LOGINAngin malam mengibaskan rambut Naya ketika pintu atap menutup di belakang mereka dengan bunyi thud yang terlalu puas. Rafi berdiri beberapa langkah dari tepi, wajahnya pucat seperti halaman kosong. Tali merah di pergelangan tangannya tampak memotong kulit.
“Jangan mendekat tepi,” ucap Arga terlebih dahulu, nada perintah yang terdengar seperti naluri. Ia bergerak ke arah panel pintu, memeriksa. “Terkunci dari dalam sistem. Seseorang memainkan kontrol lift.”
Rafi meremas-remas jari. “Mbak… saya nggak tahu harus ketemu siapa. Mereka bilang kalau saya ngomong, beasiswa saya dihapus.”
“Siapa ‘mereka’?” tanya Naya—lunak, tetapi tajam.
Rafi menelan. “Saya pikir orang baik. Dia bilang mau bantu saya jadi karyawan tetap. Saya hanya disuruh bawa satu flash disk, colok di laptop manapun yang ada akses PR. Katanya buat update driver.”
“Siapa yang menyuruh?” Arga mendekat dua langkah, tetap menjaga jarak aman.
Rafi bergidik. “Saya ketemu di pantry lantai 5. Ngaku tim vendor IT. Tetapi… dia orang keuangan juga. Saya pernah lihat di briefing dengan Pak Luki.”
Nama itu jatuh seperti baut ke lantai baja. Naya menahan nafas. “Namanya?”
“Saya tidak tahu pasti—dia dipanggil ‘Mas Ken’ sama yang lain.”
Arga bertukar pandang dengan Naya. “Kenan,” gumamnya, seperti menemukan potongan puzzle yang lama hilang. “Kontraktor system integration di bawah capex keuangan. Kontraknya disponsori… Luki.”
“Berarti…” Naya tidak menuntaskan. Di situasi seperti ini, kalimat setengah lebih aman daripada tuduhan bulat.
Arga mendekati panel pintu lagi, menekan tombol darurat. “Terlambat memanggil lift tidak masalah. Tetapi kita tidak sendiri.” Ia mengangkat dagu, menatap kamera kecil di sudut atap. “Siapa pun yang menonton, permainan selesai.”
Seolah membalas, beep terdengar. Pintu terbuka setengah—cukup untuk seorang pria berjas krem menyelip masuk. Bukan Dimas. Luki.
“Syukurlah, kalian di sini,” ucapnya, napas teratur seperti habis menaiki satu lantai, bukan delapan. “Aku dapat notifikasi tripwire. Kupikir lebih baik aku yang datang duluan.” Matanya melewati Rafi yang pucat, berhenti sekejap pada tali merah, lalu kembali ke Arga. “Masalah apa?”
“Masalah vendor IT bernama Kenan,” jawab Arga. “Kau bawa dia?”
“Kenan sudah tidak on-site,” kata Luki, seolah menyesal. “Dan Pak, kita punya tamu lain.” Ia memberi isyarat. Dari balik pintu muncul—Adela. Menyusupkan dirinya ke malam seperti bayangan parfum.
Naya mengeraskan rahang. “Ini area terbatas.”
“Aku sponsor investor,” jawab Adela santai. “Aku datang karena ada kabar tidak menyenangkan tentang praktik internal yang bisa mempengaruhi due diligence kami.” Ia menatap Rafi, manis seperti gula yang mahal. “Kamu baik-baik saja?”
Rafi hanya mengangguk, terlalu takut melihat siapa pun.
Arga menahan diri keras-keras. “Adela, turunkan nada dramamu. Ini bukan rapat teater. Luki, bawa Rafi ke HR sekarang. Dan aktifkan rekaman pernyataannya.”
“Dengan senang hati,” kata Luki. Ia meletakkan tangan lembut di punggung Rafi, menuntun ke pintu. Di detik itu, Naya melihat sesuatu—sekilas, secepat kilat kamera. Di bawah lengan jas Luki, menonjol ujung tali merah yang… bukan. Bukan tali. Hanya pelindung gelang jam. Naya mengembus napas yang tak sadar ia tahan.
Ketika pintu menutup di belakang Rafi dan Luki, angin di atap seperti mengubah arah. Tersisa tiga orang: Arga, Naya, Adela.
“Beberapa investor melihat kencan publik kalian sebagai teater murahan,” kata Adela, tanpa pendahuluan. “Tapi ada juga yang menganggap itu cerdas. Masalahnya, cerdas tidak cukup. Aku datang menawarkan kepastian.” Ia menatap Arga lurus. “Putuskan tunangan palsu ini. Tunjukkan bahwa kamu memilih stabilitas, bukan drama. Dana Eropa akan menandatangani minggu depan.”
Arga tertawa—suara paling hangat sekaligus paling dingin yang pernah Naya dengar. “Kau mengira aku menjual keputusan pribadiku untuk cek yang bahkan belum jelas kursnya?”
“Bukan pribadi,” Adela bersandar pada pagar atap. “Ini tata kelola.”
Naya melangkah maju, berdiri di samping Arga—bukan di belakang. “Tata kelola juga berarti melindungi whistleblower—yang barusan hampir kau intimidasi dengan kehadiranmu.”
Adela mengangkat alis. “Kau cepat belajar.”
“Dan kau cepat muncul di tempat yang tidak pernah kusangka,” balas Naya.
Lift berbunyi lagi. Pintu membuka. Karina muncul, terengah ringan. “Maaf, sinyal pager HR tidak masuk. Rafi sekarang di ruang HR, Laila sudah bersama dia. Ada satu hal lagi—Kenan tidak terdaftar sebagai vendor aktif tiga bulan terakhir. Kontraknya berakhir, tapi masih punya akses guest.”
“Siapa yang mengaktifkan akses itu?” tanya Arga.
Karina memegang tablet. “Permintaan sementara: ditandatangani ‘LM’. Inisial.”
Naya dan Arga serempak: “Luki Mahendra.”
Adela, untuk pertama kalinya malam itu, terlihat… tergeser. “Itu serius,” katanya pelan, bukan pada siapa-siapa.
Arga mengangguk pada Karina. “Kunci akses guest. Audit semua jejak. Dan—” ia menoleh ke Adela “—kalau kau benar sponsor yang peduli tata kelola, kau akan mendukung kami membereskan ini, bukan mengkalkulasi drama.”
Adela menatap lama, kemudian mengangguk setitik. “Aku akan lihat tindakanmu besok.” Ia melangkah ke lift, berhenti di ambang. “Untuk catatan: kau tidak pernah berubah, Arga. Tetapi mungkin itu yang membuatmu berbahaya sekaligus bisa dipercaya.”
Ia pergi. Malam menyisakan ruang untuk napas panjang yang tidak pernah cukup panjang.
Di lift turun, Naya bersandar pada dinding baja yang memantul pucat. Arga menatap angka-angka turun. “Kau baik?”
“Baik adalah kata yang luas,” Naya menjawab. “Tapi aku berdiri.”
“Terus berdiri,” kata Arga. “Besok kita mulai perburuan yang sebenarnya.”
Pintu lift terbuka di lantai 43. Di lorong, sebuah amplop cokelat menunggu di lantai, tanpa alamat. Di dalamnya, foto zoomed-in dari balkon kantor: siluet dua orang hampir bertemu—yang jika dibaca terburu-buru, tampak seperti ciuman.
“Siapa pun ini,” ucap Naya, “dia tahu cara menulis cerita lewat gambar.”
“Kalau begitu,” balas Arga, “kita ubah genre-nya.”
Wartawan duduk dalam setengah lingkaran; tidak ada karpet merah, tidak ada photobooth. Hanya meja, mikrofon, dan papan peta tata kelola—kotak dan panah yang mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun menenangkan bagi mereka yang mengelola risiko. Arga masuk tepat waktu, menyapa singkat. Naya berdiri di sisi, separuh berlindung di balik panel, separuh ingin melihat reaksi ruangan tanpa menjadi pusat sorot. “Terima kasih sudah datang,” Arga membuka. Suaranya datar, namun terukur. “Saya akan bicara pendek dan jelas. Pertama, tentang pernikahan. Kami menikah secara legal dan tercatat. Karena itu saya menjalankan recusal—saya tidak ikut memutus hal yang menyangkut langsung kepentingan Naya. Keputusan yang berpotensi konflik melewati gate legal dan pengawas independen. Ini bukan janji; ini struktur yang bisa diperiksa.” Ia menunjuk peta. “Kedua, tentang governance. Kami telah menyerahkan paket bukti kepada regulator, menindaklanjuti rekomendasi panel, dan
Pagi itu IR menyampaikan pesan ringkas dari investor besar yang selama ini menjadi jangkar: mereka meminta komitmen publik dari Arga mengenai dua hal—compliance yang tak bisa ditawar, dan firewall relasi pasca pernikahan sipil. “Mereka ingin mendengar langsung dari mulut CEO,” ujar analis IR, “bukan dari lembar fakta. Mereka butuh kalimat yang bisa dikutip, namun tetap akurat.”Arga tidak menunda. Ia tahu semakin panjang jeda, semakin banyak orang menulis cerita sendiri. Ia meminta tim menyiapkan konferensi pers singkat yang bukan panggung drama, melainkan meja informasi. “Tujuannya dua,” katanya kepada Naya, Sinta, Inez, dan Laila. “Menegaskan tata kelola dan menutup celah bagi narasi yang menjadikan Naya tumbal.”Sinta menyusun kerangka pernyataan dalam kalimat yang mudah diingat tetapi sulit disalahpahami. Bagian pertama berjudul Legal & Tata Kelola: pernikahan sipil legal, tercatat resmi; recusal berjalan—Arga tidak ikut memutus hal yang menyentuh langsung kepe
Pukul tujuh lewat lima, video teaser versi panjang naik. Bunyi musiknya seperti jam dinding tua yang dipaksakan lari maraton—berdebar terlalu cepat, memaksa penonton merasa ada sesuatu yang dikejar. Tim digital Mahendra sudah duduk di depan layar bahkan sebelum hitungan mundur selesai. Inez memimpin, Sinta di sampingnya, Rendra di belakang dengan catatan rute unggahan. Naya memilih berdiri, karena duduk membuatnya merasa menunggu.Pemutaran pertama tidak untuk yakin atau tidak yakin, tetapi untuk mencatat. Inez membiarkan video berjalan tanpa jeda, lalu memutar ulang dengan kecepatan seperlima. “Lihat ini,” katanya, menyorot bagian ketika bayangan di balkon tampak condong ke Arga. “Interframe‑nya janggal. Di bingkai ke‑274 sampai 279, ada lompatan luminans yang tidak selaras dengan arah lampu kota.” Ia mengekstrak enam bingkai itu ke panel terpisah. Pada satu bingkai, garis tepi bahu terlihat bergerigi tajam; pada bingkai berikutnya, halus seperti dilukis ulang. “Ini tanda
Malam hari di kantor terasa seperti peron kereta setelah keberangkatan terakhir: sunyi tetapi penuh jejak. Di ruang rapat kecil tanpa jendela, Arga duduk bersama Naya, Sinta, dan Laila. Press line tentang skors telah terkirim; balasan dari investor masuk dalam bentuk pertanyaan singkat: “Kapan Plt. CFO?” “Berapa cakupan audit?” “Bagaimana memastikan keputusan finansial tak tertunda?” Pertanyaan‑pertanyaan itu sehat, terdengar teknis, namun di luar sana arus lain mulai deras: saran, bisikan, ancaman halus agar Naya ditaruh di altar ketenangan pasar. Arga menatap selembar kertas kosong, lalu berkata tanpa menaikkan suara, “Ada dorongan menukar proses dengan tumbal. Jawabannya tidak. Ketertiban lahir dari aturan, bukan dari kepala yang dikorbankan.” Kalimat itu tidak ditujukan untuk media. Itu kompas bagi tim. Naya mengangguk; ia tidak mencari pembelaan manis, ia hanya membutuhkan arah yang tegak. Laila menambahkan rencana: Plt. CFO akan diumumkan paling lambat H+3, mele
Pukul 09.00 tepat, panel etik kembali duduk. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sengaja dramatis. Hanya gesekan map, detak jam, dan suara kursi yang bergeser pelan. Ketua panel membuka berkas, membaca tanpa kata sifat: “Berdasarkan bahan yang disampaikan dan verifikasi silang yang telah dilakukan, panel merekomendasikan pemberhentian sementara (skors) terhadap Luki dari jabatan CFO. Panel juga merekomendasikan audit forensik lanjutan oleh pihak independen serta penyerahan paket bukti yang sudah distandarkan ke penegak hukum.” Kalimatnya pendek, namun terasa seperti palu yang menyentuh meja: tidak keras, tetapi final.Reaksi di ruangan meredam. Beberapa kepala menunduk, beberapa napas tertahan. Kenan menatap ujung sepatunya—ia bukan pahlawan di sini, ia adalah sumber data yang menyatakan kesalahannya sendiri dan menanggung konsekuensi. Whistleblower keuangan meremas kedua telapaknya, menahan gemetar karena sadar namanya, betapapun disamarkan, sudah masuk catatan proses. Naya
Tidak ada balasan pada pesan ancaman itu—bukan karena takut, tetapi karena prosedur selalu lebih tajam dari adu kata. Laila membuka protokol anti‑intimidasi perusahaan yang memang dirancang untuk situasi begini: langkah 1, preservasi bukti; langkah 2, pelaporan resmi; langkah 3, pembatasan akses dan perlindungan personal; langkah 4, komunikasi terbatas yang menjaga martabat korban tanpa memperkeruh proses hukum.Langkah 1: Preservasi. Tim keamanan menyalin ponsel Naya melalui perangkat write‑blocker; image forensik dibuat, hash dicatat, dan salinan kerja disegel. “Kalau pesan dihapus di ujung sana,” kata Inez, “kita tetap punya jejak.” Lampiran yang dikirimkan ancaman—jika ada—diekstraksi lengkap dengan header untuk melacak jalur. HR meminta Naya tidak menggunakan nomor itu untuk membalas atau menghubungi pihak ketiga.Langkah 2: Pelaporan resmi. Laila mengirimkan berkas ke polisi siber dengan nomor laporan, jam, dan rujukan kebijakan internal. “Setiap ancaman pada







