LOGINKetika media menjanjikan tayangan jam delapan malam, hari itu berubah menjadi tambang waktu. Setiap jam adalah ledakan kecil. Pagi, rapat cepat; siang, sinkronisasi legal; sore, gladi respon.
“Tidak ada permintaan tak masuk akal,” kata Laila dari HR. “Kalau ada press ambush, kita batasi tiga pertanyaan. Naya, kamu boleh ambil alih mic bila perlu. Arga—”
“Aku tidak menolak menjawab,” potong Arga, “tapi aku tidak akan menari mengikuti soundbite mereka.”
“Setuju,” kata Karina. “Kita siapkan dua talking points: (1) integritas proses internal, (2) transparansi progres merger.”
Naya menambahkan di papan: “(3) martabat karyawan.” Ia menatap Arga. “Itu selalu menenangkan audiens yang lelah drama.”
Menjelang sore, mereka menghadiri town hall internal untuk meredakan kekhawatiran staf. Arga bicara tentang roadmap, Karina tentang komunikasi, Laila tentang kanal pelaporan aman. Di sesi Q&A, seorang staf muda—suara bergetar—bertanya, “Apa benar pertunangan ini hanya gimik?”
Ruangan menahan napas. Naya mengambil mic.
“Aku bisa jawab itu,” katanya. “Gimik adalah sesuatu yang berhenti bekerja ketika lampu dimatikan. Yang kami lakukan justru kebalikannya—kerjanya dimulai ketika lampu kamera padam.”
Tepuk tangan mengalir seperti air panas ke tubuh yang menggigil. Naya mengembalikan mic, Arga mengangguk kecil—pengakuan yang tidak pernah ia boroskan.
Selesai town hall, di lobi, APEX menunggu dengan kamera. “Pak Arga! Mbak Naya! Bagaimana tanggapan soal foto balkon?”
Arga menghentikan langkah, menatap kamera langsung—pilihan berisiko yang direncanakan. “Itu gambar yang menipu perspektif,” katanya. “Yang pasti, fokus kami pada audit internal dan integritas merger.”
Reporter menyorong mic. “Jadi, tidak ada ciuman?”
Naya menatap lensa, mengenggam cincin agar tak bergerak. “Kalau pun ada momen pribadi, itu bukan konsumsi publik. Tapi foto itu adalah framing yang disengaja untuk merusak kredibilitas kami.”
“Siapa yang Anda tuduh?”
“Tidak menuduh,” potong Arga, “membuktikan. Malam ini, sebelum tayangan APEX, kami akan rilis laporan forensic awal: akses ilegal, waktu, perangkat. Kami menghormati jurnalisme; balasan kami adalah data.”
Kata “data” selalu punya aroma akhir. Reporter mundur setengah langkah. Kamera merekam ketegasan yang pasangan ini pilih: bukan drama, melainkan ritme angka.
Di war room, analis digital memaparkan hasil. “Perangkat FIN-RAFI-07B mengirim token ke relay yang terdaftar ke… shell company bernama Kenara Solutions.”
“Kenan +…?” Naya tidak perlu menyelesaikan kalkulasinya.
“Pemilik terdaftar: figur nominee. Tapi alamat penagihan… sama dengan salah satu vendor marketing eksternal Luki,” ujar analis. “Kebetulan?”
“Tidak ada kebetulan pada uang,” kata Arga.
Legal mengangkat tangan. “Kita perlu verifikasi dua sumber lagi sebelum menyebut nama. Tapi kita bisa rilis pola teknisnya.”
“Rilis,” perintah Arga. “Karina, siapkan press note satu halaman.”
Menjelang pukul delapan, Naya berdiri di balkoni kecil ruang PR—balkon yang sama dari foto—menatap kota yang mulai menyalakan lampu. Ponselnya bergetar. Dimas.
Dimas: Kau berani, Naya. Tapi beranikah kau melihat sisi lain? Aku punya dokumen ghost vendor lengkap. Top floor bar sekarang. Lima menit.
Naya menimbang. “Aku akan—”
“Tidak,” suara Arga dari belakang, seolah membaca pikirannya. “Kita tidak mengejar umpan di jam siar. Mereka ingin kita terpecah.”
“Kalau dia benar-benar punya dokumen?”
“Kita minta lewat kanal resmi. Kalau dia ingin menukar dengan kopi, dia bukan pelapor—dia pedagang.”
Jam menunjukkan 19.58. Karina memberi aba-aba. “Posisi.”
Tayangan APEX mulai. Mereka menonton dari war room—kota dalam kotak. Segmen pertama menggiring narasi “pasangan sandiwara”. Lalu segmen kedua menampilkan foto balkon, dilambatkan, diperbesar—hingga piksel meledak seperti gula gosong. Narator bersuara dramatis seolah berhasil membuka aib.
Segmen ketiga berniat menombak—namun Karina memberi isyarat pada operator. Rilis forensic awal tayang bersamaan di kanal resmi Mahendra. Push notification menyebar seperti benih. Timeline pecah menjadi dua arus: drama melawan data. Beberapa jurnalis independen mulai menulis: “Framing Foto APEX Dipertanyakan, Log Forensik Ungkap Akses Ilegal.”
Naya menutup mata satu detik, memberi ruang untuk otaknya tertawa kecil tanpa suara. Ketika ia membuka, Arga sedang memandangnya. “Itu kerja bagus,” katanya singkat.
“Kerja tim,” ulang Naya—ritme yang mereka bangun.
Malam belum selesai. Pukul 21.10, pesan anonim masuk lagi ke inbox Naya. Kali ini bukan ancaman, bukan ejekan. Hanya sebuah koordinat dan kata-kata: “Kebenaran ada di lantai 21. Printer 21B. Sekarang.”
“Umpan?” tanya Karina.
“Atau peluang,” jawab Naya.
Arga menatap jam. “Kita ke sana. Bertiga.”
Mereka tiba di lantai 21 yang setengah gelap. Printer 21B berdengung lemah, seperti makhluk kecil yang ketakutan. Di baki keluaran, menunggu setumpuk kertas: faktur-faktur vendor dummy, nilai kecil tapi banyak—strategi salami slicing. Tanda tangan digital “Kenan A.” dan persetujuan bertingkat, salah satunya elektronik bertuliskan “LM”.
“Dapat,” bisik Karina. “Ini… besar.”
Lampu lorong tiba-tiba hidup semua. Dari ujung koridor, langkah sepatu mahal mendekat—dan Dimas muncul, bertepuk tangan pelan. “Selamat.”
“Bagaimana kau—”
“Informanku juga suka printer,” ujarnya ringan. “Tenang, aku tidak menyentuh apa pun. Aku hanya ingin melihat wajah kalian ketika potongan puzzle menyatu.”
Arga berdiri di antara Dimas dan Naya tanpa dramatis. “Keluar.”
Dimas menunduk sopan, melangkah mundur. “Sampai jumpa besok, saat pasar membuka mata.” Ia menghilang sebelum security tiba.
Naya menatap tumpukan bukti. Untuk pertama kalinya, ia merasa jarak ke kebenaran bukan rimba, tapi koridor dengan pintu-pintu yang bisa dibuka.
Wartawan duduk dalam setengah lingkaran; tidak ada karpet merah, tidak ada photobooth. Hanya meja, mikrofon, dan papan peta tata kelola—kotak dan panah yang mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun menenangkan bagi mereka yang mengelola risiko. Arga masuk tepat waktu, menyapa singkat. Naya berdiri di sisi, separuh berlindung di balik panel, separuh ingin melihat reaksi ruangan tanpa menjadi pusat sorot. “Terima kasih sudah datang,” Arga membuka. Suaranya datar, namun terukur. “Saya akan bicara pendek dan jelas. Pertama, tentang pernikahan. Kami menikah secara legal dan tercatat. Karena itu saya menjalankan recusal—saya tidak ikut memutus hal yang menyangkut langsung kepentingan Naya. Keputusan yang berpotensi konflik melewati gate legal dan pengawas independen. Ini bukan janji; ini struktur yang bisa diperiksa.” Ia menunjuk peta. “Kedua, tentang governance. Kami telah menyerahkan paket bukti kepada regulator, menindaklanjuti rekomendasi panel, dan
Pagi itu IR menyampaikan pesan ringkas dari investor besar yang selama ini menjadi jangkar: mereka meminta komitmen publik dari Arga mengenai dua hal—compliance yang tak bisa ditawar, dan firewall relasi pasca pernikahan sipil. “Mereka ingin mendengar langsung dari mulut CEO,” ujar analis IR, “bukan dari lembar fakta. Mereka butuh kalimat yang bisa dikutip, namun tetap akurat.”Arga tidak menunda. Ia tahu semakin panjang jeda, semakin banyak orang menulis cerita sendiri. Ia meminta tim menyiapkan konferensi pers singkat yang bukan panggung drama, melainkan meja informasi. “Tujuannya dua,” katanya kepada Naya, Sinta, Inez, dan Laila. “Menegaskan tata kelola dan menutup celah bagi narasi yang menjadikan Naya tumbal.”Sinta menyusun kerangka pernyataan dalam kalimat yang mudah diingat tetapi sulit disalahpahami. Bagian pertama berjudul Legal & Tata Kelola: pernikahan sipil legal, tercatat resmi; recusal berjalan—Arga tidak ikut memutus hal yang menyentuh langsung kepe
Pukul tujuh lewat lima, video teaser versi panjang naik. Bunyi musiknya seperti jam dinding tua yang dipaksakan lari maraton—berdebar terlalu cepat, memaksa penonton merasa ada sesuatu yang dikejar. Tim digital Mahendra sudah duduk di depan layar bahkan sebelum hitungan mundur selesai. Inez memimpin, Sinta di sampingnya, Rendra di belakang dengan catatan rute unggahan. Naya memilih berdiri, karena duduk membuatnya merasa menunggu.Pemutaran pertama tidak untuk yakin atau tidak yakin, tetapi untuk mencatat. Inez membiarkan video berjalan tanpa jeda, lalu memutar ulang dengan kecepatan seperlima. “Lihat ini,” katanya, menyorot bagian ketika bayangan di balkon tampak condong ke Arga. “Interframe‑nya janggal. Di bingkai ke‑274 sampai 279, ada lompatan luminans yang tidak selaras dengan arah lampu kota.” Ia mengekstrak enam bingkai itu ke panel terpisah. Pada satu bingkai, garis tepi bahu terlihat bergerigi tajam; pada bingkai berikutnya, halus seperti dilukis ulang. “Ini tanda
Malam hari di kantor terasa seperti peron kereta setelah keberangkatan terakhir: sunyi tetapi penuh jejak. Di ruang rapat kecil tanpa jendela, Arga duduk bersama Naya, Sinta, dan Laila. Press line tentang skors telah terkirim; balasan dari investor masuk dalam bentuk pertanyaan singkat: “Kapan Plt. CFO?” “Berapa cakupan audit?” “Bagaimana memastikan keputusan finansial tak tertunda?” Pertanyaan‑pertanyaan itu sehat, terdengar teknis, namun di luar sana arus lain mulai deras: saran, bisikan, ancaman halus agar Naya ditaruh di altar ketenangan pasar. Arga menatap selembar kertas kosong, lalu berkata tanpa menaikkan suara, “Ada dorongan menukar proses dengan tumbal. Jawabannya tidak. Ketertiban lahir dari aturan, bukan dari kepala yang dikorbankan.” Kalimat itu tidak ditujukan untuk media. Itu kompas bagi tim. Naya mengangguk; ia tidak mencari pembelaan manis, ia hanya membutuhkan arah yang tegak. Laila menambahkan rencana: Plt. CFO akan diumumkan paling lambat H+3, mele
Pukul 09.00 tepat, panel etik kembali duduk. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sengaja dramatis. Hanya gesekan map, detak jam, dan suara kursi yang bergeser pelan. Ketua panel membuka berkas, membaca tanpa kata sifat: “Berdasarkan bahan yang disampaikan dan verifikasi silang yang telah dilakukan, panel merekomendasikan pemberhentian sementara (skors) terhadap Luki dari jabatan CFO. Panel juga merekomendasikan audit forensik lanjutan oleh pihak independen serta penyerahan paket bukti yang sudah distandarkan ke penegak hukum.” Kalimatnya pendek, namun terasa seperti palu yang menyentuh meja: tidak keras, tetapi final.Reaksi di ruangan meredam. Beberapa kepala menunduk, beberapa napas tertahan. Kenan menatap ujung sepatunya—ia bukan pahlawan di sini, ia adalah sumber data yang menyatakan kesalahannya sendiri dan menanggung konsekuensi. Whistleblower keuangan meremas kedua telapaknya, menahan gemetar karena sadar namanya, betapapun disamarkan, sudah masuk catatan proses. Naya
Tidak ada balasan pada pesan ancaman itu—bukan karena takut, tetapi karena prosedur selalu lebih tajam dari adu kata. Laila membuka protokol anti‑intimidasi perusahaan yang memang dirancang untuk situasi begini: langkah 1, preservasi bukti; langkah 2, pelaporan resmi; langkah 3, pembatasan akses dan perlindungan personal; langkah 4, komunikasi terbatas yang menjaga martabat korban tanpa memperkeruh proses hukum.Langkah 1: Preservasi. Tim keamanan menyalin ponsel Naya melalui perangkat write‑blocker; image forensik dibuat, hash dicatat, dan salinan kerja disegel. “Kalau pesan dihapus di ujung sana,” kata Inez, “kita tetap punya jejak.” Lampiran yang dikirimkan ancaman—jika ada—diekstraksi lengkap dengan header untuk melacak jalur. HR meminta Naya tidak menggunakan nomor itu untuk membalas atau menghubungi pihak ketiga.Langkah 2: Pelaporan resmi. Laila mengirimkan berkas ke polisi siber dengan nomor laporan, jam, dan rujukan kebijakan internal. “Setiap ancaman pada







