Home / Romansa / Tunangan Kontrak Sang CEO / Bab 9 — Ambush, Mic, dan Seni Mengembalikan Narasi

Share

Bab 9 — Ambush, Mic, dan Seni Mengembalikan Narasi

Author: Wildan
last update Last Updated: 2025-08-23 11:00:36

Ketika media menjanjikan tayangan jam delapan malam, hari itu berubah menjadi tambang waktu. Setiap jam adalah ledakan kecil. Pagi, rapat cepat; siang, sinkronisasi legal; sore, gladi respon.

“Tidak ada permintaan tak masuk akal,” kata Laila dari HR. “Kalau ada press ambush, kita batasi tiga pertanyaan. Naya, kamu boleh ambil alih mic bila perlu. Arga—”

“Aku tidak menolak menjawab,” potong Arga, “tapi aku tidak akan menari mengikuti soundbite mereka.”

“Setuju,” kata Karina. “Kita siapkan dua talking points: (1) integritas proses internal, (2) transparansi progres merger.”

Naya menambahkan di papan: “(3) martabat karyawan.” Ia menatap Arga. “Itu selalu menenangkan audiens yang lelah drama.”

Menjelang sore, mereka menghadiri town hall internal untuk meredakan kekhawatiran staf. Arga bicara tentang roadmap, Karina tentang komunikasi, Laila tentang kanal pelaporan aman. Di sesi Q&A, seorang staf muda—suara bergetar—bertanya, “Apa benar pertunangan ini hanya gimik?”

Ruangan menahan napas. Naya mengambil mic.

“Aku bisa jawab itu,” katanya. “Gimik adalah sesuatu yang berhenti bekerja ketika lampu dimatikan. Yang kami lakukan justru kebalikannya—kerjanya dimulai ketika lampu kamera padam.”

Tepuk tangan mengalir seperti air panas ke tubuh yang menggigil. Naya mengembalikan mic, Arga mengangguk kecil—pengakuan yang tidak pernah ia boroskan.

Selesai town hall, di lobi, APEX menunggu dengan kamera. “Pak Arga! Mbak Naya! Bagaimana tanggapan soal foto balkon?”

Arga menghentikan langkah, menatap kamera langsung—pilihan berisiko yang direncanakan. “Itu gambar yang menipu perspektif,” katanya. “Yang pasti, fokus kami pada audit internal dan integritas merger.”

Reporter menyorong mic. “Jadi, tidak ada ciuman?”

Naya menatap lensa, mengenggam cincin agar tak bergerak. “Kalau pun ada momen pribadi, itu bukan konsumsi publik. Tapi foto itu adalah framing yang disengaja untuk merusak kredibilitas kami.”

“Siapa yang Anda tuduh?”

“Tidak menuduh,” potong Arga, “membuktikan. Malam ini, sebelum tayangan APEX, kami akan rilis laporan forensic awal: akses ilegal, waktu, perangkat. Kami menghormati jurnalisme; balasan kami adalah data.”

Kata “data” selalu punya aroma akhir. Reporter mundur setengah langkah. Kamera merekam ketegasan yang pasangan ini pilih: bukan drama, melainkan ritme angka.

Di war room, analis digital memaparkan hasil. “Perangkat FIN-RAFI-07B mengirim token ke relay yang terdaftar ke… shell company bernama Kenara Solutions.”

“Kenan +…?” Naya tidak perlu menyelesaikan kalkulasinya.

“Pemilik terdaftar: figur nominee. Tapi alamat penagihan… sama dengan salah satu vendor marketing eksternal Luki,” ujar analis. “Kebetulan?”

“Tidak ada kebetulan pada uang,” kata Arga.

Legal mengangkat tangan. “Kita perlu verifikasi dua sumber lagi sebelum menyebut nama. Tapi kita bisa rilis pola teknisnya.”

“Rilis,” perintah Arga. “Karina, siapkan press note satu halaman.”

Menjelang pukul delapan, Naya berdiri di balkoni kecil ruang PR—balkon yang sama dari foto—menatap kota yang mulai menyalakan lampu. Ponselnya bergetar. Dimas.

Dimas: Kau berani, Naya. Tapi beranikah kau melihat sisi lain? Aku punya dokumen ghost vendor lengkap. Top floor bar sekarang. Lima menit.

Naya menimbang. “Aku akan—”

“Tidak,” suara Arga dari belakang, seolah membaca pikirannya. “Kita tidak mengejar umpan di jam siar. Mereka ingin kita terpecah.”

“Kalau dia benar-benar punya dokumen?”

“Kita minta lewat kanal resmi. Kalau dia ingin menukar dengan kopi, dia bukan pelapor—dia pedagang.”

Jam menunjukkan 19.58. Karina memberi aba-aba. “Posisi.”

Tayangan APEX mulai. Mereka menonton dari war room—kota dalam kotak. Segmen pertama menggiring narasi “pasangan sandiwara”. Lalu segmen kedua menampilkan foto balkon, dilambatkan, diperbesar—hingga piksel meledak seperti gula gosong. Narator bersuara dramatis seolah berhasil membuka aib.

Segmen ketiga berniat menombak—namun Karina memberi isyarat pada operator. Rilis forensic awal tayang bersamaan di kanal resmi Mahendra. Push notification menyebar seperti benih. Timeline pecah menjadi dua arus: drama melawan data. Beberapa jurnalis independen mulai menulis: “Framing Foto APEX Dipertanyakan, Log Forensik Ungkap Akses Ilegal.”

Naya menutup mata satu detik, memberi ruang untuk otaknya tertawa kecil tanpa suara. Ketika ia membuka, Arga sedang memandangnya. “Itu kerja bagus,” katanya singkat.

“Kerja tim,” ulang Naya—ritme yang mereka bangun.

Malam belum selesai. Pukul 21.10, pesan anonim masuk lagi ke inbox Naya. Kali ini bukan ancaman, bukan ejekan. Hanya sebuah koordinat dan kata-kata: “Kebenaran ada di lantai 21. Printer 21B. Sekarang.”

“Umpan?” tanya Karina.

“Atau peluang,” jawab Naya.

Arga menatap jam. “Kita ke sana. Bertiga.”

Mereka tiba di lantai 21 yang setengah gelap. Printer 21B berdengung lemah, seperti makhluk kecil yang ketakutan. Di baki keluaran, menunggu setumpuk kertas: faktur-faktur vendor dummy, nilai kecil tapi banyak—strategi salami slicing. Tanda tangan digital “Kenan A.” dan persetujuan bertingkat, salah satunya elektronik bertuliskan “LM”.

“Dapat,” bisik Karina. “Ini… besar.”

Lampu lorong tiba-tiba hidup semua. Dari ujung koridor, langkah sepatu mahal mendekat—dan Dimas muncul, bertepuk tangan pelan. “Selamat.”

“Bagaimana kau—”

“Informanku juga suka printer,” ujarnya ringan. “Tenang, aku tidak menyentuh apa pun. Aku hanya ingin melihat wajah kalian ketika potongan puzzle menyatu.”

Arga berdiri di antara Dimas dan Naya tanpa dramatis. “Keluar.”

Dimas menunduk sopan, melangkah mundur. “Sampai jumpa besok, saat pasar membuka mata.” Ia menghilang sebelum security tiba.

Naya menatap tumpukan bukti. Untuk pertama kalinya, ia merasa jarak ke kebenaran bukan rimba, tapi koridor dengan pintu-pintu yang bisa dibuka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 35 — Arga: Primetime, Narasi, dan Kontrak yang Ditayangkan di Layar Raksasa

    Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 34 — Karina: Membantah, Mengaku Di-approach, dan Ancaman yang Menekan Di Urat Nadi

    Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 33 — Naya: CCTV, Satpam, dan Siluet yang Mirip Karina

    Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 32 — Arga: 48 Jam, Meja Dewan, dan Cetakan Log yang Terlalu Rapi

    Ruang dewan selalu dingin dua derajat lebih rendah daripada bagian kantor mana pun—pilihan yang disengaja agar orang tidak berlama-lama bersyarah. Aku menatap wajah-wajah yang sudah kukenal sejak sebelum krisis: beberapa percaya pada angka, beberapa pada intuisi, sebagian pada angin. “Saya minta 48 jam,” kataku tanpa preambule. “Forensik sudah berjalan. Menjatuhkan sanksi hari ini menyalakan api di ruang kontrol.”Ketua dewan memutar pena. “Publik melihat kita ragu.”“Kita berhati-hati, bukan ragu.” Aku tidak menaikkan suara. Orang menyamakan ketenangan dengan kepastian; itu sering membantuku menutup rapat.Seorang direktur independen—laminasi moral yang disukai media—mengangkat alis. “Laptop staf Anda menunjukkan akses jam dua pagi. IP internal. Nama alias mirip miliknya. Anda menahan tindakan disiplin karena…?”“Karena pola teknis yang tak cocok,” jawabku. “Ada tanda headless, ada service worker yang tak mungkin diciptakan dar

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 31 — Naya: Forensik, Saran “Cuti”, dan Akses yang Hidup Ketika Aku Sedang Live

    Pukul 08.10, layar war room memantulkan wajahku dalam bentuk angka: hash file, sidik jari perangkat, uptime sistem. Analis forensik—Daru, pria berjaket abu dengan mata yang seperti penggaris—membuka kronologi kasar dari laptop kerjaku. “Kami tidak menyentuh OS. Image bit-per-bit sudah diambil, semua langkah tamper-evident. Yang kita lihat sekarang hanyalah salinan. Kamu bisa duduk di sini—atau di luar.”“Aku di sini,” kataku. Kalau peluru menuliskan namaku, aku mau membaca kalibernya sendiri.Daru mengarahkan pointer. “Log menandai wake event jam 02.11.”“Aku sudah pulang jam sebelas lebih. Laptop terkunci di laci. Kunci kubawa,” sahutku.“Ya. Wake bukan berarti ada orang memencet tombol. Bisa network wake, bisa scheduled task. Yang menarik—” Ia memperbesar grafik—“jam 02.13 ada aktivitas browser menuju dashboard PR. Lalu satu menit silent. Kemudian

  • Tunangan Kontrak Sang CEO   Bab 30 — Mini-Boss: Pembajakan Putaran Kedua, Meja yang Dibalik, dan Nama yang Muncul Kembali

    “Nomor lama?” Naya mengulang, otaknya menelusuri ingatan. Prepaid yang ia pakai semasa magang, sebelum pindah ke paket keluarga. “Bagaimana bisa aktif?” Analis operator menjelaskan via conference call: “Nomor sempat nonaktif, lalu di-recycle. Seseorang mendaftarkan ulang dengan dokumen palsu. SIM swap malam ini terjadi lewat call center—suara perempuan, membawa jawaban pertanyaan keamanan: nama hewan peliharaan pertama Naya.” “Aku tidak punya hewan peliharaan,” kata Naya. “Persis,” jawab Karina. “Jawaban itu dibuat-buat—yang berarti proses KYC operator bocor atau disuap.” Arga merangkum cepat. “Dampak: 2FA ke nomor lama memberi akses ke NAYA-ALT. Tindakan: ganti semua 2FA ke aplikasi token, passkey kalau bisa. Kirim notice ke operator dan regulator.” Sementara tim bergerak, war room memantau sesi NAYA-ALT yang tiba-tiba aktif dari IP luar negeri, menembus VPN murahan. “Mereka mencoba menjadwalkan unggahan lag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status