: Forensik, Saran “Cuti”, dan Akses yang Hidup Ketika Aku Sedang Live

    Pukul 08.10, layar war room memantulkan wajahku dalam bentuk angka: hash file, sidik jari perangkat, uptime sistem. Analis forensik—Daru, pria berjaket abu dengan mata yang seperti penggaris—membuka kronologi kasar dari laptop kerjaku. “Kami tidak menyentuh OS. Image bit-per-bit sudah diambil, semua langkah tamper-evident. Yang kita lihat sekarang hanyalah salinan. Kamu bisa duduk di sini—atau di luar.”“Aku di sini,” kataku. Kalau peluru menuliskan namaku, aku mau membaca kalibernya sendiri.Daru mengarahkan pointer. “Log menandai wake event jam 02.11.”“Aku sudah pulang jam sebelas lebih. Laptop terkunci di laci. Kunci kubawa,” sahutku.“Ya. Wake bukan berarti ada orang memencet tombol. Bisa network wake, bisa scheduled task. Yang menarik—” Ia memperbesar grafik—“jam 02.13 ada aktivitas browser menuju dashboard PR. Lalu satu menit silent. Kemudian

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 30 — Mini-Boss: Pembajakan Putaran Kedua, Meja yang Dibalik, dan Nama yang Muncul Kembali

    “Nomor lama?” Naya mengulang, otaknya menelusuri ingatan. Prepaid yang ia pakai semasa magang, sebelum pindah ke paket keluarga. “Bagaimana bisa aktif?” Analis operator menjelaskan via conference call: “Nomor sempat nonaktif, lalu di-recycle. Seseorang mendaftarkan ulang dengan dokumen palsu. SIM swap malam ini terjadi lewat call center—suara perempuan, membawa jawaban pertanyaan keamanan: nama hewan peliharaan pertama Naya.” “Aku tidak punya hewan peliharaan,” kata Naya. “Persis,” jawab Karina. “Jawaban itu dibuat-buat—yang berarti proses KYC operator bocor atau disuap.” Arga merangkum cepat. “Dampak: 2FA ke nomor lama memberi akses ke NAYA-ALT. Tindakan: ganti semua 2FA ke aplikasi token, passkey kalau bisa. Kirim notice ke operator dan regulator.” Sementara tim bergerak, war room memantau sesi NAYA-ALT yang tiba-tiba aktif dari IP luar negeri, menembus VPN murahan. “Mereka mencoba menjadwalkan unggahan lag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status